Apa Kabar Sarjana Papua?

Kamis, Juni 24, 2010

Mencermati kiprah dan perjalanan sarjana Papua, kita patut prihatin.  Sarjana seharusnya memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen perubahan justru jauh dari harapan. Sarjana di Papua justru banyak yang mengalami degradasi intelektual. Mereka tidak dapat membaca realitas sosial yang ada di hadapannya yang carut-marut. Kenyataan semacam ini masih diperparah lagi dengan minimnya pengalaman.
               
Kebanyakan masyarakat Papua beranggapan bahwa yang namanya sarjana merupakan salah satu insan yang memiliki suatu "kelebihan" (keistimewaan) dan patut dibanggakan. Masyarakat beranggapan bahwa para sarjana memiliki bekal teori yang sangat kuat dan kritis, sehinga sanggup untuk menjadi agen perubah. Pemikiran itu sudah mendarah daging dalam benak pikiran kita sejak dahulu. Namun yang terjadi, kita selalu mengunggul-ngunggulkan para sarjana dibandingkan dengan mereka yang tidak memunyai gelar sarjana. Padahal, pada realitas yang terjadi, agaknya statemen seperti tersebut sudah tidak cocok jika dikontekskan dengan keadaan sekarang di tanah Papua.
               
Banyak pihak menuding,  kemampuan teori dan praktis mahasiswa Papua di lapangan memprihatinkan. Sarjana Papua dekade sekarang ini bisa dikatakan sangat miskin terori dan juga tidak cakap untuk membaca gejolak sosial. Sehingga mereka hanya menjadi sarjana yang hanya menyandang gelar. Sungguh kenyatan yang benar-benar menyayat hati dan mencoreng identitas Papua.
               
Kenyataan semacam ini terbukti dengan banyaknya sarjana yang mengganggur (tidak melakukan sesuatu setelah lulus). Lebih banyak hanya menunggu tes PNS. Ini mungkin karena hakikat instansi pendidikan (Universitas) di Papua mengalami kegagalan dalam menjalankan misinya.
               
Sarjana lulusan Universitas di Papua secara umum sangat rendah, atau dengan kata lain sarjana Papua miskin intelektual. Sehingga secara tidak langsung menghambat perjalanan mutu pendidikan Papua. Penyebab minimnya intelektualitas para lulusan sarjana ini setidaknya disebabkan oleh dua hal.
               
Pertama, ketidaksinambungan kurikuler (Curricular Mismatch) pendidikan pra-universitas dengan pendidikan universitas. Dan yang kedua misorientasi pendidikan universitas. Setidaknya dua faktor inilah yang merupakan penghambat serta membuat para mahasiswa enggan untuk berekspresi, sehingga universitas hanya melahirkan mahasiaswa yang oportunis dan apatis. Oleh karena lemahnya mutu intelektualitas, maka semakin banyak pula para sarjana yang menganggur, karena kalah bersaing.
Berbicara tentang sarjana Papua tidak terlepas dari proses  yang terjadi dan dilalui di dalamnya selama mereka menempuh jenjang pendidikan. Justru kedua hal tersebutlah yang pada akhirnya akan menentukan bermutu tidaknya, serta matang mentahnya mutu kesarjanaan yang mereka sandang nantinya.
               
Salah satu penyebabnya menurut Prof. Djojodiguno "memang bocah Indonesia sejak bayi tidak pernah diajari untuk bertanya dan bersikap kritis, sehingga sampai sarjana sekalipun mereka tidak akan pernah memiliki rasa ingin tahu. Padahal, heran itu pangkal pandai.”
               
Diakui bahwa memang sejak mulai dari rumah anak-anak sudah dilatih dan dididik hanya untuk mendengarkan dengan tenang segala perkataan tanpa harus ada komentar yang dikeluarkan sedikit pun. Komentar boleh keluar jika memang benar-benar dibutuhkan, dan itupun hanya terbatas. Anak tidak diperbolehkan berbicara semaunya. Alhasil, anak didik tidak akan pernah memunyai nalar kritis sedikit pun, hanya menurut apa yang ia dengar.

Berpikir Praktis
Dalam bukunya yang berjudul  "Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan" Yudi Latif mengatakan bahwa kesalahan fatal yang mungkin sering diperbuat oleh sarjana adalah ketika memasuki jenjang perguruan tinggi mereka lebih berorentasi pada sesuatu yang sifatnya praktis. Kebanyakan tujuan dari mahasiswa bukan untuk memburu ilmu ataupun mengasah pisau analisis, agar dapat membaca relitas sosial. Akan tetapi lebih mengedepankan atau untuk mengejar gelar dan ijazah sebagai legitimasi serta persyaratan dalam memudahkan untuk mendapatkan pekerjaan dengan yang menggiurkan.
               
Berpikir untuk ke arah lapangan kerja dan gelar memang bukan merupakan suatu dosa. Apalagi jika diikuti dengan prestasi yang memadai. Namun sayangnya, banyak mahasiawa yang justru tanpa ditopang oleh pengetahuan ilmu dan pendidikan yang memadai. Yang lebih memprhatinkan lagi, kesilauan terhadap "hantu status" ini telah banyak melahirkan mahasiswa yang oportunis.
               
Segalanya bisa diatur, yang penting bisa mengikuti ujian, nilai bagus, tidak pernah membuat kesalahan, apalagi menyangkal kehendak dosen. Adegan-adegan seperti titip tanda tangan, memelihara hubungan baik, skripsi aspal (asli tapi palsu), merupakan dinamika jalan pintas yang acap kali diperagakan dalam dunia kampus republik yang bertaburkan dengan "kampus ilmiah".
               
Jadi tidaklah mengherankan misalnya ketika banyak pelajar yang berbondong-bondong masuk ke fakultas ilmu pemerintahan. Kebanyakan tujuannya bukan untuk memperbaiki birokrasi pemerintahan yang carut-marut dan berkompetensi dalam bidangnya. Akan tetapi karena lebih dikedepankan egonya yang tergiur dengan tawaran dan godaan menjadi OKB—orang kaya baru—setelah menduduki suatu jabatan di pemerintahan.

Pengkhianatan Intelektual
Bagaimana pun juga, jika memperbincangkan perihal mutu dan kualiatas dari sarjana Papua memang sangat mengharukan serta memprihatinkan. Bagaimana tidak, sebab banyak sarjana Papua yang hanya berorientasi praktis dan belum memunyai nilai sosial yanng tinggi. Para sarjana Papua kebanyakan hanya berpikir untuk cepat selesai kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang memadai. Alhasil yang mereka pikirkan juga hanya kepentingan mereka sendidri-sendiri, tanpa memikirkan bagaimana nasib masa depan bangsa Papua ke depan.
               
Polemik tentang peranan sarjana dalam pembangunan bangsa-negara memang sudah ada sejak lama. Namun, masih ada keluhan menyangkut pengkhianatan intelektual. Dalam artian, banyak sarjana Papua yang tidak peka terhadap masyarakatnya, terhadap perkembangan kesejahteraan rakyat dan pembangunan. Dan, sarjana semacam inilah yang telah melakukan pengkhianatan terhadap intelektual.

Namun, apa hendak mau dikata, nasi telah menjadi bubur. Semua itu sudah terjadi di tanah Papua. Namun, sebenarnya kita bisa saja memperbaiki kepincangan-kepincangan yang sedang dihadapi oleh para sarjana muda di Papua yang kita ciptakan. Asalkan ada keinginan dan harapan yang kuat, pasti semua itu bisa diperbaharui. Mutu pendidikan bisa ditingkatkan, meskipun membutuhkan waktu yang relatif lama. Sebab bagaimana pun juga sarjana Papua  diakui atau tidak merupakan agen of change yang nantinya menentukan maju tidaknya bangsa Papua. [Yermias Degei, Sekretaris Lembaga Pendidikan Papua]
----------------------------------

Sumber: Majalah SELANGKAH Edisi Januari-Maret 2010 

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bpk jelaskan problem real namun solusi yg di tawarkan tak ada dan real action utk selesaikan persoalan pun tdk ada.

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut