Menyoal Usaha Kecil yang Terpinggirkan

Sabtu, April 25, 2009

Oleh Mateus Ch. Amoye Auwe*)

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 Tentang Usaha Kecil secara tegas menyatakan tujuan pemberdayaan usaha kecil adalah (1) menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha menengah, dan (2) meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkokoh struktur perekonomian nasional.

Sejak adanya otonomi daerah, sepertinya pemberdayaan dan pendekatan terhadap usaha kecil ini menjadi kambing hitam ketika pemerintah daerah tidak mampu mengembangkan perekonomian lokal yang ada di daerah. Banyak usaha kecil di daerah yang meningggalkan usahanya atau gulung tikar, ini disebabkan karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap usaha kecil. Mestinya menjadi refleksi bersama bahwa keberhasilan pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonomi lokal di wilayahnya sangat tergantung pada instrumen pembangunan yang dimiliki. Dengan adanya otonomi daerah, peluang untuk memberdayakan usaha kecil sangatlah besar namun di samping itu juga besar pula tantangannya. Tantangan tersebut adalah sumber daya manusia, modal, pasar, fasilitas dan kebijakan pemerintah dalam hal ini.

Pengembangan usaha kecil seperti ini sangatlah dekat dengan kaum perempuan. Di sisi lain hal ini memberikan peluang bagi perempuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatan produktif, lain sisi juga kondisi usaha kecil ini sendiri sering berada dalam kondisi buruk dan tidak mengalami perubahan, alias jalan tempat. Hal ini terjadi karena kekurangan modal, pasar, fasilitas dan masih nampak budaya patriarkhi (mengutamakan laki-laki).

Kuatnya budaya patriarkhi ini juga menyebabkan (1) tidak mandirinya perempuan dalam mengambil keputusan, (2) terbatasnya akses mereka dalam mengambil suatu keputusan, (3) mencari nafkah tambahan,(4) sering terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat penyebab itulah yang menjadikan ruang gerak bagi kaum perempuan terbatas. Dan khusus bagi perempuan, hambatan ini tidak saja dari sisi usaha tetapi dari sisi relasi gender yang sudah mentradisi.

Terlepas dari itu, pada bulan Maret tepatnya saat pesta paskah, saya menyaksikan kegiatan usaha kecil Santa Theresia yang dikembangkan oleh ibu-ibu WK (Wanita Katholik) di kampung Egebutu, Kecamatan Kamuu, Kabupaten Nabire. Tengah menyaksikan kegiatan mereka, saya bertanya: Apa masalah yang dihadapi dengan usaha kalian ini? Secara spontan ketua dari usaha kecil mereka ini (Petenella Pekey) menjawab: modal, pasar dan fasilitas.

Kemudian pertanyaan saya selanjutnya: Apakah sudah pernah mengajukan proposal ke pemerintah daerah untuk mengembangkan usaha ini? Jawabnya: sudah pernah mengajukan namun belum pernah dijawab katanya. Lanjutnya lagi untuk mengajukan proposal ini mereka sudah mendapatkan rekomendasi dari pemerintah kecamatan Kamuu (Petrus Agapa) dan pastor paroki setempat (Tartisius Awe) yang juga pernah mengunjungi dan menyaksikan secara langsung usaha kecil mereka.

Sungguh kasihan usaha kecil yang dikembangkan oleh masyarakat yang ekonominya lemah ini tidak diperhatikan dengan baik oleh pihak manapun. Kemudian dari sini ada pertanyaan yang muncul yaitu: Di manakah lembaga keuangan mikro? Apa manfaat dari keuangan mikro itu? Yang mana era Otsus ini merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan lembaga keuangan mikro.

Dari usaha yang dikembangkan ibu-ibu WK Santa theresia ini adalah pengolahan makanan, kerajinan tangan seperti: membuat taplak meja, baju belero, topi, kain jendela dari benang woll, tikar tradisional dari daun pandan dan beberapa usaha yang bisa menambah kas mereka. Sementara itu juga ada keinginan mereka untuk menambah usaha yang menurut mereka mampu, namun hambatannya kembali kepada modal, pasar dan fasilitanya.

Untuk mendorong usaha kelompok ini beberapa kali pernah mendapatkan bantuan berupa benang woll dari pastoran dan susteran setempat. Modal menjadi hambatan besar bagi mereka untuk memproduksi kapasitas produksi yang lebih banyak jumlahnya. Di samping kekurangan dana, pasar untuk mendistribusikan produk mereka juga hanya sebatas wilayah kecamatan Kamuu. Ibu-ibu WK ini sangat senang mendapat pasar yang lebih luas lagi.

Semua anggota dari WK Santa Theresia ini berlatarbelakang petani sehingga sangat rendah sumber daya manusianya. Namun demikian dengan semangat, waktu, tenaga, pikiranan lainnya pun mereka korbankan. Modal usaha kecil kelompok ini berawal dari sumbangan wajib setiap anggota, kemudian lambat laun usahanya mulai dikembangkan. Namun demikian kendala utama adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Sehingga usaha kecil seperti ini pemberdayaan terhadap sumber daya manusia dan harus diprioritaskan.

Sumber Daya Manusia merupakan modal utama dalam melakukan usaha-usaha tersebut. Apa jadinya setiap usaha yang dilakukan masyarakat tanpa sumber daya manusia yang memadai. Membangun sumber daya manusia ini lewat pelatihan, karena merupakan salah satu upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia para pelaku usaha kecil sehingga memiliki kemampuan dan keterampilan dalam menglola usaha sehingga tumbuh dan berkembang mengikuti arus globalisasi.

Memang pemberdayaan terhadap masyarakat bawah adalah proses. Keberhasilan proses ini bukan hanya karena pengetahuan dan keterampilan menyangkut pemberdayaan dan pembangunan, namun seluruh unsur terkait dalam program. Keterkaitan antara seluruh unsur ini merupakan salah satu pondasi atau dasar untuk mengembangkan setiap usaha. Di samping itu, budaya patriarkhi harus dihilangkan karena usaha kecil seperti itu sangat dekat dengan kaum perempuan.

Dunia semakin tak bersahabat dengan kita. Pasar global yang berwajah kapitalisnya hanya berpihak kepada yang kuat. Mereka yang lemah dalam ekonomi hanya menjadi konsumen yang setia bagi mereka di dalam rumah besar yang disebut globalisasi ini. Terutama bagi kalangan usaha kecil, globalisasi ini menjadi ancaman yang sangat serius, jika kesiapan sumber daya manusia, modal, pasar dan lainnya belum dipersiapkan. Kita lihat di daerah kita pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian dan kerajinan. Kedua bidang ini menjadi basis ekonomi rakyat. Tetapi selama Otsus berjalan, kedua bidang ini hanya jalan di tempat. Padahal daerah lain mengalami lonjakan yang sangat berarti dan mereka dengan santainya menantikan datangnya globalisasi.

Era Otsus merupakan peluang untuk memberdayakan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan keuangan mikro.Banyak cara yang dilakukan pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil tapi di sini saya hanya memfokuskan pada (1) membangun sumber daya manusia terlebih dahulu, karena jika SDM dibangun maka pembangunannya dengan sendirinya akan datang; (2) memberikan modal dan memfasilitasi kepada usaha kecil yang ada; (3) mencari pasar yang bisa mendistribusikan produk mereka dalam rangka meningkatkan daya saing; (4) jaringan antara usaha kecil yang satu dengan yang lainnya, yang bisa menjadi pelengkap bagi usahanya; (5) mengutamakan pengembangan potensi lokal dan masyarakat pribumi.

Dampak pemberdayan masyarakat adalah kemandirian masyarakat dalam mengatasi permasalahan mereka melalui kreatifitas untuk meningkatkan kualitas hidup. Maka Otsus membuat pemerintah semakin dekat, mengenali dan memahami masyarakat, sehingga fungsi pemerintah sebagi fasilitator berjalan baik. Dalam hal ini, rakyat bukan merupakan obyek tapi sebagai subyek yang determinan sebagi pelaku, baik dalam perencanaan maupun dalam tindakan. Dengan demikian Otsus merupakan titik tolak, sekaligus dipahami sebagai sebuah penyelenggara daerah ayng berbasis rakyat atau people dividen.

Berdasarkan pasal 33 UUD 1945, maka ekonomi masyarakat adalah suatu situasi perekonomian yang di dalamnya terselenggara berbagai kegiatan ekonomi dengan melihat partisipasi dari semua masyarakat. Sehingga kebijakan pemerintah daerah menentukan keberhasilan pembinaan usaha kecil serta sebaliknya pelaksanaan pembinaan akan mendorong keberhasilan pelaksanaan Otsus, dan di sinilah kesejahteraan masyarakat yang kita bersama dambakan itu terwujud. Semoga!

*) Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Universitas Teknologi Yogyakarta
-----------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH


BACA TRUZZ...- Menyoal Usaha Kecil yang Terpinggirkan

Membangun Ekonomi Orang Asli Papua?!

Oleh Longginus Manangsang*)

Memburuknya tatanan ekonomi Indonesia dan krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menerpa bangsa Indonesia mengakibatkan rakyat semakin menderita dan sulit untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Pemerintah seakan kehilangan akal untuk mencari alernatif bentuk dan tatanan perekonomian yang lebih berkeadilan dan lebih mampu melindungi kalangan masyarakat kelas marjinal di Indonesia yang diperparah dengan melonjaknya angka penganguran.

Dalam konteks Otonomi Khusus (Otsus) di Papua, pembagunan ekonomi kerakyatan sangat penting untuk rakyat asli Papua, hal ini dimaksudkan agar rakyat asli Papua mampu bersaing dengan golongan pendatang. Dana Otsus yang besar seakan tidak mampu mengubah ketepurukan ekonomi rakyat asli Papua yang rata-rata masih jauh dari kesejahteraan yang mestinya mereka peroleh.

Ekonomi Kerakyatan
Menurut Mubyarto (2001), sistem ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang memihak pada kepentingan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah sektor ekonomi yang mencakup usaha-usaha kecil, menengah dan koperasi sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Sementara ekonomi kerakyatan berdasarkan TAP MPR IV/1999 disebutkan pengertian ekonomi kerakyatan adalah pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah, dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpuh pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.

Arah kebijakan ekonomi ditujukan untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat.

Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa ekonomi kerakyatan berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat kecil. Rakyat asli Papua yang berada pada era Otsus seakan jauh dari yang mestinya mereka pahami dan peroleh dari pemerintah sebagai pengayom. Bila kita melihat lebih jauh pembangunan ekonomi kerakyatan oleh pemerintah untuk rakyat, yang berasal dan berakar pada rakyat belum terlalu penting.

Pembangunan Ekonomi kerakyatan yang bertumpuh pada kemampuan dan kemandirian rakyat dalam mengambil keputusan pengelolaan sistem usaha yang sesuai dan dinamis adalah merupakn hal dasar yang sangat penting dan harus menjadi prioritas. Namun, bukan berarti melupakan pembangunan di bidang lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Dengan melihat potensi daerah di Papua, ekonomi kerakyatan yang mestinya dikembangkan dengan sistem ekonomi pertanian rakyat yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Pertanian kerakyatan merupakan pertanian yang berkelanjutan yang tidak membawa dampak samping bagi kesehatan dan kesejahteraan hidup rakyat dan lingkungan hidup di pedesaan. Pertanian kerakyatan merupakan kegiatan pertanian yang dilaksanakan sendiri oleh rakyat secara profesional, berdaya saing dengan memanfaatkan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pilar utama atau kekuatan utama pelaksana pertanian kerakyatan adalah usaha kecil, menengah dan koperasi. Sumber daya manusia yang berdaya saing, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan berarti bahwa sumber daya manusia yang memahami dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan. Demikian juga pada sektor pertanian, SDM yang akan menjadi pelaksana pertanian kerakyatan harus memahami prinsip, falsafah dan praktik pertanian berkelanjutan. Pada konsideran UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman butir (b) dinyatakan bahwa sistem pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan perlu ditumbuhkembangkan dalam pembangunan pertanian secara menyeluruh dan terpadu.

Pertanian berkelanjutan merupakan pengelolaan sumber daya alam dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan yang dilaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat menjamin pemenuhan dan pemuasan kebutuhan manusia secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan mendatang (FAO, 1989). Pembangunan di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan harus mampu mengkonservasi tanah, air, tanaman dan sumber genetik binatang, tidak merusak lingkungan, secara teknis tepat guna, secara ekonomi layak dan secara sosial dapat diterima.

Membangun Ekonomi Rakyat Asli Papua
Dinamika pembangunan di Papua seakan melupakan pembangunan ekonomi kerakyatan. Pemerintah benar-benar sibuk pada urusan birokrasi. Para elit politik lokal berkonspirasi untuk mengejar tampuk kekuasaan, sementara rakyat dididik untuk berharap yang instant.

Pembangunan yang diarahkan pada ekonomi kerakyatan diharapkan rakyat dapat bersaing dengan golongan pendatang yang rata-rata adalah golongan ekonomi menegah dan atas. Hal ini diharapkan mengantarkan rakyat asli Papua agar dapat dihargai sebgaimana mestinya di tanahnya sendiri.

Banyak daerah dimekarkan dengan maksud untuk kesejahteraan, akan tetapi sepertinya ekonomi rakyat asli Papua tetap saja morat marit, dan hal ini dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan dimanfaatkan oleh saudara-saudara kita yang datang untuk mencari hidup di tanah Papua dengan membaca peluang yang ada.

Dengan demikian adalah keliru jika ada yang mengatakan Otsus akan mensejahterakan rakyat asli Papua. Secara politik memang kita telah diberikan Otsus dari pemerintah pusat, namun itu tidak semuanya, nyatanya hinggakini kita tetap saja tidak mampu untuk melaksanakan otsus dengan sepenuhnya. Namun hal yang terpuruk adalah bahwa kenyataannya masih ada neokolonialisme yang bersarang dalam struktur ekonomi-politik di Papua. Struktur neokolonial yang menciptakan penderitaan berkepanjangan bagi sebagian besar rakyat Papua sementara sebagian orang serakah, hidup sejahtera dengan harta yang berlimpah.

Mentalitas masyarakat asli Papua harus berubah, yang tadinya citra anggota parlemen dan pejabat negara berorientasi pada kekuasaan dan feodal harus menjadi demokratis yang bertumpu pada kemanusiaan dan keadilan sosial. Rakyat asli Papua membutuhkan pemerintahan yang berorientasi pada rakyat, menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Bukan pemerintah yang jauh dari jati dirinya yang luhur sebagai wakil dan pelayan rakyat.

Untuk itulah, perjuangan Otsus belum berakhir sampai di sini. Jutaan rakyat Papua hidupnya masih dibelenggu oleh kemiskinan dan kemelaratan. Kemiskinan penduduk di sini erat sekali kaitannya dengan ekonomi kerakyatan. Seperti itulah pembagunan di Papua yang berlogo Otsus.

Terlepas dari pembahasan di atas, proses pemberdayaan ekonomi rakyat adalah merupakan upaya seluruh lapisan masyarakat Papua. Keberhasilan dalam meningkatkan posisi ekonomi merupakan fungsi dari sistem sosial kita secara keseluruhan, dengan memperioritaskan pembagunan ekonomi kerakyatan bagi rakyat asli Papua, tanpa mengesampingkan pembangunan di bidang lain seperti kesehatan dan pendidikan yang juga sanggat penting.

Oleh karenanya, pemerintah memerhatikan nasib rakyat dengan memberdayakan masyarakat melalui ekonomi kerakyatan. Mengubah mentalitas rakyat agar tidak lagi berharap instan. Di sisi lain dihaarakap pula mentalitas pemimpin daerah para birokrat dan elit politik lokal dapat megubah perilaku menyimpang dan lebih memperhatikan rakyat sesuai dengan tanggung jawabnya.

*) Alumnus Sekolah Tinggi Pemerintahan Masyarakat Desa “STPMD APMD” Yogyakarta.
-------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH
BACA TRUZZ...- Membangun Ekonomi Orang Asli Papua?!

Antara Kebijakan Pemerintah dan Kondisi Ekonomi Rakyat Asli Papua

Oleh Lukas Wakey*)

Kehadiran sebuah lembaga pemerintahan sangatlah penting. Ini merupakan bagian dari harapan masyarakat. Hal ini dimaksud agar semua hal yang menyangkut kepentingan umum (publik) dapat diakomodir. Juga dapat diatur oleh pemerintah secara adil dan merata serta dibuat dalam suatu bentuk kebijakan publik yang bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

Dengan demikian, kehadiran pemerintah di tengah-tengah rakyat dapat bertindak sebagai pelayan kepada masyarakat dalam wilayah kerjanya. Maka, untuk membuat serta memperlakukan rakyat sebagai orang yang hendak dilayani dari aspek pelayanan pemerintahan serta dapat membuat semua kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Dalam hal ini dibutuhkan sosok pemimpin yang secara cermat dapat melihat persoalan-persoalan yang sedang terjadi dan dialalami oleh masyarakatnya serta secara cepat pula dapat mengambil sebuah tindakan. Tindakan yang dimaksud tentu saja dalam bentuk mengambil suatu kebijakan yang dapat memuaskan semua pihak dengan tidak dapat merugikan dan mendiskriminasi pihak yang lain.

Bertolak dari hal di atas, dapat kita lihat kondisi obyektif di Provinsi Papua yang berkaitan dengan cara pengmbilan kebijakan yang mengarah kepada proteksi bagi majunya perekonomian rakyat di Provisi Papua, secara umum di Kabupaten dan Kota se- Provinsi Papua kurang memerhatikan terhadap upaya perlindungan kepada para pengusaha orang Papua yang bergerak di bidang usaha perekonomian dalam bentuk skala makro maupun mikro. Jika sejalan dengan amanat UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus), maka setidak-tidaknya pemerintah dapat mengambil langkah-langkah yang konkret berupa kebijakan pemerintah yang dapat memproteksi pengusaha orang asli Papua. Hal ini tentu saja sejalan dengan amanat Undang-Undang Otsus bagi Provinsi Papua yaitu dapat memajukan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat bagi orang Papua asli. Tujuannya adalah agar rakyat Papua dapat diselamatkan dari garis kemiskinan. Secara pasti kondisi ekonomi di Papua dapat membaik berkat adanya upaya keberpihakan pemerintah kepada rakyat dalam mengambil sebuah kebijakan yang dapat melindungi orang asli Papua.

Pada tahun ketujuh implementasi Otsus ini, jika kita lihat kondisi nyata prekonomian masyarakat di Provinsi Papua baik secara makro maupun secara mikro, tidak sesuai dengan harapan dari rakyat serta tujuan dari Undang-Undang Otsus. Sangat disayangkan jika dalam era Otsus tidak ada satu pun kebijakan yang diambil oleh pemerinta khusus bagi orang Papua dalam menata perekonomian rakyat. Terutama, jika kita hitung-hitung dana Otsus yang dikucurkan begitu besar termasuk sumber pendapatan lainnya.

Saat ini dana Otsus begitu besar beredar di tanah Papua, namun miskin akan keadilan dan pemerataan pembangunan. Maka, kepada pemerintah kabupaten dan kota serta pemerintah provinsi harus mampu mengimplementasikan amanat dari pada Undang-Undang No 21 tahun 2001. Pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan harapan dari rakyat itu sendiri dan diharapkan agar pemerintah mampu membuat kebijakan-kebijakan yang strategis yang dapat memproteksi eksistensi perekonomian masyarakat Papua berdasarkan semangat dan jiwa Otsus.

Berbagai data memperlihatkan bahwa, di era Otsus ini terdapat 80 % penduduk asli Papua miskin absolut. Hal ini berarti bahwa mayoritas penduduk Papua berada di garis kemiskinan. Salah satu pemicunya adalah kurang adanya perhatian dari pemerintah untuk peningkatan ekonomi kerakyatan serta pemberdayaan ekonomi bagi orang Papua di era Otsus papua.

Jika persoalan ekonomi ini tidak ditangangi secara baik oleh pemerintah dalam bentuk pengambilan kebijakan yang berpihak kepada rakyat, maka secara pasti dapat menjadi pemicu utama untuk muncul berbagai masalah ekonomi maupun masalah-masalah sosial yang lainnya. Faktor kemampuan ekonomi yang lemah akan berakibat pada kemampuan membiayai pendidikan anak-anak Papua. Juga kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan), dan tingkat gizi keluarga yang rendah serta sekian banyak masalah-masalah sosial lainnya dapat timbul akibat kurangnya kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pemerintah sebagai pengendali kekuasaan hendaknya memberi ruang serta kemudahan bagi rakyatnya untuk dapat berkiprah dalam bidang ekonomi. Karena, kondisi nyata di pasar saja saya merasa prihatin dan rasa kasihan dengan kondisi mama-mama atau ibu-ibu yang selalu berjualan di atas tanah dengan beralaskan daun pisang maupun karung pelastik untuk menjual seikat sayur guna menghidupi kelurganya. Rasa keprihatinan ini nuncul ketika melihat mayoritas mama-mama yang jualan sayur, maupun ubi-ubian di kabupaten dan kota se-Provinsi Papua mengalami nasib yang sama.

Kondisi ini bukan hal baru, namun sudah berbulan-bulan, bahkan sudah makan tahun mama-mama itu berjualan di atas tanah dengan tahan panas terik matahari, tahan hujan untuk mencari uang seribu rupiah guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Realitas ini memberikan keterangan kepada kita bahwa selama ini pemerintah tidak serius dalam pengambilan kebijakan guna memproteksi ekonomi rakyat bagi orang Papua.

Hal lain adalah ketika pemerintah membangun pasar-pasar, ruko-ruko yang megah serta pemerintah juga memberikan perizinan untuk membangun perhotelan dan toko-toko besar tetapi sangat disayangkan karena sangat sedikit bahkan tidak di berikan kesempatan kepada orang Papua untuk bekerja di bidang jasa tersebut. Entah faktor apa yang membuat sehingga pemerintah sebagai pengambil kebijakan pun ikut apatis dengan kondisi demikan. Oleh sebab itu, perlu diambil suatu kebijakan yang dapat berpihak kepada rakyat yang dimarjinalisasikan ini.

Jika kita lihat, sekian banyak lapangan kerja yang dibangun oleh pemerintah maupun swasata, namun kenyataannya ruang bagi masyarakat Papua untuk dapat bekerja semaki dipersempit oleh persaingan ekonomi yang tinggi sementara rakyat Papua tidak dilatih serta diberdayakan dalam dunia usaha. Pemerintah sebagai pelayan publik dapat memberikan pelayanan yang prima kepada rakyatnya dengan mengambil suatu langkah yang konkret berupa kebijakan dalam rangka memberdayakan orang Papua untuk dapat eksis dan selalu berkarya dalam dunia usaha yang berskala besar maupu kecil. Semoga!

*) Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik “STISIPOL SILAS PAPARE” Port Numbay
---------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

BACA TRUZZ...- Antara Kebijakan Pemerintah dan Kondisi Ekonomi Rakyat Asli Papua

Miskin di Atas Lumbung Emas

Gunung-gunung, lembah-lembah yang penuh misteri
Yangku puja slalu keindahan alammu yang memesona
Sungaimu yang deras mengalirkan emas
Syo ya Tuhan terima kasih…


Oleh Longginus Pekey*)
Bait terakhir lagu Syukur Bagi Tuhan yang indah didengar ini sudah tidak asing bagi orang Papua. Sanggat sering dinyanyikan ataupun kitorang dengar. Lagu ini memuja tentang betapa kayanya alam bumi cendrawasih pemberian Tuhan. Para pendeta menyebut tanah itu “berlumur madu dan susu”. Mereka benar memang benar, karena pulau itu kaya. Betapa banyak jumblah kekayaan yang ada di dalam laut, di lembah, dalam perut bumi cendrawasih. Sungguh sangat luar biasa alam yang masih tidur itu bagaikan gadis perawan yang meng gairahkan. Itulah tanah beserta alam Papua!

Syair yang diawali di atas suatu saat bisa saja akan menjadi kenangan sejarah belaka (kososng) atau hilang ditelan bumi, dengan lenyapnya orang Papua di tanah Papua. Karena berbagai persoalan, penyakit dan kekerasan ekonomi, pendidikan semakin memburuk dan mengantar rakyat Papua pribumi pada hari depan yang tidak pasti. Penduduk Papua sendiri miskin dan ‘mati banyak’ akibat penyakit, gizi buruk dan pembunuhan tanpa diadili ibarat “penalti tanpa wasit”.

Mari kitorang menoropong ekonomi rakyat di Papua. Di bidang ekonomi hingga sampai saat era modern ini orang Papua pribumi hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Kalau begitu, lalu apa artinya syair lagu Syukur Bagi Tuhan di atas bagi orang Papua? Sementara mereka sampai saat ini belum ada tanda-tanda akan hidup sejahtera dan makmur. Para pemimpin daerah sendiri belum memiliki ukuran baku mengenai kesejahteraan dan kemakmuran untuk orang Papua pribumi.

Kebanyakan orang Papua pribumi memandang ketika memiliki motor, mobil, rumah mewah dengan isi rumah yang di hiasi barang antik sebagai tolak ukur kesejahteraan dan makmur. Seperti yang dimiliki segelintir elit politik dan birokrasi, pengusaha dan kebanyakan pendatang yang ada di sana.

Tidak memungkin bagi semua orang Papua pribumi seperti ini. Bukankah punya rumah sederhana, bisa makan (bergisi) tercukupi dan bisa membiayai pendidikan anak dan kesehatan masyarakat baik bisa menjadi ukuran kesejateraan? Tidak mesti kampanye gerakan ua anak cuku (KB) yang justru menambah berkurangnya jumlah penduduk orang Papua pribumi. Pemerintah daerah bertanggung jawab, dengan cara Stop Koruspsi!, kemudian kekayaan daerah dan keuangan daerah diatur dengan baik untuk kepentingan ekomomi, kesehatan, pendidikan dan infrastuktur rakyat.

Kalau kita mau jujur, mari kita amati dengan cermat mengenai kehidupan orang Papua pribumi, mereka saat ini sudah terasing di negeri mereka sendiri. Meskipun memang beberapa kota di Papua saat ini tidak berbeda dengan kota lain di Indonesia. Misalnya di Jayapura orang dengan mudah menemukan hotel berbintang, kawasan pertokoan yang berjejer-jejer di Kota Jayapura, kawasan Entrop, Hingga Abepura.

Kalau jalan-jalan ke Pasar, di sana dipadati pedagang. Orang Papua pribumi sendiri tidak memiliki tempat yang layak. Tokoh- Swalayan, Restoran siap saji, dan warung makan berada di mana-mana. Ironisnya, lebih sulit mencari orang Papua pribumi yang bekerja di sejumlah sentra perekonomian. Mereka hanya berjualan kebutuhan sehari-hari. Mama-mama hanya berjualan sayuran, ubi (ipere:Wamena) dan pekerjaan itu tidak rutin dilakukan.

Matahari, mendung dan hujang diterima mereka. Sayur menjadi layu terkena mata hari dan bahkan kadang mereka menerima resiko barang dagang dihancurkan Pol PP karena mereka jualan di tempat-tempat yang tidak diperbolehkan pemerintah. Tetapi bagi mereka sangat strategis. Lagi pula di pasar mereka tidak ada tempat, kalah bersaing. Di kebanyakan pasar tradisional Wamena, masih banyak terlihat orang Papua pribumi berjualan di los Pasar. Akan tetapi di Timika, los pasar dipadati pendagang pendatang, sedangkan pedagang asli Papua pada umumnya berjualan di telaras pasar atau di emperan toko. (Baca: Ekspedisi Kompas, 2007: 123)

Jari tangan kita cukup untuk menghitung orang Papua pribumi yang bekerja di satu toko, kios, warung makan, atau toko swalayan. Lebih sulit lagi menemukan orang Papua pribumi yang memiliki usaha sekelas itu. Inilah sebuah tantangan dan perjuangan yang dihadapi masyarakat Papua pribumi.

Ini wajar saja terjadi, perekonomian di Papua sudah dikuasai penduduka pendatang. Menurut Ekspedisi Kompas 2007 lalu, dituliskan bahwa Warga bugis, Buton, dan Makasar lebih banyak bergiat di sektor perdagagan sedangkan warga Menado, Toraja, dan Jawa di birokrasi pemerintahan. Orang Papua sendiri amat mendominasi dalam birokrasi dan formasi pegawai negeri sipil di Papua. Akan tetapi di sektor perekonomian orang Papua pribumi tenggelam.

Menurut Ketua Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, Albert Rumbekwan, ”Ketidakberdayaan orang asli Papua/ orang Papua pribumi di sektor perekonomian merupakan fenomenan yang terjadi saat ini di berbagai kota di Papua”. Ia mencatat, di kawasan pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Papua seperti di Jayapura, Timika, Sorong, dan juga di Merauke – para pendatang mejadi aktor ekonomi yang dominan.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah berupaya mencari investasi di Papua. Berdasarkan Badan Promosi dan Investasi Daerah Provinsi Papua 2006, pemerintah pusat telah mengirimkan lima surat persetujuan penanaman investasi di Merauke. Selain itu, ada 14 surat persetujuan investasi di wilayah Papua yang lain.

Tidak hanya itu Gubernur Papua, Barnabas Suebu rajin berburu investor. Hasilnya puluhan calom investor datang. “Raja Wali Grop, Sinar Mas Group, dan Medco Group, menunjukan minat mereka dalam bidang perkebunan kelapa sawit, khususnya produk biodisel. Pasific Group juga sudah melakukan sirvei untuk menjadikan sagu menjadi eta nol”, kata staf Gubernur Papua Agus Sumule.

Pengalaman orang Papua pribumi menunjukkan, investor di Papua selama ini tidak membawa kesejahteraan bagi orang pribumi. Orang Papua telah mengalami sendiri bersama PT Freeport. Mereka melihat, setelah hutan ulayatnya ditebang atau wilayahnya dijadikan areal tambang, masyarkat tetap miskin. Menurut Badan Pusat Statistik Privinsi Papua 2006, sejumbalah 486. 857 dari 604.922 rumah tangga di Papua atau 80 persen berada dalam kondisi miskin dan miskin absolut (Baca: Espedisi Kompas, 2007: 112).

Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur, Dr. Neles Tebai, Pr mengatakan, rakyat Papua pribumi belum siap menerima investasi. “Sitem baru yang diciptakan dari sebuah investasi berasal dari budaya luar Papua. Jelas banyak orang Papua akan kesulitan menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi pasar yang ditawarkan investor,” katanya.

Pater Neles juga mengatakan, banyak rencana investor perkebunan justru melakukan di hutan ulayat masyarakat adat yang masih berada dalam budaya berburu dan meramu. “Pengalaman di Arso, misalnya masyarakat yang memiliki ulayat gagal menjadi pekerja kebun sawit yang sudah dibuka sejak belasan tahun lalu,” kata Tebai.

“Betul bahwa investasi menghasilkan pergerakan ekonomi. Akan ada penjual makanan, pedagang, persewahan mobil, dan jasa lainnya. Namun, saya belum yakin orang Papua akan mampu menjadi aktor berbagai disnis baru itu. Kami tidak punya modal dan skill, “ kata Pastor itu.

Semuanya bermuara pada sebuah pertanyaan yang harus di jawab dengan jujur, apakah pemerintah sudah merasa ukup berbuat untuk mendidik serta membangun kapasitas dan kompetensi orang Papua pribumi untuk bersaing di “dunia baru” pasca-investasi? Jika belum apakah investasi merupakan penyelesaian masalah kemiskinan di Papua? Jangan-jangan menjadi masalah baru…(baca: Espedisi Kompas, 2007: 113-114)

Kalua melihat kehidupan sosial orang Papua pribumi, mereka terdiri dari petani, peternak dan nelayan. Namun sampai saat ini di erah Otonomi Khusus yang sudah bergulir selama 8 tahun, hanya sedikit dapat dihitung dengan jari mereka yang beternak, nelayan dan menjadi petani? Petani, nelayan dan peternak yang sukses di Papua pun kebanyakan adalah para pendang.

Di situlah, seharusnya menjadi titik perhatian pemerintah, dan lembaga swadaya serta Agama dan kita semua yang peduli. Memberikan dorongan, pencerahan dan skill serta modal untuk menghidupkan usaha kecil dari potensi luar biasa yang mereka miliki. Bukan mengantikanya dengan potensi yang mereka tidak miliki seperti jadi buruh kelapa sawit, mereka sama sekali nol besar mengenai itu.

Semua elemen di Papua yang di sebutkan di atas memiliki pekerjaan rumah yang berat. Pekerjaan itu adalah memformasi ekonomi kerakyatan yang sesuai dan cocok bagi pengembangan ekonomi masyarakat asli Papua. Menarik mereka terlibat secara langsung ataupun tidak langsung berperan mengambil bagian untuk mengakat potensi ekonomi daerah. Menyadari hal ini Selangkah edisi ke sebelas ini mengambil tema Ekonomi Kerakyatan. Semoga saja memberikan inspirasi yang bisa menjadi kerja bersama berbagai pihak untuk melawan keterasingan dan kemiskinan di negeri sendiri yang kaya dan raya. Atau kita harus diam saja agar menjadi seperti makluk asing (alien) terasing dan menjadi penonton atas kesuksesan orang pendatang dan kapitalis, sementara orang Papua sendiri tetap miskin di atas lumbung emas.

*) Ketua Lembaga Pendidikan Papua-Education of Papuan Spirit (edPapaS)
---------------------
Sumber: Tajuk Rencana Majalah SELANGKAH Edisi Awal Tahun 2009


BACA TRUZZ...- Miskin di Atas Lumbung Emas

Hanok, Membangun Ekonomi Rakyat di Paniai

Jumat, April 24, 2009

”Rakyat Asli Papua Harus Percaya Diri”

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, Bab X Pasal 38 Pasal 1 mengatakan, perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.

Menjelang 8 tahun implementasi Otsus, perekonomian rakyat jauh dari harapan mulia dewa penyelamat Otsus. Orang-orang asli Papua tetap menjadi pemain pinggiran, bahkan penonton, dalam semua proses transformasi ekonomi yang berjalan begitu cepat di sekelilingnya. Keberpihakan dan proteksi rakyat asli Papua hanya menjadi retorika. Pemerintah daerah terkesan hanya mengejar proyek dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Hampir tidak ada program pemberdayaan ekonomi rakyat dengan pendidikan dan pendampingan yang berkelanjutan.

Dalam kondisi perekonomian rakyat seperti itu, Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (YAPKEMA) Paniai mencoba membangun kepercayaan rakyat dengan pendidikan dan pendampingan berkelanjutan dengan menggandeng lembaga donor Oxfan. Beberapa waktu lalu, Yermias Degei dari majalah Selangkah sempat menemui Direktur YAPKEMA, Hanok Herison Pigai, SE di kantornya Jalan Enaro-Madi, Enarotali Kabupaten Paniai Papua. Dalam pertemuannya, majalah Selangkah sempat mengajukan beberapa pertanyaan seputar masalah pokok ketertinggalan ekonomi rakyat asli Papua. Berikut petikannya.

Menurut Bapak, apa masalah pokok ketertinggalan ekonomi rakyat asli Papua?
Masalah pokok yang kami hadapi di lapangan adalah belum siapnya skill rakyat. Kedua, belum terbukanya keterisolasian. Ketiga, belum siapnya teknologi tepat guna atau industri rumah tangga. Keempat, belum tersedianya akses informasi dan kumunikasi.

Orang asli Papua memiliki jiwa sosial yang tinggi, sehingga kalau punya lebih biasanya dikasihkan kepada kerabat lain. Banyak pihak mengatakan bahwa, hal ini merupakan salah satu faktor ketertinggalan ekonomi rakyat. Bagaimana tanggapan Bapak tentang hal ini?
Kasih inikan, kalau dipandang dari agama kristen itu penting. Kasih inikan hukum yang utama dan terutama. Jadi, saya pikir kasih itu boleh-boleh saja. Tapi, kasih itu harus pada tempat dan situasi yang tepat. Harus pada situasi yang kritis. Pada saat benar-benar membutuhkan bantuan. Mungkin jika ada yang mau sekolah kita kasih. Atau ada yang sakit. Tapi, kita tidak boleh kasih dari usaha kita. Kalau kita mengambil dari usaha kita maka usaha kita justru akan mati.

Berbicara soal usaha. Realitasnyakan, tidak banyak orang Papua yang berjiwa wiraswasta. Kita jujur saja bahwa semua orang ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil. Bagaimana pendapat Bapak tentang hal ini?
Ini sebenarnya lebih merupakan kegagalan pendidikan. Pendidikan yang diterima orang Papua di masa lalu tidak menanamkan jiwa berwiraswasta. Lebih-lebih pendidikan di masa lalu hingga saat ini, tidak kontekstual. Makanya, ada konsep dalam diri orang Papua bahwa segala sesuatu yang berpotensi dilingkungan mereka itu tidak berguna. Pendidikan itu telah membangun orang Papua untuk melihat segala-galanya dari luar (Jawa) itu dewa. Lucukan, jika masyarakat tinggalkan ubi, talas, sagu, dan lainnya lalu beralih makan nasi. Sementara mereka tidak bisa tanam padi.

Sementara itu, dari sisi fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar juga menjadi masalah. Daerah-daerah yang potensi pertanian, perkebunan, peternakan, jarang dbuka SMK. Justru SMA yang berjejer. Sementara SMP dan SMK yang ada, syukur-syukur anak-anak disulap jadi lulus SMP dan SMA. Biasanyakan, guru-guru berada di kota. Sekolah kosong dengan adanya Otsus. Guru-guru lari ke birokrasi dan legislatif.

Akhirnya, anak-anak tidak terpenuhi hal-hal yang saharusnya terpenuhi di tingkat dasar. Jadi, ketika kita lanjut kuliah ke luar semakin bobrok. Misalnya, kita kuliah tidak ada dasar jadi pendidikan yang dia dapat tidak cukup. Sekarang kita lihat banyak sarjana yang tidak bisa implementasikan hasil pendidikan. Inikan karena tidak ada dasar. Jadi, faktornya adalah karena belum punya muatan ilmu dan malas. Semua hanya mengejar PNS. Kan, PNS itu kerja dapat uang tidak juga dapat uang. Ada rasa gengsi. Intinya, satu, kegagalan pendidian dasar. Kedua, karena rasa gengsi, ketiga, rasa malas.

Kebanyakan orang tidak mau dikatakan mereka malas. Apa tanggapan Anda dalam hal ini?
Ya, dikatakan malas itu tampaknya dilecehkan, tetapi begitulah adanya. Misalnya, kalau saya dikatakan malas, ya saya terima saja. Karena, saya tidak bisa lihat diri saya sendiri. Kan, mungkin orang lain melihat dari sisi lain. Kita orang Papua harus berani dikoreksi orang lain. Tetapi, lain soal kalau dikatakan bodoh. Kalau orang katakan orang Papua itu bodoh, sejauh mana dia mengajari orang Papua lalu berapa lama dia bertahan, baru dia katakan orang Papua itu bodoh. Mengajari-mengajari sampai jangka waktu yang lama dan yang bersangkutan itu mengatakan orang Papua itu bodoh, maka bisa masuk akal. Jadi, intinya kalau orang katakan orang Papua itu malas ya dapat diterima, tetapi jika ada yang mengatakan orang Papua bodoh itu tidak dapat diterima.

Ini agak keluar tetapi ada hubungannya dengan topik ini. Bagaimana pendapat Bapak tentang migran yang berpotensi mengancam ekonomi rakyat asli Papua?
Saya ingin berbicara transmigrasi dulu. Soal migran yang tidak terprogram, akan saya bicara kemudian. Yang transmigrasi ya sudahlah. Yang ada sudahlah. Yang terprogram sudahlah. Bolehlah, jika mau datangkan, masyarakat Papua harus betul-betul diperhatikan dululah. Buat program khusus orang Papua. Berdayakan dulu orang Papua. Kan, mereka yang didatangkan itukan karena ada keprihatinan sementara orang Papua juga punya keprihatinan yang sama.

Jadi, kondisi transmigrasi dan rakyat Papua itukan sama-sama memprihatinkan dari sisi sosial ekonomi. Transmigrasi itukan hanya asetnya yang kurang, mereka itukan dari kota jadi sudah punya pengetahuan dan informasi. Ketika mereka datang dan diberikan fasilitas, rumah dan lain-lain. Sementara, yang masyaraka Papua itukan tidak diberikan asetnya dan mereka itukan hidup dalam keterisolasian informasi (pengetahuan).

Selama ini mereka hidup jauh dari kehidupan modern. Maka, masyarakat luar Papua yang tranmigrasikan ke Papua akan menjadi ancaman bagi masyarakat Papua. Mengapa saya katakana begitu? Peluang-peluang usaha yang ada akan dikuasai oleh mereka yang tadinya sudah siap secara pengetahuan. Sekarang, kalau kita dari teori/konsep kemiskinan, kalau dikatakan miskin apabila pendapatan sehari minimal 10 ribu/hari. Jika peluang usaha sudah diambil maka masyarakat asli Papua memperoleh pendapatan dari mana, tentu mereka akan termarginalkan dan memang telah termarginalkan kok. Jadi, supaya tidak terjadi ketinpangan atau kecemburuan. Kalau mau ada program transmigrasi, bina dulu rakyat Papua. Tidak usah ada program itu lagi malah lebih bagus..

Bagaimana dengan migran?
Yang tidak terprogram itu lebih bahaya. Bila pemerintah daerah tidak punya data penduduk agak sulit. Mereka itukan datang melalui kerabat. Hanya bentuknya yang berbeda. Akibatnya sama, rakyat asli Papua akan termaginalkan. Jadi, pemerintah daerah perlu ada pendataan dan proteksi. Bisa jadi, karena di sini bebas sekali, maka ada penduduk yang punya masalah bisa lari ke sini karena di sini bebas. Termasuk juga berbagai masalah lain, misalnya penyakit. Jika, perlu pemerintah daerah perlu pendataan yang jelas tentang penduduk yang datang dari luar, berapa lama dia akan tinggal, dalam rangka apa dia datang, dan lain-lain seperti di Jawa, dan di Bali.

Bagaimana peran pemerintah daerah dalam peningkatan ekonomi rakyat asli Papua? Apakah peran-peran pemerintah sudah dilakukan? Apa komentar Anda sebagai orang LSM?
Saya melihat di daerah pedalaman, itu pemberdayaan ekonomi rakyat belum sama sekali. Yang mereka lakukan di sana, istilahnya mencoba dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan konsep masyarakat Jawa. Pada akhirnya, konsep-konsep tersebut berakhir dalam jangka waktu proyek itu selesai.

Lebih bagus lagi, menurut saya, konsep untuk memberdayakan orang Papua itu perlu menggunakan perencanaan partisipatif. Maksudnya, masyarakat sendiri yang merencanakan seuai kondisi alam dan bakat alami/talenda. Lalu dalam implementasi program pemerintah harus berada hanya sebagai fasilitator. Nah.. lalu ada keterlibatan organisasai masyarakat, entah gereja, lembaga adat, atau LSM yang mendampingi pelaksanaan kegiatan di lapangan. Gereja, lembaga adat, atau LSM sudah terlibat mendampingi rakyat sehingga jika bagian-bagian tertentu masyarakat lupa atau bingung melanjutkannya, maka mereka bisa konsultasi langsung. Pada akhirnya nanti, bisa diukur tingkat keberhasilan kegiatan tersebut.

Saya ingin komentar tambahan Bapak tentang hubungan ketertinggalan ekonomi rakta dengan pendidikan. Menurut Bapak apakah ada yang salah dengan pendidikan kita, dalam kaitannya dengan ketertinggalan ekonomi rakyat Papua?
Ya saya bisa katakan ada yang salah.

Apa itu, bisa dijelaskan?
Di Paniai misalnya, itukan bisa dikatakan daerah yang unik karena beberapa potensi yang daerah lain di Papua tidak ada. Sebaliknya juga potensi-potensi tertentu yang ada di daerah lain tidak ada di Paniai.

Kira-krira apa yang unik di Paniai?
Di sanakan, kalau masyarakat tanam apel itu besar-besar. Kalah yang ada di Malang. Lalu, pohon teh yang sudah jadi besar, sayur kol, kental, wortel, dan sayur lainnya yang bisa ditanam di daerah dingin. Juga, kopi yang sudah diuji kualitasnya oleh Oxfam, maka Paniai punya kualitasnya lebih tinggi dibanding didaerah lain di Papua.

Jika potensi alamnya demikian, kenapa Paniai belum ada SMK Petanian. Kedua, mengapa dari dulu pemerintah daerah Papua tidak mengembangkan Fakultas pertanian UNCEN di daerah-daerah kabupaten pedalaman Papua sesuai potensinya. Ini salah satu senjata ampuh.

Bagaimana strategi implementasinya?
Dalam salah satu APBD, pemerintah mengalokasikan dana untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, misalnya sekitar 2 milyar. Cara pengelolaannya, pemerintah bekerja sama dengan bank tertentu dan didampingi satu organisasi non pemerintah. Pemerintah di tingkat distrik, kepala distrik mengarahkan dan memberikan motivasi dan menjelaskan juknis dan juklak dari anggaran ini agar dia bisa tekun melakukan usaha tersebut agar profitnya/keuntungannya dikembalikan ke bank tanpa bunga (kredit lunak).

Lalu, tugas non-pemerintah adalah semua usulan masyarakat/proposal masyarakat direview lalu monitoring ke lapangan, untuk melihat apakah usulan tersebut sudah mulai. Lalu yang kedua, apakah SDMnya sudah siap untuk melakukan program tersebut. Dan menilai apakah kegiatan tersebut cocok dengan potensi alamnya atau tidak. Dalam monitoring tersebut NGO mendata hal-hal potensial dan tidak potensial untuk pengembangan usaha, misalnya jika usahanya potensial tetapi SDMnya kurang maka, NGO terebut mengusulkan/merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan pelatihan atau kegiatan lain yang dapat mengembankan usaha mereka dengan dinas terkait. Apabila, berdasarkan monitoring NGO tersebut, jika usaha usaha tersebut tidak potensial dengan alam sekitar, maka diberikan alternatif usaha lain. Jika hasil monitoring itu terbukti usaha itu layak secara kondisi alam maupun SDM, maka NGO tersebut merekomendasikan kepada pihak bank untuk melakukan proses selanjutnya di bank (dalam hal ini pihak bank memberikan kelonggaran) dan sekaligus melaporkan kepada dinas terkait.

Menurut Bapak, sebenarnya hal pokok apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam peningkatan ekonomi rakyat Papua?
Musti yang pemerintah lakukan itu sudah kita bahas di atas, tetapi secara konkret musti yang pemerintah lakukan adalah ada dua hal pokok menurut saya, yaitu:
Membuka tempat pelatihan (pusat-pusat pelatihan) dimana tempat itu berfungsi melatih manajemen kewirausahaan dan pelaksanaan secara langsung spesifik unit kegiatan yang dimaksud. Misalnya, pelatihan pertanian. Misalnya, sayur, dia harus dikasih latih teknik budidaya pertanian dan manajemen pengelolaan usaha. Secara teori dan praktik berjalan seimbang. Sema juga dengan latihan komputer dan lain-lain.

Perlu juga pelatihan pembukuan, supaya ketika dia mau kredit mikro di bank, pihak bank bisa melihat catatan keluar masuk uang jelas (contoh konkret pelatihan manajemen). Ini salah satu syarat utama pihat bank memberikan kredit pada wirausaha tersebut. Kedua, pemerintah harus menyiapkan modal untuk memberikan kredit mikro kepada masyarakat sebagai salah satu motivasi supaya orang Papua berwiraswasta.


Menurut Bapak, apa peran kaum muda dalam peningkatan ekonomi rakyat asli Papua?
Ya...Peran kaum yang sudah bersekolah maupun yang belum bersekolah, kita harus mampu mempelajari atau melihat arah perkembagan itu tidak sebagai ancaman tetapi justru peluang. Sementara ini, saya lihat bekerja keras untuk menenuhi kebutuhan rumah tangga lebih kepada mama-mama/orang tua. Sedangkan anak muda Papua gengsi, melas terjerumus ke dalam budaya populer.

Yang seharusnya, pemuda itu harus menjadi aktor pembangunan ekonomi. Ke depan kita inikan akan dihadapkan dengan perdagangan bebas. Jika, anak-anak muda Papua saat tidak siap, maka ini tanda-tanda untuk membunuh diri kita sendiri. Sekarang, saya mengajak kepada semua pemuda Papua mari kita berdiri di atas kaki sendiri. Tinggalkan rasa gengsi, kemalasan, membuka lapangan usaha sendiri, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi runah tangga dan masayarakat.

Oya, ini barangkali yang terakhir, bagaimana Bapak menilai implementasi Otsus dalam hal pemberdayaan ekonomi rakyat asli Papua secara umum?
Setelah adanya Otsus itu malah kehidupan masyarakat itu lebih rawan. Lantas, pemerintah itu ada juga yang tidak memahami. Tidak memahami dalam dua arti, yang pertama kesalahan implementasi. Kedua, mereka sendiri menciptakan momen untuk korupsi lalu akhirnya masyaraat yang jadi korban. Misalnya, bagi-bagi uang. Masyarakat yang tadinya tergantung kepada alam dengan adanya program BLT, 100 juta, juga beberapa program proyek pemerintah yang memberikan atau membagi-bagikan uang kepada masyarakat. Akhirnya tercipta karakter konsumtip. Sebab uang yang diberikan itu untuk mengelola.

Kemudian yang berikut, pemerintah dalam hal ini pihak eksekutif maupun legislatif inkonsistensi terhadap implemntasi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus itu. Sebenatnya, UU inikan memberikan peluang atau kebebasan kepada pemerintah daerah utuk memproduk perda, di mana Perda tersebut yang memproteksi kepentingan masyarakat asli Papua. Misalnya, pinang dan beberapa potensi khas Papua tidak perlu dijual oleh pendatang. Artshop saja dijual oleh orang lain. Itu kita tidak malu kah. Koteka moge itu dijual orang luar Papua. Jika wisatawan asing datang, kita tidak malu kah. Inikan sudah rakyat Papua tidak ada peluang lagi. Inikan kita macam bodoh, UU Otsus untuk apa, kalau semacam ini saja belum tertangani.

Selama 7 tahun ini, saya lihat tidak ada sama sekali perubahan. Mana ada ruko yang dikhususkan untuk orang Papua. Sampai saat ini orang Papua masih jualan di pinggir jalan, pinggir pasar kok. Tidak di tempat usaha kok.

Pem berian dana secara tidak sehat itu pembodohan. Pemerintah memberikan uang tanpa kontrol, Hari ini pemerintah memebrikan uang, lalu dia ajukan lagi proposal lalu jika tidak jawab masyarakat malas kerja karena tidak dibantu lagi. Ini saya sendiri alami. Inikan sama-sama gila, tapi lebih-lebih pemerintah. Jadi, itu kasus umum, lebih-lebih daerah pendampingan saya di Paniai.

Kira-kira, ada yang ingin Bapak katakan untuk rakyat asli Papua?
Sekarang masyarakat harus percaya diri, apapun yang kita lakukan sebagai petani di kebun kita tekun bekerja, apa yang kita kerja tidak perlu mengharapkan orang lain tetapi apapun yang kita kerja baik ataupun tidak baik, giat maupun sambilan hasilnya kita sendiri yang nikmati. Mari kita mencintai kekayaan alam.Jadi, kita tidak perlu terlalu terlena dengan produk yang datang dari luar. Bisa saja produk yang datang dari luar itu mengandung bahan kimia yang menghancurkan tubuh dan jiwa sehat kita.[Yermias Degei] ***

--------------------------
Sumber:Majalah SELANGKAH Edisi Awal Tahun 2009

BACA TRUZZ...- Hanok, Membangun Ekonomi Rakyat di Paniai

Orokai Ikikitaro, Pastor Pertama dari Suku Komoro

Senin, April 20, 2009

Masyarakat Suku Kamaro, Kabupaten Mimika, Papua, merayakan pesta penahbisan pastor pertama selama 80 tahun Gereja Katolik hadir di daerah itu. Dia adalah Pastor Yosep Orokai Ikikitaro Pr (28).

Ikikitaro ditahbiskan menjadi pastor pertama dari Komoro oleh Uskup Timika Mgr John Saklil Pr di Timika, Minggu (19/4). Tugas penahbisan oleh John Saklil itu juga tugas pertama yang dijalankan Saklil sebagai Uskup Timika, sejak 2005-2009.

Wakil Uskup Jayapura Pastor Dr Neles Tebay Pr diJayapura, Minggu, mengatakan, Ikikitaro adalah putra asli Papua kelima yang ditahbiskan menjadi pastor selama hampir 100 tahun Gereja Katolik hadir di Papua.

Ada puluhan putra Papua menekuni pendidikan sebagai calon pastor, tetapi kebanyakan gagal. Salah satu di antaranya, yang hampir ditahbiskan menjadi pastor yakni Metodius Mamopuku. Mamopuku mengundurkan diri setelah ditahbiskan menjadi Diakon, satu tingkat di bawah pastor, dalam hirarki gereja Katolik.

Ikikitaro menjalani pendidikan SMU Taruna Bakti di Waena Jayapura, kemudian masuk Seminari Tinggi Fajar Timur Abepura, Jayapura, sampai sarjana filsafat dan Teologi. Pastor baru ini berasal dari keluarga guru agama Katolik yang sangat taat beribadah dan berdoa.[Kornelis Kewa Ama Khayam]
-----------------------------
Sumber: Kompas.com

BACA TRUZZ...- Orokai Ikikitaro, Pastor Pertama dari Suku Komoro

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut