Merajut Pendidikan Berkualitas

Selasa, Juni 01, 2010

Oleh: Marjohan. M.Pd

Kosa kata “Gap” yang berarti celah atau ketimpangan telah menjadi gangguan hubungan antar individu. Contohnya ada kata gap-communication atau gap- social , kita mengenalnya sebagai ketimpangan hubungan antara golongan yang kaya dengan golongan yang miskin, yang terdidik dan yang tidak terdidik. Kemudian ketimpangan antara orang yang berada di kota dengan orang yang berada di pedesaan.

Ketimpangan atau gap untuk pendidikan di negeri ini adalah dalam bentuk hubungan antara out put sekolah dengan kualifikasi tenaga kerja. Kualitas pendidikan di desa dengan yang di kota, kualitas pendidikan penduduk kaya dengan kualitas penduduk miskin, serta kualitas pendidikan di pulau Jawa dengan kualitas pendidikan di luar Jawa. Gap social tidak perlu kita lestarikan namun harus dicari solusinya.

Banyak orang sependapat bahwa pendidikan bisa menjadi solusi yang tepat untuk mengatasi ketimpangan yang ada di antara kita. Dewasa ini banyak masyarakat yang telah menyadari akan pentingnya arti membangun diri dan melengkapi diri dengan pendidikan. Dengan cara demikian maka pendidikan bisa menjadi engine of growth- sebagai penggerak dan lokomotif bagi pembangunan diri dan pembangunan bangsa ini.

Idealnya pendidikan yang kita peroleh harus mampu untuk mendorong semangat invention (penemuan hal-hal baru) dan semangat innovasi (melakukan perubahan yang positif). Namun pendidikan yang bagaimana ? Tentu saja pendidikan yang memberikan kreatifitas, kebebasan dan rasa aman dengan menyediakan banyak sarana/ fasilitas- melakukan identifikasi dan eksplorasi atau penjelajahan terhadap peserta didik (siswa-siswi)..

Paradigma pendidikan sekarang ini musti memberi penekanan pada proses learning (belajar) daripada teaching (mengajar) dan murid yang mandiri dalam belajar. Pendidikan yang berfokus pada learning (belajar) tentu bisa membuat anak didik lebih kreatif, apalagi bila mereka dikondisikan untuk melakukan eksplorasi yang banyak. Sementara peran guru sebagai fasilitator musti mampu memberi rasa aman dan kebebasan- tanpa banyak mendikte, mencela dan terlalu mengontrol mereka.

Karena dinamika pendidikan maka sekarang telah ada sekolah yang memberikan pelayanan berkualitas dalam mendidik: memberikan rasa aman dan kebebasan bagi anak didik mereka. Praktek ini tentu saja membuat murid semakin kreatif dan senang melakukan educational exploration. Namun bagi sebahagian sekolah yang lain adakalanya hal ini belum terwujud. Dari pengalaman di lapangan coba lihat tentang perilaku dan tujuan belajar sebahagian siswa-siswinya. Adalah fenomena bahwa banyak mereka yang tujuannya bersekolah adalah untuk memperoleh ijazah, sehingga proses belajar cenderung mereka abaikan karena ijazah lebih penting daripada learning. Ini berarti kerusakan mental bagi mereka. Untuk mencegah banyaknya anak didik yang bermental demikian, belajar hanya demi berharap selembar ijazah, maka diperlukan peran guru, peran sekolah dan peran rumah yang solid. Ini berarti bahwa guru musti berkualitas, kemudian sekolah dan rumah punya kultur dalam mendidik.

Anak yang bagus prestasi belajarnya adalah anak yang berasal dari rumah yang memelihara kultur belajar, maka sebagai konsekuensinya bahwa orang tua perlu membimbing anak. Mereka harus punya kegiatan yang terstruktur di rumah- anak tahu kapan waktu untuk belajar, bermain, dan membantu orang tua. Kemudian mereka suka berdiskusi dengan orang tua, atau orang tua mengajak mereka berdiskusi. Orang tua juga harus punya informasi tentang belajar anak di sekolah, mengetahui bagaimana plus dan minus belajar anak. Anak yang tidak terlatih dan terbimbing seperti kondisi hal di atas tentu akan gagal. Kegagalan juga bisa disebabkan oleh waktu atau kegiatan yang tidak terstrukur, tidak ada dialog tentang pendidikan di rumah atau orang tua yang masa bodoh tentang belajar anak.

Seberapa pentingkah kultur edukasi di sekolah? Untuk memajukan pendidikan maka diperlukan peran guru yang punya kemampuan pada mastery learning, critical thinking, decision making dan communication. Kemudian juga diperlukan guru yang mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi untuk menghadapi perubahan kurikulum. Untuk menjadi guru yang cerdas dengan mastery learning, maka kita perlu pembiasaan otodidak- membiasakan diri dengan konsep long life education. Untuk menjadi kritis maka guru perlu berkomunikasi dan membuka diri.

Kadangkala sekolah bisa ibarat sebuah department store (toko serba ada) yang menyuguhkan barang dagangannya dalam bentuk variasi mata pelajaran- matematika, KWN, olah raga, agama, bahasa, dan lain-lain. Semua mata pelajaran tersebut dapat dikelompokan ke dalam mata pelajaran numerasi dan mata pelajaran literasi. Numerasi berarti mata pelajaran yang berkaitan dengan angka-angka , sementara literasi adalah mata pelajaran yang berhubungan dengan literatur atau bahasa. Memang bahwa pendidikan lama berfokus pada kemampuan verbal (bahasa) dan logika (matematik). Namun sekarang, teori pendidikan yang baru, yang fokusnya adalah untuk pengembangan kemampuan berganda dalam mendidikan anak- multiplied ability dengan penekanan pada pemahaman space, kinestetik, music, intrapersonal, interpersonal, alam, logika dan verbal.

Adalah lazim kalau dahulu orang tua menuntut agar jago dengan pelajaran berhitung (matematika) dan menganggap anak sebagai siswa pemalas kalau ternyata lebih suka dengan bola dan kegiatan olah raga. Padahal lewat kegiatan olah raga tersebut sang anak bisa menjadi olahragawan handal, seperti Diego Maradona, Ronaldo, dan lain-lain. Atau sang orang tua mencela anak yang kerjanya menyanyi melulu dan memaksanya untuk mengikuti kursus bahasa Inngris, pada hal kemampuan menyanyi itu bisa mengantarkan anak menjadi presenter dan entertainer yang jitu. Maka untunglah bahwa sekarang pendidikan berpihak pada pengembangan kepintaran berganda anak didik.

Selanjutnya bahwa untuk implikasi pendidikan jangka panjang maka kita perlo mendorong anak untuk mengembangkan basic skil, thinking skill dan personal skill. Basic skill meliputi kemampuan berhitung, berbicara, menulis, mendengar dan kemampuan membaca yang tinggi -counting, speaking, writing, listening, dan reading yang tinggi. Sebagai interprestasi bahwa betapa penting bagi setiap orang tua sejak dini mengajak anak agar bermain-main dengan angka, (Upik …kalau di rumah ini ada lima orang, maka berapa jumlah tangan…?), kemudian juga membudayakan acara kebersamaan untuk membaca dan melakukan bincang-bincang keluarga. Demikian pula halnya bagi sekolah agar bisa menyusun agenda ekskul (ekstra-kurikuler), mungkin merancang kegiatan lomba cerdas cermat, lomba debat dan pidato, serta mengaktifkan koran sekolah dan perpustakaan sekolah.

Untuk thinking skill meliputi kreatifitas, problem solving (pemecahan masalah), dan visualizing (Kemampuan memandang masalah), kemudian personal skill meliputi self management atau mengendalikan diri, tanggung jawab, jujur dan socialibility. Implikasinya adalah bahwa guru dan orang tua harus menghargai bentuk fikiran anak. Mereka harus mendengar ekspressi anak sejak usia dini. Tidak tepat lagi dalam acara kebersamaan ayah dan ibu menganggap anak selalu sebagai anak bawang- kehadiran mereka hanya sebagai pelengkap, suara mereka tidak begitu digubris. Juga sangat tepat bila orang tua dan guru menghargai sosial anak, menghargai nilai pergaulan dan kebersamaan mereka. Disini sangat diharapkan pengembangan emosi- emosional quotient atau kecerdasan bergaul anak.

Tentu saja orang tua dan guru mempunyai peran strategis dalam mengembangkan emosi siswa mereka. Dari gaya kepemimpinan, maka kepemimpinan demokrasi adalah sangat pas dan berkontribusi dalam meningkatkan kehangatan emosi anak. Cara lain untuk meningkatkan EQ (emotional quotient) anak adalah dengan mengkondisikan mereka banyak bergaul. Tentunya pergaulan yang terkontrol (bukan hura-hura dan kongkow-kongkow melulu) dan melakukan aktivitas sosial. Kemudian anak juga perlu melakukan kegiatan dalam bidang olah raga dan kesenian agar bersikap lincah dan energik.

Menjadi siswa yang hebat dalam pandangan pendidikan pada zaman sekarang bukan berarti seorang siswa harus membenamkan kepalanya dalam buku melulu, menghafal rumus-rumus, kalimat per kalimat tanpa melupakan titik dan komanya. Mengajar tidak lagi berarti meringkaskan buku buat anak didik dan mendiktekanya bila sang guru letih dalam mencatatkanya. Selanjutnya dalam proses pembelajaran siswa tidak tepat lagi kalau menjadi penonton dan pendengar melulu.

Namun disinyalir dalam praktek pendidikan masih banyak gaya mengajar si pendidik yang bersifat “CMGA” atau cara mengajar guru aktif dengan gaya murid yang “DDCH” atau duduk, diam, catat dan hafal (Zamroni, 2000:31-32). Seharusnya siswa musti diusahakan dan dikondisikan agar menjadi aktif, karena mereka adalah sebagai pelaku dan pemain dalam pendidikan. Guru sebagai fasilitator dan bukan berarti sebagai sumber ilmu lagi. Sekolah harus sebagai tempat yang menyenangkan dan bukan sebagai tempat yang membosankan. Guru juga musti aktif dan memberikan model dalam kultur edukasi sekolah, anak didik diusahakan berani untuk berbicara- menyampakan gagasan. Motivasi belajar di sekolah tidak tepat lagi sekedar untuk ujian saja, namun musti berfokus pada proses learning.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencerca dan menjelekan pendidikan negeri sendiri, namun adalah sebagai otokritik. Bahwa sampai detik ini kondisi pendidikan kita apakah di tingkat SLTP, SLTA maupun di tingkat perguruan tinggi masih banyak yang bersifat one way direction, sang dosen paling getol dengan sistem ceramah. Guru-guru di tingkat SLTP dan SLTA dituntut untuk menggunakan berbagai metode pembelajaran. Sementara mereka (para dosen) terkesan bebas dari tuntutan dan bersikap arogan dalam menerapkan model pembelajaran (perkuliahan)yang bercirikan student-centered. Mereka memberi kuliah sesuka mereka tanpa ada yang melakukan supervisi. Pendekatan ini di tingkat SD, SLTP dan SLTA tak dapat merangsang murid untuk belajar keras sehingga daya serap jadi rendah.

Dalam praktek edukasi masih ada yang musti diubah, misal tentang gaya pelayanan. Coba lihat gaya kepemimpinan di sekolah, masih ada kepemimpinan kepala sekolah dengan gaya komando, guru yang terlalu dominan dan siswa yang kurang aktif. Fokus sekolah selalu nilai/ NEM dan sedikit agak mengabaikan aspek proses. Maka ini harus diubah menjadi gaya kepala sekolah dengan managemen berbasis sekolah, menghargai kreativitas guru tidak perlu lagi dominan, karena mereka bukanlah sumber belajar, kecuali hanya sebagai fasilitator dan motivator. Eksistensi NEM dan nilai tidak perlu dibesar-besarkan kalau itu hanya bersifat instan dan rekayasa. Proses pembelajaran atau learning musti dipandang sebagai pokok dari edukasi. Individual learning telah menghasilkan siswa yang berotak, namun yang lebih tepat sekarang adalah cooperative learning yang menghasilkan siswa yang berotak dan berhati, bagus IQ nya dan mantap EQ nya. Untuk menyonsong pendidikan yang berkualitas maka kuncinya adalah tentu kultur edukasi dengan merajut pendidikan yang juga berkualitas.



(Marjohan M.Pd, guru SMAN 3 Batusangkar, juga penulis buku School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah).. .

(Catatan: Zamroni (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishing).
------------
Sumber: wikimu.com

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut