70 Persen Kecerdasan Anak Papua Alami Keterlambatan

Kamis, Oktober 29, 2009

JAYAPURA-Ketua Tim Studi Keterdidikan Anak Papua dari Lembaga Studi Willi Toisuta dan Associates Jakarta, Eka Simanjuntak, mengatakan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Papua terdapat sekitar 70 persen anak-anak Papua (terutama di pedalaman) yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan kognitif (kecerdasan otak)nya. Parahnya lagi, ini banyak terjadi pada anak usia dini.

Menurut Eka, keterlambatan itu disebabkan oleh tiga hal pokok. Pertama, aspek bahasa. Dimana hal itu menjadi masalah karena mereka kesulitan dalam memahami materi pembelajaran yang diajarkan, sebab umumnya untuk berbahasa Indonesia saja pun masih sulit terutama di daerah terpencil.

Permasalahan kedua adalah dalam hal membaca, menulis, dan menggambar. Ketiga ialah perilaku sosial mereka sendiri, yang kenyataannya lebih mementingkan hal lain dibanding harus bersekolah, serta sulitnya wilayah-wilayah yang harus dijangkau dalam pemberian pelayanan itu sendiri.

"Tiga faktor ini yang memberikan kontribusi dalam menghambat perkembangan kognitif anak," ungkap Eka kepada wartawan di sela-sela seminar hasil penelitian tentang keterdidikan anak Papua di Gedung Negara, Jayapura, Rabu (28/10).

Bila kondisi demikian dibiarkan terus menerus, maka ketika mereka masuk sekolah, mereka akan kesulitan mengikuti pembelajaran. "Sehingga antara pendidikan formal sendiri dan kondisi anak yang sebenarnya akan terjadi ketidaknyambungan yang jelas mempengaruhi perkembangan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) peserta didik selannjutnya," terangnya.

Untuk mengatasi hal itu, harus ada kebijakan khusus bagi pendidikan di pedalaman, termasuk bagi tenaga pendidiknya yang harus mengajar secara profesional dan berkualitas disiplin ilmunya, serta punya pengalaman dalam segala hal pendidikan.
"Misalnya kondisi ketika mereka sebelum sekolah itu mendapatkan masalah, lalu saat duduk di kelas 1 dan kelas 2, dan gurunya pun mengajar tidak dengan benar dan berkualitas, akhirnya pada kelas 3 ke atas mulai kelihatan ada murid yang drop out (putus sekolah), tinggal kelas, dan lain-lainnya. Khusus drop out, angkanya sangat tinggi di Papua," tegasnya.

Dijelaskan, persoalan-persoalan itu disebabkan oleh sejak anak itu dalam kandungan ibunya hingga masih berumur balita tidak terurus secara baik dalam hal merangsang perkembangan otaknya dan pemberian gizi yang benar bagi perkembangan otak dan fisik anaknya itu. Dengan kata lain menyangkut pola asuh anak itu sendiri.

"Anak-anak normal yang usia dua tahun harus ngomong atau umur sekian sudah bisa lakukan sesuatu, tapi kenyataannya umumnya anak-anak di Papua ini terutama pedalaman belum dapat melakukan hal-hal itu. Dan ini berpengaruh pada kemampuan dalam menangkap pelajaran di sekolah, bahkan membuat mereka tidak nyaman di dalam belajar. Di sini juga orang tua juga harus dipersiapkan juga untuk tahu bagaimana mendidik anaknya itu," tandasnya.

Di tempat yang sama, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua Drs. James Modouw,M.MT menegaskan, hasil penelitian yang dipaparkan itu sudah jelas mengungkapkan potensi-potensi keterdidikan anak Papua dan hambatan-hambatan apa yang muncul dalam upaya-upaya untuk mengembangkan potensi yang ada.

Hambatan yang paling besar adalah faktor gizi, sehingga menyebabkan anak-anak di Papua mengalami kelemahan-kelemahan dalam kecerdasan otak yang prosentasenya mencapai 70 persen.

"Oleh sebab itu kebijakan Gubernur tentang Respek dan perbaikan gizi ibu dan anak di kampung itu harus ditingkatkan, sebab penelitian ini menunjukkan memang gizi bagi anak dan ibu di kampung ini sangat memprihatinkan," paparnya.

Nah dengan hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk memulai suatu pendekatan basis dalam menyusun program kurikulum lokal sesuai dengan kewenangan Otsus itu sendiri. Karena kurikulum nasional tidak boleh disamaratakan dengan kondisi yang ada di Papua yang tentunya berbeda-beda sifatnya itu.

"Kondisi seperti ini menyebabkan bagaimana proses anak didik dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga anak SD kelas 3 menjadi kurang maksimal, tetapi ini sudah kami intervensi kepada keluarga dan guru yang mengajar agar guru bisa mengetahui apa yang menjadi persoalan anak tersebut. Karena ternyata anak-anak mempunyai permasalahan yang berbeda-beda dalam kecerdasan otak yang dipengaruhi oleh gizi itu," tandasnya.

Dikatakan, kesulitan akses pada daerah terpencil juga merupakan faktor hambatan terhadap potensi keterdidikan anak itu. "Oleh karena itu harus dibuka akses itu dalam rangka komunikasi, sesuai dengan kebijakan gubernur tentang pendidikan jarak jauh. Dan bagaimana memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar mereka memahami tentang pengaturan gizi yang baik, bagaimana ibu hamil dan anak balita," katanya.

Hal ini supaya potensi-potensi keterdidikan anak itu sejak dalam kandungan sudah bisa disiapkan secara optimal hingga melahirkan dan menyusui, dan setelah itu anak tersebut masuk sekolah dan kapasitasnya kecerdasan otaknya sudah terbentuk dan di sekolah tersebut dengan mudah anak bisa belajar, dan mampu berkomunikasi dengan siapapun.

"Ini yang harus kita semua kerja keras. Kerja keras kita bukan hanya persoalan pembangunan dalam rangka pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga persoalan mendasar tentang gizi yang lemah, komunikasi dan informasi yang lemah. Termasuk di dalamnya bagaimana mencerdaskan masyarakat yang masih buta aksara yang perlu diberdayakan supaya mampu mendidik dan mengasuh anaknya dengan baik," tandas Modouw.

Ditambahkan, hasil penelitian ini akan menjadi referensi untuk merubah pendidikan di Papua ke depan, terutama kurikulum secara lokal. "Sekarang kita sudah punya referensi dari mana kita mulai dan bagaimana membuat intervensi-intervensi fokus pada program-program apa yang menonjol dalam pendidikan, dan ini harus dimulai dari PAUD, bahkan keluarga pun harus diintervensi mengenai pendidikan itu," imbuhnya.(nls) (scorpions)
---------------------------
Sumber: Cenderawasihpos.com

3 komentar:

Anonim mengatakan...

membaca judul dari artikel ini, sangatlah mengejutkan dan memunculkan pertanyaan di benak saya? Dari data tersebut, bagaimana pemecahanya dan apa peran pemberi data selanjutnya setelah mengetahui keadaan sebenarnya.
tolong di konvert 70 persen generasi Papua ke number, agar data tersebut bisa memnjadi reflection bagi kalangan pemerintah, dunia pendidikan dan masyrakat pada umumnya, para aktifis pendiidkan ( Asal Papua)yang peduli akan pendidikan di Papua.Thank u ..I love this artikel.....

John mengatakan...

ya Allah mudah-mudahan pemerintah Indonesia dan kalangan guru bisa dibukakan pintu untuk memberikan sumbangsih kepada anak Papua

John mengatakan...

ya Allah mudah-mudahan pemerintah Indonesia dan kalangan guru bisa dibukakan pintu untuk memberikan sumbangsih kepada anak Papua

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut