Hadapi Resesi dengan Nilai-nilai Budaya Papua

Senin, Juni 09, 2008

Dalam suatu seminar bedah buku yang berjudul "Mungkinkah Nilai-nilai Hidup Budaya Suku Mee Bersinar Kembali?", karya Ruben Pigay, S.pak, yang dihadiri masyarakat umum dan pelajar SMU, tidak lama ini di Aula STT Walter Post II, Nabire, Papua Barat, membuat saya tertuju dalam satu dari makna penting dari keseluruhan diskusi yang telah memaksa orang Papua, khsusnya suku Mee di Paniai untuk kembali kepada nilai-nilai budaya Mee. Ternyata, tradisi suku Mee dalam corak produksi tradisionalnya mampu memberikan solusi ditengah ancaman krisis energi dan faktor geopolitik dunia yang berdampak pada naiknya harga kebutuhan pokok di Indonesia, lebih khusus di Papua Barat.

Yang harus disadari dan tra boleh disangkal adalah bahwa pergeseran fluktuatif terjadi dalam kehidupan budaya hampir setiap suku di Papua Barat sejak pendudukan koloniaslime Indonesia. Indonesia yang pada masa Orde Baru sebagai suatu kekuasaan 'boneka AS' menjadi jembatan ke Papua Barat bagi penyeberangan budaya imperialisme global, suatu kekuatan yang telah memaksa penduduk pribumi menikmati arus modernisasi sebagai konsekuensi logis. Praktek kolonialisme melalui ancaman pemekaran wilayah kekuasaan kolonial Indonesia yang bersamaan dengan suplai penduduk migran dan perluasan daerah teritori militer paling tidak menjadi faktor utama dari dampak evolusi budaya suku-suku di Papua Barat.

Praktek eksploitatif itu ditandai dengan memudarnya etos kerja beternak dan berkebun yang lalu begitu luar biasa dalam nilai-nilai budaya suku Mee. Hampir dataran tanah adat Mee yang dulu menghasilkan flora nan hijau sebagai sumber konsumen kini menjadi dataran tandus yang tidak ada nilai guna bagi kelangsungan makluk hidup. Bila orang Papua sudah tidak mempunyai dusun/kebun lagi atau hubungan timbal balik antara alam dan manusia terganti dengan ketergantungan terhadap produk luar, atau bila Orang Papua Barat dipaksa menajadi manusia-manusia era moderen yang mempunyai permintaan konsumsi yang sama. maka bahaya globalisasi yang kini ditandai dengan kenaikan harga BBM, tidak mungkin tidak menjadi ancaman masyarakat adat Papua Barat.

Memang bahayanya tidak separah yang dialami daerah-daerah lain di Indonesia dalam hal kenaikan barang dan jasa, terutama kenaikan harga sembako dan jasa-jasa transportasi, dan kelihatannya bagi rakyat Papua aksi protes kenaikan BBM massa FPN (Front Pembebasan Nasional) yang menjalar di Indonesia (tidak di Papua Barat) belum menunjukan perjuangan bersama, namun paling tidak kenaikan harga BBM mengakibatkan permintaan yang semakin menggelembung bagi kaum migran Papua yang menguasai sektor perdagangan, transportasi dan industri. Bagi mereka, kondisi ini merupakan kesempatan untuk memperbesar kantong penghasilan mereka. Sebab, banyak uang Otsus yang beredar di tangan orang Papua Barat menjadi incaran bagi mereka.Contoh, bila di Entrop, Jayapura beberapa waktu lalu terjadi mogok sopir angkot menuntut kenaikan tarif harga transportasi, bagi rakyat Papua Barat, hal itu bukan suatu ancaman, padahal, dengan tarif 4.000 pp Entrop-Abe, omset sehari bisa mencapai sejuta hingga dua juta, atau sejajar gaji sebulan PNS golongan menengah. Ini semakin memperkuat ketergantuangan bagi orang Papua Barat dalam segala aspek yang tentu saja telah didominasi oleh kaum migran (orang pendatang).

Sistematis dan tepat sasaran. Itu kalimat yang pas buat keberhasilan praktek kolonialisme Indonesia di Papua Barat, terhadap orang Papua Barat. Penindasan dan penghisapan menjadi nyata, tatkala orang Papua Barat sendiri seakan-akan meng-iyakan itu terjadi. Saat-saat tidak ada lagi kesadaran berdaulat diatas tanah airnya, saat-saat itu tawaran posisi stategis di daerah-daerah pemekaran baru menjadi sasaran empuk. Partai-partai politik diboyong habis kaum intelektual yang seharunya menjadi revolusi nilai-nilai budaya Papua Barat. Pilihan itu menjadi keharusan, sebab sumber penghasilan pangan dan ternak sudah tidak ada lagi.

"Suku Mee harus kembali kepada nilai-nilai yang dahulu", demikian ajak Ruben Pigay yang sudah beranjak di usia senja dalam bukunya. Buku itu seakan-akan memaksa saya merenung sejenak dan tidak lain, hanya nilai-nilai budaya yang mampu mempertanhankan kondisi sosial, ekonomi-politik suatu wilayah. Sekalipun tingkat konsumsi minyak dunia tidak lagi sepadam dengan produksi minyak dunia, tetapi sepanjang rakyat Papua Barat, khususnya suku Mee bisa membudayakan kembali aktivitas berkebun dan beternak, maka bukan tidak mungkin wilayah dan orang Papua Barat tetap resistan dalam menghadapi penjajahan dan penghisapan global. [Victor F. Yeimo -sekedar renungan pribadi]
BACA TRUZZ...- Hadapi Resesi dengan Nilai-nilai Budaya Papua

Masyarakat Adat dan Lunturnya Nilai Adat: Ironisnya Seringkali Mereka Dituding Perjuangkan Aspirasi

Ironisnya Seringkali Mereka Dituding Perjuangkan Aspirasi

Sebelum ada pemerintah dan gereja ternyata masyarakat adat telah ada lebih dahulu sebelum masuknya lembaga lembaga resmi baik formal mau pun non formal. Bahkan masyarakat adat berdiri dengan system poltik tradisionalnya untuk menjaga keberlangsungannya dari generasi ke generasi.


Namun belakangan ini justru kearifan adat dan tradisi luntur karena perubahan jaman dan degradasi nilai nilai adat. Kepala LMA Marind Anim di Kabupaten Merauke Alberth Moywend mengatakan masyarakat saat ini dengan mudah dapat dibeli dengan uang untuk kepentingan kepentingan tertentu baik oleh kekuasaan dan pemilik modal. “Kondisi ini sangat merugikan jati diri dan nilai nilai adat,”guman Moywend.

Apa yang digumuli Moywend adalah sebagian dari persoalan yang timbull di masyarakat adat Papua. Bahkan ada tuduhan masyarakat adat atau lembaga adat hanya memperjuangkan gerakan Papua merdeka sebagaimana hasil penelitian Yayasan KIPPRa tahun 2007 lalu. Sekitar 20 tahun terakhir ini, telah banyak lahir institusi atau pun kelembagaan adat di tanah Papua terutama jaman Orde Baru dibentuknya Lembaga Masyarakat Adat Irian Jaya yang dketuai oleh almarhum Theys Hiyo Eluay. Penyebutan lembaga adat pun banyak sesuai versi dan kepentingan masing masing antara lain Lembaga Masyarakat Adat(LMA), Dewan Adat (DA), Lembaga Adat(LA), Dewan Adat Suku (DAS), Dewan Persekutuan Adat (DPMA). Semua ini merupakan bentuk bentuk kelembagaan baru di Papua.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksudkan denga masyarakat adat? Jika disimak sebenarnya masyarakat adat sudah memperoleh pengakuan terutama saat United Nations melakukan Declaration on The Rights of Indigenous Peoples atau Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak Hak Masyarakat Adat Dalam salah satu alinea deklarasi tersebut meneguhkan bahwa masyarakat adat adalah setara dengan semua masyarakat lain,sementara mengakui hak hak dari sekalian manusia berbeda, dan dengan demikian dihargai sedemikian pula. Selain itu menyadari pula bahwa masyarakat adat kini mengorganisir diri mereka demi kepentingan peningkatan kehidupan politik, ekonomi, social dan budaya mereka untuk mengakhiri semua bentuk diskriminasi dan operasi manakala terjadi di mana saja.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dalam pasal 13 dari Lampiran Pembukaan dan 46 pasal dari Deklarasi menyebutkan antara lain, Masyarakat adat berhak untuk menghidupkan kembali, menggunakan,mengembangkan dan meneruskan kepada generasi berikut sejarah,bahasa,tradisi lisan, filsafat, system tulisan dan literature mereka, dan untuk mempersembahkan dan mempertahankan nama nama komunitas,nama nama tempat tempat dan nama nama orang.Sedangkan dalam pasal 11 ayat 1,menyebutkan Masyarakat Adat berhak untuk mempraktekkan atau menghidupkan kembali tradisi dan adat mereka. Hal ini termasuk hak untuk memelihara, melindungi dan mengembangkan manifestasi masa lampau, masa kini dan masa depan dari budaya mereka seperti situs situs arkeologis dan sejarah, ukiran, rancangan, upacara, teknologi, seni visual dan pertunjukan serta literature.

Bukan itu saja dalam pasal 11 ayat 2, menjelaskan Negara perlu menyediakan penanganan yang baik lewat mekanisme yang efektif, yang dapat mencakup restitusi, dikembangkan dalam kaitannya dengan masyarakat adat, terkait barang milik yang bernilai budaya,intelektual,agamawi dan rohaniah yang telah diambil tanpa pemberitahuan mendahuluinya dan disetujui secara bebas atau merupakan pelanggaran atas hukum hukum, tradisi atau adat mereka.

“Masyarakat adat Papua beranekaragam yaitu menyangkut bahasa, struktur social, kepemimpinan, system mata pencaharian dan ekologi, serta hak kepemilikan tanah (hak ulayat),”ujar dosen antropologi Fisip Universitas Cenderawasih (Uncen) Dr JR Mansoben dalam beberapa studinya tentang Papua dalam diskusi dengan Jubi belum lama ini di Jayapura.

Lebih lanjut jelas doctor antropologi lulusan Universitas Leiden Negeri Belanda dari segi bahasa saja ada dua kelompok utamanya yaitu Austronesia (misalnya Waropen, Wandamen, Biak, Tobati, Iha,Ambai,Maya dan lain lain) dan Non Austronesia misalnya Dani, Sentani,Mee, Asmat, Muyu,Meybrat dan lain sebagainya.

Sesuai dengan hasil penelitian Summer Institute Linguistic (SIL) di Papua terdapat sekitar 250 suku bahasa yang berbeda satu sama lainnya. Sedangkan Papua New Guinea memiliki sekitar 670 bahasa suku. Sistem kepemimpinan tradisonal di Papua menurut Mansoben dibagi dalam beberapa tipe antara lain
1.Tipe kepemimpinan Raja atau sitem kepemimpinan atas dasar pewarisan,
2. Sistem kepemimpinan Big man atau pria berwibawa dan
3. Kepemimpinan campuran.Kepemimpinan atas dasar warisan atau atas dasar upaya pribadi untuk mencapai kedudukan tersebut.

Menurut Mansoben system kepemimpinan atas dasar pewarisan merupakan system kerajaan (perdagangan di waktu lalu) di Raja Ampat, di Fak Fak, Kaimana atau system Ondoafi atau Ondofolo di Sentani dan wilayan Kebudayaan Tabi termasuk Genyem yakni Demou Tru merupakan jabatan tertinggi dalam masyarakat Namblong yang hanya diduduki oleh Wai Iram, kadangkala dianggap jabatan kekal.

Jadi kalau disimak yang dimaksud dengan cirri cirri bentuk pemerintahan adat sesuai hasill diskusi yang pernah dilakukan oleh AFP3 Papua di Waena belum lama ini adalah tunggal dan otonom, struktur dari orangnya/individu, memiliki karisma dalam kepemimpinan, taat dan patuh karena sangsi adatnya tegas dan jelas, berakar dari adat, wilayah serta batas batas yang jelas, memiliki harta pusaka, merasaka terikat pada satu kesatuan territorial adat.Sedangkan lembaga adat dan pengertiannya adalah seperangkat aturan, norma dan nilai budaya yang mengatur upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat termasuk mengorganisir ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat dan lembaga juga dapat diartikan sebagai wadah/organisasi tradisional dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat melalui pelbagai kegiatan.

Secara detail terdapat tujuh wilayah adat di Papua daerah daerah antara lain, wilayah adat 1 (Mamta) meliputi Port Numbay, Sentani, Genyem, Depapre, Demta, Sarmi, Bonggo, Mamberamo. Wilayah adat 2 (Saireri) yakni Biak Numfor, Supiori, Yapen, Waropen, Nabire bagian pantai. Wilayah adat 3 (Domberay) antara lain Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawantan, Ayamaru, Aifat, Aitinyo.Wilayah adat 4 kawasan Bomberay meliputi Fakfak, Kaimana,Kokonao dan Mimika. Wilayah adat 5 kawasan Ha Anim meliputi Merauke, Digoel, Muyu, Asmat dan Mandobo. Wilayah adat 6 kawasan Me Pago antara lain Pegunungan Bintang, Wamena, Tiom, Kurima, Oksibil, Okbibab. Wilayah adat 7 kawasan La Pago antara lain, Puncak Jaya,Tolikara, Paniai, Nabire pedalaman.

Hasil Studi Identifikasi Institusi Masyarakat Adat Papua pada wilayah lima Kabupaten Merauke, Biak Numfor, Mimika, Waropen dan Jayapura kerja sama BPMD Provinsi Papua dengan Yayasan Konsultasi Independen Pemberdayaan Rakyat (KIPRa-Papua) Desember 2007 telah menyimpulkan bahwa:

1.Semua kabupaten lokasi studi telah memiliki institusi adat pada tingkat kabupaten hingga tingkat distrik dan kampung. Bahkan di Kabupaten Merauke lebih dari satu lembaga adat misalnya Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Marind Anim Ha tetapi juga ada Dewan Adat Suku Muyu.

2.Dalam menyebut lembaga adat masih terdapat beberapa versi tetapi pada hakekatnya memiliki subtansi yang sama. Ada yang masih menggunakan nama atau istilah LMA (Lembaga Masyarakat Adat) seperti di Merauke, DAS atau Dewan Adat Sentani di Kabupaten Jayapura, Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Deponsero Utara,Dewan Adat, Lemasko (Lembaga Masyarakat Adat Kamoro) dan Lemasa (Lembaga Masyarakat Adat Amungme) di Kabupaten Mimika mau pun Dewan Adat wilayah di Kabupaten Merauke. Namun yang jelas kelahiran lembaga ini sesuai dengan kebutuhan dan dukungan dari masyarakat.

3.Permasalahan yang menonjol pada beberapa kabupaten adalah memandang masyarakat adat sebagai sebuah organisasi yang orientasinya memperjuangkan masyarakat Papua untuk merdeka, sehingga senantiasa dicurigai dan tidak ada dukungan bagi kegiatan kegiatan yang akan dilakukan. Daerah yang paling dominant dan terlihat adanya perselisihan dan resistensi terhadap lembaga adat yakin di Kabupaten Merauke dan Biak Numfor. Kasus pemukulan Ketua LMA Malind Anim Ha dan proyek peluncuran satelit di Biak merupakan indikasi kuat terjadinya pertentangan antara Pemda dan masyarakat adat.

4.Hampir sebagian besar institusi tidak memiliki fasilitas kerja yang memadai,baik kantor,peralatan kerja dan juga biaya operasional sehingga dalam pelayanan pada masyarakat adat tidak memadai. Terkecuali di Kabupaten Mimika Lemasko dan Lemasa memiliki dana dan fasilitas yang berkecukupan.

5. Masih dialaminya banyak…… permasalahan oleh institusi secara internal, karena eksistensinya terutama memperjuangkan hak hak dasar masyarakat asli Papua, disamping itu belum tersosialisasinya program program kerja lembaga adat. Namun di sisi lain tercatat telah terjadi degradasi nilai nilai adat yang turut pula mempengaruhi perkembangan masyarakat adat. Ironinya anak anak adat yang duduk sebagai pejabat beberapa di antaranya tidak mempedulikan apa yang diperjuangkan institusi adat, bahkan digiring sebagai gerakan untuk kemerdekaan.

Terbentuknya lembaga adat atau pun dewan adat Papua tentu dimaksudkan agar mampu meningkatkan posisi tawar (bargaining position) masyarakat adat dalam investasi mau pun sebagai filter dalam menyaring perubahan dan perkembangan teknologi.

Namun yang jelas perubahan perilaku terutama factor dari luar seperti yang dikeluhkan Ketua LMA Kabupaten Merauke Alberth Moywend masyarakat saat ini dengan mudah dapat dibeli dengan uang untuk kepentingan kepentingan tertentu baik oleh kekuasaan dan pemilik modal. Kondisi ini yang menurut Moywend mengakibatkan hampir hilangnya jati diri sebagai masyarakat adat Malind Anim yang percaya diri, jujru, bertanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, saling menghormati dan takut akan Tuhan. (Dominggus A Mampioper dan Carol Ayomi)
-----------------------------------------
Sumber: Tabloid Jubi melalui http://www.fokerlsmpapua.org/artikel/trend/artikel.php?aid=3830

BACA TRUZZ...- Masyarakat Adat dan Lunturnya Nilai Adat: Ironisnya Seringkali Mereka Dituding Perjuangkan Aspirasi

Suka Duka Nona Guru Sukarela yang Sudah Empat Bulan Belum Terima Honor

Hari itu Sabtu tanggal 11 Februari 2008 adalah hari yang bersejarah bagi dua perempuan muda Helriaty Sababalat, 22 tahun dan Angel Meylani 25 tahun menginjakkan kaki di bumi Keerom tepatnya di Kampung Krikuh, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keroom, Provinsi Papua untuk menjadi guru sukarela.

Kedua dara manis ini dan ratusan guru sukarela lainnya merupakan alumni Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastama (STTIA) Jakarta Timur. Kedatangan mereka ini karena atas permintaan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu untuk jadi guru kontrak atau guru sukarela. Sayangnya sudah empat bulan nona guru ini belum menerima honor atas hasil kerja mereka selama beberapa bulan.

Panggilan untuk melayani ke tanah Papua khususnya di wilayah perbatasan RI dengan PNG tak membuat kecut hati kedua perempuan untuk membagi ilmu bagi anak anak di Kampung Krikuh. Hanya semangat dan rasa mengasihi yang mendorong mereka berdua untuk terus bertahan sejak Februari hingga Mei sekarang ini.

Letak Kampung Krikuh cukup jauh sekitar ribuan kilometer arah Timur Kota Jayapura atau kurang lebih tiga jam saja dari ibukota Provinsi Papua. Cilakanya lagi kalau musim hujan tiba, sepeda motor tidak bisa melewati jalan menuju Kampung Krikuh karena akan disambut kubangan lumpur dan becek. Memang jalan ke kampung itu belum diaspal, sehingga perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati Kampung Yety yang itu berarti juga melalui melalui hutan rimba yang kayunya semakin menipis akibat ulah para penebang kayu dan kemudian menyeberangi sungai besar Yety dan sungai Bewang.

Pendidikan di Kampung Krikuh sangatlah tertinggal dan menyedihkan jika dibandingkan dengan pendidikan di kota besar seperti Kota Jayapura. Walaupun SD Inpres Krikuh sudah didirikan sejak tahun 1994 secara swadaya oleh masyarakat, namun hingga tahun 1998 hanya ada satu guru yang mengajar di sekolah ini.

Menurut pengakuan Angel berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), awalnya mereka diminta untuk mengabdi di Tanah Papua karena melihat pendidikan Papua mempunyai banyak kelemahan antara lain, pendidikan kurang berkualitas, kurang guru dan guru tidak betah melayani di daerah terpencil. Untuk itu Angel, Herliaty dan seratus dua puluh orang guru diminta secara sukarela. “Karena siapa yang mempunyai hati mengasihi pastilah akan melayani dan mencintai pekerjaannya biar di mana pun orang itu ditempatkan,” ungkap Angel

Kehidupan keseharian dua nona guru ini sangat diterima oleh masyarakat kampunng, bahkan anak-anak SD Inpres krikuh sangat bangga karena memiliki guru yang penyayang. Walau Kepala Sekolah sering kali tidak ada di tempat, tapi kedua guru tersebut tetap menjalankan proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar tetap berjalan mulai Senin sampai Sabtu. Jam tujuh tepat lonceng sekolah berbunyi, anak-anak bergegas berangkat menuju ke sekolah. Dari 30 murid SD yang memakai sepatu hanya tiga orang anak. Sedangkan yang lainnya kaki telanjang atau tidak memakai sepatu. Tetapi mereka semua memiliki baju seragam merah putih.” Sebelum memasuki kedalam ruang kelas, anak-anak diberi latihan baris-berbaris dan mengerek bendera setiap hari. Selanjutnya, kuku-kuku murid-murid akan diperiksa satu persatu, kalau ada yang panjang dan kotor, maka kuku anak tersebut akan dipotong,” ujar Angel yang kesehariannya mengajar kelas satu dan dua.

Beda halnya dengan Angel, Meyliaty Sababalat asal Toba-Samosir mengatakan waktu pertama kali mereka datang dan melihat sangat prihatin melihat kondisi SD yang hanya memiliki tiga ruang kelas, tidak memiliki ruang guru, tidak memiliki meja, bangku, papan tulis bahkan hanya berlantai tanah liat. Meja dan kursi dibuat memanjang lima bersap. Sewaktu hujan turun, ruang kelas akan berbecek karena rembesan air. “ Itu jelas sangat menganggu proses belajar di sekolah,” tutur Meyliaty dengan logat Batak.

Lanjut Meyliaty, tiap Jumat murid-murid diajarkan senam dan kebanyakkan murid-murid salah melakukan gerakan. Apa lagi pada saat menyilang kaki kebelakang, banyak jatuh tersungkur ke tanah. Tapi syukurlah banyak dari mereka yang berusaha dengan sedikit demi sedikit akhirnya.

Meyliaty melihat pendidikan di SD Impres Krikuh secara kasat mata masih tertinggal jauh dibandingkan dengan saudara-saudara yang ada di belahan kota lain. Pertama kali mengajar banyak sekali kendala yang dihadapi, mulai dari tidak bisa membaca, tidak bisa menulis bahkan suka melawan guru. Tapi dengan visi misi yaang diembani yakni : Melayani yang tak dilayani, Menjangkau yang tak terjangkau dan mengasihi yang tak dikasihi. Karena itu merupakan panggilan, maka kedua guriu tersebut akan bertahan. Walau sudah empat bulan lebih tidak menerima honor tapi Tuhan tetap peliharan dalam segala hal.

Untuk masalah makan selama berada di kampung Krikuh, kedua nona guru tidak kuatir sama sekali. Karena masyarakat yang memberikan mereka berdua bahan makanan seperti beras, supermi, garam, vetsin, sabun mandi dan cuci. Sedangkan untuk kapur dan buku tulis, biasanya mereka berdua pesan kalau ada masyarakat yang turun ke Kampung Yety untuk perlenhgkapan sekolah. Mengenai buku paket atau cetak, masih mengunakan buku lama dan buku yang di berikan oleh Dinas P dan P sewaktu mereka di tempatkan.

Selain mengajar di sekolah, kedua nona guru ini masih menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan rumah. Mereka mempunyai kebun sayur sendiri di belakang rumah Kepsek dan taman bunga di sam-ping kiri matahari jatuh. Mereka juga menyempatkan diri masuk hutan untuk memetik sayur genemo bersama anak dan orang tua murid.

Terlihat dari raut wajau kedua nona guru tersebut memancrakan aura kebahagia. Karena mereka diterima sebagia bukan sebagai guru, tapi sebagai anak. Sehingga Meyliaty dan Angel merasa berada di Kampung sendiri.

Urbanus Bawangkir, lima tahun, senang sekolah karena bisa baca tulis dan mendengar cerita agama. “Kak, stiap mau mulai belajar dan selesai belajar, kami diajarkan untuk benryanyi lagu sekolah minggu dan berdoa. Apa lagi kalau pelajaran agama, itu yang paling saya senang, karena dengar cerita dalam Alkitab,” ungkap Urbanus.

Urbanus dan Kaknya Eci, tujuh tahun, sangat tidak menginginkan kalau sampai ibu guru pulang. Karena selama ini tidak ada guru yang mengajar sebaik mereka berdua.
Sementara itu Kepala Kampung Krikuh Tinus Bewangkir (36) tahun mengatakan selama ini sekolah tidak berjalan dengan baik, bahkan pernah sekolah fokum dari tahun 2005 sampai septerber 2007. Karena kepala sekolah mempunyai banyak kepentingan di kota Arso seperti mengurus gaji dan keluarganya. Sehingga sampai kapan pun warga Kampung Krikuh akan mempertahan kedua nona guru ini agar tetap mengajar di SD Inpres Krikuh.

Soal dana BOS selama sekolah ini didirikan sampai saat ini, Kepala Kampung dan masyarakat Krikuh tidak tahu menahu besar kecilnya dana BOS. Karena tidak ada transpanran dari Kepsek untuk orang tua murid. Sedangkan untuk dana OTSUS beasiswa pendidikan, oarang tua tidak pernah mendapat surat pemberituhan secra resmi dan tertulis. Masyarakat juga bingung dana-dana tersebut digunakan untuk apa, sedangkan bangunan SD serta meja kursi masih seperti dulu. (Carol Ayomi)
--------------------------------------------
Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com
BACA TRUZZ...- Suka Duka Nona Guru Sukarela yang Sudah Empat Bulan Belum Terima Honor

Guru Enggan Ditempatkan di Pedalaman

Minggu, Juni 08, 2008

Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH menilai kondisi pendidikan di Papua cukup memprihatinkan. Bahkan ia mengaku kekecewa terhadap pendidikan di Papua. Dimana guru-guru tidak mau ditempatkan di kampung-kampung. Hal menjadi suatu masalah dan kendala yang harus dihadapi pemerintah dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan di Papua.

Padahal kata Gubernur, dilihat dari jumlah guru yang ada saat ini jumlahnya sudah mencukupi. Hanya saja, pendistribusiannya yang kurang merata. Artinya, ada daerah gurunya terisi, tetapi ada daerah sama sekali tidak ada guru. Sekarang bagaimana agar pendistribusian guru-guru di kampung-kampung bisa merata serta ditunjang dengan tunjangan insentif. Namun dituntut pula, apabila insentif sudah diberikan, para guru-guru harus sungguh-sungguh bekerja.

‘’Dari pengamatan saya selama turun kampung (Turkam), demikian juga penuturan dari para kepala kampung bahwa guru-guru di kampung sangat kurang. Kadang satu sekolah hanya ditangai satu orang guru, bahkan ada sekolah yang sama sekali tidak ada gurunya,’’ kata Gubernur.

Oleh karena itu, Gubernur mengajak semua komponen masyarakat untuk ikut membangun dan meningkatkan pendidikan guru di tanah Papua. Salah satunya membuka kembali program Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang telah lama dibubarkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan guru di Papua

“Sekarang ini, mutu pendidikan di Papua sangat mengkhawatirkan, hal ini karena kita masih kekurangan guru, apalagi dengan ditutupnya SPG dan muncul PGSD. Keberadaan PGSD ini dirasakan kurang tepat,” ujar Gubernur dalam pemaparannya pada seminar dan lokakarya pembinaan pendidikan guru di tanah Papua di Sasana Karya belum lama ini.

Menurutnya, dengan kerapuhan pendidikan di Papua perlu diperhatikan betul-betul masalah kekurangan guru, dimana menurutnya selama ini lebih banyak guru berada di kota ketimbang di kampung. Untuk itu, ia meminta agar dibuat sebuah pusat data guru yang tersebar di seluruh Papua, sehingga ada kejelasan tentang penempatan guru.

Gubernur sedikit mereviuw kebelakang, keberadaan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada zaman dulu dinilai dapat menciptakan guru yang berkarakter, sehingga dalam mendidik anak-anak turut menciptakan karakter anak yang cerdas.

“Kenapa sampai program SPG ditutup, saya juga tidak mengerti, namun semua itu hanya sebagai gambaran dimana pada saat itu pendidikan guru betul-betul dilakukan dengan baik, untuk menciptakan karakter anak-anak di pendidikan dasar,” ujar Bas. **

Sumber:http://papuapos.com/index.php?option=com_content&task=view&id=558&Itemid=1

BACA TRUZZ...- Guru Enggan Ditempatkan di Pedalaman

Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru

Jumat, Juni 06, 2008

(The Young, The Education and The Challenges of New Era)

Oleh David Misiro*)

“Men and nations can only be reformed in their youth, they become incorrigible as they grow old. Manusia dan bangsa-bangsa hanya dapat dibentuk selagi muda, mereka tidak dapat diperbaiki lagi sesudah menjadi tua,” demikian kata seorang tokoh Perancis terkenal Jean Jacquis Rousseau.

Menarik sekali bahwa Rousseau melihat adanya kesejajaran antara perkembangan hidup manusia dan suatu bangsa. Ada dua pokok pikiran yang kiranya relevan bagi kehidupan generasi muda kita (Papua) sebagaimana disoroti oleh Rousseau bahwa pada masa itulah “The Golden Age” (masa muda, masa emas) proses pembentukan dan perbaikan itu berlangsung.

Adalah harapan saya semoga pemikiran-pemikiran berikut yang terbentuk dalam suatu konfigurasi thema ”Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru” ini akan ada nilainya bagi Anda, baik sebagai pemuda, pelajar dan mahasiswa yang sedang bercita-cita membangun suatu hari esok yang cemerlang dan suatu hari lusa yang lebih gemilang --- suatu masa depan yang lebih baik bersama keluarga, handai-taulan, bersama rakyat, dan bangsa dan negeri-mu Papua --- bahkan bersama si dia yang sangat Anda cintai.


The Young!

Siapa sebetulnya pemuda itu? Pasti ada banyak pendapat entah dari sudut pandang manapun: biologic, paedagogic, antropolgic, sosiologic maupun politic. Pemuda adalah golongan usia muda, entah pelajar, mahasiswa, kelompok usia muda lainnya dan yang sudah bekerja (jadi pengawai negeri sipil atau swasta tidak memandang masih bujang atau sudah menikah). Pemuda tergolong generasi muda, generasi baru. Merekalah yang diharapkan menjembatani perubahan zaman. Mereka dikategorikan sebagai kelompok usia muda antara 17 tahun hingga 52 tahun. Kalau remaja berusia antara 13;0 tahun hingga 16;0 tahun. Masa remaja berlangsung singkat, tidak lama. Masa transisi antara 53;0–59;0 dan di atas usia 60;0 adalah generasi tua. Masa transisi pun berlangsung singkat.

Jadi seseorang (entah laki atau perempuan) jikalau tidak pernah melalui dan menikmati masa remaja-nya atau masa muda-nya, perlu dipertanyakan, ketika itu kau ada di mana ? Sebab jika seseorang tidak pernah menapaki masa muda-nya atau masa remaja-nya dengan baik, lalu dikemudian hari dia mengalami guncangan hidup dalam kehidupan rumah tangga, pasti ada yang menyindir bahwa dia lagi memasuki “masa puber ke-2” dan seterusnya (malukah?).

Topik ini sengaja dipilih karena adanya rasa tanggungjawab moral terhadap generasi muda kita Indonesia dan Papua khususnnya, terhadap negeri dan bangsa-ku sendiri. Saya ingin bertanya seperti Max Weber (sarjana Jerman terkenal) kepada generasi muda kita “Di manakah tempatnya bagi generasi muda kita dalam sejarah? Apakah mereka hanya mau menjadi pengekor atau tidak haruskah mereka menjadi sesuatu yang lain yang lebih besar pada zaman baru ini ?

Wah..., rupa-rupanya Max Weber melihat bahwa ada generasi muda yang hanya mau bermain-main dalam sejarah, mereka tidak bersungguh-sungguh membangun negerinya, bangsanya. Dia (Max Weber) murka sehingga berkata seperti itu. Max Weber melanjutkan “Apakah kalian tidak bisa tampil sebagai “homo-sapiens (manusia pemikir), atau “homo-faber (manusia kerja) ataukah kalian hanya mau menjadi “homo-ludens (manusia bermain, pengekor)”? Walau demikian murkanya, toh pada akhirnya Max Weber mengajak seluruh generasi muda di negerinya agar segera bangkit dari kesuraman, dari kedurjananan, dan dari kekelamanan. Bangkitlah! Jadilah Pelopor, Bukan Pengekor! Sebagai pelopor, pemuda hendaknya tampil sebagai “agent of reasoning” tapi juga harus lebih dari itu, sebagai “agent of change”. Simaklah kata-kata Max Weber tadi sebagai dorongan dalam menjalani zaman baru ini. Syaloom!

***

Mari kita maju SELANGKAH lebih jauh lagi! Tidak terasa kita sudah berjalan begitu cepat meninggalkan zaman lama dan kini kita sudah dan sedang berada di dalam ”zaman baru”. Zaman yang penuh tantangan dan perubahan. Sepertinya kita telah bermimpi dan mimpi itu sudah menjadi kenyataan. Namun mimpi yang sudah menjadi ”kenyataan” itu belum sepenuhnya kita olah dan nikmati di ”zaman baru” ini. Kita baru berjalan 9 tahun di dalam ”zaman baru” ini dan sebentar lagi kita memasuki dekade pertama di abad baru ini. Kita baru saja dan sedang membersihkan jalan-jalan yang sudah hancur yang dibuat oleh anazir-anazir tak bertanggungjawab di ”zaman lama” seolah-olah ada generasi masa lalu yang tidak mau menyiapkan dan menopang generasi penerus bangsa dan negeri ini berjaya di masa datang. Lebih banyak urus isi perut lalu membunuh dan menghancurkan bangsa dan rakyat ini daripada menyiapkan generasi baru bangsa ini untuk membangun diri menghadapi tantangan masa depan. Luar biasa kondisi masa lalu yang unik tapi juga penuh kehebatan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan.

Education ust be taking the first place

Pendidikan tetap diberi tempat nomor satu dalam membangun bangsa dan negara. Disinilah tempatnya pemuda mempersiapkan diri. Oleh karena itu, setiap sistem pendidikan yang sehat selalu berusaha memahami zamannya dan berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya. Setiap sistem pendidikan selalu berusaha mempersiapkan masyarakat yang dilayaninya, mengembangkan wawasan-wawasan baru untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan yang nampak akan datang. Interaksi antara sekolah dan masyarakat seperti ini lalu melahirkan watak yang dinamis pada sistem pendidikan. Dan dinamika ini tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dan dilakukan oleh sekolah-sekolah yang terdapat dalam sistem pendidikan tadi. Perubahan-perubahan ini tidak terasa selama kita sedang menjalaninya. Kita baru sadar akan terjadinya perubahan ini kalau kita menengok ke belakang, ke masa lalu. Kita lalu berkata: “Alangkah bedanya pendidikan dahulu dengan pendidikan sekarang”.

Pada tahun 1997 yang lampau, kita berada di ambang perubahan. Kita sudah meninggalkan “zaman lama”, dan kini berjalan di dalam“zaman baru”. Kata para ahli, “zaman baru” yang kita jalani ini sangat berbeda dari “zaman lama” yang kita sudah tinggalkan. Tapi apalah dikata bila dibuktikan dengan kondisi real dan obyektif yang kini kita jalani sekarang? Rasanya masih begitu banyak manusia Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi rakyat Papua masih cenderung ingin mempertahankan kondisi “zaman lama”. Zaman lama yang penuh kehebatannya, zaman yang penuh perjuangan pula, tetapi yang harus ditinggalkan pula. Kita butuh perubahan dan perubahan itu terdapat pada “zaman baru”. Adakah Anda merasa bahwa Anda sedang berada di dalam ”zaman baru” itu? Ataukah Anda masih terbuai dan terlena dengan sisa-sisa kenikmatan bujukan ”zaman lama” yang sudah berlalu seolah-olah pula Anda sudah berubah padahal Anda sementara ini sedang berjalan-jalan di dalam suatu alam khayalan yang masih mengasyikkan alias Anda sedang ketinggalan kereta? Bangkit dan bergandeng tangan berjalan menuju puncak impian kita di ”zaman baru” ini. Ayoh, quick wake-up!

Berikut, saya akan terus bernyanyi dan bernyanyi terus tentang lagu ”Pendidikan” yang menjadi fokus perhatian saya dan tentunya Anda juga. Saya terus berlari menuju impian saya ”Venture for the Victory, Striving for Superiority” bagi Rakyat-ku, bagi Negeri-ku Papua.

Apabila pandangan-pandangan ini diterima sebagai kebenaran, maka kita lalu bertanya: “Tidakkah pendidikan kita, harus mempersiapkan diri untuk menanggapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan datang?” Apakah pendidikan kita tidak wajib mempersiapkan anak-anak kita untuk belajar menguasai berbagai pengetahuan praktis dan keterampilan yang akan diperlukan di “zaman baru”? Bagaimanakah bentuknya tanggungjawab keluarga-keluarga, masyarakat luas dan pemerintah terhadap pendidikan nasional kita yang mau tak mau mengalami perubahan akibat pergeseran nilai dari “zaman lama” ke “zaman baru”? Zaman baru sudah kita masuki dengan runtuhnya zaman lama termasuk yang dijuluki dengan “Orde Baru” atau yang sering dijuluki sebagai “Orde Baru-nya Soeharto (Orbato)” pada tahun 1998.

Sembilan tahun sudah kita jalani “zaman baru” (1998-2007) dan segera kita masuki tahun ke-10. Tapi rasanya kita masih berjoget di tempat saja? Banyak pertanyaan bermunculan: Benarkah kita telah memasuki “zaman baru” yang menjanjikan itu? Jika benar bahwa kita telah memasuki “zaman baru”, manakah tanda-tandanya? Memangnya “zaman baru” itu yang ditandai dengan lahirnya “Undang-Undang Pendidikan” yang baru (UU-RI Nomor 20 Tahun 2003) ? Ataukah UU Otsus No.21/2001 (yang telah bermasalah itu) bagi Rakyat Papua? Dengan kata lain, kita bertanya “Apakah memang sudah tiba waktunya bagi kita untuk melakukan langkah-langkah dasar yang akan mendorong sistem pendidikan kita menata dirinya kembali, mentransformasikan dirinya menjadi sistem pendidikan baru yang mampu menjawab tantangan dalam masyarakat kita? Akan lahirkah Perdasus-Perdasus, Perdasi-Perdasi untuk mendukung UU Otsus No.21/2001 demi mensejahterakan Rakyat Papua? Apakah ada Perdasus yang qualify pengganti LOSO dan MOSO di masa silam? Ataukah akan muncul manuver-manuver politik yang lebih licik lagi untuk menghabiskan Rakyat dan manusia Papua di tanah leluhurnya? (Saat ini UU Otsus No.21/2001 tengah direvisi/diamandemenkan oleh oknum tertentu – Cs. Jika amandemen UU Otsus No.21/2001 itu memiliki takaran yang lebih tinggi berpihak kepada Jakarta, harus ditolak oleh rakyat Papua).

Tanggungjawab Pemerintah

Tanggungjawab pemerintah merupakan lanjutan dari apa yang dirintis oleh keluarga dan masyarakat. Realisasinya dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan sub-sistem lainnya. Hampir lebih banyak tanggungjawab pendidikan dibebankan kepada pemerintah. Pemerintah menganggarkan dana untuk pembangunan pendidikan nasional kita mulai dari TK hingga PT (Perguruan Tinggi), termasuk pendidikan keterampilan. Namun demikian dewasa ini masih banyak guru yang tidak sejahtera karena tidak hidup di dalam rumah yang baik dan sehat sehingga dapat menjalankan fungsi mengajarnya secara baik dan tenang pula.

Selanjutnya untuk mengatur suatu sistem pendidikan nasional yang serasi terpadu dan berkesinambungan, maka Pemerintah Negara kita mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting yang mengatur sistem pendidikan nasional kita. Kebijakan-kebijakan penting yang lahir dewasa ini untuk mengatur dan menata kehidupan pendidikan nasional kita adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang dicantumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, berikut Peraturan-Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang (i) Pendidikan Pra Sekolah, (ii) Pendidikan Dasar, (iii) Pendidikan Menengah, (iv) Pendidikan Tinggi, (v) Pendidikan Luar Sekolah, (vi) Tenaga Kependidikan, dan (vii) Peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional, serta (viii) Keputusan-Keputusan Mendiknas RI tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi.

Kalau dilihat soal biaya yang diperuntukkan membangun Papua sebetulnya jauh lebih besar apabila dirasionalisasikan dengan populasi penduduk Papua. Penduduk di Tanah Papua diperkirakan 2, 6 Juta jiwa. Orang Papua sendiri 1,4 Juta orang dan non-Papua 1,2 Juta orang. Mengapa anak-anak Papua tidak diistimewakan soal biaya pendidikan? Misalnya pembebasan SPP, pemberian uang kos, uang buku, dan lain-lainnya?! Uang lebih banyak bertengger di kantong-kantong para pejabat daripada turun sampai di bawah di tangan rakyat, apalagi untuk menghidupkan dunia pendidikan saja harus memberatkan orangtua siswa lewat Komite Sekolah. Ini tidak benarrrr!

Peranan Pendidikan dan Sumbangannya Dalam Pembangunan Bangsa

Bangsa Indonesia telah menjalani kemerdekaannya 62 Tahun. Dengan usianya yang semakin tinggi itu tidak berarti bahwa bangsa ini sudah hebat dan sudah sejahtera dalam segala segi kehidupan. Di sisi lain bangsa ini masih dijajah oleh pemimpin-pemimpinnya sendiri dengan cara-cara menciptakan ketidak-stabilan, pembunuhan di mana-mana, permusuhan antar sesama, pembiaran penderitaan yang berkepanjangan, dan sebagainya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan ini, di antaranya alam yang kaya, indah dan beriklim tropis, penduduk yang banyak dan potensial disertai kebudayaan bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Namun demikian terdapat empat faktor dominan yang membawa keberhasilan itu.

Pertama, semangat juang, patriotisme, dan tekad rakyat, para pejuang, dan penerus kemerdekaan yang tiada kenal menyerah dan berhenti dengan dilandasi nilai-nilai luhur pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ketangguhan semangat juang dan patriotisme itu, tampak tatkala adanya penyimpangan-penyimpangan.

Kedua, dalam perkembangannya, bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR/MPR memberikan kesepakatan bahwa pembangunan nasional pada hakekatnya bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Manusia menjadi inti pembangunan, baik sebagai pelaku maupun sebagai tujuan. Betapa tidak manusialah yang merasakan pahit manisnya pembangunan itu dan yang akan meneruskan pembangunan itu. Kualitas manusia Indonesialah yang akan membawa keberhasilan bukan terletak pada kekayaan alam yang melimpah ruah.

Ketiga, perekonomian yang semakin meningkat dengan laju pertumbuhannya mencapai di atas 5 %. Tingkat perekonomian ini tampak pada pembangunan fisik, sarana dan prasarana yang semakin baik, yang memberikan taraf kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.

Keempat, pendidikan bangsa yang semakin maju dan meningkat. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa sebagian besar tenaga pembangunan di Indonesia, berangsur-angsur dilakukan oleh tenaga hasil pendidikan dalam negeri, dan sebagian kecil yang beruntung memperoleh kesempatan studi di negara maju, pada umumnya berhasil, bahkan ada yang mendapat predikat cumlaude. Itupun menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia cukup baik. Keadaan ini memunyai dampak positif terhadap pendapatan sebagian dari kesejahteraan rakyat. Perekonomian Indonesia semakin meningkat membaik dari tahun ke tahun. Pendapatan perkapita pun meningkat, contohnya dewasa ini pendapatan per kapita sekitarUS$ 700.

Permasalahan dan Tantangan Masa Depan Bangsa

Kemajuan dan sumbangan pendidikan yang demikian besar terhadap pembangunan bangsa, tiada berarti luput dari permasalahan. Justru masalah utama yang sangat mendasar adalah kualitas produktivitas manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia yang relatif rendah. Salah satu penyebabnya sekitar 70 % tenaga kerja kita masih berpendidikan maksimal SD. Keadaan ini wajar bila bangsa Indonesia belum mampu menghasilkan barang dan jasa sebagai karya yang bermutu, menarik dan mudah dapat bersaing, bermitra dan mandiri dengan hasil barang dan jasa bangsa-bangsa maju lainnya yang rakyatnya berpendidikan lebih tinggi.

Permasalahan ini akan semakin tampak apabila dilihat secara kuantitatif, yaitu bahwa setiap tahun 1,2 juta (38 %) lulusan SD tidak dapat melanjutkan studi ke SLTP dan sekitar 1,2 juta anak putus sekolah dasar. Sedangkan anak SLTP, 455 ribu tidak dapat melanjutkan studi ke SLTA dan sekitar 454 ribu anak SLTP putus SLTP. Ini mempunyai arti bahwa sekitar 2,3 juta anak SD dan SLTP keluar sekolah, sehinggga selama Repelita VI diperkirakan akan berjumlah sekitar 16,5 juta dari seluruh populasi SD dan SLTP sebanyak 36,44 juta anak (Sumber Depdikbud, 1994).

Secara lebih luas, sejak awal tahun 1969/1970, secara garis besar Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan Master Design pembaharuan pendidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) menggariskan bahwa permasalahan pokok pendidikan berkisar pada pemerataan, mutu, relevansi (link and match) dan efisiensi pendidikan. Keadaan itu relatif konstan, dan dijadikan strategi dasar pembangunan pendidikan hingga sekarang pada zaman baru ini.

Selain dari masalah tersebut di atas, dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari, terutama pasca Deklarasi Bogor, dalam rangka menyongsong masyarakat industri, investasi dan perdagangan bebas tahun 2020 di kawasan Asia Pasific, maka tantangannya akan semakin besar bagi bangsa Indonesia, yaitu dituntut memiliki kemampuan bersaing, bermitra dan mandiri atas dasar jati diri kita sendiri.


Pendidikan Salah Satu Kunci Keberhasilan Pembangunan Bangsa

Menghadapi permasalahan dan tantangan masa depan bangsa, memerlukan pendekatan secara simultan dalam arti melibatkan kepedulian penanganan pelbagai pihak. Namun demikian wahana utama atau salah satu kunci penentu keberhasilan pada masa lalu dan masa depan bangsa ialah pendidikan. Melalui pendidikan bangsa yang baik, diharapkan bangsa Indonesia akan mampu bersaing, bermitra dan mandiri di atas jati diri bangsa. Ini merupakan salah satu strategi bahwa pendidikan adalah salah satu penentu keberhasilan Pembangunan.

Memperhatikan permasalahan dan tantangan masa depan tersebut, pendidikan Indonesia dewasa ini telah memiliki UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional kita dan Peraturan-Peraturan Pemerintah yang cukup lengkap. Namun apakah sudah siap atau belum sekalipun sangat memerlukan pengelolaan yang sangat konsepsional mendasar tetapi dapat dilaksanakan dan ditangani secara profesional dan proporsional?

Disinyalir sampai saat ini pendidikan Indonesia masih menekankan pendekatan tradisional, pengetahuan menjadi kekuatan utama (knowledge as a power) yang masih bersifat fragmentaris, belum atau kurang menggunakan pendekatan perspektif terpadu yang mengutamakan pendidikan sebagai suatu kekuatan utama (education as a power), dimana manusia menjadi kekuatan utama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dalam kurun waktu yang cukup jauh. Oleh karena itu dalam rangka memacu laju pembangunan, kebijakan nasional yang memberikan prioritas pembangunan ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia akan sangat tepat bila disertai dengan prioritas pendidikan.

Hal ini sangat penting, karena wahana utama untuk meningkatkan kualitas manusia adalah pendidikan Namun apakah semua impian ini telah diwujudkan? Semuanya tinggal impian. Indonesia kembali disibukkan dengan memberantas dosa-dosa masa lalu mantan Penguasa Orde Baru, Soeharto. Waktu berjalan terus dan tak terasa kita memasuki Era Baru, Abad Baru atau Zaman Baru. Kita terus berbenah diri walau belum ditemukan seorang pemimpin yang cocok untuk mengantar bangsa Indonesia keluar dari lembah nista ini. Barangkali SBY!? Kita lihat nanti!


The Challenges and the Changes!

Kecenderungan-kecenderungan baru pada zaman lama dan abad XXI yang dengan sendirinya memengaruhi pendidikan nasional kita. Secara global, apakah ciri-ciri pokok dari kehidupan dalam abad XXI yang baru saja kita jalani 9 tahun terakhir kini? Ada pelbagai pandangan mengenai corak kehidupan dalam abad baru ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan dalam masa datang nanti akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (kecenderungan fragmentasi) dalam kehidupan politik. Kedua kecenderungan ini sekarang ini sudah menjadi kenyataan di pelbagai kawasan di dunia ini.


Kecenderungan Integrasi Ekonomi Dunia

Kecenderungan integrasi ekonomi dunia terjadi di mana-mana tempat di pelbagai kawasan. Yang kita sempat merekam dan ketahui antara lain:

a. Integrasi ekonomi yang telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (E.U).

b. Di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North America Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara).

c. Di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asian Pacific Economic Cooperation atau Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik).

d. Di Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas Negara-Negara ASEAN).

Disamping kecenderungan ekonomi di atas, kecenderungan politik pun mulai dan sedang bergolak di mana-mana tempat di seluruh dunia ini, termasuk kita di Indonesia.

Fragmentasi Politik

Fragmentasi politik terjadi di mana-mana tempat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kita dapat mencatat beberapa fragmentasi politik di beberapa kawasan di dunia dan di dalam negeri seperti:

a. Di bekas negara Yugoslavia (Bosnia, Serbia, dan sebagainya).

b. Di bekas wilayah Uni Soviet (Chesnia, Latvia, Georgia, dan sebagainya).

c. Di berbagai negara di Benua Afrika (Rwanda, Burundi, Angola, Liberia dan sebagainya).

d. Di Asia (Sri Langka, Bangladesh, India, Pakistan, Thailand, Myanmae, Indonesia, dan sebagainya).

e. Di Eropa (Belgia, Irlandia, Spanyol/separatis Basque, dan sebagainya).

f. Di Italia pun terjadi frgamentasi serupa. Liga Utara di bawah pimpinan Umberto Bossi minta status khusus kepada pemerintah pusat di Roma. Kalau tidak dikabulkan, mereka akan berdiri sendiri dan mendirikan negara baru dengan nama Padania. Kelompok ini benar-benar mampu mengurus diri sendiri, karena wilayah Italia Utara ini adalah suatu wilayah yang cukup kaya, yang memiliki tenaga kerja yang cukup terdidik.

g. Di Indonesia, terjadinya tuntutan melepaskan diri dari NKRI karena kawasan-kawasan tertentu merasa dianaktirikan dalam pelaksanaan pemerintahan, pemerintah pusat dianggap tidak jujur dalam roda pembangunan yang mengakibatkan pemberontakan terjadi di mana-mana menuntut keadilana Akibatnya rakyat berjatuhan di mana-mana, karena menganggap wibawa pemerintah dirongrong. Konflik horizontal pun diciptakan sebagai cara untuk mengganggu stabilitas bangsa seolah-olah bahwa benar-benar rakyat memberontak padahal cara yang digunakan untuk dijadikan sebagai proyek pembantaian rakyat. Kondisi ini terjadi seperti di Aceh, Maluku, Poso dan Papua. Demikian pula di dalam negeri ada perasaan bahwa sesungguhnya di dalam negara ini hidup dua bangsa yang berbeda etnis yakni bangsa Indonesia etnis Melayu dan bangsa Papua yang etnis Melanesia.

Fragmentasi di pelbagai kawasan ini terjadi karena pelbagai alasan. Menurut Senator Daniel Moynihan, kekuatan yang paling potent untuk menimbulkan fragmentasi politik sekarang ini ialah etnisitas. Kekuatan besar lain di samping etnisitas yang juga bisa menimbulkan fragmentasi politik ialah agama. Misalnya, Sudan, sampai sekarang tidak bisa mengatasi konflik Utara-Selatan yang ditimbulkan oleh masalah perbedaan agama ini. Hal yang sama ini sudah terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun yang lalu, di mana-mana di seluruh Indonesia terjadi pembakaran gedung-gedung gereja, perlawanan etnis seperti terjadi di Kalimantan, dan beberapa kawasan di Indonesia.

Faktor-faktor lain lagi yang juga dapat menimbulkan fragmentasi politik ialah bahasa dan pengalaman sejarah (in memoria passionis). Bahasa bisa menimbulkan perpecahan dalam arti bahwa perbedaan bahasa bisa dieksploitir untuk menghidup-hidupkan rasa saling tidak senang. Pengalaman sejarah dapat merupakan pemicu fragmentasi politik apabila permusuhan serta rasa saling benci yang terjadi di masa lalu setiap kali dihidupkan kembali dan diteruskan kepada generasi muda. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan, agar ingatan tentang masa lalu tetap hidup dan akan memperkuat tekad generasi muda untuk mengembalikan kehormatan generasi tua. Kenangan tentang kepahitan yang diderita oleh nenek moyang di masa lalu tetap dihidup-hidupkan agar generasi muda tetap bertekad untuk “membalaskan dendam kesumat” generasi tua. Dengan cara ini lalu kita jumpai kecenderungan fragmentasi yang bersumber pada sejarah.

Dalam hubungan ini dapat disebutkan, bahwa generasi muda Indonesia menghadapi suatu persoalan pelik di masa mendatang, yaitu bagaimana mengemudikan kehidupan bangsa dan negara melalui manuver-manuver politik dengan memanfaatkan “celah-celah penyelamat (safety routes)yang terdapat antara kedua kekuatan yang saling bertentangan ini. Hanyalah apabila kita benar-benar memahami kedua kekuatan ini, akan mungkin bagi kita untuk menghindari jebakan-jebakan yang datang baik dari kekuatan ekonomi kosmopolitan, maupun yang datang dari kekuatan politik nasional.

Hanyalah dengan kelincahan ekonomis dan politis akan mungkin bagi kita untuk menghindarkan diri dari jebakan “kolonisasi ekonomi global” dan dari jebakan “chauvanisme politik nasional”.

Dalam kaitannya dengan pembangunan dunia pendidikan di tanah air, maka para arif-bijak perlu memperhatikan dan memperhitungkan dua kekuatan global ini terhadap perkembangan pendidikan nasional kita. Sebab bagaimanapun juga ada pengaruhnya kecenderungan integrasi ekonomi dunia maupun fragmentasi politik yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri.

Ciri lain dari kehidupan dalam Abad XXI yang sedang kita jalani ini ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah Hak Asasi Manusia (HAM) --- untuk menyebutkan beberapa contoh – dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global, persoalan-persoalan yang menyangkut nasib seluruh umat manusia. Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), di manapun terjadi, akan disoroti oleh seluruh dunia internasional. Dalam zaman globalisasi ini tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.


Dengan melihat bagaimana reaksi dua kecenderungan tersebut di atas, maka tugas kita adalah mempersiapkan anak-anak kita untuk menjalani Abad Baru ini, yang penuh dengan kenyataan-kenyataan baru dan persoalan-persoalan baru dan untuk menghadapi semuanya itu diperlukan pendidikan baru pula. Kita tidak boleh sama sekali membuat anak-anak kita menjalani kehidupan dalam zaman baru ini dengan sistem pendidikan lama, dengan cara-cara berpikir lama, cara-cara ortodox yang masih membingungkan kebanyakan guru sebagai pelaksana garis terdepan di sekolah-sekolah kita. Orientasi kita harus ke depan, ke Abad Baru ini kalaupun kita harus menoleh ke belakang ke abad lalu sebagai cermin untuk membersihkan noda-noda pendidikan yang masih menjerat kita.

Ini semua merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga harus lebih berperan lebih besar lagi bagi pembentukan kepribadian anak, menanamkan disiplin moral yang baik bagi anak, menempa jiwa anak melalui pendidikan keluarga, menanamkan nilai-nilai keagamaan sehingga kelak anak tidak tersesat di jalan hidupnya. Bagaiman pun juga, pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak dikembalikan kepada orangtua (keluarga), dalam abad dan zaman apa pun masalah ini tetap dikembalikan kepada orangtua.


Tantangan Pendidikan

Apa yang harus kita lakukan sekarang untuk mempersiapkan anak-anak kita untuk menghadapi segenap tantangan di atas? Dapatkah kita dengan sistem pendidikan kita sekarang ini membekali anak-anak kita dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat mereka pergunakan untuk menjadi tenaga kerja yang cukup produktif dalam kehidupan ekonomi Indonesia yang modern? Dapatkah kita membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang membuat mereka menjadi warga negara yang mau dan mampu mendewasakan demokrasi dalam masyarakat kita? Dapatkah kita mendorong mereka dengan berani menegakkan keadilan, kejujuran dan kebenaran? Mampukah untuk turut menegakkan citra yang lebih baik tentang diri kita dalam pergaulan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia?

Saya kira inilah secara garis besar tantangan yang kita hadapi bersama di bidang pendidikan sekarang ini. Saya tidak tahu mana jawabannya yang pasti terhadap pertanyaan ini. Pertanyaan ini perlu dijawab secara bersama. Kesan saya ialah bahwa selama kita belum dapat meningkatkan kemampuan pemuda kita dalam hal-hal yang mendasar, dalam the basics, selama itu pula pemuda kita akan kewalahan menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam zaman modern ini.

Modernitas adalah sesuatu yang telah ada di tengah-tengah kita. Untuk menegakkan kehidupan yang menjunjung tinggi manusia dalam zaman modern ini, kita harus memahami inti modernitas itu. Kalau kita tidak berhasil membantu anak-anak kita memahami inti modernitas dan tuntutan dinamika modernitas, mereka akan kandas pada lapisan lahiriah dari modernitas ini. Dan ini akan menimbulkan pelbagai persoalan. Ketidakmampuan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan modern akan membuat mereka lari ke dunia khayalan.


Apakah yang Dapat Dipandang Sebagai The Basics Dalam Pendidikan?

Secara umum, basics ialah segenap kegiatan pendidikan yang mempersiapkan anak-anak untuk mampu menjalani kehidupan (preparing children for life), bukan sekedar mempersiapkan anak-anak untuk pekerjaan. Ini biasanya terdiri dari pelajaran-pelajaran tentang lingkungan fisik, tentang lingkungan sosial dan lingkungan budaya, dan pelajaran-pelajaran yang membawa anak ke pemahaman diri sendiri. Logika yang mendasari strategi pendidikan ini ialah, bahwa hanyalah mereka yang memahami lingkungan fisiknya, memahami lingkungan sosial dan lingkungan budayanya, serta memahami dirinya sendiri – hanyalah manusia-manusia seperti ini yang akan dapat mengarungi kehidupan ini dengan baik, dalam arti mampu hidup dan mampu menyumbangkan sesuatu kepada kehidupan.

Yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang mengikuti pandangan ini ialah memberikan pendidikan yang ditandai oleh tiga jenis keseimbangan, yaitu (i) keseimbangan antara pendidikan rohani dengan pendidikan jasmani, (ii) keseimbangan antara pengetahuan alam dengan pengetahuan sosial dan budaya, dan (iii) keseimbangan antara pengetahuan tentang masa kini dengan pengetahuan tentang masa lampau.

Mata pelajaran yang lazim dipergunakan sebagai wahana atau media untuk melaksanakan program pendidikan seperti ini ialah bahasa nasional, bahasa asing, matematika, pengetahuan alam (dan teknologi), pendidikan moral (agama, kewarganegaraan, pengabdian masyarakat), dan komputer, ini yang biasa disebut sebagai mata pelajaran inti (core subject matters). Di sekitar mata pelajaran inti ini disusun pelajaran-pelajaran yang dipetik dari bidang kesenian dan bidang olahraga. Dengan program pendidikan seperti ini maka ketiga jenis keseimbangan tersebut dapat dilaksanakan.

Program ini dapat diberikan dalam dua versi, yaitu versi untuk anak biasa, dan versi untuk anak-anak yang dengan kemampuan di atas rata-rata. Untuk kelompok anak yang terakhir ini diberikan perkayaan-perkayaan (enrichment courses). Ini dapat diberikan untuk mata pelajaran apa saja: bahasa, sejarah, matematika, pengetahuan alam, musik, olahraga, dan apa saja yang diminati anak. Di Sekolah Dalton (The Dalton School) di kota New York, misalnya, perkayaan dalam pelajaran sejarah ini diberikan dalam bentuk-bentuk simulasi penggalian arkeologis (simulations of archeological excavations) yang dilakukan dengan komputer. Perkayaan dalam mata pelajaran bahasa di beberapa sekolah dilakukan dengan memberikan pelajaran dalam bahasa-bahasa klasik (misalnya Sansekerta, Latin dan Yunani), atau pelajaran dalam berbagai bahasa modern (Jerman, Perancis, Spanyol, Rusia, Italia, Cina dan Jepan). Di Malaysia salah satu mata pelajaran dalam bahasa modern ini ialah bahasa Thai dan bahasa Tagalog. Perkayaan di bidang sains di beberapa sekolah diberikan dalam bentuk mata pelajaran Oceanography, pengamatan astronomis, dan fisika nuklir. Perkayaan dalam pendidikan moral diberikan dalam bentuk mata pelajaran etika, filsafat, humaniora, anthropologi, dan perbandingan agama. Dan ini semua dilakukan pada taraf pendidikan SMA.

Apakah yang sekarang dapat kita lakukan dalam situasi kependidikan kita yang penuh dengan berbagai kekurangan ini? Saya tidak tahu betul, tetapi saya rasa selalu ada sesuatu yang dapat dilakukan. Tetapi sebelum kita melakukan sesuatu, terlebih dahulu kita harus menjawab untuk diri kita sendiri pertanyaan berikut: Apakah yang kita berikan sekarang ini kepada anak-anak kita sebagai bekal untuk menempuh kehidupan lebih lanjut setelah mereka tammat SMA? Setiap orang dari kita harus menjawab pertanyaan ini. Baru setelah kita mempunyai jawaban yang jelas terhadap pertanyaan ini, akan mungkin bagi kita untuk melakukan sesuatu dalam rangka mempersiapkan anak-anak kita menghadapi kehidupan di Abad Baru ini (Abad XXI).

Dalam pandangan saya, kita tidak dapat tetap bertahan pada program pendidikan kita sekarang ini. Idealnya ialah bahwa sekolah-sekolah yang mampu diberikan kebebasan untuk mengembangkan program pendidikan (kurikulum) sendiri, yang merupakan variant dari kurikulum yang disusun pemerintah. Kurikulum pemerintah ini sebaiknya kita pandang dan kita perlakukan sebagai master model dari kurikulum nasional. Jadi kurikulum nasional itu bukan hanya satu, melainkan ada beberapa jenis. Tetapi semuanya mengikuti rancangan dasar (basic design), yang terdapat dalam kurikulum-master-model tadi.

Dalam keadaan kita sekarang ini gagasan ini jelas tidak akan dapat dilaksanakan. Dalam keadaan kita sekarang ini apa yang dapat kita lakukan masing-masing ialah berusaha melaksanakan program yang ada dengan memperhatikan kebutuhan anak dalam hubungan dengan perubahan-perubahan yang akan datang. Ini tidak mudah, tetapi dapat kita lakukan kalau kita mau.


Akhir Kalam

Barangkali penulis dinilai telah keluar jauh dari konteks judul ini, namun apa saja yang baru diutarakan bukanlah tiada artinya jikalau semua pihak (keluarga, masyarakat dan pemerintah), ingin memberi dukungan yang penuh kepada sistem pendidikan nasional kita demi menjalani “Era Baru”, suatu “Zaman Baru” yaitu Abad Baru, Abad XXI yang sedang kita jalani ini. Zaman Baru ini yang sangat sarat dengan tantangan, yang harus dijawab dengan kesungguhan dan dengan kehati-hatian. Kita diperhadapkan dengan pertanyaan yang tidak hentinya muncul dalam benak kita masing-masing adalah: Sudah siapkah kita, sudah siapkah aku, menjalani zaman baru ini? Apakah kita atau saya akan lebih banyak berperan sebagai plan-maker atau sebagai agent of change ataukah mungkin saya menjadi salah satu penghambat kemajuan dalam perubahan pada Zaman Baru ini?


Untuk Direnungkan dan Ditindaklanjuti!

Dari seluruh rangkaian uraian di atas, maka dirasa perlu untuk membuat beberapa perenungan agar kita dapat memetik maknanya demi tanggungjawab bersama terhadap pembangunan pendidikan nasional umumnya dan pendidikan di Tanah Papua.

a. Pendidikan tetap merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masing-masing komponen tersebut memunyai tugas pokok dan fungsi, antara lain:

1) Keluarga merupakan lembaga pertama dan yang utama bagi penyediaan bibit-bibit unggul sumber daya manusia (SDM) bagi masa depan bangsa. Anak harus ditempa dengan baik lewat proses awal ini dalam keluarga sebelum dilepas ke sekolah (pemerintah) dan masyarakat.

2) Masyarakat harus memberikan kontribusi dukungan yang baik bagi proses perkembangan anak, agar ia dapat menata dirinya lebih baik, bukan saja kelak sebagai “men of reasoning” melainkan sebagai “agent of change”.

3) Pemerintah merupakan penanggungjawab utama terhadap penyelamatan bangsa, penyelamatan generasi lewat institusi-institusi pendidikan formal maupun non-formal. Pemerintah dituntut menyiapkan pusat-pusat keunggulan demi proses selanjutnya untuk mencetak tenaga-tenaga unggul yang memiliki daya saing kompetitif yang tinggi, calon pemimpin bangsa pada masa depan.

b. Pendidikan tetap merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan bangsa ke depan, pada zaman baru ini.

c. Salah satu problem pembangunan adalah masalah tenaga kerja yang kurang berkualitas (SDM) dan masalah pengangguran yang kini kian membengkak. Dimanakah tempat mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas? Pendidikan dan pelatihan adalah tempatnya. Ingat hasil survey PERC tahun 2002 bahwa SDM Indonesia berada pada urutan 12 setelah Vietnam.

d. Kecenderungan-kecenderungan baru dunia masa kini dan pada zaman baru ini tidak lain ialah kecenderungan integrasi ekonomi dan kecenderungan fragmentasi politik baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua macam kecenderungan ini telah ikut memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, sehingga menuntut adanya perubahan pula dalam sistem pendidikan kita demi menjawab tantangan zaman.

e. Tugas dan tanggungjawab kita adalah mempersiapkan generasi muda ini agar mampu menjalani kehidupan di Zaman baru ini, Era Baru atau Abad Baru ini. Jika tidak, mereka akan menjadi pemicu permasalah di Abad modern ini.


Rekomendasi

Dalam mempersiapkan generasi muda untuk menjalani zaman baru ini, penulis merasa berkepentingan untuk merekomendasikan beberapa hal untuk dilaksanakan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, yaitu:

1. Utamakan sekolah kejuruan baru sekolah umum. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi membengkaknya angka pengangguran.

2. Perlu diadakan ceramah-ceramah tentang pendidikan usia dini, pendidikan keluarga dan atau family-diagnostic sehingga tiap keluarga memahami betapa pentingnya fungsi keluarga bagi perkembangan anak.

3. Pentingnya pemerintah menyiapkan pusat-pusat keunggulan pendidikan demi mengantisipasi zman baru ini. Institusi terkait harus ditata dengan baik. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang kualifait, berani mengambil keputusan membangun dunia pendidikan dan sanggup menggerakkan dunia pendidikan.

4. Pemimpin pendidikan hendaknya lebih berperan aktif sebagai “Playing Coach” dan bukan sebagai “Planner” semata-mata. (Flexible in tactics, strong in principle).


*) Penulis adalah pemerhati masalah-masalah social-budaya-politik.

------------------------------------------

Sumber: Majalah Selangkah Edisi Januari-Maret 2008

BACA TRUZZ...- Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru

25 Tahun OTSUS Tak Akan Bahwa Perubahan

Kamis, Juni 05, 2008

Hingga saat ini pemerintah Papua belum memiliki renstra otsus maupun perdasus hingga pelaksanaan otsus berjalan sepotong sepotong. Setiap Gubernur membawa sesuai pikirannya tanpa ada kesinambungan. Sedangkan para pemimpin Papua cenderung saling lempar kesalahan tanpa benar-benar ingin menyelesaikannya.

Tekad Barnabas Suebu, Gubernur Papua untuk menuntaskan semua instrumen pelaksanaan otsus seperti peraturan daerah provinsi (Perdasi) dan peraturan daerah khusus (perdasus) pada tahun 2008 sepertinya hanya isapan jempol belaka.Hingga bulan mei 2008 belum ada satu pembahasan yang dilakukan oleh pihak legislatif. “Ada 11 perdasi yang belum mendapat tanggapan gubernur, dan ini sangat menghambat pelaksanaan otsus di Papua” ujar Yance Kayame, Ketua Komisi A DPR Papua. Akibatnya hingga 7 tahun pelaksanaan otsus, ia merasakan otonomi khusus sudah keluar jauh dari relnya dan menjadi tugas seluruh masyarakat untuk mengembalikan pada relnya.

Kajian dari komisi A DPR Papua, dalam 7 tahun pelaksanaan otonomi khusus yang saat ini masih berproses, telah terjadi perubahan yang cukup signifikan seperti peningkatan APBD setiap tahun, keberpihakan pada orang asli Papua semakin dirasakan namun semua itu dirasakan belum maksimal karena kebutuhan kebutuha dasar masyarakat belum sepenuhnya dapat terpenuhi secara proporsional baik pendidikan, kesehatan, gizi, perumahan maupun infrastruktur. “Pedasi dan Perdasus sebagai instrumen penting dalam memback up UU No.21/2001 hingga saat ini belum dirumuskan, sehingga berbagai kewenangan yang diberikan tidak dapat diimplemenrtasikan.” Ujar Ramses Wally, wakil ketua Komisi A DPR Papua.
Menurutnya selain itu ada beberapa hal penting yang menghambat pelaksaan otsus, seperti tidak adanya rencana strategis (renstra) khusus otsus, lembaga ad-Hoc yang bertugas menyiapkan perdasi dan perdasus, pemerintah pusat sering mengeluarkan kebijakan yang kontroversial yang menyulitkan UU No.21/2001 seperti pemekaran, PP No.77/2008 tentang lambang daerah dan yang terakhir adalah rencana pemerintah mengeluarkan Perpu otsus tanpa melibatkan DPR Papua. Juga belum adanya lembaga Kebenaran dan rekonsiliasi sebagai media penyelesaian masa lalu, terutama pelurusan sejarah Integrasi Papua dalam NKRI yang juga menjadi amanat UU No.21/2001.

Menurut Amir Siregar, wartawan dari Radio Republik Indonesia (RRI) saat mengikuti hearing dan dialog Pers dan Komisi A tentang Prediksi kondisi Papua setelah 25 tahun otsus berjalan bahwa kondisi yang terjadi saat ini dakibatkan karenaa DPR Papua lemah,”Untuk memperbaikinya, saya pikir rakyat Papua harus memilih wakil-wakilnya yang benar-benar berani memperjuangkan kepentingan rakyat,” ujar Siregar. Misalnya saat gubernur Papua memilih tidak menggunakan Perdasus No.1/2007 tentang pembagian dana otsus dalam menyusun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua tahun 2007 dan 2008, seharusnya DPR Papua menolak.

“Kami, komisi A sudah pernah menyampaikan itu, namun ketika itu orang mengelu-elukan kebaikan piramida yang begitu sempurnahnya. Ini suatu hal yang sangat memprihatinkan. Tapi jika sekarang tanya ke saya apakah saya optimis dengan pelaksanaan otsus, saya akan jawab saya prihatin dan saya tidak yakin bisa tercapai tujuan utama otsus. Banyak hal disini yang tidak dilaksanakan dengan baik. Seperti dana otsus untuk pendidikanyang seharusnya 30 persen tetapi dalam pelaksanaannya tidak sampai 7 persen. Daerah daerah lain tidak perlu otonomi khusus, SPP bisa dibebaskan. Tetapi kita dengan dana sebesar itu belum bisa,” kata Yanni, anggota komisi A yang juga ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) provinsi Papua.

Robin Manurung dari RRI juga berpikir seharusnya hanya dalam waktu 10 tahun perubahan sudah benar benar terjadi, “Apalagi jika Papua mampu mengambil Rp. 100 Trilyun dari kayu dan ikan seperti kata pak Bas baru-baru ini. Untuk mengejar ini kita perlu Rp. 200 trilyun tidak lebih. Lalu mengapa DPRP tidak tidak panggil semua orang? Masukkan semua orang itu, mereka melanggar undang-undang,” ujar Manurung.

Menjawab pertanyaan ini, Yanni menjawab “Begitulah persoalan, Memang ada suatu kekuatan untuk menyampaikan kebenaran. Kita bicara disini juga belum akan ada manfaatnya. Namun saya percaya jika kita terus menerus menyuarakan itu. Semua sudah lebih tahu tahu dari saya,” kata Yanni. Selain itu menurut Yanni Lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) pemerintah provinsi dalam hal management, birokrasi tumpang tindih, proyek2 yang berorientasi pada kepentingan kepentingan. Disatu sisi rakyat Papua dalam kondisi kelaparan, namun memiliki mega proyek yang menghabiskan dana ratusan milyar.

Netty Dharma Somba, dari harian The Jakarta Post yang ikut nimbrung menggungkapkan bahwa yang pertama tama harus dibenahi bukan renstra, ataupun aturan aturan yang harus dilengkapi. Melainkan komitmen untuk membangun Papua dari para pemimpin Papua yang harus ada terlebih dahulu baru otsus dapat dilaksanakan dengan baik. “Dahulu sebelum ada otsus, jurang hanya terjadi antara orang Papua dan Pendatang. Namun setelah otsus semakin banyak jurang. Antara Papua dan Pendatang, antara suku dan suku, antara pejabat dan rakyat biasa. Hal ini menyebabkan biaya rekonsiliasi yang lebih besar. Sebab itu kita harus mencegah jangan sampai ada lebih banyak jurang lagi ” ujarnya. Contohnya propinsi Sragen dengan PAD dan APBD yang sangat kecil namun dapat menggratiskan pendidikan.Di sana tidak ada kepala dinas dengan mobil merk Ford atau mobil yang berharga milyaran namun masyarakat menjadi prioritas utama. Setelah itu baru hal hal yang lain.

Karena Gubernur Papua, Barnabas Suebu sendiri mengatakan sebelum kepemimpinannya 90 persen dana Otsus dihabiskan oleh Birokrat. Namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata terhadap koruptor ataupun tidakan penghematan dari para birokrat.

Untuk itu Kepala Biro Antara Jayapura, Pieter Tukan mengingatkan bahwa otsus ada karena orang Papua minta merdeka. Jika tidak dilaksanakan dengan baik maka tindakan saat ini hanya menunda masalah. “Saya memprediksi jika keadaan seperti ini terus berlanjut hingga 25 tahun mendatang maka yang terjadi adalah terjadi konflik antara orang Papua, terjadi konflik antara orang Papua dan orang pendatang namun lahir di Papua dan antara orang Papua dan orang pendatang. Apalagi saat itu beberapa kontrak karya perusahaan besar seperti PT Freeport dan BP Migas berakhir. Akan banyak pihak ketiga yang bermain dan membuat kisruh Papua,” ujarnya. Untuk itu Ia mengingatkan agar jika ingin menyelesaikan maka harus dimulai hari ini sebab kesadaran untuk merdeka bukan datang karena masyarakat Papua menyadari mereka kaya SDA namun karena rasa kebebasan.

Sebagai wakil rakyat, peran DPR Papua tentu sangat diharapkan oleh masyarakat Papua. Misalnya jika ada perdasi atau Perdasus yang harus dibahas gubernur namun tidak selesai dalam jangka waktu tertentu, maka DPRP harus berani mengambil keputusan untuk memberlakukannya. “Sebagai langkah awal, komisi A akan meminta agar tahun anggaran 2009 Gubernur harus membuat 2 APBD. Yang pertama APBD khusus tentang anggaran pendapatan belanja yang berasal dari dana otsus dan APBD umum yang berasal dari sumber dana selain otsus,” ujar Yance Kayame.Selain itu Kayame memandang perlunya mendorong penyusunan tim AD hock untuk melakukan restra,Perdasi dan perdasus sebagai instrumen penting dalam pelaksanaan otsus.

Dengan begitu impian menemukan masyarakat Papua yang sejahtera dengan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cukup pangan dan memiliki perekonomian mandiri setelah dua puluh lima tahun paskah pelaksanaan otsus dapat terwujud. (Angel Flassy)
-----------------------------------------------------------------
http://www.fokerlsmpapua.org
BACA TRUZZ...- 25 Tahun OTSUS Tak Akan Bahwa Perubahan

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut