"Quo Vadis" Pelayanan Kesehatan Papua?

Minggu, Januari 25, 2009

Oleh Lana Erawati*)

TULISAN ini ditujukan kepada saudara-saudara kaum elite Papua yang saat ini memegang kedudukan, baik sebagai pejabat pemerintah, LSM, tokoh gereja, maupun tokoh masyarakat, agar mereka peduli kepada rakyat yang kurang beruntung, kurang mendapat kesempatan dan perhatian dan kurang dalam segala-galanya.

Kita semua sudah mendengar bahwa terjadi kematian balita yang cukup besar dalam kurun waktu sebulan di tujuh kecamatan wilayah Kabupaten Paniai pada Desember lalu. Sebagai gambaran, di Kecamatan Pogapa saja dengan jumlah penduduk 15.800 telah terjadi 52 kematian balita sejak November sampai saat ini (17 Desember 2004 - Red).

Yayasan Denyut Desa yang mempunyai program pengembangan masyarakat di wilayah tersebut menerima laporan ini, kemudian melapor pada Pemkab Paniai namun tidak ada tanggapan. Singkatnya pada 13 Desember tiga tim relawan melakukan aksi sosial di wilayah tersebut. Kegiatan ini terlaksana berkat sumbangan para karyawan PT Freeport, PT Freeport sendiri, Rumah Sakit Mitra Masyarakat, PT ISOS AEA (institusi kesehatan di PT Freeport) dan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro (LPMAK)

Tim yang ke Pogapa menyimpulkan penyebab kematian adalah pneumonia dengan komplikasi diare ringan, sebagai kelanjutan dari infeksi saluran pernapasan yang tidak ditangani dengan baik. Mengapa sampai penyakit ISPA yang biasa terjadi di mana-mana bisa menyebabkan kematian balita yang begitu dahsyat? Hal ini disebabkan kemampuan dan pengetahuan orang tua untuk merawat anak masih sangat rendah, dan di sisi lain pelayanan kesehatan sangat minim dengan, kualitas yang amat rendah. Memang ironis sekali, musibah dahsyat dengan penyebab penyakit yang sepele. Tapi itulah kenyataannya.

Terdapat tujuh kecamatan yang terkena KLB (Kejadian Luar Biasa), mayoritas dihuni oleh suku Moni, yang tinggal di wilayah bergunung-gunung dan hawanya cukup dingin. Transportasi satu-satunya yang menghubungkan ibu kota kecamatan dengan daerah lain adalah pesawat terbang kecil jenis Cessna. Komunikasi hanya dengan radio pada jam-jam tertentu. Desa-desa itu tidak ada lapangan terbangnya, dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki beberapa jam sampai 2-3 hari. Kondisi ini tentu sama sejak puluhan tahun lalu, namun mengapa selama ini musibah sedahsyat itu tidak terjadi?

Peran Misionaris
Marilah kita menengok kilas balik pelayanan kesehatan di Papua. Kira-kira 20 tahun yang lalu, jumlah tenaga dokter masih sangat sedikit, namun para misionaris banyak bekerja di daerah-daerah pedalaman dan kontribusinya dalam pelayanan kesehatan sangat besar. Pemerintah, misionaris dan LSM bekerja sama dengan kompak dalam pelayanan kesehatan.

Kemudian satu per satu para misionaris pergi karena tidak mendapat izin tinggal. Kepergian mereka sangat memukul semua karya sosial di pedalaman dan dampak negatifnya sangat signifikan. Namun sejalan dengan itu jumlah dokter dan tenaga kesehatan lainnya di Papua juga meningkat.

Dinas Kesehatan Kabupaten memegang peran utama dalam menjalankan upaya kesehatan, sedangkan Dinas Kesehatan Provinsi dan Kanwil berperan dalam membuat kebijakan dan mengontrol. Walaupun banyak sekali kekurangannya namun pelayanan kesehatan masih berjalan di sebagian besar wilayah Papua. Kalaupun terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), hanya pada tempat-tempat yang benar-benar terpencil bukan di ibu kota kecamatan, atau bila terjadi di kota penyebabnya tentu bukan masalah sepele dan tidak ada kematian besar-besaran seperti di wilayah Paniai.

Kemudian terjadilah reformasi, lalu kaum elite Papua menuntut ”Papuanisasi” dalam arti agar para elite Papua diberi kesempatan menduduki jabatan. Ttdak jelas apa tujuan Papuanisasi, namun banyak contoh para pejabat digeser begitu saja dengan tidak hormat, tanpa menghiraukan jasa-jasanya, masa pengabdiannya dan kemampuannya lalu diganti dengan orang Papua yang tidak punya kemampuan dan belum memenuhi syarat untuk menjabat. Semua peraturan, etika, moral dilanggar, yang penling orang Papua dapat jabatan. Bahkan di satu kabupaten para dokter ”pendatang” diusir, Kepala Dinas dianiaya sehingga menimbulkan ketakutan bagi para dokter untuk bertugas di Papua.

Sering Tutup
Kalau dulu yang namanya Puskesmas induk selalu buka setiap hari, maka sekarang ini lebih banyak ditemukan Puskesmas yang sering tutup. Dulu hampir semua balita memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) sehingga bisa dipantau perkembangannya. , mendapat vitamin A, obat cacing dan sebagainya. Sekarang ini kegiatan itu tidak jelas lagi. Dulu semua petugas tahu membedakan kriteria KLB dan Dinas Kesehatan Kabupaten sangat tanggap, sekarang ini ada KLB sampai berminggu-minggu dengan begitu banyak kematian, belum berbuat apa-apa.

Marilah kita menelaah masalah ini dengan logika akal sehat, kalau dulu yang disebut mantri atau perawat entah itu dari SPK, SPR atau sekadar dilatih oleh misionaris tahu mengobati penyakit sederhana seperti ISPA dan malaria. Sekarang mereka tidak mampu. Jadi kalau di Pogapa dikatakan ada enam orang mantri, harus dipertanyakan apakah memang punya kemampuan dasar sebagai mantri. Harus dipertanyakan pula berapa hari dalam setahun mereka bekerja? Banyak sekali keluhan dari masyarakat bahwa petugas kesehatan jarang ada di tempat.


Jadi di Papua banyak sekali petugas kesehatan yang aspal, asli tapi palsu, karena sebenarnya tidak punya kemampuan bahkan kemampuan dasar sekali pun. Lalu jam kerja yang aspal, karena hanya bekerja sekian persen dari jam kerja.

Mari kita menengok institusi pendidikan kesehatan di Papua, berapa banyak meluluskan anak didik yang tidak layak lulus? Berapa banyak ijazah aspal diluncurkan? Berapa persen dari guru-guru sekolah kesehatan yang memiliki kualitas sebagai guru? Benarkah sekian jam belajar dalam kurikulum dipenuhi? Berapa persen jam membolos para guru? Bolehkah dikatakan institusi pendidikan kesehatan di Papua ini memang asli institusi pendidikan kesehatan dalam arti memang memenuhi syarat ”dasar” untuk disebut begitu? Atau jangan-jangan juga hanya aspal?

Asal-asalan
Dinas Kesehatan Kabupaten memegang peran utama dalam menjalankan upaya kesehatan namun saat ini fungsinya kabur. Berapa persen Kepala Dinas yang memiliki kemampuan sebagai Kepala Dinas? Kalau dulu Kepala Dinas hanya dijabat oleh dokter-dokter senior, maka sekarang ini orang dengan macam-macam latar belakang pendidikan bisa menjabat.
Ada yang sarjana hukum, ekonomi dan lain-lain. Akibatnya, banyak Kepala Dinas Kesehatan di Papua tidak mampu membuat analisis kesehatan, tidak punya pengetahuan minimal epidemiologi, tidak bisa membaca data statistik kesehatan ataupun kemampuan minimal lainnya dalam manajemen kesehatan masyarakat.

Dulu sebagian besar dokter bekerja sesuai yang diharapkan, hanya segelintir yang malas. Namun sekarang ini sudah lumrah kalau para dokter membolos, mabuk, korupsi. Persentase dokter yang baik-baik semakin lama semakin berkurang, yang idealis mungkin tinggal sisa-sisa. Dulu prestasi kerja masih dihargai, mekanisme reward & punishment, walaupun banyak sekali kekurangan di sana-sini, masih berjalan. Sekarang ini lebih mengarah ke hukum rimba. Siapa kuat, akan mendapat.

Jangan ditanya lagi kemajuan dalam hal korupsi. Banyak pejabat yang tidak punya kemampuan sebagai pejabat, namun dalam korupsi tidak mau kalah dengan wilayah lain di Indonesia. Dinas Kesenian provinsi yang selama ini memacu menjadi pengontrol kehilangan kemampuan kontrolnya karena otonomi daerah yang tidak terkendali. Masing-masing Dinas Kesehatan menjadi kerajaan kecil-kecil yang bisa berbuat sewenang-wenang.

Jadilah, pelayan kesehatan yang dilakukan oleh sebagian tenaga-tenaga aspal, lulusan institusi pendidikan aspal, dengan jam kerja aspal, di bawah bimbingan dinas kesehatan aspal, ditambah rongrongan korupsi yang tidak terkendali maka hasilnya adalah tragedi yang mengerikan seperti yang terjadi di Paniai. Memang tidak semua begitu, namun jumlah keburukan yang ada saat ini bila tidak segera ditanggulangi akan menghancurkan masa depan masyarakat.
Kini banyak elite Papua yang menikmati duduk sebagai pejabat di kursi empuk dengon materi yang berimpah. Namun jangan lupa masyarakat kecil Papua harus membayar dengan mahal, bahkan dengan nyawanya.

Reformasi Total
Tragedi yang terjadi di Paniai kiranya cukup untuk mengetuk nurani para elite Papua agar mau berbagi dengan saudara-saudara yang masih tertinggal. Kiranya memiliki kebesaran hati untuk membiarkan mereka mendapatkan kesejahteraan setidak-tidaknya hak untuk ”hidup”.
Bila para elite Papua masih memiliki ”belas kasihan” pada masyarakat kecil, maka jalan keluarnya adalah reformasi total di berbagai jajaran Dinas Kesehatan. Kepala Dinas Kabupaten yang tidak mampu harus diganti dengan yang kompeten tidak peduli suku maupun agamanya.

Karena jumlah tenaga yang mampu hanya sedikit maka Dinas Kesehatan Kabupaten sebaiknya dikembalikan seperti dulu sebelum pemekaran. Kota-kota yang tidak mempunyai sarana yang memadai seperti Enarotali atau Sarmi sebaiknya di bawah naungan Dinas Kesehatan Kabupaten lain. Dinas Kesehatan Provinsi sebaiknya hanya satu saja di Jayapura karena bila dipecah sulit mendapat tenaga yang kompeten dan boros biaya.
Harus dilakukan audit oleh tim independen atas sekolah-sekolah kesehatan, dan berani mengganti kepala sekolah maupun guru-guru dengan yang kompeten. Harus dipertanyakan keberadaan Fakultas Kedokteran Unversitas Cenderawasih di Jayapura, apakah masih layak untuk diteruskan?

Diperlukan keberanian dan kejujuran dari semua pihak untuk mengatakan yang sebenarnya. Berani berkata benar bila benar, salah bila salah, tidak layak bila tidak layak, layak bila layak. Sekarang tinggal bagaimana keputusan para elite Papua, apakah mau selamatkan Papua atau hancurkan Papua.

Penulis adalah dokter yang tinggal di Papua.
-------------------------------------
Sumber: http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0501/ 08/opi02. html

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut