Otonomi Khusus dan Rendahnya Tingkat Kepuasan Sosial

Kamis, November 13, 2008

Oleh:Johannes Supriyono *)

TELAH enam tahun Otonomi Khusus dijalankan di Papua. Namun, perubahan sosial yang cukup signifikan belum tampak. Bahkan, pendapat-pendapat yang kritis terhadap otsus bermunculan. Ada yang mengatakan otonomi khusus hanya menyuburkan mental korup dan budaya instan (“pemalas”), tidak menumbuhkan semangat kerja keras. Yang lain berpendapat bahwa otsus adalah rezeki bagi kalangan atas, yaitu para pejabat pemerintahan. Pendapat lain terasa lebih pedas. Otsus tidak lain adalah cara agar orang Papua dapat terus dikendalikan dan pelan-pelan mati dengan senyum.

Ada benarnya pendapat-pendapat itu jika dihadapkan pada kenyataan di lapangan. Masyarakat di pedalaman Papua terus menantikan pembagian uang otsus. Tidak ada alasan untuk bekerja karena uang datang sendiri. Kebun-kebun terbengkalai tak terurus. Uang otsus juga menggoda sebagian pejabat untuk menyalahgunakan wewenang mereka. Apalagi, kontrol masyarakat terhadap pejabat mereka di Papua ini tidak begitu ketat.

Selanjutnya, uang sangat berkuasa untuk mengendalikan perilaku masyarakat Papua. Perang suku di pedalaman Papua dapat berlangsung lebih dari satu tahun karena ada oknum yang ‘membiayai’ perang tersebut. Perang menjadi matapencaharian utama sepanjang tahun itu. Daya tahan dilemahkan dengan limpahan triliunan dana otsus. Orang dikondisikan menjadi rakus dan konsumtif tetapi sekaligus menjadi tidak berdaya menghadapi lingkungannya. Otsus menyebabkan orang Papua dengan gampang dikendalikan oleh lingkungan. Mereka menjadi subyek yang terkalahkan. Inilah mati dengan cara tersenyum.

Fakta lain yang dapat disajikan di sini adalah sejumlah lembaga sosial, yang mestinya berperan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tidak banyak bedanya pendidikan di Papua ini antara enam tahun lalu dengan sekarang ini. Sekolah-sekolah di pedalaman tidak dilengkapi dengan fasilitas belajar yang baik. Tenaga guru tidak tersedia dengan cukup. Infrastruktur yang memfasilitasi mobilitas sosial tidak juga membaik. Pelayanan kesehatan sama buruknya. Kenyataan ini masih bisa disambung dengan rangkaian yang lebih panjang. Keadaan seperti ini menimbulkan ketidakpuasan sosial yang mengancam kehidupan bersama.

Maka, tidaklah terlalu keliru untuk sementara berpendapat bahwa otonomi khusus belum meningkatkan kepuasan sosial masyarakat Papua. Ketidakpuasan sosial bisa menjadi energi negatif yang meledakkan masyarakat dalam bentuk yang paling brutal. Kemarahan massa bisa menelan korban.

<><><>

Apakah orang Papua cukup puas dengan keadaan sosialnya? Jawabanya tidak. Misalnya, dalam sebuah jajak pendapat di sebuah SMA di Nabire, Papua, sebagian besar mengatakan tidak puas sama sekali. Dengan kata lain, anak-anak itu menilai keadaan sosial sekitarnya sangat buruk. Tingkat kepuasan sosial penduduk Papua pada dasarnya rendah.

Sejumlah lembaga sosial yang diukur adalah pendidikan, kesehatan, hukum, politik, dan estetika. Dalam skala 1-5 dua puluh tujuh siswa memberikan nilai. Rata-rata dari penilaian mereka tidak ada yang mencapai angka 2. Bahkan, lembaga hukum dinilai amat rendah, hanya 0,2. Yang paling rendah adalah lembaga estetika yang berperan memenuhi kebutuhan hiburan dan rekreasi masyarakat, yakni 0,15. Memang, di kota ini tidak terdapat tempat-tempat rekreasi yang dikelola secara baik sehingga mencukupi kebutuhan masyarakatnya. Sarana hiburan yang paling dominan adalah televisi.

Bagaimana dengan pendidikan? Nasibnya hampir sama dengan lembaga sosial lain. Lembaga pendidikan dinilai belum mencukupi kebutuhan masyarakat. Para siswa itu mengeluhkan mutu pendidikan yang buruk dan fasilitas yang kurang memadai. Tenaga pendidik dipandang kurang, baik dari sisi jumlah maupun mutu. Akibatnya, proses pendidikan disamakan dengan proses menanti pembagian ijazah di akhir masa sekolah. Bukan proses pengembangan diri dengan menimba pengetahuan. Maka, angka 1,8 dinilai pantas.

Penilaian ini dikonfirmasi dengan tingginya angka migrasi anak sekolah. Sama sekali tidak aneh bagi masyarakat kota ini menyaksikan anak-anak selepas SMA meninggalkan kotanya. Mereka berduyun-duyun ke Jawa atau ke Sulawesi untuk meneruskan pendidikan mereka. Mengapa? Kebutuhan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi belum berhasil difasilitasi oleh pemerintah. Perguruan tinggi yang ada dipandang belum cukup bermutu, masih terpaut jauh dari perguruan tinggi-perguruan tinggi yang lain di luar Papua. Di samping itu, daya tampung perguruan tinggi masih sangat terbatas.

Sementara, mereka yang tidak mampu membiayai migrasi ini cukup berpuas dengan mutu pendidikan yang ada atau tidak melanjutkan sekolah. Konsekuensinya adalah mereka akan tetap tertinggal. Dan, kualitas sumber daya mereka tetap rendah. Akibatnya, mereka akan kalah bersaing dengan sejawatnya yang mendapat pendidikan lebih baik di luar Papua. Itu pun kalau mereka kembali ke Papua.

Ketidakpuasan terhadap lembaga pendidikan ini dilatarbelakangi pula oleh gejala meningkatnya anak-anak usia sekolah yang tidak bisa sekolah. Anak-anak ini malah sibuk mencari kaleng bekas untuk dijual kepada pengepul. Penduduk sering menyebut mereka anak ‘carka’—kependekan dari cari kaleng. Jumlah mereka terus meningkat. Mereka tidak sekolah karena alasan biaya. Nah, apakah pemerintah, yang bertanggung jawab atas lembaga pendidikan, tidak mampu menyelamatkan mereka?

Para siswa itu juga menyatakan tidak puas terhadap lembaga kesehatan. Di kabupaten ini hanya ada satu rumah sakit pemerintah dengan tenaga dokter dan peralatan yang terbatas. Pelayanan rumah sakit itu pun sangat buruk. Hanya ada satu dokter spesialis anak. Tidak ada spesialis yang lain. Ruang-ruang perawatan sering tampak kumuh.

Bahkan, di pedalaman banyak kecamatan tidak memiliki tenaga medis. Ketika terjadi wabah—misalnya, wabah di area beberapa bulan lalu—masyarakat tidak lekas mendapatkan pertolongan. Sekian nyawa melayang percuma.

Para responden menyatakan antipati terhadap lembaga politik di sini. “Mereka lebih sibuk dengan urusan mereka sendiri. Padahal mereka kan wakil rakyat.” Begitulah salah satu ungkapan anak yang melukiskan ketidakpuasannya. Politik seakan tidak pernah bersangkut-paut dengan kehidupan sehari-hari. Baru menjadi heboh ketika Pilkada akan berlangsung. Partai-partai mengerahkan segenap upaya untuk menarik simpati massa. Dan, setelahnya rakyat merana karena ditinggalkan para wakilnya.

“Dorang tidak pernah perjuangkan kepentingan rakyat!” Maka, dapatlah diterima akal jika demonstrasi di kota ini hampir selalu berlangsung rusuh karena melibatkan kekerasan. Rakyat merasa tidak memiliki orang-orang yang sah untuk berjuang bagi mereka. Jalur politik yang resmi tertutup. Kekerasan, misalnya pelemparan batu ke kantor bupati yang sedang dikonstruksi tidak perlu terjadi kalau DPRD dapat memihak pada mahasiswa dan memperjuangkan kepentingan mereka.

Alasan lain ketidakpuasan para siswa itu adalah lemahnya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan pemerintah daerah. Ketidakberesan dalam dunia pendidikan dan kesehatan yang mencolok mata terkesan dibiarkan. Buruknya infrastruktur tidak dihiraukan. Di mata para siswa lembaga politik tidak berfungsi. Mereka memberi nilai 1,2 saja.

Lembaga hukum dipandang mandul. “Saya paling jijik dengan hukum di sini. Tidak pernah ada penyelidikan terhadap orang-orang yang korupsi.” Begitulah seorang siswa mengungkapkan penilaiannya atas lembaga hukum. Angka 0,2 mencerminkan betapa rendahnya apresiasi siswa terhadap kinerja lembaga penjaga keadilan ini.

Penilaian yang sangat rendah itu didasarkan pada kenyataan tiadanya gebrakan-gebrakan yang dilakukan lembaga hukum. Hampir tidak terdengar di media massa adanya penyelidikan-penyelidikan tindak pidana korupsi. Kasus-kasus yang semestinya diendus ketidakberesannya dibiarkan saja. Penyelewengan-penyelewengan dipandang normal. Ketidaknormalan di masyarakat ini adalah yang normal.

<><><>

Paparan rendahnya tingkat kepuasan di atas hanyalah cermin dari sebagian masyarakat Papua. Sama sekali tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh Papua. Meski begitu, kenyataan itu sudah membangkitkan pertanyaan: mengapa tingkat kepuasan sosial amat rendah? Apakah semua itu mengindikasikan bahwa otsus hampir tidak memiliki kaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat?

Rendahnya tingkat kepuasan sosial mengindikasikan bahwa otsus belum menyentuh sendi-sendi kehidupan masyarakat secara optimal. Penyelenggaran kehidupan masyarakat belum terdayai oleh otonomi khusus, yang bukan hanya soal uang melainkan juga kebijakan. Maka, wajarlah jika masyarakat merasa otsus itu tidak penting.

Jika otsus terus berjalan sementara ketidakpuasan pun terus berlangsung, kita perlu bertanya secara lebih mendasar: otsus itu untuk apa? Kalau tidak ada gunanya bagi masyarakat Papua secara keseluruhan, tetapi menjadi lahan korupsi bagi segelintir orang, untuk apa diteruskan! Bisa-bisa otsus malah menjadi bencana yang memusnahkan orang Papua.

*) Pendidik dan peminat ilmu sosial, tinggal di Papua
-------------------------------------
Sumber:http://suaraperempuanpapua.wordpress.com/2008/09/27/otonomi-khusus-dan-rendahnya-tingkat-kepuasan-sosial/#more-54

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut