Pengisian Angka Kredit Guru Sering ”Tebakan”

Sabtu, Mei 23, 2009

Oleh : Chairoel Anwar

Penilaian angka kredit (PAK) guru ataupun PNS lainnya, lebh sering menggunakan perkiraan atau ”tebakan”. Rata-rata, begitulah PAK guru PNS yang terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Fakta itu dibeberkan dalam rapat kerja Tim Penilaian Angka Kredit se-Provinsi Kepri, di Hotel Plaza Tanjungpinang, belum lama ini.

Rapat kerja tersebut hanya khusus untuk PAK jabatan fungsional tertentu (baca: guru). Kepala Bidang Mutasi, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kantor Regional XII Pekanbaru, Anita Tarigan, juga mengakui fakta tersebut. Bahkan, secara terus-terang dia sendiri mengaku geleng-geleng kepala dengan PAK yang pernah diusulkan Pemprov Kepri.

”Ada kejadian di (Pulau) Bintan ini. Masa DP3 diisi bagus semua? Malah, banyak yang 95 ke atas. Kalau seperti ini PNS-PNS yang diusulkan bisa naik pangkat luar biasa,” beber Anita keheranan. Menurut dia, peniaian dalam DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) harus mengacu kepada PP No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS. Berdasarkan PP tersebut, ada delapan unsur penilaian.

Seperti kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa, dan kepemimpinan. ”Kalaulah nilai DP3-nya sebagian besar bagus semua (95 ke atas, red), seharusnya nggak ada PNS yang suka nongkrong di warung kopi saat jam kerja,” ujar Anita. Kendati demikian, dia tak menampik, penilaian angka kredit PNS lebih cenderung ”tebak-tebakan”.

Pasalnya, skor penilaian yang diatur PP No. 10/1979 itu juga tidak dirinci secara detil. ”Memang betul kalau dibilang begitu. Tapi, juga harus pakai logika, dong. Lihat unsur-unsur lainnya,” tukas Anita.

Amburadul
Dalam rapat kerja itu juga terungkap, lulusan SMA bisa diangkat menjadi guru PNS. Seharusnya, ”Dia tetap bisa menjadi guru, tetapi bukan jabatan guru. Sehingga, kenaikan pangkatnya juga harus secara reguler (empat tahun sekali, red). Tapi saya heran, di Kepri ini guru PNS lulusan SMA disamakan dengan yang lulusan S-1,” kata Anita geram.

Dia juga membeberkan fakta lain yang cukup unik. ”Masa CPNS bisa mendapat tugas belajar? Belum lagi sempat mengabdi sebagai PNS, eh kok sudah bisa tugas belajar,” cerocos Anita. Belum lagi seorang guru PNS yang merupakan istri seorang pejabat tinggi daerah. Guru tersebut kerap ”cuti” mengajar karena mendapat predikat ”tempelan” suami.

Menurut Anita, guru tersebut harus tetap punya kewajiban mengajar. Kalau pun tugas mengajar ditinggalkan, dia harus mengajukan cuti atau ijin. ”Tidak bisa mentang-mentang istri seorang ’jenderal’ lantas bisa seenaknya,” papar Anita. Dari hasil raker tersebut, juga mencuat permasalahan lain. Misalnya, penilaian angka kredit jabatan guru banyak yang mengikuti aturan struktural. Dari golongan II/c bisa langsung ”melompat” ke golongan III/a.

Kemudian, kasus seorang guru PNS di salah satu SD di Kota Tanjungpinang, tanpa SK definitif ”ngotot” minta mengajar di SLTA. Meski guru bersangkutan bertitel sarjana, namun SK penempatannya adalah sebagai guru SD. Ada lagi, guru tamatan D-II jurusan Jasa. Yang bersangkutan ini akhirnya menjadi guru setelah ke sana-sini tak diterima kerja.

Uniknya, saat ingin melanjutkan kuliah—karena tuntutan UU Guru dan Dosen, yang bersangkutan memaksa agar ijazah D-II-nya ”disesuaikan”, dan tidak mau kuliah sebagai ”tamatan SMA”. (*)
------------------------------
Sumber:kabarindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut