Pendidikan untuk Pemberdayaan

Kamis, November 13, 2008

Oleh: Johannes Supriyono*)

Kata Francis Bacon, “Knowledge is power”. Pengetahuan adalah kekuasaan. Artinya, pengetahuan mendorong orang untuk bisa berkuasa sehingga mampu menentukan dirinya. Atau, sekurang-kurangnya ia tidak sepenuhnya di bawah dominasi orang lain. Bisa juga berarti, orang yang berpengetahuan berkesempatan menguasai orang lain. Mereka yang memiliki pengetahuan dapat menaklukan orang lain, bahkan menentukan hidup matinya orang-orang tersebut. Bisa juga dibaca secara negatif bahwa orang yang tidak berpengetahuan cenderung tidak berkuasa sehingga mudah dikendalikan oleh orang lain.

Untuk konteks Papua, ungkapan sederhana dari Francis Bacon menyiratkan imperatif yang tegas. Bunyinya demikian, “Berilah orang-orang Papua pengetahuan, agar mereka memiliki kekuasaan!”

Imperatif ini secara praktis berangkat dari keprihatinan yang sangat mendasar pula. Pendidikan di Papua belum sepenuhnya memberdayakan anak-anak. Malah, sangat mungkin mereka diperdaya atau ditipu oleh sistem pendidikan. Di masa depan, mereka mendapatkan tanda-tanda formal sebagai orang yang pernah masuk sekolah tetapi secara kualitas mereka tetap tergolong tak terdidik (uneducated).

Perlu kita pikirkan sungguh-sungguh pendidikan untuk pemberdayaan masyarakat Papua.

Masyarakat Kurang Pengetahuan
Secara konkret kualitas pendidikan di Papua harus diakui sangat lemah. Ditilik dari ketersediaan tenaga pendidik, fasilitas sekolah, dan budaya pendidikan, kita masih tertinggal jauh. Sekolah-sekolah di pedalaman amat memprihatinkan. Satu sekolah ada yang dikelola oleh satu orang saja. Ia adalah guru untuk kelas I sampai VI dan merangkap jadi kepala sekolah. Bagaimana ia bisa mengajar baik?

Yerino mengisahkan bahwa di SMP-nya terdapat delapan guru. Namun, ada guru-guru yang satu atau dua hari masuk sekolah dua minggu, bahkan sampai satu bulan, mangkir. Guru-guru itu meninggalkan tanggung jawabnya untuk santai-santai di kota. Guru yang mencoba setia dalam keterbatasan hidup di pedalaman juga belum tentu memiliki kualitas yang baik. “Aduh, guru bahasa Inggris saya tidak tahu bikin kalimat,” ungkapnya.

Ratapan serupa muncul dalam karya tulis seorang siswa. Yosepina berkisah bagaimana di pedalaman tidak ada perpustakaan yang merangsang minat anak-anak untuk mengetahui dunia luar. Guru-guru sering meninggalkan tanggung jawab dan baru muncul beberapa hari menjelang ujian. Proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik. Anak-anak lebih banyak berkeliaran di jalan-jalan.

Apakah akibatnya? Masyarakat miskin pengetahuan. Konsekuensi dari kemiskinan ini amat mengerikan.

Pertama, ketika akal budi tidak diberi banyak ruang untuk berkembang, rasionalitas dikebawahkan. Orang lebih banyak dikendalikan oleh dorongan insting dari pada pertimbangan akal budi. Luapan-luapan insting itu muncul dalam bentuk-bentuk kekerasan dan ketidakteraturan sosial yang lain. Pengendalian sosial menjadi proses yang represif, lebih banyak berupa tekanan daripada persuasif atau ajakan.

Perilaku sosial yang didominasi oleh insting adalah kemalasan berpikir. Gejala-gejala masyarakat yang malas berpikir antara lain kekurangsadaran akan masalah-masalah sosial yang membelit. Selain itu, masyarakat cenderung mencari jalan pintas dalam menyelesaikan masalah dan cenderung tidak mampu menunda pelampiasan marah, kecewa, dan depresi. Kondisi ini kondusif untuk menimbulkan konflik fisik. Maka, jangan biarkan insting ini mengambil alih rasionalitas!

Kedua, dalam satu kerangka dengan yang pertama, nilai-nilai sosial tidak tertanam dengan baik. Pendidikan adalah salah satu lembaga sosialisasi yang cukup penting. Di sekolah, jika diselenggarakan secara benar dengan cita-cita yang baik, individu-individu diperkenalkan pada nilai-nilai dan dilatih menerapkannya secara praktis. Lewat pendidikan anak-anak dibekali dengan cakrawala nilai yang luas.

Kemiskinan pengetahuan, di dalamnya termasuk pengetahuan akan nilai-nilai, mendorong masyarakat untuk mengikuti nilai mereka masing-masing. Pengendalian sosial menjadi sangat sulit dilakukan karena masyarakat cenderung menjadi kawanan binatang liar. Cara-cara yang represif menjadi cara yang paling efektif akibatnya. Kebutuhan kita akan polisi bisa-bisa meningkat berlipat ganda. Selain itu, tampaknya akan semakin banyak penjara kita bangun di masa depan seandainya kebobrokan pendidikan kita tidak diakhiri.

Ketiga, yang akan terjadi adalah knowledge gap atau kesenjangan pengetahuan antara lapisan atas, yakni pemilik pengetahuan, dengan lapisan bawah. Knowledge gap ini membuat kekuasaan politis tersentralisasi pada sekelompok elit saja. Diskursus masyarakat hanya terjadi di sekitar pemilik pengetahuan. Dengan lain kata, partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan menjadi impian belaka. Kalau pun publik ingin mencoba terlibat, cara-cara mereka menjadi di luar jalur hukum dan mudah ditaklukkan. Ingat, polisi atau militer akan makin banyak dibutuhkan.

Publik akan menjadi gerombolan massa tanpa identitas atau kerumunan. Siapa yang bisa membajak sentimen-sentimen mereka dapat menggunakan mereka sebagai kendaraan untuk meraih pucuk kekuasaan atau untuk membinasakan gerombolan yang lain. Mereka bisa saja sekadar dipakai untuk melegitimasi kekuasaan!

Keempat, civil society tidak akan terbentuk. Masyarakat demokratis yang diidam-idamkan belum akan menjadi kenyataan. Demokrasi bukan hanya masalah prosedur tetapi secara substansial mensyaratkan rasionalitas masyarakat. Rasionalitas terbangun oleh budaya pendidikan yang kuat. Tanpa rasionalitas, demokrasi akan menjadi proses meraih kekuasaan dengan cara-cara yang menjijikan dan tidak manusiawi. Masyarakat yang rasional ditandai dengan kemampuan berefleksi; menyadari keadaannya dan mengambil keputusan-keputusan secara bijaksana.

Kelima, masyarakat yang miskin pengetahuan, dengan demikian, tidak memiliki kedaulatan bahkan atas diri mereka sendiri. Nasib mereka ditentukan oleh orang lain yang memiliki pengetahuan. Kurang pengetahuan berarti kurang berdaya.

Menuju Masyarakat Berpengetahuan
Kenyataan bahwa masyarakat kita bisa bergerak ke pendulum masyarakat tak berpengetahuan mestinya mendorong kita berjuang ke arah sebaliknya. Pendidikan mesti kita dorong pada pemberdayaan putra-putra Papua untuk menumbuhkembangkan kemampuan mereka berefleksi. Artinya, mereka dilatih untuk menyadari keadaan masyarakatnya, mempertimbangkan secara masuk akal, dan mengambil keputusan-keputusan untuk masa depan.

Tanpa pembekalan pengetahuan yang cukup, masyarakat tidak akan mampu berpartisipasi secara politis untuk menentukan masa depan mereka. Sejauh ini masyarakat menjadi kambing congek yang dipakai untuk kepentingan segelintir orang. Lihat saja, apakah masyarakat mampu mengontrol jalannya pemerintahan demi menciptakan good governance? Lihat saja, apakah masyarakat berdaya untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara?

Langkah yang sangat praktis bisa kita ambil. Perbaiki pendidikan kita dari tingkat dasar. Sekolah-sekolah dasar yang ada perlu diberi perhatian lebih baik. Skandal Dana Alokasi Khusus (DAK) cukup terjadi di Nabire saja. Dan cukup satu kali itu saja. Siapkan tenaga-tenaga pendidik yang berkualitas.

Kiranya, kalau tidak serius memerhatikan pendidikan kita di sini, masyarakat di masa depan akan sungguh-sungguh menjadi kawanan binatang yang bisa sangat brutal. Maka, berilah anak-anak kita pendidikan yang memberdayakan agar kelak mereka dapat menyelenggarakan kehidupan yang dilandasi oleh nilai-nilai humanisme.

Knowledge is power!

*) Peminat masalah sosial, tinggal di Papua.


0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut