Secercah Asa di Ujung Papua

Kamis, November 13, 2008

Oleh: Kiki Dian Sunarwati*)
“Sudah sadar Nona”, samar-samar kudengar telingaku menangkap suara yang asing bagiku. Dan perlahan kubuka mataku. Rasa terkejut membuatku berpikir keras di manakah aku sekarang berada. Dan tampaknya suara tadi berkata lagi lebih keras padaku.

“Nona, istirahat dulu saja, anda sekarang di rumah sakit di Papua. Pesawat terbang yang anda naiki kemarin kecelakaan. Para penumpang yang selamat hanya nona dan 2 orang pramugari”

Bagai guntur di siang bolong perkataan seseorang tadi yang ternyata adalah seorang suster. Aku tersenyum getir memandang suster itu pergi meninggalkan aku seorang diri.
Kecelakaan pesawat terbang. Keras kuputar otakku mengingat semua hal yang sudah kualami.

Aku ingat. Aku memang akan pergi kemari, karena itupun mendapat tugas dari pimpinan redaksiku, untuk mencari berita tentang perkembangan pendidikan dan kesehatan di Papua. Aku ingat ketika itu cuaca mendadak mendung, dan seorang pramugari mengingatkan para penumpang untuk segera memakai sabuk pengaman dan pelambung. Dan entah ketika sedang asyiknya aku menikmati kopi di atas pesawat mendadak terdengar benturan pesawat sangat keras. Dan yang aku masih ingat adalah doaku kepada Tuhan bila aku selamat aku rela tidak pulang ke daerahku, dan akan mengabdikan diri dan nyawaku di tempat ini. Yah. sampai akhirnya aku tak ingat apa-apa lagi apalagi berbagai jeritan dan tangisan yang menyayat di telinga. Dan tahu-tahu aku sudah di rumah sakit ini seorang diri.

Sore perlahan datang dan rasa sakit yang mendera kakiku sedikit berkurang. Seorang suster yang ramah dan aku yakin dari fisik dan penampilannya adalah orang Papua, atau mungkin juga orang Papua pribumi, entah suku apa datang mendekatiku. “Nona, sudah mulai baik kakinya, nyaman” kata suster yang kubaca nama di dadanya adalah Elisabeth.
Aku mengangguk.

“Suster, apa nama rumah sakit ini.” ”Rumah sakit Citra Papua” suster berkata kemudian menolongku untuk duduk di kursi roda, karena ternyata kakiku belum cukup kuat untuk bertumpu.
“Suster tau di mana kecelakaan pesawat terbang yang menimpaku kemarin?” aku bertanya menatapnya.

“Ya, di Desa Tuguwara kecamatan Kaimana”. “Jauh dari sini suster?”.
“Kira-kira 10 kilometer dari sini, itupun nanti mesti menggunakan longboat karena nona harus melewati rawa dan sungai” Suster Elisabeth menjawab sambil mendorong kereta roda dan membawaku berkeliling rumah sakit.
Aku terdiam menikmati pelayanan dan kebaikan Suster itu. Ada seribu satu pertanyaan yan sesungguhnya ingin kutanyakan, tapi entah mengapa akhirnya tak keluar satupun dari mulutku.

“Suster, asli Papua ya?” aku bertanya penuh hati-hati.
“Ya, saya suku Moor dan tinggal di kecamatan Sawa Erma.
“Mana itu Suster?”.

“Moor itu sebuah pulau di Kabupaten Nabire. Dari sini jauh.”
“Non, sebaiknya saya bawa anda ke kamar lagi saja ya, sudah mulai malam, saya tidak ingin anda sakit lagi!” suster Elisabeth menawarkan dan kemudian membalikkan arah kursi roda yang sedang aku duduki.

Aku pun hanya menuruti tanpa bisa menolak lagi.
Hampir satu minggu lamanya sudah aku menginap di Rumah sakit Citra Papua, tanpa seorangpun yang kukenal atau bahkan dari pimpinan surat kabar tempat aku bekerja. Namun itu tak menjadi soal buatku, karena dari suster Elisabeth ternyata aku banyak belajar segala hal tentang Papua dan keindahannya. Dan rasanya aku menjadi jatuh cinta dengan pulau ini.

“Brukkk…”
Hampir saja aku menabrak seorang anak kecil yang sedang berjalan di depanku dengan tumpukkan buku yang lumayan banyaknya.
“Maaf Dek”

“Tak apa-apa,” kata anak itu sambil memunguti buku-bukunya yang tadi jatuh.
Aku berusaha menolongnya, tapi tongkat kayu penyangga tubuh ini malah menghambatku. Ya sudah 3 hari ini aku mempergunakannya, karena rasa sakitnya sudah tak begitu parah, juga untuk melatih otot-otot kakiku yang kaku.
“Biar saya ambil sendiri,” katanya.

Aku memperhatikannya. Seorang anak perempuan berkulit sama seperti suster Elisabeth dengan rambut yang keriting kecil-kecil namun bola matanya sangat cerah dan bulat.
“Nah selesai semua,” katanya tiba-tiba dan tertegun begitu melihatku. Mungkin dia terkejut denganku. Orang asing dan berbeda dengan sesamanya di daerah ini.
“Kenapa Dek?”

“Tidak apa-apa, hanya saya belum pernah lihat ,“ katanya terbata-bata.
“Kiara, panggil saya Kia atau Ara”. Aku menyodorkan tanganku.
Dan dia pun dengan cepatnya menyambut tanganku.

“Neibo,” katanya sambil tersenyum. Yach senyum yang indah karena berbeda dari anak-anak kecil di kota besar tempat aku tinggal sebelum kecelakaan ini terjadi. Ya senyum yang penuh kehangatan dan kepolosan tanpa beban.
“Kia di sini karena kecelakaan pesawat terbang,” kataku menjelaskan padanya.
Namun tampaknya dia tak mengerti.

“Pesawat terbang.” Dia menggeleng.
Segera ku ambil sehelai kertas notesku yang selalu menemaniku ke mana-mana dalam mencari berita. Lantas dengan segera aku menggambar pesawat terbang, dan memberinya nama PESAWAT TERBANG. Kulihat anak kecil itu tersenyum dan bola matanya berpendar semakin besar, ada sebuah kecerdasan dan rasa ingin tahu yang lebih darinya.
“Neibo bisa membaca?”

Dia menggeleng.
“Menulis?” tanya ku sambil mempraktekkan menulis.
Dia menggeleng lagi.

“Mau belajar membaca dan menulis?” tanyaku sambil memberikan kertas dan pensil untukknya.

Dia menggangguk.
“Sungguh?”
“Ya, saya mau,” katanya penuh suka cita dan kemudian menggeretku ke taman rumah sakit.

“Besok saya ke sini ya!” tiba-tiba dia berkata.
“ya, boleh”.

”Ajari membaca dan menulis ya, biar pintar,” katanya tersenyum penuh harapan.
Aku menggangguk, dan Tuhan rasanya aku pun turut bahagia bersamanya.
Suster Elisabeth datang ke kamarku sambil membawa sebotol obat kecil untukku minum.
”Nona, beberapa hari lagi boleh pulang kok,” katanya sambil menyodorkan obat dan kemudian ku minum.

Aku tersenyum. Rasanya lama juga ya aku berada di rumah sakit ini, tanpa ku tau juga bagaimana kabar 2 pramugari yang selamat bersamaku, hanya aku sempat mendengar bahwa mereka sudah kembali ke Pulau Jawa. Yah tak taulah.

“Kia, ayo belajar membaca,” tiba-tiba Neibo datang ke kamarku dan hampir membuat kaget Suster Elisabeth.

“Neibo, kenapa datang kemari?” ternyata Suster Elisabeth sudah mengenal Neibo.
“Suster, Neibo mau belajar ama Kia,” katanya sambil mendekatiku dan mencoba bermanja denganku.

“Nona, Neibo ini sebenarnya anak yang pintar, tapi orangtuanya melarang dia untuk sekolah. Sebenarnya dia tiap hari mencari ikan dari pagi sampai sore, dan setelah itu dia harus pulang ke rumahnya. Namun kadang-kadang dia suka bermain ke sini, ya becanda dengan para dokter dan suster di sini, bahkan sering dia melihat-lihat dokter ketika sedang memeriksa pasien, apalagi kalau melihat buku, wah rasa ingin taunya sangat besar, sehingga kadang oleh rumah sakit dia di pinjamin buku untuk belajar, sayangnya dia ternyata tak bisa membaca,” Suster mejelaskan panjang lebar.
“Pantas, dia senang ketika tau saya akan mengajarinya,” aku tersenyum ke arahnya yang sedang asyik mencorat-coret kertas.

“Berarti sekarang Nona mau mengajarinya?”
Aku menggangguk.

“Baiklah, kalau begitu saya pergi dulu, takut mengganggu,” kata Suster Elisabeth beranjak pergi.

‘”Nah Neibo, sekarang kita belajar pelan”
“Kita belajar menghafal kan huruf dulu yach.”
Neibo menggangguk penuh semangat.

“Kalau huruf seperti ini A, ini B, ini C, ini D, dstnya,” kataku mencoba menerangkannya, dan dia pun mengikutiku mengucapkannya dengan sangat mudah.
“Sekarang bisa menulis namamu sendiri Neibo,” aku mencoba mengetesnya.
“Ya habis N, apa?”

“Terus?”
“Terus, dan akhirnya selesai juga dia menuliskan namanya sendiri Neibo dengan benar.
“Pintar sekali kamu Neibo!”

“Sekarang tulis nama ayah kamu dan ibu kamu.”
Dengan cekatan dia menulis, hingga terbacalah 2 buah nama “ Ebana dan Indey”.
“Bagus, ini nama ayah dan ibu kamu?”
Dia mengangguk.

“Kia, sudah mulai malam nih, Neibo pulang dulu ya, besok kesini lagi belajar yah?” katanya mendadak ketika memandang ke luar dan memang langit mulai gelap. Aku pun hanya bisa menggangguk dan memandangnya hilang ditelan malam.

Dan malam ini aku banyak mendapat cerita dari pasien sebelahku yan baru saja datang karena melahirkan. Perempuan yang sedang menyusui bayi merah yang berumur beberapa jam itu tampak bahagia sekali.

“Nona, kemarin yang mengalami kecelakaan pesawat ya?” ibu muda itu bertanya padaku.
Aku hanya memandanginya penuh kebahagiaan yach seorang ibu dan anak.

“Non, bersyukur ya, karena yang selamat hanya non dan 2 orang pramugari”.
Aku hanya bisa menggangguk. Ya, membenarkan ucapannya, namun aku lebih tertarik menikmati pemandangan bayi kecil dan masih merah itu menyusu ibu muda yang ada di hadapanku ini. Ya bayi itu mungil, kulitnya tak begitu gelap, panjang dan sangat gendut rambutnya keriting kecil dan alisnya sangat lebat.
“Ibu tau dari siapa?” ganti aku bertanya.

“Dengar radio, maklum di sini televisi masih langka, jarang yang punya. Dan setahu saya yang menolong Nona adalah penduduk Amugme, yang sedang mengadakan upacara adat dalam rangka menyambut tamu dari Jayapura.

Aku hanya mengangguk, dan terus terang baru tau saat itu.
“Bu, memang ibu dari mana asalnya?”

“Saya dari kecamatan Kurima di daerah pegunungan sana, ini tadi saja suami saya masih bekerja menanam sayuran kol, dan wortel sehingga belum sempat menjenguk saya di sini,” kata ibu muda itu menjelaskan dan kemudian ku tau namanya adalah Magda Lantipo dari papan nama di bawah tempat tidurnya.

Hari kedua, ketiga Neibo belajar denganku sangat ulet. Hingga tak terasa luka di kaki ku pun semakin sembuh. Namun entah mengapa luka batin ini tak bisa sembuh, ya tak ada seorang pun di Jakarta tempat aku bekerja yang mengingatku atau datang kemari, atau bahkan mungkin mereka berpikiran aku sudah mati. Ikut kecelakaan atau dimakan buaya di sungai-sungai ganas di sini. Biarlah aku tak akan menyesal karena di sini ternyata aku lebih mengenal semua kebesaranNya. Tapi mengapa beberapa hari ini Neibo tidak datang ke rumah sakit untuk belajar ?.

“Suster Elisabeth, tau Neibo tidak?”
“Tidak Kia,” katanya sambil membuka perban di kakiku.
“Tau rumahnya, suster?”

“Tau, kebetulan nanti sore saya mau ke daerah sana mengambil obat, sekalian saja berangkatnya, mau?”
Aku mengangguk.

Sore perlahan ketika akhirnya aku keluar dari rumah sakit dan akhirnya aku diajak suster Elisabeth ke rumah Neibo. Limabelas langkah aku berdiri masih jauh dari rumahnya ketika tak kusadari bahwa di pemukiman itu para penduduknya yang masih rata-rata berkoteka itu memandangiku dengan curiga dan seakan hendak mengusirku.
“Elis, mengapa kau bawa orang asing itu kemari?” tiba-tiba berdiri di hadapanku dan suster Elisabeth seorang laki-laki setengah tua dan hanya mengenakan koteka dengan hiasan gading di hidungya.

“Maaf, Ebana, saya hanya mengantar guru Neibo kemari, dia hanya ingin tau mengapa Neibo tidak belajar lagi dengannya?” suster Elisabeth menjawab.
“Sengaja Neibo saya larang belajar, toh buat apa. Memangnya dengan belajar bisa menjadi kaya, pintar dan bisa mengubah keadaan di sini?” pelan Ebana yang akhirnya kutau ayah Neibo itu berkata.

“Tentu saja Ebana, dengan belajar kita bisa jadi pintar, seperti sekarang ini, saya bisa menjadi perawat. Apa Ebana tidak mau melihat Neibo dan anak-anak di sini seperti saya?”

“Sekali tidak, tidak. Aku tak ingin Papua dijadikan budak oleh mereka dengan alasan pendidikan dan belajar,” Ebana masih mengotot.
“Ebana, maaf, saya hanyalah ingin mengajari Neibo membaca dan menulis supaya bisa belajar tentang dunia ini dan dunia luar yang luas sana,” pelan aku mencoba berkata penuh hati-hati.

“Diam, peduli apa kau dengan penduduk di sini, dan negri ini. Negeri ini sudah damai dan makmur tanpa campur tangan orang-orang seperti kalian, juga dari pemerintah luar sana yang ternyata omong kosong,” Ebana mendadak mulai emosi membuatku menciut.

Untunglah suster Elisabet mengerti keadaan yang pasti akan berlarut penuh kekerasan, dia pun mengajakku pergi dari tempat itu.

“Kia, kita pulang saja, untuk sementara waktu kamu tinggal di rumah saya saja ya.”
Aku hanya diam. Di satu sisi terharu sekaligus merasa tak dihargai dan disia-siakan.
“Suster mungkin besok saya mau ke kota saja, mencari bantuan ke kantor Pemerintahan, siapa tau saya bisa dibantu dalam proses kembali ke Jakarta,” tiba-tiba aku berkata membuat Suster Elisabet terkejut.

“Maafkan saya Tuhan, karena ternyata saya tidak bisa memenuhi jajiku padaMu, mereka tak menginginkan aku di sini, dan aku tak berharga di mata mereka,” batinku mendadak pilu.

“Kia, mau pulang ke Jakarta, tidak jadi mengajari anak-anak kecil di sini yang tidak pernah sekolah ataupun belajar, termasuk juga Neibo?”
Deg, aku teringkat bocah perempuan kecil yang cantik dan ulet itu, namun apa mau dikata…

“Ya, saya sudah mantap mau pulang saja, di sini rasanya saya tak akan berguna.”
“Jangan begitu Kia, aku akan membantumu meluluhkan kekerasan hati Ebana dan yang lainnya di sini, memang sih mereka tak begitu menghargai pendapatku, karena ketika orang tuaku yang menyekolahkanku mengambil keputusan berbeda dengan mereka, dianggap mereka membawa sebuah kesialan bagi kami semua, tapi orangtuaku tak peduli, ya hasilnya sekarang ini”.

Walau dulu dimusuhi penduduk sini, tapi toh sekarang mereka bisa tau bahwa aku bisa belajar banyak dan bahwa sekolah atau belajar itu penting, ya akhirnya aku bisa menjadi perawat. Namun sayang orangtuaku sudah meninggal sehingga tak dapat melihatku dan bangga kepadaku,” suster Elisabeth bekata dengan suara hampir serak karena air matanya pelan menetes.

“Sudahlah Suster,” aku menghapus air matanya. Air mata seorang sahabat yang baru saja kudapatkan namun harus kutinggalkan.

Aku hendak mengepak tasku yang tersisa mendadak ketika pintu rumah digedor belasan orang atau mungkin puluhan orang kedengarannya.
“Elis, bukakan pintu”. Mendadak aku merasa tak enak hati.

Elis beranjak menuju pintu. Dilihatnya di balik pintu rumahnya telah berkumpul puluhan penduduk yang beraneka ragam. Laki-laki dan perempuan serta anak-anak kecil. Bertelanjang dan ada pula yang sudah memakai pakaian lengkap. Di ujung pintu aku melihat Neibo. Ingin aku memeluknya tapi..

“Elis, siapa nama temanmu ini” tiba-tiba Ebana berkata dan yang lainnya hening.
“Kia, Ebana,” aku lantas memperkenalkan diri sendiri.

“Kia, maafkan saya kemarin juga para penduduk di sini, sebenarnya saya ingin Neibo dan anak-anak yang lainnya belajar ataupun bersekolah namun kami takut hanya dimanfaatkan oleh orang-orang lain dari luar .“
Aku terdiam.

“Tapi ketika semalam Neibo bercerita banyak, hati saya mendadak yakin kalau kamu adalah orang baik, jadi sekarang saya mewakili penduduk sini memohon agar Kia mengajari Neibo dan anak-anak kami yang lainnya.”

“Mau kan Kia?” Ebana berkata penuh harap. Aku hanya memandang ke arah Suster Elisabeth. Dan dia pun hanya menggangguk

“Ya, saya mau,” belum selesai perkataanku ketika tiba-tiba Ebana memelukku dan kemudian para penduduk yang lainnya termasuk Neibo.

Tuhan rasanya aku akan mengabdikan diri dan nyawaku di tempat ini sepenuh hatiku. Bimbing dan Lindungi aku Tuhan.

Senja perlahan turun dan ku tau bahwa secercah asa di ujung Papua itu masih ada dan akan tetap ada untuk sesuatu yang lebih indah ke depan.

*)Wartawati, tinggal di Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut