Deby Maiaweng, Potret Guru TK yang Gigih Mengajar di Pedalaman Yahukimo

Sabtu, Januari 31, 2009

Meski berada di pedalaman Papua, tepatnya di Distrik Silimo, Kabupaten Yahukimo, namun masih ada guru yang mau bertahan untuk mengajar anak-anak sekolah taman kanak-kanak (TK) Letlet, yang didirikan misionaris di bawah naungan Klasis GKII Silimo. Apa yang membuatnya gigih dan bertahan ditengah keterbatasan itu?

Laporan Rambat S Handoyo, Yahukimo

DEBY MAIAWENG terlihat akrab dengan anak-anak yang berada di Distrik Yahukimo, saat mereka menunggu kedatangan rombongan Bupati Yahukimo, Ones Pahabol SE, MM yang melakukan safari Natal di daerah tersebut, akhir Desember 2008 lalu.
Gadis manis asli Kupang, Nusa Tenggara Timur ini, sempat berbincang-bincang lama dengan Cenderawasih Pos, termasuk suka dukanya mengajar dan berada di daerah pedalaman yang serba terbatas tersebut. Apalagi, ia masih belum berkeluarga alias masih nona.

Meski demikian, Deby mengakui sangat berkeinginan untuk mengajar atau melayani di daerah pedalaman tersebut. Bahkan, itu merupakan cita-citanya sejak 13 tahun lalu, dimana saat itu ia sempat membaca buku Anak Perdamaian yang menceritakan kehidupan suku Dani dan suku Asmat dan saat nonton film tentang kerajaan suku Dani dan suku Asmat, membuat keinginannya semakin kuat untuk mengetahui suku-suku di pedalaman Papua tersebut.

Selepas kuliah di STT Jeffry Makassar, kemudian berangkat ke Papua, tepatnya di Wamena melalui Yayasan IFTA dan Yayasan Yabam Jayapura hingga akhirnya ia ditugaskan ke Silimo, dimana banyak didiami suku Ngalik. "Waktu di Silimo, saya ingat saat membaca buku 13 tahun lalu. Ingat buku itu saya menangis, karena bisa hidup di sini," katanya.

Bahkan, saat tiba di Silimo dengan menggunakan pesawat terbang yang berukuran kecil, ia sempat menangis selama tiga hari, apalagi saat itu bertepatan dengan ulang tahunnya ke 25.

Meski demikian, akhirnya Deby berusaha untuk mempelajari adat istiadat masyarakat Silimo di saat mengajar di TK tersebut. Hanya saja, saat datang mengajar di TK tersebut, banyak tantangan diantaranya hampir semua anak didiknya tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia.

"Saat pertama saya ajarkan apa saja, sambil mempelajari bagaimana cara tepat mengajari mereka. Hingga akhirnya, anak-anak mulai ada perubahan dan mulai bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, selain diajari kebersihan dan disiplin baik di kelas maupun di luar sekolah," ujarnya.

Adanya perubahan terhadap anak didiknya ini, menjadikan motivasi tersendiri bagi Deby untuk terus mengajar. Apalagi, dari awal ada 62 anak didiknya, 23 diantaranya sudah diwisuda dan sudah bisa menulis dan membaca dan telah pindah ke sekolah dasar (SD). "Dalam 3 bulan, ada perkembangan luar biasa, anak-anak bisa tulis dan baca, sedangkan anak SD kelas 6 di daerah ini ada yang tidak bisa membaca dan menghitung,"katanya.

Hanya saja, saat itu ia sempat mengalami kesulitan terhadap salah seorang anak didiknya, karena kesulitan menerima pelajaran yang diberikan. Namun, setelah diamati ternyata anak didiknya tersebut ternyata tuli sehingga tidak bisa mengenal huruf. Kemudian ia sempat berkonsultasi dengan yayasan Oikonomos Wamena yang bekerjasama untuk materi dan alat peraga.

Setelah itu, Deby mengaku ada hasilnya. Apalagi, anak didiknya yang memiliki kelainan ini, mulai bisa mengenal huruf. Hanya saja, harus dilatih secara khusus. "Saya ajari anak didik yang satu ini, membaca huruf melalui pernapasan dengan telapak tangan, sehingga saat dilafalkan huruf yang dihembuskan ke telapak tangan itu, bisa mengenali huruf," ungkapnya seraya mengatakan bahwa hal ini merupakan kebanggaan tersendiri baginya.

Ditengah keterisolasian di daerah pedalaman tersebut, selain mengajar di sekolah TK tersebut, untuk menghilangkan kejenuhan ia juga membantu mengajar di sekolah minggu. "Apapun yang bisa saya perbuat disini, akan saya lakukan. Meski tidak digaji dan harus setia ditempat serta hanya mendapatkan berkat dari klasis atau yayasan saja," ujarnya.

Deby yang masih berusia 27 tahun ini, mengaku sangat bersedih ketika mengingat orang tuanya, di samping ia masih muda dan tentu masih memiliki keinginan banyak, apalagi di Silimo tidak sama dengan daerah lain. Namun, Deby menambahkan bahwa hal itu merupakan kewajiban dan pelayanan sehingga membuat dirinya betah bertahan di daerah yang cukup dingin tersebut. (*)
----------------------------------
Sumber: http://cenderawasihpos.com/detail.php?id=23419&ses=
BACA TRUZZ...- Deby Maiaweng, Potret Guru TK yang Gigih Mengajar di Pedalaman Yahukimo

Pembangun Sekolah Pola Asrama di Holuwon Selesai

Program pemerintah Kabupaten Yahukimo dalam bidang pendidikan khususnya infrastruktur pendidikan yakni sekolah berpola asrama di Distrik Holuwon telah selesai, bahkan kini sudah mulai ditempati para pelajar sekolah menengah pertama (SMP) yang ada di daerah tersebut.

Kepala Distrik Holuwon, Bernard Yahuli SIP mengatakan bahwa pembangunan sekolah berpola asrama tersebut selesai pada akhir tahun 2008 lalu. "Untuk pembangunan sekolah SMP dan asrama penampungan siswa di Distrik Holuwon ini telah selesai," ujar Bernard Yahuli ketika dihubungi Cenderawasih Pos, semalam.

Bernard Yahuli mengatakan awalnya penyelesaian bangunan sekolah SMP Negeri 1 Holuwon tersebut, kemudian disusul dengan asrama untuk penampungan anak-anak sekolah yang kebanyakan berada di daerah terpencil di sekitar Distrik Holuwon yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

Apalagi, sebelumnya kebanyakan anak-anak setelah lulus SD, memilih melanjutkan pendidikan ke Wamena Jayawijaya maupun ke Dekai. Bahkan, lanjut Kadistrik, ada 200 siswa SMP yang sudah menempati ruangan sekolah untuk kelas I dan II, sedangkan kelas III belum terisi.

Selain dilengkapi dengan asrama, pembangunan gedung sekolah berpola asrama ini, juga dilengkapi dengan bangunan perpustakaan. "Sebelumnya di daerah ini tidak ada sekolah SMP, namun kami mengusulkan ke bapak Bupati dan ternyata direspon dengan pembangunan sekolah berpola asrama, bahkan kini sudah terealisasi dan digunakan untuk proses belajar mengajar," ujarnya.

Untuk SMP Negeri 1 Holuwon ini, ungkap Kadistrik, saat ini masih kurang guru, karena baru ada 3 guru yang mengajar di sekolah tersebut dan dibantu 1 orang guru SD yang mengajar. Ia berharap agar Bupati Yahukimo, Ones Pahabol SE, MM dapat meresmikan penggunaan sekolah berpola asrama tersebut. "Mudah-mudahan bapak Bupati Yahukimo Ones Pahabol SE, MM akan meresmikan dalam waktu dekat," imbuhnya. (bat)
--------------------------------
Sumber:http://cenderawasihpos.com/detail.php?id=23421&ses=
BACA TRUZZ...- Pembangun Sekolah Pola Asrama di Holuwon Selesai

Sertifikat Pendidikan Profesi Jadi Syarat CPNS Guru

Pemerintah terus berusaha meningkatkan kualitas guru. Salah satu caranya ialah mewajibkan para calon guru mengikuti pendidikan profesi. Sertifikat dari pendidikan profesi itu akan menjadi salah satu syarat perekrutan CPNS (calon pegawai negeri sipil) guru mulai tahun 2010.

Direktur Profesi Pendidik Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Achmad Dasuki mengatakan, pihaknya bakal menyediakan tempat bagi 40 ribu calon guru untuk mengikuti pendidikan profesi supaya dapat mengantongi sertifikat pendidik. ''Untuk mendapatkan sertifikat itu harus mengikuti pendidikan profesi. Jika tak punya sertifikat, ya tidak bisa ikut perekrutan (CPNS, Red),'' terangnya.

Pendidikan profesi akan diadakan lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) yang ditunjuk pemerintah. Saat ini lembaga mana yang bakal ditunjuk masih dibahas.
Dasuki menjelaskan, pendidikan profesi yang akan berlangsung satu tahun itu terbuka untuk sarjana kependidikan dan non kependidikan. ''Lulusannya akan mendapat sertifikat sebagai bukti guru profesional,'' terangnya. Pendidikan profesi untuk sarjana non kependidikan ditekankan pada paedagogi. Untuk sarjana kependidikan, penekanannya pada substansi pengajaran.

Jika sudah mengantongi sertifikat pendidik profesional, ketika menjadi guru, mereka juga berhak mendapatkan tunjangan profesi. Yakni, sebesar satu kali gaji pokok.
Dasuki mengatakan, tiap tahun pemerintah akan menetapkan kuota peserta pendidikan profesi di masing-masing LPTK yang ditunjuk. Karena itu, kata dia, koordinasi akan dilakukan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut dia, pendidikan profesi tersebut dilaksanakan untuk meningkatkan kualitas pendidik. Hal itu sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen. Nanti semua guru baru atau guru prajabatan wajib mengikuti pendidikan tersebut. Dengan demikian, diharapkan nanti semua tenaga pendidik menjadi profesional.

Selain itu, kebutuhan 40 ribu guru itu sebagai solusi permasalahan guru yang pensiun pada 2015 mendatang. Pada tahun itu, guru yang bakal pensiun diperkirakan 300 ribu orang.

Dia mengatakan, saat ini ada beberapa daerah kekurangan guru. Di satu sisi, ada juga daerah yang kelebihan tenaga pendidik. ''Saat ini kami sudah membuat pemetaan guru. Hal itu bisa dijadikan dasar untuk perekrutan CPNS, berapa sebenarnya tenaga pendidik yang kita butuhkan,'' tuturnya. (kit/nw)
------------------------------------
Sumber: http://cenderawasihpos.com/detail.php?id=23928&ses=
BACA TRUZZ...- Sertifikat Pendidikan Profesi Jadi Syarat CPNS Guru

44 TAHUN KESEHATAN DI INDONESIA, DOGIYAI PUNYA MASALAH WABAH BELUM SELESAI

Senin, Januari 26, 2009

Sejarah Pemerintah Indonesia mencatat tanggal 12 November sebagai momentum hari kesehatan Nasional. Berbagai motto dan prinsip pun diungkapkan untuk memajukan kesehatan rakyat yang berkualitas. Misalnya rakyat sehat, kualitas bangsa meningkat. Kurangnya akses kesehatan masyarakat menjadi persoalan utama di bidang kesehatan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tingginya angka kematian Ibu dan anak diwarnai dengan gizi buruk masyarakat menjadi indikator permasalahan kesehatan yang belum tuntas.

Terhitung April 2008 lalu hingga akhir Agustus 2008, sebanyak 500-an jiwa penduduk Di lembah Kamuu Dogiyai meninggal. Sekitar 273 orang dikategorikan meninggal akibat wabah diare/muntaber. Sedangkan 200-an orang lainnya meninggal dengan gejala sakit biasa, seperti malaria dan ISPA.

Menteri Kesehatan RI, Dr.dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), dalam acara pembentukan Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Papua (17/10)lalu berjanji ”Saya akan menjaga anda, saya akan melindungi daerah anda supaya tidak kena wabah lagi. ”

Apakah penyebab jenis penyakit wabah di Dogiyai? Berdasarkan pantauan Tabloid ini, masyarakat di Dogiyai meyakini beberapa penyebab wabah, diantaraya;
1) Sebagai kutukan atas ketidakberesan hewan/ternak (peuekina muneetai kouya—Bhs.Mee) dan akibat tanah ahliwaris yang diturun-temurunkan oleh leluhur telah diuangkan oleh warga setempat, sehingga wabah sebagai kutukan pemilik tanah atau arwah pemilik ulayat (Makipuwe kaa enia—Bhs.Mee).
2) Sebagai akibat faktor kesehatan lingkungan, karena pada umumnya masyarakat tidak menjaga kesehatan lingkungan seperti kebersihan makanan dan minuman,
3) Akibat Debu kering yang ditebarkan oleh oknum tertentu secara sengaja.

Atas semua dugaan tersebut belum ada bukti yang jelas tentang penyebab penyakit wabah. Pihak kesehatan juga tidak memiliki alasan yang kuat untuk mengatakan bahwa apakah penyebabnya adalah faktor kesehatan lingkungan? ”kalau masalah lingkungan kenapa tidak dari dulu masyarakat sini tidak kena wabah? Kenapa wabah ini bersifat musiman dan hanya kali ini saja?” tandas tokoh Masyarakat Ir. Didimus Tebai kepada Tabloib beberapa waktu lalu di Moanemani.

Tuding-menuding sesama anggota masyarakat sendiri sebagai ulah/pelaku penyebar abu kering masih diyakini masyarakat hingga sekarang. Tidak adanya penelusuran penelitian berupa sampel dari korban, otopsi atau lainnya juga tidak dilakukan pihak terkait seperti Pihak Kesehatan Kabupaten Nabire. Tuding-menuding antar sesama anggota masyarakat tersebut secara ilmiah tidak memiliki bukti yang kuat.

Polisi Sektor (Polsek) Moanemani yang menanggani kasus tuduhan antar anggota masyarakat juga tidak memiliki bukti penyidikan yang kuat untuk mengatakan tuduhan pelaku sebagai tersangka. Dengan tidak adanya bukti maka tidak dibenarkan tuduhan yang terjadi selama ini di kalangan masyarakat, artinya sms kaleng kosong yang sempat beredar dengan pelaku sekitar 6 orang tersebut tidak memiliki alasan kuat sebagai pelaku. ”sampai sekarang saya tidak bisa kasi komentar tentang wabah, apakah diare atau penyakit jenis apa?karena tidak ada bukti secara ilmiah,” ungkap salah satu tokoh masyarakat, Willem Yobee kepada media ini.

Tak puas wabah yang terjadi di Dogiyai, warga pun menemui Ibu MenKes RI di Nabire memintah kejalasan wabah yang terjadi. ”Indonesia tidak bisa buat virus untuk membunuh virus masyarakat sendiri, yang bisa buat virus adalah negara maju lain di dunia,” jelas menteri kesehatan Pembentukan DKR yang berpusat di Nabire beberapa waktu lalu.

Sudah 44 tahun Lembaga Pemerintahan yang bergerak di bidang Kesehatan terbentuk di wilayah NKRI. Dan sudah 8 bulan wabah Identik Diare/Muntaber menjemput jiwa sekitar 273 orang warga Dogiyai. Tidak adanya penelitian penyebab wabah Di Dogiyai telah meninggalkan kecemburuan sosial antar golongan masyarakat lokal dan antara masyarakat lokal dengan pendatang (non-pribumi).

Kemanakah petugas Kesehatan atau Forensik Indonesia yang biasanya bekerja untuk Polisi Indonesia? Sampai kini warga Dogiyai masih butuh kejelasan Tim Peneliti yang menjawab: apa penyebab penyakit identik Diare/Muntaber yang menyerang warga Dogiyai? (Bobiibo Willem/Dogiyai)

-----------------------------
Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=426&Itemid=9
BACA TRUZZ...- 44 TAHUN KESEHATAN DI INDONESIA, DOGIYAI PUNYA MASALAH WABAH BELUM SELESAI

Empat Kekuatan Basket Saling Beradu

Setelah melalui sejumlah pertandingan yang cukup melelahkan, akhirnya hari ini (Jumat 23/01), empat tim finalis Honda DBL Cenderawasih Pos 2009 akan beradu.
Dari tim putri SMAN 1 Jayapura bertemu SMA Teruna Bakti dan untuk tim putra SMA Teruna Bakti mewakili Jayapura akan berhadapan tim SMAN 1 dari Merauke.

Perseteruan yang dashyat dipastikan tersaji hari ini, pasalnya masing-masing tim ngotot untuk memperebutkan piala pertama Honda DBL Cenderawasih Pos 2009 di Papua. Empat tim yang dihuni pemain-pemain penuh skill, obsesi dan juga impian untuk masuk menjadi first tim mewakili Papua. Open gate akan dimulai pukul 14.00 WIT masing-masing supporter diharap bisa berkumpul 1 jam sebelum pembukaan pertandingan untuk mengikuti prosesi lagu Indonesia Raya.

Bicara soal siapa yang bakal menjuarai ajang basket pelajar terbesar di Indonesia ini, memang masih sulit ditebak. Masing-masing tim punya peluang yang sama.
Untuk tim putri SMAN 1 Jayapura diperkuat oleh sang kapten Ditha Aprilia Loveanty pemain bertubuh jangkung Sisilia Ell. Dua pemain yang selama ini mendominasi poin. Ditha yang ditunjuk sebagai motifator tim dianggap mampu mengatur ritme pertandingan dan mencari celah sebelum akhirnya melakukan drive panjang dan mencetak poin, sedangkan Sisilia memiliki kemampuan menyambut bola rebound dan menempatkan bola. Sedangkan untuk tim putri SMA Teruna Bakti dikomandoi sang kapten, Yohana Magdalena "super" Momot dan Milena Wenda pada posisi center.

Dua pilar menakutkan yang mampu keluar dari tekanan lawan dan membalikkannya menjadi bumerang. Yohte (panggilan akrab Yohana Momot) dipastikan kembali membuat kejutan didukung akurasi drive dan pengambilan posisi saat lay up sedangkan Milena siap memback-up serangan timnya.

Begitu juga tim putra sepertinya sangat sulit diprediksikan mengingat kedua tim memiliki pamungkas dan lima starter jitu. Pada SMA Teruna Bakti, Richardus Ciputra Permadi dipastikan akan menjadi pilar timnya berdampingan dengan Rionny Rahangmetan. Dua kolaborasi jitu yang sempat mengobrak abrik pertahanan SMAN 1 Jayapura hingga akhirnya menang tipis dengan skor 48-51.

Ciputra yang memiliki gadis pujaan bernama Elen Aragai ini dianggap ujung tombak dari kekuatan SMA Teruna Bakti, dengan nyali menerobos defence tim lawan dan kembali melakukan rebound jika shootingnya dimentahkan. Begitupula dengan Rionny, siswa dengan tinggi 179 Cm ini sempat dielu-elukan bahkan dianggap sebagai pahlawan ketika timnya nyaris kalah saat bertemu SMAN 1 Jayapura disemifinal kemarin. Lalu bagaimana kekuatan SMAN 1 Merauke? Tim yang memiliki semboyan Cahaya Dari Selatan ini menyimpan obsesi khusus membawa kado terindah untuk sang kepala daerah.

Fransisko Gebze Cs juga bukan yang bisa dianggap enteng mengingat tim bebunyutannya, SMAN 2 akhirnya mengakui kekuatan anak asuh Frans Lucky Liptiay ini setelah kalah satu bola dengan skor akhir 44-41.

Fransisko yang memiliki karakter guard murni bisa saja jadi ancaman bagi tim yang diarsiteki, Dave Frits Rihard Rahawarin jika tidak diantisipasi sejak dini. Kemampuannya menembuh defence dan memperagakan tehnik technical foul. Begitu pula dengan forward mungil Nahinde yang mampu meracik serangan dan melakukan aksi battle man to man. Jika SMA Teruna Bakti akhirnya menang, sama artinya mereka berhasil mengawinkan gelar namun jika tim Merauke yang keluar sebagai jawara maka itulah kado terindah tuk sang kepala daerah.(ade)
-------------------------
Sumber:http://cenderawasihpos.com/utm.php
BACA TRUZZ...- Empat Kekuatan Basket Saling Beradu

Kabupaten Keerom, Gambaran Minoritas Warga Pribumi

Minggu, Januari 25, 2009



Warga Keerom tengah melakukan aksi unjuk rasa menolak pembukaan perkebunan kelapa sawit diatas tanah ulayat mereka beberapa waktu lalu. (Foto: Louis Fenetiruma)
-------------------------------------------------------------------------
Kabupaten Keerom merupakan salah-satu kabupaten pemekaran dari kabupaten induk Jayapura. Sejak 2004 lalu wilayah ini pisah dari Kabupaten Jayapura dengan memiliki 7 Distrik masing masing, 1 Distrik Arso, Arso Timur, Skanto, Web, Towe, Senggi dan Waris.

Sesuai hasil studi yang dilakukan Tim SKP Dekenat Keerom tentang Perkebunan Sawit dan Kesejahteraan Masyarakat Arso Juli 2008 lalu dari data jumlah penduduk Keerom sebanyak 42.883 jiwa ternyata perbandingan antara etnik Papua dan non etnik Papua adalah 41,8 % berbanding 58,2%.

Jika mengamati tiga Distrik yang merupakan basis lahan perkebunan kelapa sawit yakni, Arso, Arso Timur dan Skanto maka perbedaan komposisi penduduk jauh lebih besar. Perbandingan penduduk etnis Papua dan non Papua pada tiga distrik tersebut adalah 28,4 % berbanding 71,6 %.

Bahkan jumlah penduduk asli Arso lebih sedikit jika dibandingkan dengan penduduk Papua lainnya. Adapun suku suku Papua lainnya berasal dari Pegunungan Tengah, Jayapura, Daerah Kepala Burung, dan sedikit dari Merauke dan Teluk Cenderawasih. Sedangkan pendatang transmigran dari Pulau Jawa dan juga suku- suku lain dari luar Papua seperti Batak, Padang, Bali, Bugis Makassar, Toraja, Manado, Timor, Maluku dan sedikit dari Kalimantan.

Warga asli Keerom khususnya di wilayah Arso dan sekitarnya menggunakan bahasa Manem, Waris dan Senggi. Sedangkan Taikat (Arso) memakai bahasa Awyi dan Taikat. Ada juga sumber lain yang menyebut bahasa masyarakat asli Arso digolongkan dalam tujuh kelompok dialek yaitu Dianem, Abrab, Awi, Meref, Cireregirwaja, Maloof, Skofrokriku. Dialek-dialek ini dipakai di kampung kampung, Arso, Bagia, Workwana, Sawyatami, Kwimi, Ubyauw, Wemby, Wambes, Skanto dan Yamas.

Sebelum masuknya perkebunan kelapa sawit awal 1980-an mata pencaharian masyarakat pribumi di wilayah Keerom khususnya tiga Distrik Arso, Skanto dan Arso Timur adalah meramu. Mereka hidup dari kemurahan alam yang beragam flora dan fauna, semuanya tersedia tinggal mencari dan berburu. Makanan pokok mereka sagu dan sumber protein berasal dari hewan buruan seperti babi hutan, tikus tanah, burung dan berbagai jenis ikan.

Salah seorang tokoh masyarakat adat Arso menggambarkannya sebagai berikut,” Sebelum adanya trans Irian, Arso adalah daerah yang terisolir dan penuh dengan dusun sagu dan kaya hasil hutan. Untuk sampai ke Arso membutuhkan waktu sekitar lima hari atau satu minggu dengan berjalan kaki lewat hutan rimba.”

Bahkan pada jaman Belanda pada 1909 menuju ke Arso dan Bewani melalui sungai Tami selama hampir satu bulan lebih dan kemudian hubungan ke kampung Yetti dilakukan pada 1934.

Kontak dengan missi Katolik berlangsung aman dan lancar bahkan pertama kali Pater Frankenmollen pada 23 Mei 1923 diterima masyarakat Arso dan merayakan Ekaristi Kudus.
Masuknya perkebunan kelapa sawit dan jalan trans Irian membawa perubahan baru dan sekaligus tantangan bagi masyarakat pribumi di Kabupaten Keerom. Tidak semua warga menerima perkebunan kelapa sawit, di PIR V ondoafi Workwana menolak untuk melepaskan tanah tanah adatnya. Awal dari timbulnya konflik itu karena Bapak Ondoafi tidak terlibat dalam proses pelepasan tanah seluas 1.310 ha yang sekarang ini dipakai perusahaan PTP sebagai kebun inti kelapa sawit. Begitu pula konflik tanah di Arso warga mencoba untuk memalang pembukaan kebun tetapi mereka ditahan namun akhirnya dibebaskan.

Pada 1982/1983 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II Tanjung Morawa Medan membukan areal kerjanya di Provinsi Papua. Jenis kegiatan yang dilakukan adalah perkebunan kelapa sawit dengan mengembangkan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Hingga kini perusahaan ini sudah beroperasi selama 25 tahun dan apa yang diperoleh penduduk pribumi di Arso dan sekitarnya?

Pasalnya, kehidupan dan komponen alam terpenting bagi warga pribumi di Arso dan sekitarnya didalam hutan meliputi berburu binatang, mencari ikan, mencari sayur, mencari sagu, mengumpulkan kayu bakar, sumber obat-obatan alami, menebang pohon untuk dijadikan bahan bangunan rumah, atap daun sagu dan dinding gabah gabah (pelepah daun sagu).

Namun petaka tiba atas nama investasi bagi kesejahteraan masyarakat datang sekitar 1982/1983, potensi hutan dibabat sedikit demi sedikit guna menanam kelapa sawit. Sekitar 3.600 hektar lahan hutan digunduli dan ditanami kelapa sawit (Elaeis guinemsis Jack) tanaman yang berasal dari Nigeria Afrika Barat. Hewan buruan seperti babi hutan menyingkir entah ke mana karena habitat aslinya sudah berubah jadi hutan sawit. Sagu dan jenis sayur- sayuran penduduk asli pun tak ada lagi.

Dampak besar akibat perubahan lahan hutan jadi kelapa sawit adalah bencana banjir setiap Kali Tami meluap warga di Arso IX dan X terendam banjir. Degradasi hutan dan deforestasi terus berlangsung hingga tak heran kalau intensitas dan frekwensi banjir terus meningkat. Sumber air minum pun ikut terpengaruh karena saat musim kemarau tiba warga sulit mencari air. Benja V Mambay Direktur WWF Region Sahul menegaskan bahwa satu buah kelapa sawit satu hari memerlukan 20 liter air. Bayangkan saja kalau lebih dari 1.000 pohon sawit berarit memerlukan 20.000 liter air per hari. Sebuah ancaman yang sangat berarti bagi ketersediaan air minum di lokasi perkebunan.

Masyarakat yang sebelumnya sebagai peramu kini dihadapkan dengan sistim upah dan juga sistim kredit yang membutuhkan rutinitas kerja dan etos kerja yang juga berbeda. Mereka diperhadapkan dengan pola hubungan majikan dan bawahan/buruh. Pastor Jhon Jonga melaporkan bahwa hampir semua orang menjadi bingung, cemas, ragu-ragu dan gelisah karena perubahan yang begitu cepat dan menyeluruh. “Tidak sedikit orang yang mengalami shock ekonomi yang luar biasa,”tegas Pastor Jhon Jonga.

Hal ini semakin diperparah lagi dengan orientasi yang sudah berubah dalam kegiatan ekonomi. Masyarakat terbawa arus perubahan, jika memperoleh uang hanya digunakan untuk kebutuhan hari ini sesuai keinginan hati. Tak ada kebiasaan untuk menabung dan memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari hari.

Perubahan pola ekonomi juga berpengaruh pada pola makan atau konsumsi makanan, mereka yang tadinya makan sagu harus terpaksa menggantikannya dengan beras yang bukan makanan pokok mereka. Anak- anak dan para pemuda di Arso sudah tidak lagi mengosumsi sagu melainkan beras. Memang mereka makan papeda tetapi bukan merupakan menu utama.

Sejak 1982/1983 wilayah Arso tidak hanya terdiri dari penduduk asli pribumi tetapi juga telah hadir warga lain dari luar Papua seperti Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Bali serta Papua (non Arso). Mereka datang karena program pemerintah yaitu transmigrasi. Hal ini jelas sangat berpengaruh dalam jumlah penduduk dan juga perubahan budaya, sesuai dengan hasil studi Edy Rosariyanto OFM dan kawan kawan dari Tim Dekenat Keerom menunjukan bahwa kini jumlah penduduk Papua di Kabupaten Keerom adalah sebanyak 17.947 jiwa sedangkan non Papua jauh lebih besar sebanyak 24.938 jiwa.

Berdasarkan data BPS Januari 2008 itu jelas bahwa penduduk non Papua jauh lebih besar jumlahnya ketimbang penduduk Papua termasuk penduduk pribumi di Arso dan sekitarnya. (Dominggus A Mampioper dari berbagai sumber)

---------------------------------------
Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=141&Itemid=9
BACA TRUZZ...- Kabupaten Keerom, Gambaran Minoritas Warga Pribumi

Masyarakat Adat Papua Menjadi Minoritas di Atas Tanah Sendiri



Suara-suara yang menginginkan penuntasan hak-hak dasar orang asli Papua ini juga seringkali dituding sebagai suara separatis. (Foto:JUBI/Saut Marpaung)
-----------------------------------------------------------------
Dalam forum Conferention of Parties (COP) XIV di Poznan, Polandia akhir tahun 2008 terjadi perdebatan negara-negara berkembang dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia dan New Zealand mengenai masyarakat pribumi atau yang biasa kita sebut Masyarakat Adat. Empat negara maju tersebut menolak penggunaan “S” dalam kalimat “full end effective participation of Indigenous Peoples” pada skema Reduction Emitions from Deforestation and Degradation (REDD).

Peniadaan “S” dalam dokumen draft text Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) 29 agenda item 5 diduga oleh komunitas masyarakat pribumi sebagai upaya meniadakan hak-hak masyarakat adat dalam skema REDD. Dengan kata lain, mereka mengakui eksistensi Masyarakat Adat dalam perspektif individu, bukan komunal, sehingga tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat adat yang diakui oleh PBB melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).

Pandangan empat negara maju ini mendapat protes yang sangat keras oleh sembilan orang pemimpin masyarakat pribumi yang mewakili kelompok masyarakat pribumi dari seluruh dunia dalam event tersebut. Sayangnya, pada tanggal 10 Desember, komunitas masyarakat pribumi ini juga ditolak untuk menyampaikan pandangan final mereka terhadap dokumen SBSTA tersebut.

“Ini sangat tidak fair. Mereka telah menghilangkan substansi yang menyebutkan bahwa masyarakat pribumi memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap keputusan yang akan diambil yang bisa mempengaruhi kehidupan diwilayah mereka.” ujar Vicky Torpuz, Chair of the UN Permanent Forum on Indigenous Issues.

Tidak diragukan lagi, ini bukan mengenai perdebatan semantika, tapi merupakan perdebatan antara visi kapitalis dan visi indigenous. Visi Kapitalis tentunya berpihak pada tradisi ekspansi kapital sebagai wujud baru kolonialisme dan tentu saja bertolak belakang dengan visi indigenous yang memiliki tradisi heritage. Belum lagi jika kita melihat sudut pandang masyarakat adat dimanapun mengenai dimensi kehidupan di sekitar mereka yang tidak lepas dari apa yang disebut masyarakat modern sebagai Sumber Daya Alam (SDA).

Dan di sisi lain, SDA merupakan salah satu tujuan utama tradisi ekspansi yang dilakukan para kapitalis. Yang juga memisahkan SDA dari konteks alam yang dipahami oleh masyarakat adat sebagai satu kesatuan utuh dengan mereka. Sehingga bukanlah hal yang aneh jika masyarakat adat memandang tanah sebagai satu kesatuan utuh, baik apa yang ada di dalam tanah, di atas tanah hingga disekitarnya, termasuk manusia yang tinggal diatasnya. Di sini, apa yang kemudian disebut sebagai ancestral domain lebih rasional daripada apa yang dikenal sebagai ancestral land dalam hukum-hukum tentang tanah. Tidak ada kehidupan tanpa tanah. Itulah yang diyakini oleh masyarakat adat dimanapun mereka berada.

Perdebatan di atas, merupakan sebuah potret masyarakat internasional tentang masyarakat adat. Sebuah fakta yang juga terjadi di Papua sejak jaman kolonialisme Belanda hingga jaman Otsus ini. Konflik apapun di Papua ini bisa dipastikan bersumber dari SDA dan hak-hak masyarakat adat Papua. Misalnya dalam Undang Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, disebutkan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

“Bagi orang Papua tanah itu sangat penting karena sama dengan kehidupan manusia dan juga sebagai identitas dari setiap kelompok etnis yang memiliki wilayah tertentu.
Kalau ada pemanfaatan terhadap tanah itu oleh pihak lain, maka itu akan menjadi persoalan besar. Karena setiap kelompok etnis mempunyai cara-cara tertentu untuk memanfaatkan tanah. Ada bagian-bagian yang dipakai untuk berkebun, ada bagian lain yang dibiarkan tetap hutan alami agar menjadi tempat tinggal hewan untuk berburu atau tempat mencari kayu untuk bahan-bahan membangun rumah. Jadi ada bagian-bagian tanah tertentu yang harus mereka tebang atau dijaga pelestariannya.” ujar J. Mansoben, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, tentang fungsi tanah bagi orang Papua kepada Tabloid JUBI dalam salah satu wawancara dengannya.

Jika merujuk pada fungsi tanah bagi orang Papua yang disebutkan diatas, pasal dalam UU Pokok Agraria diatas tentunya meniadakan eksistensi masyarakat adat yang sudah ada jauh sebelum konsep negara diperkenalkan yang pastinya telah dan masih akan menimbulkan konflik antara negara dan masyarakat. Sengketa tanah antar masyarakat Papua maupun antara masyarakat dengan pihak lainnya merupakan wujud dari implementasi UU tersebut yang tidak memperhatikan nilai dan fungsi tanah bagi orang Papua.

Demikian juga dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang kemudian menjadi pintu masuk PT Freeport Indonesia untuk melakukan eksplorasi di Timika tanpa sedikitpun menghargai eksistensi masyarakat Adat di wilayah tersebut. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada emas dan tembaga di Timika, tapi juga terjadi pada kekayaan lain masyarakat adat Papua seperti hutan, laut, gas alam, keanekaragaman hayati hingga kekayaan intelektual orang Papua. Dalam perspektif masyarakat adat ini lebih tepat disebut sebagai perampasan daripada sebuah pembangunan.

Di masa lalu, masyarakat adat Papua telah mengembangkan sistem distribusi SDA, ekonomi, dan politik berdasarkan hukum adat yang dimiliki oleh masing-masing komunitas. Misalnya kepemilikan komunal atas tanah mencerminkan pola demokratis dalam sistem distribusi SDA. Demikian juga dengan pola-pola kepemimpinan seperti Bigman dan Ondoafi yang mencerminkan sistem politik dalam hukum adat masyarakat Papua. Ondoafi ataupun Bigman, hancur sejak diterapkannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeret sistem politik tradisional milik masyarakat Papua ke dalam sistem pemerintahan administratif desa.

Terseretnya “Self Governing Community” ini juga menyeret hak komunitas (termasuk tanah) dalam klaim negara. Sejak saat ini juga, komunitas masyarakat adat menjadi sub-ordinat dari pemerintahan desa yang bisa disebut sebagai proses “negaranisasi”. Ditambah lagi dengan tradisi kapitalis yang mulai merambah Papua, maka proses “negaranisasi” ini menjadi sebuah legitimasi politik penguasaan atas sumber daya alam milik masyarakat Papua. Hak masyarakat adat Papuapun menjadi hilang.

Jika mengutip pendapat Marx, semakin tampak ketidakadilan dalam distribusi sumber-sumber langka yang ada dalam suatu sistem sosial, maka akan terjadi kecenderungan yang semakin kuat ke arah konflik kepentingan antara segmen dominan dan sub-ordinat. Pendapat ini dipertegas oleh Jonathan Turner, seorang Profesor Teori Sosiologi dari University of California at Riverside (USA) bahwa semakin segmen sub-ordinat menjadi sadar tentang kepentingan kolektifnya yang sesungguhnya (true collective interests), semakin cenderung mereka mempertanyakan legitimasi dari keberadaan pola distribusi sumber-sumber daya yang semakin langka.

Teori-teori ini menjadi sangat rasional jika masyarakat adat Papua merasa perlu menuntut kembali hak-hak mereka yang telah “dirampas” oleh negara maupun sektor swasta. Ironisnya, perbedaan perspektif antara negara dengan komunitas masyarakat adat tentang SDA ini seringkali menempatkan masyarakat adat Papua dalam ketidakadilan. Dalam pengalaman masyarakat adat Papua, ketidakadilan ini seringkali muncul dalam stigma separatis yang dimunculkan oleh negara. Selain itu, muncul juga dalam pengembangan opini/wacana tentang masyarakat adat Papua sebagai korban. Perspektif korban dalam memandang masyarakat Papua ini sangat tidak adil untuk sebuah komunitas yang memiliki kekayaan alam melimpah. Perspektif seperti ini bisa jadi akan meniadakan prinsip Self Determination masyarakat adat yang diakui dalam UNDRIP.

Lebih ironis lagi, status Otonomi Khusus yang diberikan untuk provinsi Papua yang bertujuan mulia untuk memajukan Papua lebih banyak diidentikan dengan uang. Berapa besar dana Otsus yang di dapat, berapa banyak yang dikorupsi, berapa banyak alokasinya untuk setiap sektor selalu menjadi topik utama dalam forum-forum tentang Otonomi Khusus Papua. Sementara substansi Otsus sendiri, yakni hak-hak dasar orang asli Papua, menjadi nomor kesekian. Suara-suara yang menginginkan penuntasan hak-hak dasar orang asli Papua ini juga seringkali dituding sebagai suara separatis.

Tidak mudah menempatkan masyarakat adat Papua dalam sebuah opini/wacana yang adil, terutama dalam perspektif pemilik kekayaan melimpah dan bukan dalam perspektif korban. Selain karena belum adanya regulasi nasional yang bisa mengarahkan perspektif masyarakat secara adil dalam memandang masyarakat adat, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak ekosob masyarakat adat Papua masih juga dipandang dalam perspektif sipil politik. Tidak hanya oleh negara tapi juga oleh aktor-aktor non negara lainnya. Fakta ini juga yang menjadi kendala untuk menyelesaikan persoalan-persoalan Papua pada “akarnya”. (Victor Mambor)
---------------------------
Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=958&Itemid=9
BACA TRUZZ...- Masyarakat Adat Papua Menjadi Minoritas di Atas Tanah Sendiri

Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Mitra Kerja Pemerintah

Pembentukan DKR sebagai Mitra Kerja Pmerintah khususnya Dinas Kesehatan Propinsi Papua sebab masalah kesehatan masih memprihatinkan di Indonesia termasuk di Propinsi Papua khususnya didaerah terpencil.

Hal ini diungkapkan Samuel Awom, Sekretaris Jenderal Propinsi Papua, saat diwawancarai Jubi pada kamis (08/01) disekretariat DKR.
"Dewan ini berdiri karena Menteri Kesehatan RI melihat masalah kesehatan di daerah terpencil di Indonesia, lebih khusus di Papua kurang di perhatikan, " Ujar Awom".

Ditambahkan kebanyakan di daerah-daerah terpencil kekurangan fasilitas kesehatan, bangunan fisik yang kurang diperhatikan sehingga kesehatan masyarakat tidak terjamin dengan baik. "Selain itu kurangnya tenaga kesehatan dan dokter spesialis" Ujar Awom.
Menurutnya kadang dalam indikasi pelayanan kesehatan dari dinas-dinas itu sering terjadi kemandegan pelayanan kesehatan terutama menyangkut dana-dana kesehatan.

"ini kenyataan yang ada di Papua sebab selama ini tidak didistribusi dengan baik" Ungkap Samuel tegas. Dengan alasan ini, maka lanjut dia, DKR sebagai Mitra Kerja Dinas Kesehatan untuk mengkoordinir masyarakat dalam menanggulangi kesehatannya. Sampai sejauh ini DKR sudah beroperasi untuk menjalankan programnya disemua kabupaten-kabupaten yang ada di Papua, baik di Propinsi Papua dan Papua Barat. Ujar Awom.

Ditambahkannya program-program yang dijalankan selama ini, yaitu ; pendataan penduduk, pendataan pos kesehatan antara lain puskesmas, pustu dan lain-lain. Selain itu dilakukan pendataan penyakit yang sering dialami. Jadi hampir kebanyakan DKR memediasi masyarakat bawah dan memastikan apakah mereka selama ini sudah mendapat pelayanan kesehatan secara gratis atau belum. Urai Awom.

Dikatakan pada tahun 2008 tanggal 11 - 12 Maret, DKR melakukan Workshop dan Konferensi yang menugaskan DKR untuk mendukung Departemen Kesehatan RI dalam membangun desa-desa siaga diseluruh wilayah NKRI.

"Selanjutnya sesuai dengan seruan Presiden SBY saat Pencanangan Pekan Kesehatan Nasional pada (08/06/05) dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 116/SK/II/2008. Ujar Awom. (Musa Abubar).
------------------------------
Sumber:http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=893&Itemid=9

BACA TRUZZ...- Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Mitra Kerja Pemerintah

"Quo Vadis" Pelayanan Kesehatan Papua?

Oleh Lana Erawati*)

TULISAN ini ditujukan kepada saudara-saudara kaum elite Papua yang saat ini memegang kedudukan, baik sebagai pejabat pemerintah, LSM, tokoh gereja, maupun tokoh masyarakat, agar mereka peduli kepada rakyat yang kurang beruntung, kurang mendapat kesempatan dan perhatian dan kurang dalam segala-galanya.

Kita semua sudah mendengar bahwa terjadi kematian balita yang cukup besar dalam kurun waktu sebulan di tujuh kecamatan wilayah Kabupaten Paniai pada Desember lalu. Sebagai gambaran, di Kecamatan Pogapa saja dengan jumlah penduduk 15.800 telah terjadi 52 kematian balita sejak November sampai saat ini (17 Desember 2004 - Red).

Yayasan Denyut Desa yang mempunyai program pengembangan masyarakat di wilayah tersebut menerima laporan ini, kemudian melapor pada Pemkab Paniai namun tidak ada tanggapan. Singkatnya pada 13 Desember tiga tim relawan melakukan aksi sosial di wilayah tersebut. Kegiatan ini terlaksana berkat sumbangan para karyawan PT Freeport, PT Freeport sendiri, Rumah Sakit Mitra Masyarakat, PT ISOS AEA (institusi kesehatan di PT Freeport) dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK)

Tim yang ke Pogapa menyimpulkan penyebab kematian adalah pneumonia dengan komplikasi diare ringan, sebagai kelanjutan dari infeksi saluran pernapasan yang tidak ditangani dengan baik. Mengapa sampai penyakit ISPA yang biasa terjadi di mana-mana bisa menyebabkan kematian balita yang begitu dahsyat? Hal ini disebabkan kemampuan dan pengetahuan orang tua untuk merawat anak masih sangat rendah, dan di sisi lain pelayanan kesehatan sangat minim dengan, kualitas yang amat rendah. Memang ironis sekali, musibah dahsyat dengan penyebab penyakit yang sepele. Tapi itulah kenyataannya.

Terdapat tujuh kecamatan yang terkena KLB (Kejadian Luar Biasa), mayoritas dihuni oleh suku Moni, yang tinggal di wilayah bergunung-gunung dan hawanya cukup dingin. Transportasi satu-satunya yang menghubungkan ibu kota kecamatan dengan daerah lain adalah pesawat terbang kecil jenis Cessna. Komunikasi hanya dengan radio pada jam-jam tertentu. Desa-desa itu tidak ada lapangan terbangnya, dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki beberapa jam sampai 2-3 hari. Kondisi ini tentu sama sejak puluhan tahun lalu, namun mengapa selama ini musibah sedahsyat itu tidak terjadi?

Peran Misionaris
Marilah kita menengok kilas balik pelayanan kesehatan di Papua. Kira-kira 20 tahun yang lalu, jumlah tenaga dokter masih sangat sedikit, namun para misionaris banyak bekerja di daerah-daerah pedalaman dan kontribusinya dalam pelayanan kesehatan sangat besar. Pemerintah, misionaris dan LSM bekerja sama dengan kompak dalam pelayanan kesehatan.

Kemudian satu per satu para misionaris pergi karena tidak mendapat izin tinggal. Kepergian mereka sangat memukul semua karya sosial di pedalaman dan dampak negatifnya sangat signifikan. Namun sejalan dengan itu jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Papua juga meningkat.

Dinas Kesehatan Kabupaten memegang peran utama dalam menjalankan upaya kesehatan, sedangkan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kanwil berperan dalam membuat kebijakan dan mengontrol. Walaupun banyak sekali kekurangannya namun pelayanan kesehatan masih berjalan di sebagian besar wilayah Papua. Kalaupun terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), hanya pada tempat-tempat yang benar-benar terpencil bukan di ibu kota kecamatan, atau bila terjadi di kota penyebabnya tentu bukan masalah sepele dan tidak ada kematian besar-besaran seperti di wilayah Paniai.

Kemudian terjadilah reformasi, lalu kaum elite Papua menuntut ”Papuanisasi” dalam arti agar para elite Papua diberi kesempatan menduduki jabatan. Ttdak jelas apa tujuan Papuanisasi, namun banyak contoh para pejabat digeser begitu saja dengan tidak hormat, tanpa menghiraukan jasa-jasanya, masa pengabdiannya dan kemampuannya lalu diganti dengan orang Papua yang tidak punya kemampuan dan belum memenuhi syarat untuk menjabat. Semua peraturan, etika, moral dilanggar, yang penling orang Papua dapat jabatan. Bahkan di satu kabupaten para dokter ”pendatang” diusir, Kepala Dinas dianiaya sehingga menimbulkan ketakutan bagi para dokter untuk bertugas di Papua.

Sering Tutup
Kalau dulu yang namanya Puskesmas induk selalu buka setiap hari, maka sekarang ini lebih banyak ditemukan Puskesmas yang sering tutup. Dulu hampir semua balita memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) sehingga bisa dipantau perkembangannya. , mendapat vitamin A, obat cacing dan sebagainya. Sekarang ini kegiatan itu tidak jelas lagi. Dulu semua petugas tahu membedakan kriteria KLB dan Dinas Kesehatan Kabupaten sangat tanggap, sekarang ini ada KLB sampai berminggu-minggu dengan begitu banyak kematian, belum berbuat apa-apa.

Marilah kita menelaah masalah ini dengan logika akal sehat, kalau dulu yang disebut mantri atau perawat entah itu dari SPK, SPR atau sekadar dilatih oleh misionaris tahu mengobati penyakit sederhana seperti ISPA dan malaria. Sekarang mereka tidak mampu. Jadi kalau di Pogapa dikatakan ada enam orang mantri, harus dipertanyakan apakah memang punya kemampuan dasar sebagai mantri. Harus dipertanyakan pula berapa hari dalam setahun mereka bekerja? Banyak sekali keluhan dari masyarakat bahwa petugas kesehatan jarang ada di tempat.


Jadi di Papua banyak sekali petugas kesehatan yang aspal, asli tapi palsu, karena sebenarnya tidak punya kemampuan bahkan kemampuan dasar sekali pun. Lalu jam kerja yang aspal, karena hanya bekerja sekian persen dari jam kerja.

Mari kita menengok institusi pendidikan kesehatan di Papua, berapa banyak meluluskan anak didik yang tidak layak lulus? Berapa banyak ijazah aspal diluncurkan? Berapa persen dari guru-guru sekolah kesehatan yang memiliki kualitas sebagai guru? Benarkah sekian jam belajar dalam kurikulum dipenuhi? Berapa persen jam membolos para guru? Bolehkah dikatakan institusi pendidikan kesehatan di Papua ini memang asli institusi pendidikan kesehatan dalam arti memang memenuhi syarat ”dasar” untuk disebut begitu? Atau jangan-jangan juga hanya aspal?

Asal-asalan
Dinas Kesehatan Kabupaten memegang peran utama dalam menjalankan upaya kesehatan namun saat ini fungsinya kabur. Berapa persen Kepala Dinas yang memiliki kemampuan sebagai Kepala Dinas? Kalau dulu Kepala Dinas hanya dijabat oleh dokter-dokter senior, maka sekarang ini orang dengan macam-macam latar belakang pendidikan bisa menjabat.
Ada yang sarjana hukum, ekonomi dan lain-lain. Akibatnya, banyak Kepala Dinas Kesehatan di Papua tidak mampu membuat analisis kesehatan, tidak punya pengetahuan minimal epidemiologi, tidak bisa membaca data statistik kesehatan ataupun kemampuan minimal lainnya dalam manajemen kesehatan masyarakat.

Dulu sebagian besar dokter bekerja sesuai yang diharapkan, hanya segelintir yang malas. Namun sekarang ini sudah lumrah kalau para dokter membolos, mabuk, korupsi. Persentase dokter yang baik-baik semakin lama semakin berkurang, yang idealis mungkin tinggal sisa-sisa. Dulu prestasi kerja masih dihargai, mekanisme reward & punishment, walaupun banyak sekali kekurangan di sana-sini, masih berjalan. Sekarang ini lebih mengarah ke hukum rimba. Siapa kuat, akan mendapat.

Jangan ditanya lagi kemajuan dalam hal korupsi. Banyak pejabat yang tidak punya kemampuan sebagai pejabat, namun dalam korupsi tidak mau kalah dengan wilayah lain di Indonesia. Dinas Kesenian provinsi yang selama ini memacu menjadi pengontrol kehilangan kemampuan kontrolnya karena otonomi daerah yang tidak terkendali. Masing-masing Dinas Kesehatan menjadi kerajaan kecil-kecil yang bisa berbuat sewenang-wenang.

Jadilah, pelayan kesehatan yang dilakukan oleh sebagian tenaga-tenaga aspal, lulusan institusi pendidikan aspal, dengan jam kerja aspal, di bawah bimbingan dinas kesehatan aspal, ditambah rongrongan korupsi yang tidak terkendali maka hasilnya adalah tragedi yang mengerikan seperti yang terjadi di Paniai. Memang tidak semua begitu, namun jumlah keburukan yang ada saat ini bila tidak segera ditanggulangi akan menghancurkan masa depan masyarakat.
Kini banyak elite Papua yang menikmati duduk sebagai pejabat di kursi empuk dengon materi yang berimpah. Namun jangan lupa masyarakat kecil Papua harus membayar dengan mahal, bahkan dengan nyawanya.

Reformasi Total
Tragedi yang terjadi di Paniai kiranya cukup untuk mengetuk nurani para elite Papua agar mau berbagi dengan saudara-saudara yang masih tertinggal. Kiranya memiliki kebesaran hati untuk membiarkan mereka mendapatkan kesejahteraan setidak-tidaknya hak untuk ”hidup”.
Bila para elite Papua masih memiliki ”belas kasihan” pada masyarakat kecil, maka jalan keluarnya adalah reformasi total di berbagai jajaran Dinas Kesehatan. Kepala Dinas Kabupaten yang tidak mampu harus diganti dengan yang kompeten tidak peduli suku maupun agamanya.

Karena jumlah tenaga yang mampu hanya sedikit maka Dinas Kesehatan Kabupaten sebaiknya dikembalikan seperti dulu sebelum pemekaran. Kota-kota yang tidak mempunyai sarana yang memadai seperti Enarotali atau Sarmi sebaiknya di bawah naungan Dinas Kesehatan Kabupaten lain. Dinas Kesehatan Provinsi sebaiknya hanya satu saja di Jayapura karena bila dipecah sulit mendapat tenaga yang kompeten dan boros biaya.
Harus dilakukan audit oleh tim independen atas sekolah-sekolah kesehatan, dan berani mengganti kepala sekolah maupun guru-guru dengan yang kompeten. Harus dipertanyakan keberadaan Fakultas Kedokteran Unversitas Cenderawasih di Jayapura, apakah masih layak untuk diteruskan?

Diperlukan keberanian dan kejujuran dari semua pihak untuk mengatakan yang sebenarnya. Berani berkata benar bila benar, salah bila salah, tidak layak bila tidak layak, layak bila layak. Sekarang tinggal bagaimana keputusan para elite Papua, apakah mau selamatkan Papua atau hancurkan Papua.

Penulis adalah dokter yang tinggal di Papua.
-------------------------------------
Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0501/ 08/opi02. html

BACA TRUZZ...- "Quo Vadis" Pelayanan Kesehatan Papua?

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut