PGRI Keluhkan Ujian Nasional

Jumat, Mei 15, 2009

Kerap Jadi Objek Eksploitasi Kepala Dinas dan Kepala Daerah

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menilai guru kerap menjadi objek eksploitasi kepala dinas dan kepala daerah yang kerap memaksakan angka kelulusan siswa dalam ujian nasional 100 persen. Guru menginginkan objektifitas penilaian, namun kepala dinas dan kepala daerah kerap memerintahkan guru melakukan kecurangan dalam ujian nasional.

" Pemegang kekuasaan seperti kepala dinas dan kepala daerah berambisi agar anak-anak didik lulus dan tidak mempermalukan daerah. Gengsi itu menjerumuskan guru melakukan tindakan tak terpuji, seperti melakukan kecurangan, membuat tim sukses, dan lain-lain," ujar Ketua Pengurus Besar PGRI Sulistyo dalam audiensi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Gedung Guru, Tanah Abang, Jakarta, kemarin (14/5).

Selain itu, PGRI juga mengeluh guru dan kepala sekolah kini tidak memiliki otoritas akademik dengan masuknya pengawas independen, kepolisian, dan lembaga swadaya masyarakat dalam pengawasan ujian nasional. " Aparat kepolisian dan lembaga swadaya masyarakat juga bertindak terlalu jauh dalam alokasi block grant seperti bantuan operasional sekolah, sehingga kepala sekolah dan guru habis waktunya untuk mengurusi administrasi dan tindakan aparat hukum yang meresahkan," terangnya.

Organisasi yang beranggotakan 1,960 juta guru negeri dan swasta ini menilai kampanye sekolah gratis menjadi komoditas politik yang menyulitkan posisi guru dan kepala sekolah dalam memperoleh kontribusi dari masyarakat. Padahal, alokasi dana BOS tidak cukup untuk peningkatan kualitas pendidikan. " Seharusnya tidak dipukul rata. Masyarakat miskin boleh gratis, tapi masyarakat mampu diperbolehkan memberikan kontribusi sukarela pada sekolah," kata Sulistyo.

Menanggapi keluhan tersebut, Jusuf Kalla meminta guru menolak perintah kepala dinas dan kepala daerah untuk bertindak curang di ujian nasional. Dia meminta guru bertindak objektif dalam ujian nasional, sehingga upaya peningkatan kualitas pendidikan tidak tercederai ulah guru yang melakukan kecurangan.

" Guru harus konsisten dengan upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Kalau ada bupati marah, biarkan saja, tidak usah dilayani. Kalau ingin siswa lulus, mereka harus belajar, guru membantu persiapan ujian, dan bupati memberikan dukungan fasilitas sekolah," tandasnya.

Kalla lantas bercerita bahwa ujian nasional adalah idenya untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Ujian nasional digagasnya karena ada kesenjangan kualitas pendidikan siswa di Jawa dan luar Jawa, minimnya kesiapan lulusan SMA masuk ke pasar kerja, tinggginya angka perkelahian antarpelajar, dan kesenjangan kualitas pendidikan dasar di Indonesia dengan Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Kalla menuturkan, siswa merasa tidak perlu belajar karena pasti lulus semua, alumni SMA di Maluku dan NTT sulit masuk UI atau ITB yang menciptakan superioritas dan inferioritas, dan kualitas pendidikan yang seadanya. Dalam risetnya, materi ujian aljabar SMP tahun 1950-an dinilai lebih sulit dibanding materi ujian matematika SMP tahun 2000-an. Bahkan, materi ujian bahasa inggris SMP di Indonesia setara dengan materi ujian tingkat SD di Malaysia dan Filipina.

" Saya tanya ke rektor UI dan ITB, berapa anak Papua, Bengkulu, atau Maluku Utara yang masuk ke universitasnya. Mereka bilang nol, karena tidak ada yang lolos ujian. Sebaliknya, anak-anak Bandung, Jogja, dan Jakarta mendominasi ITB dan UI. Ini bahaya, karena nanti akan nanti akan ada disintegrasi, karena anak Bandung jadi insinyur, anak NTT jadi TKI," terangnya.

Wapres menegaskan, kualitas pendidikan tidak mungkin bisa ditingkatkan bila guru tidak berkualitas. Menurut dia, guru selama ini asal-asalan memberikan materi karena minimnya kemampuan mengajar dan tidak ada ukuran keberhasilan proses belajar-mengajar. " Karena itu, guru juga harus terus belajar, mengikuti perkembangan kurikulum. Di lain pihak, pemerintah berjanji akan terus berupaya meningkatkan kesejahteraan guru," tandasnya.

Dalam pertemuan tersebut, Kalla juga mengklaim dialah yang memutuskan untuk mengangkat 400 ribu guru bantu menjadi guru PNS pada periode 2003-2005. Dia pula yang berinisiatif memasukkan gaji guru dalam komponen anggaran pendidikan, sehingga bila anggaran pendidikan meningkat, pendapatan guru ikut meningkat.

' Sekarang dengan total APBN Rp 1.000 triliun, alokasi anggaran pendidikan baru Rp 200 triliun. Kalau saya jadi presiden, saya yakin total APBN jadi Rp 2.000 triliun, sehingga gaji guru otomatis meningkat dua kali lipat," tandasnya.

Terkait keluhan sekolah kesulitan memperoleh kontribusi dari orang tua siswa, Jusuf Kalla menilai kondisi tersebut berbahaya. Dia khawatir anak-anak orang-orang kaya pindah ke sekolah swasta yang kualitasnya baik, sehingga ada gap tinggi antara sekolah negeri dan swasta.

" Kalau ada orang tua murid makan di restoran jepang Rp 1 juta sekali duduk, masak tidak boleh menyumbang sekolah anaknya Rp 500 ribu. Sumbangan sukarela boleh, tapi jangan dipaksa. Kalau ada yang menyumbang sekolah negeri ditangkap polisi, nanti saya cari polisinya," tegasnya. (noe)

Sumber:http://cenderawasihpos.com/detail.php?id=27854&ses=

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut