Deby Maiaweng, Potret Guru TK yang Gigih Mengajar di Pedalaman Yahukimo

Sabtu, Januari 31, 2009

Meski berada di pedalaman Papua, tepatnya di Distrik Silimo, Kabupaten Yahukimo, namun masih ada guru yang mau bertahan untuk mengajar anak-anak sekolah taman kanak-kanak (TK) Letlet, yang didirikan misionaris di bawah naungan Klasis GKII Silimo. Apa yang membuatnya gigih dan bertahan ditengah keterbatasan itu?

Laporan Rambat S Handoyo, Yahukimo

DEBY MAIAWENG terlihat akrab dengan anak-anak yang berada di Distrik Yahukimo, saat mereka menunggu kedatangan rombongan Bupati Yahukimo, Ones Pahabol SE, MM yang melakukan safari Natal di daerah tersebut, akhir Desember 2008 lalu.
Gadis manis asli Kupang, Nusa Tenggara Timur ini, sempat berbincang-bincang lama dengan Cenderawasih Pos, termasuk suka dukanya mengajar dan berada di daerah pedalaman yang serba terbatas tersebut. Apalagi, ia masih belum berkeluarga alias masih nona.

Meski demikian, Deby mengakui sangat berkeinginan untuk mengajar atau melayani di daerah pedalaman tersebut. Bahkan, itu merupakan cita-citanya sejak 13 tahun lalu, dimana saat itu ia sempat membaca buku Anak Perdamaian yang menceritakan kehidupan suku Dani dan suku Asmat dan saat nonton film tentang kerajaan suku Dani dan suku Asmat, membuat keinginannya semakin kuat untuk mengetahui suku-suku di pedalaman Papua tersebut.

Selepas kuliah di STT Jeffry Makassar, kemudian berangkat ke Papua, tepatnya di Wamena melalui Yayasan IFTA dan Yayasan Yabam Jayapura hingga akhirnya ia ditugaskan ke Silimo, dimana banyak didiami suku Ngalik. "Waktu di Silimo, saya ingat saat membaca buku 13 tahun lalu. Ingat buku itu saya menangis, karena bisa hidup di sini," katanya.

Bahkan, saat tiba di Silimo dengan menggunakan pesawat terbang yang berukuran kecil, ia sempat menangis selama tiga hari, apalagi saat itu bertepatan dengan ulang tahunnya ke 25.

Meski demikian, akhirnya Deby berusaha untuk mempelajari adat istiadat masyarakat Silimo di saat mengajar di TK tersebut. Hanya saja, saat datang mengajar di TK tersebut, banyak tantangan diantaranya hampir semua anak didiknya tersebut tidak bisa berbahasa Indonesia.

"Saat pertama saya ajarkan apa saja, sambil mempelajari bagaimana cara tepat mengajari mereka. Hingga akhirnya, anak-anak mulai ada perubahan dan mulai bisa berbicara dengan bahasa Indonesia, selain diajari kebersihan dan disiplin baik di kelas maupun di luar sekolah," ujarnya.

Adanya perubahan terhadap anak didiknya ini, menjadikan motivasi tersendiri bagi Deby untuk terus mengajar. Apalagi, dari awal ada 62 anak didiknya, 23 diantaranya sudah diwisuda dan sudah bisa menulis dan membaca dan telah pindah ke sekolah dasar (SD). "Dalam 3 bulan, ada perkembangan luar biasa, anak-anak bisa tulis dan baca, sedangkan anak SD kelas 6 di daerah ini ada yang tidak bisa membaca dan menghitung,"katanya.

Hanya saja, saat itu ia sempat mengalami kesulitan terhadap salah seorang anak didiknya, karena kesulitan menerima pelajaran yang diberikan. Namun, setelah diamati ternyata anak didiknya tersebut ternyata tuli sehingga tidak bisa mengenal huruf. Kemudian ia sempat berkonsultasi dengan yayasan Oikonomos Wamena yang bekerjasama untuk materi dan alat peraga.

Setelah itu, Deby mengaku ada hasilnya. Apalagi, anak didiknya yang memiliki kelainan ini, mulai bisa mengenal huruf. Hanya saja, harus dilatih secara khusus. "Saya ajari anak didik yang satu ini, membaca huruf melalui pernapasan dengan telapak tangan, sehingga saat dilafalkan huruf yang dihembuskan ke telapak tangan itu, bisa mengenali huruf," ungkapnya seraya mengatakan bahwa hal ini merupakan kebanggaan tersendiri baginya.

Ditengah keterisolasian di daerah pedalaman tersebut, selain mengajar di sekolah TK tersebut, untuk menghilangkan kejenuhan ia juga membantu mengajar di sekolah minggu. "Apapun yang bisa saya perbuat disini, akan saya lakukan. Meski tidak digaji dan harus setia ditempat serta hanya mendapatkan berkat dari klasis atau yayasan saja," ujarnya.

Deby yang masih berusia 27 tahun ini, mengaku sangat bersedih ketika mengingat orang tuanya, di samping ia masih muda dan tentu masih memiliki keinginan banyak, apalagi di Silimo tidak sama dengan daerah lain. Namun, Deby menambahkan bahwa hal itu merupakan kewajiban dan pelayanan sehingga membuat dirinya betah bertahan di daerah yang cukup dingin tersebut. (*)
----------------------------------
Sumber: http://cenderawasihpos.com/detail.php?id=23419&ses=

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Who knows where to download XRumer 5.0 Palladium?
Help, please. All recommend this program to effectively advertise on the Internet, this is the best program!

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut