AI Desak Indonesia Selidiki Penggunaan Kekerasan Berlebihan Terhadap Demonstran di Papua

Jumat, Februari 06, 2009

Amnesty Internasional dalam siaran persnya (4/02) yang disampaikan kepada Tabloid Jubi, mendesak pihak-pihak yang berwenang di Indonesia untuk melakukan penyelidikan yang imparsial atas laporan-laporan yang menyebutkan bahwa polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan untuk membubarkan demonstrasi yang dilakukan secara damai di Nabire, Provinsi Papua.

Sebagaimana informasi yang diterima pihak Amnesty Internasional, pada tanggal 27 January 2009, Koalisi Masyarakat Peduli Pemilihan Kepala Daerah, melakukan demonstrasi damai meminta agar pemilihan daerah segera dilaksanakan setelah beberapa kali penundaan. Demonstrasi sekitar 100 orang tersebut dilakukan di depan gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Nabire. Para demonstran mendirikan sebuah tenda yang menghalangi salah satu jalan utama dan ketika polisi meminta mereka untuk membongkar tenda tersebut, mereka menolak.

Menurut laporan-laporan, dua hari kemudian, pada pagi hari unit-unit polisi dengan kasar membubarkan para demonstran damai yang masih terlelap. Sumber-sumber lokal mengatakan bahwa polisi menembakkan peluru-peluru karet ke arah kerumunan, melukai sedikitnya lima orang demonstran. Polisi juga menendangi dan memukuli beberapa orang demonstran dengan tongkat rotan dan popor senjata. Akibatnya, banyak orang mengalami luka memar.

Para petugas juga dilaporkan telah menendangi seorang pembela hak asasi manusia berusia 40 tahun, Yones Douw, dengan sepatu boots mereka sebanyak tiga kali. Mereka juga memukul telinga dan wajahnya ketika ia mencoba untuk menghentikan bentrokan antara polisi dan para demonstran. Polisi juga menghancurkan memory stick komputer tepat di depan mukanya. Yones Douw adalah anggota Gereja Kemah Injil Papua (GKPI/Kingmi Papua) dan sukarelawan di organisasi hak asasi manusia, ELSHAM (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia).

Polisi kemudian menangkap dan menginterogasi Yones Douw dan tujuh orang demonstran lainnya. Polisi menolak memberikan akses terhadap dunia luar kepada kedelapan orang tersebut dan tidak memberikan makanan dan minuman kepada mereka selama satu hari masa penahanan. Mereka yang terluka melaporkan bahwa polisi tidak memberikan mereka akses untuk mendapatkan perawatan medis yang memadai. Polisi kemudian menahan Yones Douw di dalam sebuah sel tersendiri dan menginterogasinya selama beberapa jam. Pada tanggal 30 Januari, polisi melepaskan kedelapan orang tersebut tetapi mewajibkan mereka untuk melapor ke kantor polisi setiap hari.

Menjaga ketertiban dari demonstrasi publik harus tidak meniadakan hak untuk berkumpul secara damai. Insiden ini muncul di tengah konteks pengekangan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul yang lebih luas di Papua. Pada tanggal 14 Januari 2009, Amnesty International mendesak pembebasan yang segera dan tanpa syarat terhadap 11 orang pengunjuk rasa yang menghadapi tuntutan tiga tahun penjara atau lebih hanya karena mereka mempertunjukkan bendera yang dilarang.

Pihak-pihak yang berwenang di Indonesia harus memberikan kepastian secara publik bahwa kebebasan berekspresi dan berkumpul dijamin di Papua. Mereka juga harus menyatakan dukungan mereka terhadap kerja sah yang dilakukan oleh para pembela hak asasi manusia di seluruh negeri dan mengambil langkah-langkah segera untuk menjamin bahwa para pembela hak asasi manusia dilindungi sepenuhnya ketika mereka bekerja.

Amnesty International menyadari tantangan-tantangan yang harus dihadapi di dalam menjaga ketertiban demonstrasi dan bahwa beberapa orang demonstran merusak gedung-gedung publik setelah diminta untuk membubarkan diri. Namun demikian, tindakan-tindakan polisi bolehjadi telah bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Aparatur Penegak Hukum (UN Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) dan Kode Etik untuk Para Aparatur Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials). Kedua pedoman atau prinsip ini menetapkan, antara lain, bahwa kekerasan harus digunakan sebagai upaya terakhir, sebanding dengan ancaman yang ada, dan harus dirancang untuk meminimalisasi kerugian atau luka.

Atas tindakan berlebihan ini, Amnesty International mendesak agar dilakukan sebuah penyelidikan atas insiden Nabire dengan segera, dengan peninjauan terhadap taktik dan senjata yang digunakan oleh polisi untuk menertibkan demonstrasi dan bahwa semua temuan dan rekomendasi diungkap ke publik tepat pada waktunya.

Pihak-pihak yang berwenang di Indonesia harus tertib dan mengadili mereka yang terlibat apabila ditemukan bahwa kekerasan telah digunakan secara berlebihan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip kepentingan dan proporsionalitas. Pihak-pihak yang berwenang juga harus menempatkan langkah-langkah dan pelatihan untuk menjamin bahwa operasi-operasi menjaga ketertiban di masa depan sesuai dengan standard-standard internasional.

Dalam siaran persnya ini, Amnesty Internasional juga berpendapat bahwa masyarakat Papua, provinsi paling timur Indonesia, telah menyaksikan situasi hak asasi manusia yang memburuk selama beberapa tahun terakhir. Penduduk asli, yang secara etnis berbeda dari penduduk di wilayah lain di Indonesia, semakin mempertanyakan kebijakan-kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai sumber daya alam Papua dan migrasi penduduk non-Papua ke dalam wilayah mereka. Pemerintah Indonesia mempertahankan kehadiran polisi dan militer, di mana para anggotanya telah menghadapi tuduhan melakukan intimidasi dan mengancam para anggota komunitas penduduk asli lokal yang mendukung otonomi luas atau kemerdekaan dari Indonesia melalui cara-cara yang damai.

Pada tanggal 18 Agustus 2008, Amnesty International mendesak Pemerintah Indonesia untuk memastikan pertanggungjawaban yang patut atas pembunuhan seorang pengunjuk rasa damai, Opinus Tabuni, yang tewas ditembak pada hari itu. Pada tanggal 25 September 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang telah mengirimkan sebuah tim untuk menyelidiki pembunuhan tersebut menyatakan bahwa peluru yang ditemukan “bukan peluru standard polisi. Peluru tersebut berukuran 9mm.

Itu pasti milik militer.” Tidak terdapat perkembangan penyelidikan sejak saat itu. Keluarga korban telah beberapa kali berusaha untuk bertemu dengan Kepala Polisi Papua terkait dengan kasus tersebut namun tidak berhasil. Pihak-pihak yang berwenang di Indonesia harus menginisiasikan sebuah penyelidikan yang segera, imparsial, independen dan transparan atas pembunuhan tersebut untuk memastikan bahwa mereka yang ditemukan bertanggung jawab diadili dan dihukum. (Victor Mambor)

-----------------
Sumber: http://www.tabloidjubi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1147&Itemid=9

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut