Migrasi Kaum Muda Papua dan Brain Drain

Kamis, November 13, 2008

Bukanlah gejala yang baru satu kali terjadi bahwa selepas SLTA, anak-anak muda dari Papua meninggalkan tanahnya. Mereka menuju pulau-pulau yang lain untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Perilaku berbondong-bondong menyerbu Jawa telah berlangsung dari tahun ke tahun. Pameo yang terus beredar adalah bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang maju orang harus pergi ke Jawa.

Mungkin benar. Tetapi mengapa perilaku tahunan—kemudian menjadi cara penduduk Papua untuk memenuhi kebutuhannya akan pendidikan—ini tidak dikaji secara kritis? Perilaku ini perlu diselidiki karena bukan tidak mungkin di masa depan Papua akan menderita brain drain, yaitu kehabisan sumber daya manusia yang unggul untuk mengelola daerahnya sendiri. Mereka yang telah mendapatkan pendidikan cukup enggan untuk kembali ke Papua.

Perilaku Tahunan

Berapa banyak orang Papua muda yang meninggalkan daerahnya ke pulau-pulau lain, utamanya Jawa? Tidak ada data yang pasti. Maklum, perilaku ini belum menjadi perhatian khusus. Akan tetapi, dapat dipastikan jumlah mereka cukup signifikan jika dibandingkan dengan jumlah orang muda Papua.

Alasan utama orang muda meninggalkan Papua adalah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Anggapan yang hidup di kalangan masyarakat adalah lulusan dari Jawa lebih bergengsi daripada lulusan Papua. Mereka yang mendapat ilmu di Jawa dipandang lebih daripada sejawatnya di Papua. Anggapan bahwa Jawa lebih bergengsi adalah salah satu faktor yang mendorong orang muda meninggalkan Papua.


Kerap terdengar juga bahwa perguruan tinggi yang ada di Papua belum sederajat dengan perguruan tinggi di luar Papua. Bagi orang-orang yang menginginkan yang lebih baik, perguruan di luar Papua adalah pilihan yang paling mungkin. Lalu siapa yang mendatangi kampus-kampus di Papua? Mungkin anak-anak muda yang sebenarnya berminat meninggalkan Papua tetapi tidak berdaya.

Faktor lain yang mendorong gerak perpindahan kaum muda adalah kolega mereka yang telah berada di Jawa. Yang telah lebih dulu menempuh pendidikan di Jawa mengedarkan cerita-cerita pembangkit minat. Cerita-cerita ini berperan menyambung gelombang datang anak muda Papua sehingga dari tahun ke tahun tidak pernah putus.

Di kalangan orang tua berkembang kekurangpercayaan mereka pada perguruan tinggi-perguruan tinggi di Papua. Mereka lebih bisa memercayakan anak-anak mereka pada perguruan tinggi di Jawa yang sudah lebih dulu punya nama. Keraguan seperti ini menyebabkan orang tua berdaya-upaya mengirim anak mereka ke luar Papua.

Gagasan orang tua ini mungkin saja dipengaruhi oleh pencitraan pendidikan di luar Papua yang digambarkan selalu lebih bagus daripada pendidikan di Papua. Belum lagi, sebagian orang tua masih percaya bahwa mereka yang mendapatkan ijazah dari Jawa lebih cepat mendapatkan kerja. Setidak-tidaknya mereka dapat bekerja di luar Papua karena di luar Papua terdapat lebih banyak pilihan lapangan kerja.

Seleksi Sosial

Perilaku sekolah ke luar Papua ini tidak lain adalah sistem seleksi sosial yang terlestarikan. Ada pembagian tanpa sengaja antara anak yang bisa sekolah ke Jawa dengan mereka yang tinggal di Papua. Mereka yang berani ke Jawa kurang lebih memiliki kemampuan ekonomi dan intelektual lebih baik. Sementara yang bertahan di Papua kurang.

Apakah akibat seleksi sosial ini? Anak-anak yang lolos seleksi memiliki kemungkinan besar, meski lahir dan besar, di Papua menghabiskan usia produktif mereka di luar Papua. Tenaga mereka diabdikan untuk masyarakat lain. Apalagi, kalau memang keahlian mereka ternyata dibutuhkan oleh masyarakat di luar Papua sehingga mendapatkan gaji yang lebih baik. Bukan mustahil bahwa di antara mereka adalah anak-anak terbaik yang dimiliki oleh tanah Papua.

Papua mendapatkan anak-anak yang tetap bertahan di sini dan mungkin sedikit dari mereka yang di luar Papua tetapi gugur dalam seleksi dan kemudian kembali ke Papua. Papua diurus oleh orang-orang yang dibekali oleh pendidikan a la Papua.

Gejala seperti ini telah lama berlangsung di sejumlah negara miskin di Afrika. Ahli-ahli dari negara-negara miskin banyak yang bekerja di Eropa. Bahkan mungkin lebih banyak yang di luar daripada di dalam negeri. Akibatnya, negara yang miskin itu diurus oleh orang-orang yang kecakapannya sangat terbatas. Inilah yang sebut fenomena brain drain.

Fenomena brain drain berarti suatu daerah kehabisan tenaga ahli untuk mengurus daerahnya sendiri karena orang-orang yang mampu memilih meninggalkan daerahnya sendiri. Yang tinggal di dalam adalah orang-orang yang gagal dalam seleksi.

Apakah ini mungkin terjadi di Papua? Jika gejala migrasi kaum muda ini tidak dicermati secara serius dan kemudian disikapi dengan baik bisa saja terjadi. Akibat dari brain drain dapat kita perkirakan dari sekarang.

Menyiapkan langkah

Untuk mengantisipasi bencana brain drain sejumlah langkah dapat disiapkan. Langkah pertama yang mutlak adalah memperbaiki kualitas pendidikan di Papua sehingga pembandingan dengan perguruan tinggi di luar Papua tidak lagi relevan. Perbaikan kualitas harus dimulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

Kedua, pemerintah perlu dari awal merekrut putra-putra terbaik Papua dan menyiapkan mereka menjadi tenaga ahli bagi masyarakatnya sendiri. Bahkan, jika dipandang perlu, pemerintah patut mengikuti langkah sejumlah perusahaan yang menyekolah orang sampai jenjang doktor untuk nantinya bekerja di perusahan itu.

Ketiga, pemerintah mempercepat pembangunan sehingga Papua bergerak menjadi masyarakat modern yang membutuhkan banyak tenaga ahli. Ketersediaan lapangan kerja yang cukup luas dapat membatasi gerak ke luar Papua.

Fenomena meninggalkan tanah Papua bukanlah hal yang biasa dan tidak mengancam kehidupan masyarakat Papua. Janganlah kita baru sadar ketika bencana brain drain telah hadir di depan mata dan tak terhindar lagi.

--------------------------------------
Sumber: http://sketsasketsapapua.wordpress.com/



0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut