Waghete: Perjalanan Panjang ke Masa Depan (Habis)

Jumat, Juli 30, 2010

 Juli 2009: dari serpihan ingatan akan kampung-kampung di tepian Danau Tigi

Oleh Johanes Supriyono*)

Cerita Waghete bukan hanya milik Josef Mote. Aku ingat pula seorang guru yang diejek-ejek murid-muridnya pada suatu pagi.
Pagi itu, ketika masih sangat dingin, lima anak kecil, berseragam SD dengan telanjang kaki, hanya dua saja bersepatu, berarak ke sekolah. Semuanya keriting tentu saja. Entah apa yang mereka bicarakan di jalan yang berdebu itu.
Di jalan itu, mereka bertemu dengan sang kepala sekolah, Pak Guru Pekei. Ia tidak berbusana layaknya mau ke sekolah. Bercelana pendek dan bertelanjang kaki, kendati waktu untuk masuk sekolah sudah menjelang, ia memikul papan. Tangannya masih serba kotor. Mulutnya mengepulkan asap rokok.
“Pak Guru, ayo ke sekolah sudah waktu ini. Kenapa malah sibuk di sini?” Murid-murid itu setengah mengejek sang guru yang tampak tidak hendak ke sekolah.
“Hei.. kalian ini anak kecil. Sana! Berangkat ke sekolah,” hardik sang guru.
“Iya, kami akan ke sekolah. Kau lihat kan, kami sudah berseragam dan membawa buku. Tapi, kamu akan ke sekolah, tidak?”
“Sudah.. ko anak-anak kecil tahu apa. Saya mau urus rumah dulu. Nanti saya baru ke sekolah.”
“Iyo, kami tunggu di sekolah ya. Kau ini guru bagaimana? Masak tidak ke sekolah.”
“Ah, sudah diam. Kau berangkat cepat. Jangan terlambat lagi.”
Anak-anak itu sambil berlalu, “kami tidak pernah terlambat.”
Anak-anak belia itu tidak tampak sungkan menegur pak guru yang sengaja melalaikan tanggung jawabnya.
Percakapan remaja belia dengan sang kepala sekolah jauh dari cuaca ‘mengadili’. Anak-anak itu telah cukup tahu berkat kebiasaan bahwa sejumlah guru tidak sepenuhnya menjiwai keguruan mereka. Ejekan gaya anak-anak itu mengandung juga pengampunan atau permakluman terhadap sang guru.
Begitu juga yang terjadi di sekolah dekat gereja Waghete pagi itu. Tidak ada guru di tiga kelas.
Seorang anak mencacat pelajaran di papan tulis. Agaknya ia yang paling maju di kelasnya. Tulisannya cukup rapi. Teman-temannya, sebentar-sebentar mendongak ke papan, menyalin yang tertulis di papan itu. Pelajaran bahasa Indonesia. Entahlah apakah dengan cara mencatat seperti itu mereka bisa mengerti dan menerapkan.
Ketika kami datang, semuanya terdiam dan menyembunyikan kaki telanjang mereka di bawah kursi. Tidak ada senyum tapi wajah tegang dengan tatapan mata tunduk. Mungkin mereka sejatinya memendam rasa dalam ketertundukan itu: mengapa pak guru tidak ada?
Seakan-akan mereka hendak mengatakan, lewat tatapan mata yang bergerak ke papan dan ke buku tulis, agar ‘orang asing’ ini selekasnya pergi, agar tidak perlu lebih lama lagi menyembunyikan diri dalam diam yang kaku... “Biarlah tidak ada guru asal kami tidak ditikami oleh kehadiran orang asing yang menatap kami dengan penuh pengadilan.” L’enfer, c’est les autres kata Jean Paul Sartre. Orang lain adalah neraka!
Anak-anak di kelas berdinding papan, di sekolah dengan halaman yang sangat berdebu, dengan atap seng yang telah parah berkarat, rumput-tumput nan rimbun di sekelilingnya, memamerkan wajah-wajah dingin tapi tanpa kebencian...  
Waghete. Jalan panjang yang berlumpur di musim hujan dan berdebu di musim kering. Jalan panjang untuk menjadi manusia.

*) Staf Peneliti pada Lembaga Pendidikan Papua

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut