SELAMATKAN MANUSIA DAN HUTAN PAPUA

Selasa, Maret 03, 2009

1,2 Juta Warga Asli Papua Terancam Kehidupannya

PRESS RELEASE Foker LSM Papua Jayapura 24 Februari 2009

Untuk dipublikasikan segera.

Hutan bagi masyarakat asli Papua adalah gudang makanan, sebab di dalam terdapat sumber obat obatan, makanan dan berbagai sumber kehidupan se hari hari bagi kelangsungan hidup mereka dari generasi ke generasi.

Ancaman ini semakin besar dengan kebijakan masyarakat internasional seperti Reduction Emition from Deforestation and Degradation (REDD). Otoritas atas wilayah adat sebagai lahan sumber kehidupan akan terganggu jika skema REDD tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Kompensasi yang diberikan oleh negara-negara maju bisa jadi akan menjadi lahan praktek baru KKN di Papua dan tidak akan pernah mensejahterakan masyarakat adat Papua sebagai pemilik. Bahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Hutan Adat yang saat ini sedang dibahas oleh Pemerintah Pusat meniadakan hutan adat karena semua hutan akan dikuasai oleh negara. Hutan adat hanya diakui melalui regulasi lokal (Peraturan Daerah) sekalipun masyarakat adat sudah beratus-ratus tahun hidup di kawasan tersebut.

Fakta-fakta tersebut sangat bertentangan dengan filosofi masyarakat adat Papua baik yang hidup di pesisir, lembah hingga pegunungan yang menganggap kehidupan manusia bersumber dari alam. Seperti juga masyarakat modern yang memandang tanah sebagai satu bagian ekosistem yang didalamnya terdapat interelasi antara tanah, air, hutan dan berbagai satwa, termasuk juga sumberdaya alam dalam perut bumi, masyarakat adat Papua memiliki pemahaman yang sama mengenai konsep ekosistem tersebut dalam konteks yang berbeda. Tanah dideskripsikan sebagai manusia yang memiliki banyak sistem dalam tubuhnya. Jika hutan sebagai salah satu system dalam ekosistem dirusak, maka kehidupan manusia juga akan rusak. Persepsi mengenai tanah pada masyarakat Papua juga termasuk apa yang ada di dalam dan diatas tanah, tidak terkecuali hutan. Mitologi masyarakat adat Papua seperti Kimani Depun di Genyem, Wamita di lembah Kebar, Te Aro Neweak Lak O di Amungme atau Nan Mangola di Ngalum bisa menjelaskan filosofi ini dengan sangat baik.

Data Departemen Kehutanan RI, luas hutan di Indonesia berdasarkan pemanfaatannya pada tahun 1950 adalah 162 juta hektare. Pada 1985, atau 35 tahun berikutnya, luas hutan Indonesia berkurang menjadi 119 juta hektar. Dalam kurun waktu 12 tahun, luas hutan di Indonesia menjadi 98 juta hektare atau hilang 21 juta hektare. Sementara pada tahun 2005, luas hutan yang tersebar di enam pulau besar yakni Papua Maluku, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi itu tinggal 85 juta hektare. Berarti selama kurun waktu 55 tahun, dari 1950 hingga 2005, hutan kita telah hilang 77 juta hektare atau 47,5%.

Indonesia termasuk negara ketiga pemilik hutan tropis terbesar di dunia setelah hutan Amazone di Brazil dan Congo Bazin di RDC dan Kamerun. Jika menyimak data-data deforestasi hutan Indonesia, maka sebagian besar hutan tropis itu masih tersisa di Papua Pada tahun 1985 menurut data Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia yang dicatat oleh Forest Watch Indonesia, hutan tropis Papua memiliki luas 34.958.300 Ha[1] dan tahun 1997 luas hutan tropis ini menjadi 33.160.231 Ha[2]. Namun pada tahun 2006, FWI-CIFOR dan Baplan Indonesia menyebutkan bahwa dari 41 juta hektar yang telah dipetakan, 34 juta hektar yang benar-benar merupakan hutan Papua [3].Artinya lebih dari 40% hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia berada di Papua. Namun ironinya sampai saat ini hutan Papua terancam deforestasi dan degradasi. Meski ada aturan di tingkat lokal maupun nasional tentang larangan kayu log keluar dari Papua Penyusutan hutan di Papua diperkirakan sebesar 600 ribu m3 per bulan dan diduga terjadi laju deforestasi yang mencapai 2,8 juta ha per tahun[4].
Hilangnya areal hutan tersebut karena pengelolaan yang tidak bijaksana, pembalakan liar dari perusahaan-perusahaan HPH melalui ijin pengelolaan hutan (IPKMA dan Kopermas) yang disalahgunakan.

“Dalam satu hari kami menghasilkan 1 – 1,5 kubik kayu ukuran 5×10. Bos membelinya dengan harga 800 ribu rupiah/kubik untuk kayu besi (Merbau). Kayu-kayu ini dibawa ke Jayapura. Ada yang dijual dan ada juga yang diekspor. “ demikian pengakuan seorang operator chainsaw dalam film Janji Untuk Sejahtera, produksi Papua Room (2008) yang berlokasi di Kabupaten Keerom.

Ironisnya, pengelolaan hasil hutan kayu ini (legal maupun ilegal) tidak menyisakan sedikitpun manfaat bagi masyarakat adat Papua (terutama Forest People) pemilik hutan tersebut, untuk peningkatan kesejahteraan
mereka. Sebanyak satu (1) m3 kayu yang dibeli dari masyarakat adat Papua hanya dihargai sekitar Rp 100 hingga Rp 800 ribu per m3. Kemudian kayu-kayu tersebut diekspor dengan harga 3,8 juta per m3 kepada
perusahaan-perusahaan kayu di Eropa dan China.

Perkebunan kelapa sawit juga menjadi salah satu ancaman bagi hutan Papua Alih fungsi hutan menjadi PIR Kelapa Sawit di Arso tak mampu sejahterahkan masyarakat di sana di atas lahan 50.000 hektar. Apa yang masyarakat Kabupaten Keerom peroleh selama 21 tahun Perkebunan Kelapa Sawit ?

“Pabrik yang tak mampu berproduksi banyak menjadi kendala bagi petani. Selama ini kami tidak panen. Kelapa sawit tinggal sampai jadi berondolan. Ada petani yang mengontrakan lahannya karena tidak mampu lagi membayar ongkos transport. Bayangkan sekali angkut TBS ke pabrik Rp 1,4 – 1,5 jt,” terang Hans Horota, seorang petani kelapa sawit di Arso.Kelapa sawit yang diharapkan memberikan peningkatan pendapatan petani ternyata semakin menyusahkan mereka. Pendapatan petani sawit bila mengerjakan sendiri Rp. 500.000/bulan, kalau dikontrakan hanya Rp. 300.000/bulan atau berkisar antara Rp. 10.000 – 16.700/kk/bulan. [5]

Di Selatan Papua dari 31 investor Kelapa Sawit yang diberi “kado” di Merauke, PT Bio Inti Agrindo, PT Papua Agro Lestari (39.000 ha perkebunan kelapa sawit di Distrik Muting dan Ulilin untuk masing-masing), dan PT Dongin Prabhawa untuk 39.000 ha di Distrik Okaba di antaranya telah mengantongi rekomendasi dari Gubernur Papua untuk mengurus izin pembukaan hutan dari Departemen Kehutanan pada tahun 2008[6]. Pada akhir bulan Agustus 2008 lalu bahkan Grup Binladin dari Arab Saudi juga menyanggupi investasi senilai Rp 39 triliun untuk membiayai Merauke Integrated Food and Energy Forum. Sebagian besar investasi itu untuk perkebunnan Kelapa Sawit.

Hasil survey awal “Research of Save The People and Forest of Papua” yang dilakukan di 7 wilayah adat Papua menunjukkan bahwa tidak hanya keseimbangan lingkungan yang terganggu akibat investasi di areal hutan Papua ini. Namun fungsi dan nilai sosial masyarakat asli (adat) Papua telah mengalami perubahan (degradasi) yang sekaligus mengganggu keseimbangan ekologi masyarakat Papua Sekitar 70% penduduk asli Papua tinggal di perkampungan dan pegunungan tengah yang terpencil [7]. Mereka juga sangat tergantung dengan hutan dan alam disekitarnya. Jadi, ancaman terhadap hutan di Papua berarti lonceng kematian bagi 70% masyarakat asli Papua dari sekitar 1,7 juta jiwa penduduk asli Papua
Masyarakat Auwyu di wilayah adat Anim Ha dalam sebuah diskusi bersama komunitas masyarakat sipil di Merauke dalam rangkaian Research of Save The People and Forest of Papua menyebutkan telah terjadi konspirasi antara pemerintah setempat dengan perusahaan kelapa sawit yang ingin berinvestasi di tanah adat mereka seluas 179.216 Ha di distrik Edera, Mappi. Di kabupaten Mappi ini sendiri, berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal RI tahun 2005 akan dibangun industri yang terkait perkebunan kelapa sawit seluas 500.000 Ha. Dalam diskusi ini juga diketahui bahwa telah dilakukan Analisa AMDAL oleh PT. Sawit Nusa Timur dan PT. Indo Sawit Utama di luasan lahan yang rencanakan 35.297 hektar dan 26.000 Ha tanah masyarakat adat Anim Ha.

Walaupun keputusan Masyarakat Adat Anim Ha sudah menolak rencana investasi kelapa sawit di atas tanah adat masyarakat Anim Ha, sekelompok Masyarakat suku Yeinan juga telah mengeluarkan 2 buah surat pelepasan tanah adat suku untuk 18.000 hektar bagi lokasi transmigrasi. Hal inilah yang disebut sebagai konspirasi antara pemerintah daerah dengan perusahaan kelapa sawit.

JIKA TIDAK ADA HUTAN ADAT PAPUA LAGI, MAKA TIDAK ADA LAGI MASYARAKAT ADAT PAPUA!

SELAMATKAN MANUSIA DAN HUTAN PAPUA!

CP : Septer Manufandu (08124876321), Abner Mansai (0811481566)

[1] Kawasan hutan dan laju perubahan 1985-1997 berdasarkan perkiraan Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, FWI-GFW, 2001. “Potret Keadaan Hutan Indonesia”
[2] Kawasan hutan dan laju perubahan 1985-1997 berdasarkan perkiraan Bank Dunia dan Pemerintah Indonesia, FWI-GFW, 2001. “Potret Keadaan Hutan Indonesia”
[3] Tabloid Jubi/www.tabloidjubi.wordpress.com/April 20, 2008
[4] The Last Frontier Report, Telapak/EIA
[5] Hasil penelitian dampak sosial perekebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom, SKP Jayapura, 2008
[6] Hasil penelitian awal “Research of Save Teh People and Forest of Papua”, Foker LSM Papua
[7] http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3202&Itemid=241
-------------------------
Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut