Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Bagian 2)

Jumat, Juli 30, 2010

Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

Oleh Johanes Supriyono*) 


Lelaki itu mengangguk. Mungkin maksud kata-kataku kurang jelas ia pahami. Maklum saja, hubungan masyarakat Mee dengan hutan sudah terjadi alami dan menjadi cara hidup dari generasi ke generasi. Maka aneh bahwa ada orang asing bertanya tentang hal itu. Bagi orang Mee, hubungan itu sudah sangat jelas, sangat sehari-hari, sampai tidak ada lagi orang yang mempertanyakan. Adakah gunanya bertanya: apakah seorang Paus, uskup Roma, seorang Katolik?
Mungkin sebenarnya lelaki tadi heran: untuk apa bertanya tentang perkara yang sudah sangat jelas? Mengapa Pater ini tidak bertanya tentang dampak positif UU no 21 tahun 2001 bagi masyarakat Waghete? Apakah angka kematian ibu dan bayi menurun? Apakah jumlah anak-anak yang ke sekolah lebih banyak? Apakah di kampung sekarang ada pusat kegiatan belajar masyarakat? Apakah jumlah guru bertambah?
Mengapa Pater berjambang putih lebat itu bertanya tentang hal yang kalah menarik dibandingkan dengan kucuran dana otonomi atau dengan korupsi di Papua? Rupanya lelaki muda yang pernah bersekolah di Semarang itu merasa pertanyaan si pater tidak menarik. Ia tidak menyinggung sedikitpun soal itu. Ia malah keasyikan menceritakan sekolahnya dan mengenang teman-temannya dari pegunungan yang menempuh pendidikan di Jawa.
Pater itu asyik bertanya kepada seorang ibu yang susah berbahasa Indonesia. Si perempuan Filipina itu terus-terusan mengambil gambar dengan kamera digitalnya. Latar belakangnya adalah gundukan-gundukan kebun nota (ubi rambat) yang hijau segar dan anak-anak kecil yang sedang “menyaksikan makhluk asing”. Jauh di belakang adalah Danau Tigi yang airnya berkilau-kilau dengan rumah-rumah sederhana di tepiannya. Dan pepohonan indah yang melambai-lambai.
Namun, tampaknya lelaki itu tidak akan heran pada Pater karena tidak bertanya tentang Inpres no. 5 tahun 2007 tentang percepatan pembangunan daerah tertinggal dari Susilo Bambang Yudoyono. Alasannya sederhana saja: informasi tentang instruksi yang sangat penting itu tidak sampai ke kampung mereka.
Waghete belum dialiri listrik kendati sedang disiapkan menjadi kabupaten sendiri. Dengan sendirinya, media elektronik belum merambah wilayah ini secara masif. Mungkin ada beberapa keluarga yang mampu mengupayakan solar sel swadaya dan membeli perangkat televisi dari kota. Mungkin juga ada radio. Semua serba menerka karena di kampung Yaba atau Damabagata maupun Enagotadi tidak tampak antena parabola menjulang di atas atap rumah-rumah mereka yang renta.
Mungkin satu-satunya sudut Waghete yang sudah pernah mengenyam nikmatnya menerima sajian informasi dan mengirimkan secara cepat lewat internet hanya Pastoran St. Yohanes Pemandi Waghete. Sayang, karena perangkatnya rusak dan biayanya mahal sekali, kini fasilitas itu tidak lagi dapat dinikmati.
Informasi mengalir bersama dengan listrik. Tanpa listrik, informasi bergerak menjangkau seperti siput. Sangat pelan. Media yang mengantar informasi menjadi sangat terbatas, untuk tidak mengatakan tidak ada samasekali.
Media cetak tidak beredar di Waghete, kecuali yang sudah basi untuk Pastoran Waghete. Koran-koran diambil di Nabire setelah beberapa bulan disimpan di gudang. Entahlah, apakah informasi yang disajikan masih relevan pada hari mereka membacanya. Ketika membaca koran-koran itu, mereka merasa seakan-akan sedang mendapatkan kabar dari negeri yang jauh, negeri antah-berantah. Ada perasaan teralienasi dari jagat dunia ini. Ketika orang bisa bertemu secara maya, tanpa kehadiran wajah, bisa bekerja sama tanpa harus saling menyentuh, di Waghete dunia terasa sangat sepi dan kecil. Di belahan lain, dunia terasa sesak dan cepat sekali bergerak, hari berlalu sangat kilat, berpindah dari satu topik ke topik baru, di Waghete musim berlaku sepanjang tahun, dan waktu seakan tidak beranjak.
Sama sekali aku tidak sedang mengisahkan bahwa Waghete tidak bergerak.
Sentuhan kampung Waghete dengan dunia luar sangat minimal, sangat lambat, sangat tidak interaktif. Perlu waktu yang panjang untuk merasakan aksi dari luar, dan perlu waktu yang lebih lama lagi untuk membangkitkan reaksi. Jalan trans-Papua yang masih berupa tanah berlumpur pada musim hujan itu sudah sangat berjasa meski perjalanan dari pusat kota di Pesisir Utara bisa memakan waktu yang panjang.
Ketika wabah kolera merenggut puluhan nyawa di sekitar Moanemani tidak lekas sampai ke belahan dunia lain—anehnya, menurut rumor yang beredar, wartawan Australia malah mengetahui lebih dulu dibanding wartawan Indonesia di luar Papua—tidak terlalu mengherankan. Mungkin kalau pun informasi itu sudah sampai di Jakarta, ia tidak bisa lekas menjangkau ibu menteri atau bapak presiden. Arus informasi sangatlah sendat. Apalagi arus obat dan tenaga medis untuk menyelamatkan yang masih bertahan.
Sendatnya arus informasi, sendatnya arus ilmu pengetahuan, berarti sendatnya arus peradaban. Tidak lagi disangkal, peradaban kontemporer sangat bertalian dengan informasi dan perkembangan pengetahuan. Lihatlah berapa banyak kosakata baru yang berkembang bersamaan dengan temuan-temuan teknologi mutakhir! Maklum saja, Waghete terperangkap dalam skema pembangunan yang tidak partisipatoris, tidak menggerakkan penduduknya terlibat dalam dunia yang luas.
Hari itu, si pemuda yang asyik memerhatikan pater bule itu tidak akan pernah bertanya tentang inpres no.5 tahun 2007 dari sang presiden. Untuk mereka, inpres itu tidak pernah ada. Jangan-jangan eksistensi presiden pun sekadar nama dengan impak historis dan eksistensial yang mendekati nol. Secara sinis, orang boleh saja berpendapat ada atau tidak ada presiden Waghete adalah Waghete dengan danau Tigi yang cantik dan berkilau-kilau.
Rumah-rumah sederhana para penduduk sangat menarik untuk diperhatikan. Rumah-rumah mereka jarang yang berdekatan. Tidak satu rumah pun yang berbagi dinding dengan rumah yang lain. Tidak juga ada rumah yang berbagi atap dengan rumah sebelahnya. Hampir tiap-tiap rumah dikelilingi pagar dari kayu hutan yang dipancang membujur dan sangat rapat. Kayu-kayu itu dijalin dengan ikatan rotan yang sangat kuat. Babi yang besar sekalipun tidak akan menembus pagar itu.
Ternyata bukan hanya rumah, kebun merekapun sebagian berpagar. Tanaman-tanaman di selingkungan pagar itu terlindung dari jamahan mahkluk luar, selain yang empunya. Bahan dan model pagarnya sama dengan pagar yang melindungi rumah.
Kebun-kebun mereka pun sangat mencolok, bukan pertama-tama karena tanaman. Yang menandai adalah pagar kayu utuh disusun tegak dan sangat rapat. Batang-batang kayu sebagian telah menghitam karena usia, dan ujung-ujungnya yang menjolok langit biru telah ditumbuhi rerumputan. Tapi batang-batang yang semakin umur, tampaknya malah semakin kokoh.
Menurutku, kehadiran pagar dan rumah-rumah yang berdiri sendiri-sendiri itu mempertegas konsep kepemilikan dan konsep diri masyarakat Waghete. Batas tanah tidak pernah samar. Malah sangat jelas. Batas privasi atau wilayah privat masyarakat Mee di Waghete sangat terlihat berkat kehadiran pagar-pagar yang kokoh.
Pagar kayu itu masih diperkokoh dengan praktik sehari-hari yang hingga kini masih berlaku. Atau, mungkin saya keliru mengatakannya, praktik sehari-hari membutuhkan infrastruktur perlindungan hak milik, yaitu pagar. Dalam kehidupan bersama, masyarakat saling menenggang. Mereka tidak akan masuk ke wilayah orang lain tanpa izin. Tidak akan mereka melanggar sekadar melompati pagar tetangganya. Lebih-lebih, tidak akan mereka mengambil harta kebun orang lain. Bahkan, aku ingat sekali bagaimana—bersama pater bule dan warga setempat—ditegur serius, bahkan dengan anak panah siap terluncur, gara-gara kami mendekati kebun nota.
Agaknya, itulah sebabnya tanah-tanah klan atau marga besar benar-benar masuk ke dalam ingatan kolektif. Salah satu alasannya adalah konsep kepemilikan yang sangat kuat bertalian dengan diri. Barangkali kalimat tadi tidak cukup jelas. Maksudku, masyarakat suku Mee mendekatkan ‘milik’ dengan ‘diri’. Kalau dalam bahasa Inggris ada “I have” dan “I am” atau “to have” dan “to be”, masyakarat Mee tidak mau kehilangan miliknya karena itu berarti kehilangan dirinya. Secara lugas ingin kutafsirkan—semoga tafsir ini benar—merebut milik berarti merebut diri atau menginjak milik (misalnya tanah) berarti menginjak diri. Nanti, ketika berbicara tentang tanah dan konflik, tafsir ini bisa lebih jelas.

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua 

Bersambung .... 

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut