Hadapi Resesi dengan Nilai-nilai Budaya Papua

Senin, Juni 09, 2008

Dalam suatu seminar bedah buku yang berjudul "Mungkinkah Nilai-nilai Hidup Budaya Suku Mee Bersinar Kembali?", karya Ruben Pigay, S.pak, yang dihadiri masyarakat umum dan pelajar SMU, tidak lama ini di Aula STT Walter Post II, Nabire, Papua Barat, membuat saya tertuju dalam satu dari makna penting dari keseluruhan diskusi yang telah memaksa orang Papua, khsusnya suku Mee di Paniai untuk kembali kepada nilai-nilai budaya Mee. Ternyata, tradisi suku Mee dalam corak produksi tradisionalnya mampu memberikan solusi ditengah ancaman krisis energi dan faktor geopolitik dunia yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan pokok di Indonesia, lebih khusus di Papua Barat.

Yang harus disadari dan tra boleh disangkal adalah bahwa pergeseran fluktuatif terjadi dalam kehidupan budaya hampir setiap suku di Papua Barat sejak pendudukan koloniaslime Indonesia. Indonesia yang pada masa Orde Baru sebagai suatu kekuasaan 'boneka AS' menjadi jembatan ke Papua Barat bagi penyeberangan budaya imperialisme global, suatu kekuatan yang telah memaksa penduduk pribumi menikmati arus modernisasi sebagai konsekuensi logis. Praktek kolonialisme melalui ancaman pemekaran wilayah kekuasaan kolonial Indonesia yang bersamaan dengan suplai penduduk migran dan perluasan daerah teritori militer paling tidak menjadi faktor utama dari dampak evolusi budaya suku-suku di Papua Barat.

Praktek eksploitatif itu ditandai dengan memudarnya etos kerja beternak dan berkebun yang lalu begitu luar biasa dalam nilai-nilai budaya suku Mee. Hampir dataran tanah adat Mee yang dulu menghasilkan flora nan hijau sebagai sumber konsumen kini menjadi dataran tandus yang tidak ada nilai guna bagi kelangsungan makluk hidup. Bila orang Papua sudah tidak mempunyai dusun/kebun lagi atau hubungan timbal balik antara alam dan manusia terganti dengan ketergantungan terhadap produk luar, atau bila Orang Papua Barat dipaksa menajadi manusia-manusia era moderen yang mempunyai permintaan konsumsi yang sama. maka bahaya globalisasi yang kini ditandai dengan kenaikan harga BBM, tidak mungkin tidak menjadi ancaman masyarakat adat Papua Barat.

Memang bahayanya tidak separah yang dialami daerah-daerah lain di Indonesia dalam hal kenaikan barang dan jasa, terutama kenaikan harga sembako dan jasa-jasa transportasi, dan kelihatannya bagi rakyat Papua aksi protes kenaikan BBM massa FPN (Front Pembebasan Nasional) yang menjalar di Indonesia (tidak di Papua Barat) belum menunjukan perjuangan bersama, namun paling tidak kenaikan harga BBM mengakibatkan permintaan yang semakin menggelembung bagi kaum migran Papua yang menguasai sektor perdagangan, transportasi dan industri. Bagi mereka, kondisi ini merupakan kesempatan untuk memperbesar kantong penghasilan mereka. Sebab, banyak uang Otsus yang beredar di tangan orang Papua Barat menjadi incaran bagi mereka.Contoh, bila di Entrop, Jayapura beberapa waktu lalu terjadi mogok sopir angkot menuntut kenaikan tarif harga transportasi, bagi rakyat Papua Barat, hal itu bukan suatu ancaman, padahal, dengan tarif 4.000 pp Entrop-Abe, omset sehari bisa mencapai sejuta hingga dua juta, atau sejajar gaji sebulan PNS golongan menengah. Ini semakin memperkuat ketergantuangan bagi orang Papua Barat dalam segala aspek yang tentu saja telah didominasi oleh kaum migran (orang pendatang).

Sistematis dan tepat sasaran. Itu kalimat yang pas buat keberhasilan praktek kolonialisme Indonesia di Papua Barat, terhadap orang Papua Barat. Penindasan dan penghisapan menjadi nyata, tatkala orang Papua Barat sendiri seakan-akan meng-iyakan itu terjadi. Saat-saat tidak ada lagi kesadaran berdaulat diatas tanah airnya, saat-saat itu tawaran posisi stategis di daerah-daerah pemekaran baru menjadi sasaran empuk. Partai-partai politik diboyong habis kaum intelektual yang seharunya menjadi revolusi nilai-nilai budaya Papua Barat. Pilihan itu menjadi keharusan, sebab sumber penghasilan pangan dan ternak sudah tidak ada lagi.

"Suku Mee harus kembali kepada nilai-nilai yang dahulu", demikian ajak Ruben Pigay yang sudah beranjak di usia senja dalam bukunya. Buku itu seakan-akan memaksa saya merenung sejenak dan tidak lain, hanya nilai-nilai budaya yang mampu mempertanhankan kondisi sosial, ekonomi-politik suatu wilayah. Sekalipun tingkat konsumsi minyak dunia tidak lagi sepadam dengan produksi minyak dunia, tetapi sepanjang rakyat Papua Barat, khususnya suku Mee bisa membudayakan kembali aktivitas berkebun dan beternak, maka bukan tidak mungkin wilayah dan orang Papua Barat tetap resistan dalam menghadapi penjajahan dan penghisapan global. [Victor F. Yeimo -sekedar renungan pribadi]
BACA TRUZZ...- Hadapi Resesi dengan Nilai-nilai Budaya Papua

Masyarakat Adat dan Lunturnya Nilai Adat: Ironisnya Seringkali Mereka Dituding Perjuangkan Aspirasi

Ironisnya Seringkali Mereka Dituding Perjuangkan Aspirasi

Sebelum ada pemerintah dan gereja ternyata masyarakat adat telah ada lebih dahulu sebelum masuknya lembaga lembaga resmi baik formal mau pun non formal. Bahkan masyarakat adat berdiri dengan system poltik tradisionalnya untuk menjaga keberlangsungannya dari generasi ke generasi.


Namun belakangan ini justru kearifan adat dan tradisi luntur karena perubahan jaman dan degradasi nilai nilai adat. Kepala LMA Marind Anim di Kabupaten Merauke Alberth Moywend mengatakan masyarakat saat ini dengan mudah dapat dibeli dengan uang untuk kepentingan kepentingan tertentu baik oleh kekuasaan dan pemilik modal. “Kondisi ini sangat merugikan jati diri dan nilai nilai adat,”guman Moywend.

Apa yang digumuli Moywend adalah sebagian dari persoalan yang timbull di masyarakat adat Papua. Bahkan ada tuduhan masyarakat adat atau lembaga adat hanya memperjuangkan gerakan Papua merdeka sebagaimana hasil penelitian Yayasan KIPPRa tahun 2007 lalu. Sekitar 20 tahun terakhir ini, telah banyak lahir institusi atau pun kelembagaan adat di tanah Papua terutama jaman Orde Baru dibentuknya Lembaga Masyarakat Adat Irian Jaya yang dketuai oleh almarhum Theys Hiyo Eluay. Penyebutan lembaga adat pun banyak sesuai versi dan kepentingan masing masing antara lain Lembaga Masyarakat Adat(LMA), Dewan Adat (DA), Lembaga Adat(LA), Dewan Adat Suku (DAS), Dewan Persekutuan Adat (DPMA). Semua ini merupakan bentuk bentuk kelembagaan baru di Papua.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksudkan denga masyarakat adat? Jika disimak sebenarnya masyarakat adat sudah memperoleh pengakuan terutama saat United Nations melakukan Declaration on The Rights of Indigenous Peoples atau Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Hak Masyarakat Adat Dalam salah satu alinea deklarasi tersebut meneguhkan bahwa masyarakat adat adalah setara dengan semua masyarakat lain,sementara mengakui hak hak dari sekalian manusia berbeda, dan dengan demikian dihargai sedemikian pula. Selain itu menyadari pula bahwa masyarakat adat kini mengorganisir diri mereka demi kepentingan peningkatan kehidupan politik, ekonomi, social dan budaya mereka untuk mengakhiri semua bentuk diskriminasi dan operasi manakala terjadi di mana saja.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dalam pasal 13 dari Lampiran Pembukaan dan 46 pasal dari Deklarasi menyebutkan antara lain, Masyarakat adat berhak untuk menghidupkan kembali, menggunakan,mengembangkan dan meneruskan kepada generasi berikut sejarah,bahasa,tradisi lisan, filsafat, system tulisan dan literature mereka, dan untuk mempersembahkan dan mempertahankan nama nama komunitas,nama nama tempat tempat dan nama nama orang.Sedangkan dalam pasal 11 ayat 1,menyebutkan Masyarakat Adat berhak untuk mempraktekkan atau menghidupkan kembali tradisi dan adat mereka. Hal ini termasuk hak untuk memelihara, melindungi dan mengembangkan manifestasi masa lampau, masa kini dan masa depan dari budaya mereka seperti situs situs arkeologis dan sejarah, ukiran, rancangan, upacara, teknologi, seni visual dan pertunjukan serta literature.

Bukan itu saja dalam pasal 11 ayat 2, menjelaskan Negara perlu menyediakan penanganan yang baik lewat mekanisme yang efektif, yang dapat mencakup restitusi, dikembangkan dalam kaitannya dengan masyarakat adat, terkait barang milik yang bernilai budaya,intelektual,agamawi dan rohaniah yang telah diambil tanpa pemberitahuan mendahuluinya dan disetujui secara bebas atau merupakan pelanggaran atas hukum hukum, tradisi atau adat mereka.

“Masyarakat adat Papua beranekaragam yaitu menyangkut bahasa, struktur social, kepemimpinan, system mata pencaharian dan ekologi, serta hak kepemilikan tanah (hak ulayat),”ujar dosen antropologi Fisip Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr JR Mansoben dalam beberapa studinya tentang Papua dalam diskusi dengan Jubi belum lama ini di Jayapura.

Lebih lanjut jelas doctor antropologi lulusan Universitas Leiden Negeri Belanda dari segi bahasa saja ada dua kelompok utamanya yaitu Austronesia (misalnya Waropen, Wandamen, Biak, Tobati, Iha,Ambai,Maya dan lain lain) dan Non Austronesia misalnya Dani, Sentani,Mee, Asmat, Muyu,Meybrat dan lain sebagainya.

Sesuai dengan hasil penelitian Summer Institute Linguistic (SIL) di Papua terdapat sekitar 250 suku bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Sedangkan Papua New Guinea memiliki sekitar 670 bahasa suku. Sistem kepemimpinan tradisonal di Papua menurut Mansoben dibagi dalam beberapa tipe antara lain
1.Tipe kepemimpinan Raja atau sitem kepemimpinan atas dasar pewarisan,
2. Sistem kepemimpinan Big man atau pria berwibawa dan
3. Kepemimpinan campuran.Kepemimpinan atas dasar warisan atau atas dasar upaya pribadi untuk mencapai kedudukan tersebut.

Menurut Mansoben system kepemimpinan atas dasar pewarisan merupakan system kerajaan (perdagangan di waktu lalu) di Raja Ampat, di Fak Fak, Kaimana atau system Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan wilayan Kebudayaan Tabi termasuk Genyem yakni Demou Tru merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat Namblong yang hanya diduduki oleh Wai Iram, kadangkala dianggap jabatan kekal.

Jadi kalau disimak yang dimaksud dengan cirri cirri bentuk pemerintahan adat sesuai hasill diskusi yang pernah dilakukan oleh AFP3 Papua di Waena belum lama ini adalah tunggal dan otonom, struktur dari orangnya/individu, memiliki karisma dalam kepemimpinan, taat dan patuh karena sangsi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas batas yang jelas, memiliki harta pusaka, merasaka terikat pada satu kesatuan territorial adat.Sedangkan lembaga adat dan pengertiannya adalah seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah/organisasi tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui pelbagai kegiatan.

Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem, Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3 (Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru, Aifat, Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan Bomberay meliputi Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5 kawasan Ha Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo. Wilayah adat 6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom, Kurima, Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain, Puncak Jaya,Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman.

Hasil Studi Identifikasi Institusi Masyarakat Adat Papua pada wilayah lima Kabupaten Merauke, Biak Numfor, Mimika, Waropen dan Jayapura kerja sama BPMD Provinsi Papua dengan Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa-Papua) Desember 2007 telah menyimpulkan bahwa:

1.Semua kabupaten lokasi studi telah memiliki institusi adat pada tingkat kabupaten hingga tingkat distrik dan kampung. Bahkan di Kabupaten Merauke lebih dari satu lembaga adat misalnya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind Anim Ha tetapi juga ada Dewan Adat Suku Muyu.

2.Dalam menyebut lembaga adat masih terdapat beberapa versi tetapi pada hakekatnya memiliki subtansi yang sama. Ada yang masih menggunakan nama atau istilah LMA (Lembaga Masyarakat Adat) seperti di Merauke, DAS atau Dewan Adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Deponsero Utara,Dewan Adat, Lemasko (Lembaga Masyarakat Adat Kamoro) dan Lemasa (Lembaga Masyarakat Adat Amungme) di Kabupaten Mimika mau pun Dewan Adat wilayah di Kabupaten Merauke. Namun yang jelas kelahiran lembaga ini sesuai dengan kebutuhan dan dukungan dari masyarakat.

3.Permasalahan yang menonjol pada beberapa kabupaten adalah memandang masyarakat adat sebagai sebuah organisasi yang orientasinya memperjuangkan masyarakat Papua untuk merdeka, sehingga senantiasa dicurigai dan tidak ada dukungan bagi kegiatan kegiatan yang akan dilakukan. Daerah yang paling dominant dan terlihat adanya perselisihan dan resistensi terhadap lembaga adat yakin di Kabupaten Merauke dan Biak Numfor. Kasus pemukulan Ketua LMA Malind Anim Ha dan proyek peluncuran satelit di Biak merupakan indikasi kuat terjadinya pertentangan antara Pemda dan masyarakat adat.

4.Hampir sebagian besar institusi tidak memiliki fasilitas kerja yang memadai,baik kantor,peralatan kerja dan juga biaya operasional sehingga dalam pelayanan pada masyarakat adat tidak memadai. Terkecuali di Kabupaten Mimika Lemasko dan Lemasa memiliki dana dan fasilitas yang berkecukupan.

5. Masih dialaminya banyak…… permasalahan oleh institusi secara internal, karena eksistensinya terutama memperjuangkan hak hak dasar masyarakat asli Papua, disamping itu belum tersosialisasinya program program kerja lembaga adat. Namun di sisi lain tercatat telah terjadi degradasi nilai nilai adat yang turut pula mempengaruhi perkembangan masyarakat adat. Ironinya anak anak adat yang duduk sebagai pejabat beberapa di antaranya tidak mempedulikan apa yang diperjuangkan institusi adat, bahkan digiring sebagai gerakan untuk kemerdekaan.

Terbentuknya lembaga adat atau pun dewan adat Papua tentu dimaksudkan agar mampu meningkatkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat adat dalam investasi mau pun sebagai filter dalam menyaring perubahan dan perkembangan teknologi.

Namun yang jelas perubahan perilaku terutama factor dari luar seperti yang dikeluhkan Ketua LMA Kabupaten Merauke Alberth Moywend masyarakat saat ini dengan mudah dapat dibeli dengan uang untuk kepentingan kepentingan tertentu baik oleh kekuasaan dan pemilik modal. Kondisi ini yang menurut Moywend mengakibatkan hampir hilangnya jati diri sebagai masyarakat adat Malind Anim yang percaya diri, jujru, bertanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, saling menghormati dan takut akan Tuhan. (Dominggus A Mampioper dan Carol Ayomi)
-----------------------------------------
Sumber: Tabloid Jubi melalui http://www.fokerlsmpapua.org/artikel/trend/artikel.php?aid=3830

BACA TRUZZ...- Masyarakat Adat dan Lunturnya Nilai Adat: Ironisnya Seringkali Mereka Dituding Perjuangkan Aspirasi

Suka Duka Nona Guru Sukarela yang Sudah Empat Bulan Belum Terima Honor

Hari itu Sabtu tanggal 11 Februari 2008 adalah hari yang bersejarah bagi dua perempuan muda Helriaty Sababalat, 22 tahun dan Angel Meylani 25 tahun menginjakkan kaki di bumi Keerom tepatnya di Kampung Krikuh, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keroom, Provinsi Papua untuk menjadi guru sukarela.

Kedua dara manis ini dan ratusan guru sukarela lainnya merupakan alumni Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastama (STTIA) Jakarta Timur. Kedatangan mereka ini karena atas permintaan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu untuk jadi guru kontrak atau guru sukarela. Sayangnya sudah empat bulan nona guru ini belum menerima honor atas hasil kerja mereka selama beberapa bulan.

Panggilan untuk melayani ke tanah Papua khususnya di wilayah perbatasan RI dengan PNG tak membuat kecut hati kedua perempuan untuk membagi ilmu bagi anak anak di Kampung Krikuh. Hanya semangat dan rasa mengasihi yang mendorong mereka berdua untuk terus bertahan sejak Februari hingga Mei sekarang ini.

Letak Kampung Krikuh cukup jauh sekitar ribuan kilometer arah Timur Kota Jayapura atau kurang lebih tiga jam saja dari ibukota Provinsi Papua. Cilakanya lagi kalau musim hujan tiba, sepeda motor tidak bisa melewati jalan menuju Kampung Krikuh karena akan disambut kubangan lumpur dan becek. Memang jalan ke kampung itu belum diaspal, sehingga perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati Kampung Yety yang itu berarti juga melalui melalui hutan rimba yang kayunya semakin menipis akibat ulah para penebang kayu dan kemudian menyeberangi sungai besar Yety dan sungai Bewang.

Pendidikan di Kampung Krikuh sangatlah tertinggal dan menyedihkan jika dibandingkan dengan pendidikan di kota besar seperti Kota Jayapura. Walaupun SD Inpres Krikuh sudah didirikan sejak tahun 1994 secara swadaya oleh masyarakat, namun hingga tahun 1998 hanya ada satu guru yang mengajar di sekolah ini.

Menurut pengakuan Angel berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), awalnya mereka diminta untuk mengabdi di Tanah Papua karena melihat pendidikan Papua mempunyai banyak kelemahan antara lain, pendidikan kurang berkualitas, kurang guru dan guru tidak betah melayani di daerah terpencil. Untuk itu Angel, Herliaty dan seratus dua puluh orang guru diminta secara sukarela. “Karena siapa yang mempunyai hati mengasihi pastilah akan melayani dan mencintai pekerjaannya biar di mana pun orang itu ditempatkan,” ungkap Angel

Kehidupan keseharian dua nona guru ini sangat diterima oleh masyarakat kampunng, bahkan anak-anak SD Inpres krikuh sangat bangga karena memiliki guru yang penyayang. Walau Kepala Sekolah sering kali tidak ada di tempat, tapi kedua guru tersebut tetap menjalankan proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar tetap berjalan mulai Senin sampai Sabtu. Jam tujuh tepat lonceng sekolah berbunyi, anak-anak bergegas berangkat menuju ke sekolah. Dari 30 murid SD yang memakai sepatu hanya tiga orang anak. Sedangkan yang lainnya kaki telanjang atau tidak memakai sepatu. Tetapi mereka semua memiliki baju seragam merah putih.” Sebelum memasuki kedalam ruang kelas, anak-anak diberi latihan baris-berbaris dan mengerek bendera setiap hari. Selanjutnya, kuku-kuku murid-murid akan diperiksa satu persatu, kalau ada yang panjang dan kotor, maka kuku anak tersebut akan dipotong,” ujar Angel yang kesehariannya mengajar kelas satu dan dua.

Beda halnya dengan Angel, Meyliaty Sababalat asal Toba-Samosir mengatakan waktu pertama kali mereka datang dan melihat sangat prihatin melihat kondisi SD yang hanya memiliki tiga ruang kelas, tidak memiliki ruang guru, tidak memiliki meja, bangku, papan tulis bahkan hanya berlantai tanah liat. Meja dan kursi dibuat memanjang lima bersap. Sewaktu hujan turun, ruang kelas akan berbecek karena rembesan air. “ Itu jelas sangat menganggu proses belajar di sekolah,” tutur Meyliaty dengan logat Batak.

Lanjut Meyliaty, tiap Jumat murid-murid diajarkan senam dan kebanyakkan murid-murid salah melakukan gerakan. Apa lagi pada saat menyilang kaki kebelakang, banyak jatuh tersungkur ke tanah. Tapi syukurlah banyak dari mereka yang berusaha dengan sedikit demi sedikit akhirnya.

Meyliaty melihat pendidikan di SD Impres Krikuh secara kasat mata masih tertinggal jauh dibandingkan dengan saudara-saudara yang ada di belahan kota lain. Pertama kali mengajar banyak sekali kendala yang dihadapi, mulai dari tidak bisa membaca, tidak bisa menulis bahkan suka melawan guru. Tapi dengan visi misi yaang diembani yakni : Melayani yang tak dilayani, Menjangkau yang tak terjangkau dan mengasihi yang tak dikasihi. Karena itu merupakan panggilan, maka kedua guriu tersebut akan bertahan. Walau sudah empat bulan lebih tidak menerima honor tapi Tuhan tetap peliharan dalam segala hal.

Untuk masalah makan selama berada di kampung Krikuh, kedua nona guru tidak kuatir sama sekali. Karena masyarakat yang memberikan mereka berdua bahan makanan seperti beras, supermi, garam, vetsin, sabun mandi dan cuci. Sedangkan untuk kapur dan buku tulis, biasanya mereka berdua pesan kalau ada masyarakat yang turun ke Kampung Yety untuk perlenhgkapan sekolah. Mengenai buku paket atau cetak, masih mengunakan buku lama dan buku yang di berikan oleh Dinas P dan P sewaktu mereka di tempatkan.

Selain mengajar di sekolah, kedua nona guru ini masih menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan rumah. Mereka mempunyai kebun sayur sendiri di belakang rumah Kepsek dan taman bunga di sam-ping kiri matahari jatuh. Mereka juga menyempatkan diri masuk hutan untuk memetik sayur genemo bersama anak dan orang tua murid.

Terlihat dari raut wajau kedua nona guru tersebut memancrakan aura kebahagia. Karena mereka diterima sebagia bukan sebagai guru, tapi sebagai anak. Sehingga Meyliaty dan Angel merasa berada di Kampung sendiri.

Urbanus Bawangkir, lima tahun, senang sekolah karena bisa baca tulis dan mendengar cerita agama. “Kak, stiap mau mulai belajar dan selesai belajar, kami diajarkan untuk benryanyi lagu sekolah minggu dan berdoa. Apa lagi kalau pelajaran agama, itu yang paling saya senang, karena dengar cerita dalam Alkitab,” ungkap Urbanus.

Urbanus dan Kaknya Eci, tujuh tahun, sangat tidak menginginkan kalau sampai ibu guru pulang. Karena selama ini tidak ada guru yang mengajar sebaik mereka berdua.
Sementara itu Kepala Kampung Krikuh Tinus Bewangkir (36) tahun mengatakan selama ini sekolah tidak berjalan dengan baik, bahkan pernah sekolah fokum dari tahun 2005 sampai septerber 2007. Karena kepala sekolah mempunyai banyak kepentingan di kota Arso seperti mengurus gaji dan keluarganya. Sehingga sampai kapan pun warga Kampung Krikuh akan mempertahan kedua nona guru ini agar tetap mengajar di SD Inpres Krikuh.

Soal dana BOS selama sekolah ini didirikan sampai saat ini, Kepala Kampung dan masyarakat Krikuh tidak tahu menahu besar kecilnya dana BOS. Karena tidak ada transpanran dari Kepsek untuk orang tua murid. Sedangkan untuk dana OTSUS beasiswa pendidikan, oarang tua tidak pernah mendapat surat pemberituhan secra resmi dan tertulis. Masyarakat juga bingung dana-dana tersebut digunakan untuk apa, sedangkan bangunan SD serta meja kursi masih seperti dulu. (Carol Ayomi)
--------------------------------------------
Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com
BACA TRUZZ...- Suka Duka Nona Guru Sukarela yang Sudah Empat Bulan Belum Terima Honor

Guru Enggan Ditempatkan di Pedalaman

Minggu, Juni 08, 2008

Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH menilai kondisi pendidikan di Papua cukup memprihatinkan. Bahkan ia mengaku kekecewa terhadap pendidikan di Papua. Dimana guru-guru tidak mau ditempatkan di kampung-kampung. Hal menjadi suatu masalah dan kendala yang harus dihadapi pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Papua.

Padahal kata Gubernur, dilihat dari jumlah guru yang ada saat ini jumlahnya sudah mencukupi. Hanya saja, pendistribusiannya yang kurang merata. Artinya, ada daerah gurunya terisi, tetapi ada daerah sama sekali tidak ada guru. Sekarang bagaimana agar pendistribusian guru-guru di kampung-kampung bisa merata serta ditunjang dengan tunjangan insentif. Namun dituntut pula, apabila insentif sudah diberikan, para guru-guru harus sungguh-sungguh bekerja.

‘’Dari pengamatan saya selama turun kampung (Turkam), demikian juga penuturan dari para kepala kampung bahwa guru-guru di kampung sangat kurang. Kadang satu sekolah hanya ditangai satu orang guru, bahkan ada sekolah yang sama sekali tidak ada gurunya,’’ kata Gubernur.

Oleh karena itu, Gubernur mengajak semua komponen masyarakat untuk ikut membangun dan meningkatkan pendidikan guru di tanah Papua. Salah satunya membuka kembali program Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang telah lama dibubarkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru di Papua

“Sekarang ini, mutu pendidikan di Papua sangat mengkhawatirkan, hal ini karena kita masih kekurangan guru, apalagi dengan ditutupnya SPG dan muncul PGSD. Keberadaan PGSD ini dirasakan kurang tepat,” ujar Gubernur dalam pemaparannya pada seminar dan lokakarya pembinaan pendidikan guru di tanah Papua di Sasana Karya belum lama ini.

Menurutnya, dengan kerapuhan pendidikan di Papua perlu diperhatikan betul-betul masalah kekurangan guru, dimana menurutnya selama ini lebih banyak guru berada di kota ketimbang di kampung. Untuk itu, ia meminta agar dibuat sebuah pusat data guru yang tersebar di seluruh Papua, sehingga ada kejelasan tentang penempatan guru.

Gubernur sedikit mereviuw kebelakang, keberadaan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada zaman dulu dinilai dapat menciptakan guru yang berkarakter, sehingga dalam mendidik anak-anak turut menciptakan karakter anak yang cerdas.

“Kenapa sampai program SPG ditutup, saya juga tidak mengerti, namun semua itu hanya sebagai gambaran dimana pada saat itu pendidikan guru betul-betul dilakukan dengan baik, untuk menciptakan karakter anak-anak di pendidikan dasar,” ujar Bas. **

Sumber:http://papuapos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=558&Itemid=1

BACA TRUZZ...- Guru Enggan Ditempatkan di Pedalaman

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut