PT dan Mahasiswa Papua

Minggu, Mei 02, 2010

Tulisan ini adalah tajuk rencana pada majalah Selangkah edisi Januari-Maret 2010. Jika Anda ingin membaca tulisan-tulisan edisi ini segera mengontak redakasi ke alamat email: selangkah_kpp@yahoo.com.

Oleh Yermias Degei*)


Perguruan Tinggi (PT) adalah lembaga pendidikan jenjang terakhir dari hirarki pendidikan formal. Ada tiga misi yang diemban oleh PT, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Tri Dharma PT).

Tiga misi ini tidak ringan untuk direalisasikan. Misi pendidikan merupakan proses berlangsungnya pewarisan ilmu pengetahuan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Proses alih generasi harus diikuti dengan proses alih ilmu pengetahuan. Pewarisan ilmu pengetahuan membutuhkan pengembangan konsep atau teori ke arah konsep atau teori yang lebih baik. Usaha pengembangan teori atau konsep dilaksanakan secara sistematis dan melalui prosedur ilmiah yang dikenal dengan ‘penelitian’. Perlu dicatat bahwa usaha pewarisan dan pengembangan ilmu pengetahuan harus memiliki pijakan dan relevansi dengan kondisi masyarakat yang nyata, yakni pengabdian masyarakat.

Berdasarkan misi yang diembannya maka dapat dikatakan bahwa PT memunyai dua peran, yaitu sebagai lembaga kajian dan sebagai lembaga layanan. Sebagai lembaga kajian maka PT mengembangkan ilmu sebagai proses, sedangkan perannya sebagai lembaga layanan menghasilkan ilmu sebagai produk. Dalam posisi sebagai lembaga kajian dan lembaga layanan maka PT berfungsi sebagai konseptor, dinamisator dan evaluator pembangunan masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Fungsi konseptor terwujud melalui produk ilmiah yang dihasilkannya. Melalui serangkaian tindakan imiah yang dilaksanakan, PT hendaknya mampu memprediksi kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa depan, tetapi pada saat itu juga memiliki kemampuan menyusun suatu teori atau konsep yang dibutuhkan pada masa kini (realitas kehidupan nyata saat ini).

Fungsi dinamisator secara langsung terlihat pada lulusan PT yang terdiri dari tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat berperan di dalam masyarakatnya. Sehingga tenaga-tenaga ahli tersebut dapat berperan sebagai dinamisator dalam laju pembangunan masyarakat. Banyaknya tenaga ahli lulusan PT yang terlibat dalam gerak pembangunan dimungkinkan timbulnya pemikiran-pemikiran baru, langkah-langkah inovatif yang konsepsional dan lahirnya aspirasi-aspirasi baru.

Selanjutnya fungsi evaluator dilakukan bersama-sama oleh segenap warga sivitas akademika di dalam PT melalui penelitian terhadap berbagai dampak pembangunan. Dengan pengertian yang lebih luas maka PT hendaknya mampu bertindak sebagai pelopor pembaharuan dan modernisasi. Kemudian bersamaan dengan itu PT mampu pula bertindak sebagai agen perubahan sosial sekaligus sebagai pengawas sosial, sehingga dapat memberi warna terhadap arah laju perkembangan dan pembangunan masyarakat.

Untuk mewujudkan peran PT seperti yang diungkapkan di muka maka dalam proses belajar mengajar di PT perlu dikembangkan kultur kebebasan mimbar. Pengembangan kultur kebebasan mimbar tersebut diupayakan untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa. Dalam kehidupan PT, pemanfaatan mimbar ilmiah dalam meningkatkan kepekaan mahasiswa adalah tidak terlepas dari karakter khas dan fungsi PT itu sendiri yaitu membentuk insan akademik intelektualis yang dapat mempertanggungjawabkan kualitas keilmuannya dan membentuk insan akademis yang mengabdi terhadap masyarakat.

Jadi, ada dua manfaat yang mendasar dari mimbar ilmiah, pertama untuk meningkatkan kepekaan kualitas intelektual mahasiswa, dan kedua untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa terhadap masyarakat (lingkungannya). Upaya mendasar agar aplikasi pemanfaatan mimbar ilmiah itu bisa terselenggara maka harus tercipta kultur kebebasan mimbar yang didukung oleh semua komponen PT. Kultur kebebasan mimbar bisa terwujud jika didukung adanya kebebasan belajar dan kebebasan berkomunikasi.

Oleh karena implikasi PT tidak terlepas dari pengabdian masyarakat, maka kebebasan belajar harus diartikan secara luas, yaitu tidak hanya terbatas pada dinding-dinding kampus, akan tetapi juga kebebasan untuk mempelajari persoalan-persoalan yang ada di luar dinding-dinding kampus. Dan, kebebasan untuk mempelajari masalah riil dalam masyarakat ini adalah fokus yang terlebih penting dalam mencetak mahasiswa yang betul-betul berurusan dengan masyarakatnya.

Dalam konteks Papua yang carut-marut ini misalnya, ilmu yang dipelajari oleh mahasiswa berasal dari dunia luar yang kondisinya lain dengan apa yang ada dalam masyarakat Papua. Sebagai konsekwensinya apabila konsep-konsep serta teori yang datang dari luar tersebut mau digunakan untuk memecahkan problem-problem masyarakat Papua maka memerlukan modifikasi dan penyesuaian (berbasis konteks).

Selanjutnya, untuk meningkatkan kepekaan mahasiswa dalam memperluas cakrawalan pemikiran dan penalaran, menumbuhkan sikap dinamis, kritis, terbuka dan memunyai kemampuan untuk memilih alternatif terbaik diperlukan terciptanya budaya kebebasan berkomunikasi. Perlu adanya peluang bagi mahasiswa untuk berpendapat, bertanya, berhak untuk melontarkan gagasan ilmiah secara obyektif serta kebebasan untuk penyebaran ilmu pengetahuan dan publikasi hasil-hasil penelitian dan pengamatan kepada seluruh komponen PT dan terutama di lingkungan masyarakatnya.Hubungan kerjasama antara mahasiswa dengan komponen-komponen di lingkungan PT dalam kegiatan-kegiatan ilmiah seperti seminar, diskusi, pers, dan sebagainya adalah penting.

Konsep ini ideal dan idealistis di tengah tudingan bahwa PT di Papua justru mencecak sarjana secara instant—terutama PT yang ada di kabupaten-kabupaten di Papua. Banyak lulusan yang secara pengetahuan, daya kritis, dan kepekaan sosial lemah. Terlepas dari realitas fasilitas dan staf pengajar yang memang harus dibenahi, refleksi tentang Tridarma PT menjadi suatu keharusan di tengah realitas sosial rakyat Papua di era Otonomi Khusus (Otsus) yang mengisahkan tanda tanya. Kita mesti berpikir lagi supaya sarjana-sarjana yang dihasilkan itu tidak lagi minta hak berlogokan Otsus.

Kita menginginkan sarjana-sarjana Papua yang peka dengan kehidupan mereka yang sebenarnya—bukan kehidupan yang diciptakan. Kita semua pasti menginginkan sarjana-sarjana yang lahir dari realitas kita hari ini untuk mengatasinya.
*) Sekretaris Lembaga Pendidikan Papua (LPP).



0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut