Patahkan Rebung Bambu, Itulah Kebodohanmu

Kamis, November 13, 2008

Bagaimana jika dara muda di zaman ini dipaksa untuk memutuskan pacarnya yang ia cintai dan dipaksa menikah dengan seseorang yang lebih tua dari bapaknya? Kira-kira apa reaksi dara muda itu? Tidak tahu pasti. Tetapi, kemungkinan ada penolakan. Penolakan secara halus atau ekstrim dapat saja terjadi. Penolakan bukan hanya karena dia tua tetapi juga karena tidak ia cintai.

Cara penolakan zaman sekarang dapat dipastikan berbeda dengan zaman dahulu. Di zaman ini pun cara penolakan (terutama reaksi penolakan) gadis dari padalaman Papua tentu berbeda dengan yang kota. Gadis Papua dari suku A berbeda dengan gadis dari suku B. Reaksi penolakan dapat saja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, lingkungan, keadaan keluarga, budaya, informasi, transportasi dan komunikasi. Ada yang berpendidikan cukup, ada yang membaca saja belum bisa. Ada yang berkecukupan hidup, ada yang makan sehari setengah mati. Ada yang masih dililit budaya patriarkhi dan ada yang tidak. Ada menganggap perempuan adalah manusia robot yang dapat diperintah/dipaksa semau orang tua.

Jika paksaan itu terjadi pada Papuana (16) siswi SMA di Jayapura misalnya, ia pasti meninggalkan rumahnya dan pergi ke temannya. Atau justru dia memencet-mencet HP-nya untuk mengatur rencana kabur ke kota lain bersama pacarnya. Atau mungkin, jika paksaan itu datang dari bapaknya, dapat saja ibunya tidak setuju. “Ini bukan zaman batu. Ini bukan zaman Situ Nurbaya.”Kira-kira begitu kemungkinan respon dara muda zaman ini. Respon penolakan tentu berbeda dengan Melanesiana (16) yang lahir di keluarga yang ayahnya otoriter dan bersamaan itu dihimpit banyak soal (?).

Nah, bagaimana jika dara muda di zaman dahulu kala (ratusan tahun lalu) di daerah pedalaman Nabire (tepatnya suku Mee) dipaksa untuk meninggalkan kekasihnya yang ia cintai dan menikah dengan seseorang yang lebih tua dari bapaknya? Kira-kira apa reaksi dara muda itu? Temukan jawaban dalam carita di bawah ini.

Di daerah pedalaman Nabire, tepatnya daerah suku Mee hidup satu keluarga kecil. Mereka terdiri dari ayah Makidoutouby, ibu Uwodoutoumaga, dan seorang anak perempuan hitam manis bernama Ideidetunai. Keluarga itu hidup di atas tanah mereka. Mereka berkebun, menanam, memanen, masak dan makan bersama. Sesekali, Makidoutouby berburu (membuat jerat) untuk keperluan protein. Untuk keperluan protein dan status sosial, mereka juga beternak babi dan ayam. Alam menyediakan kebutuhan tambahan mereka. Mereka hidup cukup seperti keluarga-keluarga lain di daerah itu. Tanah bagi orang-orang di daerah itu adalah ibu mereka. Kepemilikan tanah secara adat jelas. Jika ada perselisihan, mereka selesaikan secara damai.

Namun, Makidoutouby ayahnya selalu tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Makidoutouby selalu mengimpikan banyak mege (kulit krang—alat tukar zaman dulu di suku Mee). Hari berlalu, tahun berganti, Ideidetunai semakin besar. Ia tampak cantik menawan. Dia sudah bisa membantu ibunya bekerja di kebun. Juga, ia membantu ayah dan ibunya memelihara ternak mereka. Sesekali ia membantu ibunya memasak makanan. Ideidetunai adalah anak satu-satunya dalam kekuarga itu. Kini Ideidetunai sudah beranjak remaja. Sebagai dara muda, Ideidetunai menjadi bunga riba. Dia selalu menjadi idaman para pemuda. Secara diam-diam para pemuda bersaing mendapatkan dara muda itu. Ideidetunai justru menaru perhatian kepada seorang pemuda yang rumahnya tidak jauh dari rumah mereka. Pamuda itu bagi Ideidetunai lebih ganteng dan dewasa daripada pemuda lain. Pemuda itu pun memberikan perhatian kepadanya. Sebagai bentuk perhatiannya, sebagian besar hasil buruan (daging) selalu saja diberikan kepada gadis idaman itu. Cinta mereka terus bersemi tanpa sepengetahuan orang tua mereka. Secara diam-diam mereka menjalin hubungan mereka. Cinta mereka terus bertumbuh. Gadis itu selalu menerima hasil buruan dari kekasihnya dengan senang hati. Dia selalu membawa daging pemberian lelaki itu kepada orang tua. Namun, apa reaksi orang tuanya? Setiap kali membawa daging ke rumah, kedua orang tua selalu menolak dengan mengambil jalan tidak makan. Tetapi, Makidoutouby dan ibunya, Uwodoutoumaga jarang bertanya dari siapa ia (Ideidetunai) mendapatkan daging hasil buruan itu. Melihat anaknya yang beranjak remaja dan cantik, Makidoutouby ayahnya sangat senang. Senang karena anaknya beranjak usia menikah dan dia bisa memaksa menikah semaunya dengan harga mas kawin yang cukup. Makidoutouby tidak peduli apakah anaknya memunyai pemuda idaman atau tidak. Makidoutouby telah lama punya impian untuk memiliki banyak mege dan ternak babi.

Hari terus berlalu, gadis itu tumbuh semakin dewasa. Cinta antara mereka berdua semakin hari semakin bertumbuh kuat. Makidoutouby dan Uwodoutoumaga mendapatkan informasi tentang hubungan putrinya dengan pemuda itu. Beberapa pemuda yang cemburu memberikan informasi itu. Harapan mereka agar ‘bunga’ itu tidak ‘jadi’ dengan pria tersebut. Makidoutouby dan Uwodoutoumaga mendiamkan informasi itu. Secara diam-diam, ayah mengatur strategi untuk meninggalkan kampung itu. Rencananya sudah matang. Tiba-tiba saja Makidoutouby dan Uwodoutoumaga memberi tahu kepada anaknya bahwa hari itu juga mereka akan bepergian ke suatu tempat yang jauh. Bekal perjalanan telah disiapkan secara diam-diam oleh kedua orang tuanya. Gadis itu tidak tahu mereka hendak ke kemana. Ia tidak punya waktu untuk berpamitan dengan pacarnya yang ia cintai. Dara muda itu menolak pergi. Ia tidak mau meninggalkan kekasihnya.

Sebagai tanda penolakan, ia lari bersembunyi, namun dikejar dengan anak panah oleh ayahnya. Ia tidak berkuasa. Ia tidak tahu kekasihnya berada di mana. Mungkin ia berburu atau ke kebun. Tidak ada HP untuk SMS atau menelepon kekasihnya. Tidak ada orang lain yang ia percaya untuk meninggalkan pesan. Gadis itu pasrah. Ia takut panah menembus kulit halusnya dan mencucurkan darah. Ayahnya sudah berwajah ganas. Terpaksa ia harus menyerah. Tampak wajah ibunya mendukung suaminya. Ia menyerah. Dengan air mata berlinang ia meninggalkan belahan jiwanya. Hari sudah beranjak siang mereka pun mulai berangkat. Tidak tahu entah ke mana. Tidak tahu juga kapan mereka akan kembali. Bekal yang disiapkan cukup banyak. Ia tahu saja bahwa perjalanan cukup jauh. Ia memastikan bahkan perjalanan memakan waktu tiga/empat hari.

Dua hari sudah perjalanan mereka. Pada hari ketiga, mereka beristirahat di sebuah bukit yang tinggi sambil makan siang (keladi dan petatas). Dari bukit itu terlihat beberapa gunung menjulang tinggi di atas kampung mereka. Dia membayangkan kekasihnya. Air mata berlinang. Ia tidak tahan melihat gunung itu. Ia membayangkan kekasihnya yang berada di bawah kaki gunung. Air mata tak mampu ia bendung di bawah tekanan ayahnya. Mata membengkak. Tidak ada orang lain, hanya mereka bertiga.

Sebagai seorang gadis yang lahir di kampung yang mengenal berbagai jenis pantun, ia melantunkan sebuah puisi (komauga/gowai). Misounuu koda, nikauwa kodaa’ Anituma ki, ani bageko, sagamo kouka Anagata ko idabeu kosoka, ana dimiko epabeu kosoka, wegenai awena beu kosoka, witokai wagina beu kosoka Okii komaisa badoko beuno Uwepi komaisa aniki kagano aniki sagamo, mapegakatuku Anikika sagamo nakono Kee eteidai, kaawegai koukaa gaitage saisoo Okaikou buguwa wouwi idebonano satuwakumeti Terjemahan bebas: Dari zaman dahulu terdahulu jenisku dan bangsaku perempuan tidak ada ruang untuk memilih Dijodohkan dengan bukan idaman Mau lari tak mampu jua Aku hanya seorang perempuan Ayahku dan ibuku... Patahkan rebung bambu itulah kebodohanmu!

Dua bait puisi tak mampu menembus batu. Puisi itu tak menyentu hati ayah dan ibunya. Gadis itu mengenang kebaikan kekasihnya. Lelaki itu murah hati, dewasa, dan pekerja keras. Bagi ia, laki-laki itu adalah satu-satunya lelaki baginya. Ia tidak pernah membayangkan lelaki lain. Hanya lelaki itu yang mampu mengerti dia. Tapi ia yakin bahwa tidak lama lagi ia akan kembali dan akan menemui kekasihnya. Dalam keyakinan itu ada ketakutan. Dia takut, kekasihnya menikah dengan perempuan lain sewaktu ia dipaksa pergi dengan orang tuanya. Lantas, belum sempat memberi tahu ke ke mana dan kapan ia kemabli. Mereka terus berjalan.

Ini hari ketiga. Gunung-gunung yang menjulang tinggi di kampungnya mulai tidak tampak. Gunung-gunung itu diselimuti awan dan ditutupi oleh pepohonan yang besar. Perjalanan sungguh melelahkan, pada sore hari mereka tiba di sebuah kampung kecil. Gadis itu tidak tahu nama kampung itu, apalagi datang. Orangtuanya tidak pernah cerita tentang kampung itu. Dia juga tidak tahu degan tujuan apa perjalanan itu. Hari menjelang malam, mereka memasuki sebuah rumah. Di rumah itu, ada seorang tete berambut putih. Di halaman rumah terdapat umbi-umbian dan juga banyak sekali ternak babi. Hanya dia seorang diri di rumah itu. Mereka disambut sengan gembira oleh tete itu. Sebagai sambutan, tete itu memotong babi jantangnya yang besar. Mereka bakar batu bersama umbian dan sayuran lainnya. Wajah gadis itu masih murung. Setelah makan malam bersama, lelaki tua itu memberikan setumpuk mege kepada Makidoutouby ayah dara muda itu. Selain itu, ia menyiapkan babi beberapa ekor. Ideidetunai tidak tahu transaksi apa. Proses transaksi telah selesai.

“Ideidetunai, anikika wakakaumigoga kisoka, aweta akiha amaima inai auwaitage. Akiko kii ibokikopa waka otouu: (Ideidetunai, saya datang mengantar kamu supaya menjadi istri tete ini. Saya dan ibu akan kembali besok pagi. Dia sudah memberikan kami uang yang harta yang banyak. Harta sebanyak itu telah lama saya harapkan). Ideidetunai tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya menelan air liur kering. Ia semakin tidak berdaya. Ayahnya mengancam akan membunuh jika tidak turut kehendak ayahnya. Dia menyerah. Hari sudah pagi, ayah dan ibunya mulai menyimpan untuk berangkat. Ideidetunai mengantar kepergian ayah dan ibunya dengan air mata. Mereka menghilang. Kini di rumah itu hanya tete dan Ideidetunai. Ideidetunai meminta tete itu untuk menunjukkan kebun dan ternaknya. “Saya ingin bekerja di kebun dan ingin memberikan makanan ternak milik kita,” kata Ideidetunai. Tete itu tampak senang. “Wah, hebat ya. Baru hari pertama dan belum satu jam, anak itu mulai bertanya kebun dan ternak. Anak itu pasti rajin. Dia cantik. Inilah dambaanku puluhan tahun. Saya tidak rugi membayar dengan harta yang mahal,”pikir tete tua itu.

Ideidetunai yang awalnya berwajah murung itu kini tersenyum. Ia senyum dalam situasi hati yang benar-benar sakit. Ia terus membayangkan kekasihnya yang ada di kampungnya. Kini tete itu yakin bahwa Ideidetunai benar-benar menyukai dia dan dia akan tetap berada di rumah. Ideidetunai telah membangun keyakinan dengan senyum itu. Ia tidak seperti orang yang sedang marah. Beberapa jam kemudian tete itu keluar ke rumah tetangga dengan penuh bangga. Dia telah memiliki istri dara rimba. Hati benar-benar berbunga. Beberapa menit setelah tete itu pergi ke rumah tetangga, gadis itu keluar dan naik ke tebing yang tinggi dan menjatuhkan dirinya hingga tulang-belulang.

Ideidetunai, perempuan malang. Ia malang di zaman dahulu. Ia korban di bawah tekanan dan paksaan ayahnya. Dia korban atas pilihan. Dia memilih dan setia pada pilihannya hingga mengakhiri hidupnya demi pilihannya. Ia kalah zaman. Zaman telah berganti. Namun, di zaman ini pun banyak perempuan remaja seusia Ideidetunai kadang menjadi korban kuasa orang tua. Bahkan ada yang korban himpitan ekonomi keluarga. Ada juga menjadi korban ‘bisnis perempuan’. Tentu masih ada juga yang menjadi korban budayanya. Para korban zaman ini berbeda dengan zaman dahulu. Zaman ini lebih halus dan tampak tidak seekstrim di masa lalu.

Penolakan kadang lebih halus, tetapi juga ada juga yang masih memilih jalan mengakhiri hidup. Ideidetunai adalah pelajaran berharga untuk para orang tua di zaman ini. Cerita ini memberi tahu pentingnya budaya keterbukaan dalam kekluarga. Para ayah, jangan menjadi manusia berkuasa dalam keluarga sehingga harus mengantar anaknya mengakhiri hidup. Para ayah, anak-anak perempuan bukan harta karung. Mereka (perempuan) adalah manusia yang punya martabat dan memunyai hak untuk memilih yang terbaik baginya. Perempuan tahu jika ada yang lebih baik. Memilih yang terbaik adalah karunia Tuhan bagi perempuan. Ideidetunai, perempuan pemenang sekaligus perempuan yang kalah. Ia menang karena ia telah memilih lelaki yang baik untuk hidupnya. Ia telah gunakan karunia memilih. Pilihan dia tepat tetapi ia menjadi perempuan kalah karena kuasa ayahnya. Tapi, yang penting Ideidetunai telah memilih secara bebas dan mati karena pilihan itu. Jika Anda memilih sesuatu dan pilihan itu baik, mengapa Anda harus....? [Yermias Degei].


0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut