Mempertimbangkan Arah Sejarah Kita

Selasa, November 25, 2008

“Orang Papua bisa menikmati hak-haknya sebagai manusia, bukan menyaksikan hak-haknya dilanggar atau dikekang. Inilah artinya merdeka sebagai manusia. “

Oleh: Johannes Supriyono*)

L’histoire se repete! Sejarah berulang kata orang Perancis. Apa yang pernah terjadi di masa lalu terjadi lagi di zaman ini. Dan setiap pengulangan sejarah kelam berarti air mata tercurah. Kepedihan menancapkan cakarnya lagi di lubuk hati. Lalu pertanyaan yang terdengar klise harus diungkapkan lagi: mengapa ini terjadi? Tetapi sejarah akan terus berulang sampai, pada suatu titik, orang-orang yang terlibat dalam sejarah itu membelokkannya.

Opinus Tabuni tersungkur oleh peluru yang menembus dadanya. Serentak Wamena menjadi perhatian jagat. Air mata ibu-ibu menganak sungai. Getir rasanya. Peluru telah merenggut Opinus dari antara kaumnya. Ini bukan kematian oleh peluru yang pertama di Papua. Mungkin juga bukan yang terakhir. Pertanyaannya adalah mengapa kematian oleh peluru belum berakhir? Dan, mungkinkah suatu hari kelak tidak ada lagi anak-anak Papua mati karena peluru nan kejam?

KEMATIAN Opinus Tabuni menegaskan perjalanan sejarah rakyat Papua sebagai perjalanan kaum yang (di)kalah(kan), yang dijiwai oleh darah. Kalau mau dibaca secara positif, perjalanan sejarah Papua adalah sejarah perjuangan untuk diakui sebagai manusia dengan martabat sepenuhnya. Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man menyatakan perjalanan sejarah adalah perjalanan menuju menyatunya ideologi-ideologi menjadi kapitalisme liberal. Sementara, sejarah Papua bergerak menuju pengakuan sebagai manusia, warga negara dunia yang semartabat dengan warga dunia lainnya.

Sebagai manusia yang merdeka, bukan saja merdeka dari ketakutan akan peluru yang tiba-tiba melesat dan merampas hidup, orang Papua bisa menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Orang Papua bisa menikmati hak-haknya sebagai manusia, bukan menyaksikan hak-haknya dilanggar atau dikekang. Inilah artinya merdeka sebagai manusia.

Menyaksikan dan merasa-rasakan sejarah para korban, kita mencium bau anyir darah. Tidak ada sukacita kemenangan, tetapi duka cita karena kematian yang murah. Tidak ada sorak dan tarian ibu-ibu, tetapi kepala berkerudung dengan sedu sedan. Tidak ada anak-anak kecil bermain, berlari-larian tetapi berdiri terpaku pada jasad yang kaku. Kegembiraan pudar dan terbang. Angan-angan akan masa depan yang gemilang berubah menjadi amarah. Bukankah ini sejarah yang tidak pernah dicatat bahwa mereka belum menjadi pelaku aktif bagi sejarahnya sendiri? Ya, mereka mengingat kekalahan demi kekalahan yang menyesakkan!

Sejarah yang kita kenal hampir selalu berkisah tentang pahlawan, tentang kemenangan, dan tentang peristiwa yang monumental sehingga diabadikan. Kematian yang direkam pun hanya milik mereka yang agung. Tetapi, para budak dan serdadu-serdadu yang terlibat hampir tidak pernah disebut namanya. Hidup mereka tidak berharga untuk satu huruf pun dalam kitab sejarah.

Agaknya untuk menimbang arah sejarah Papua, kita tidak perlu mendongak pada para petinggi negeri. Bisa-bisa kita malah merasa ngeri. Lihatlah peluru, darah, dan air mata yang mungkin masih akan terjadi lagi setelah Opinus Tabuni. Di sana kita akan mendapati pertanyaan yang menghujam hati. Apakah arti hidup di sini?

SEJARAH kita bangun sendiri dari kekalahan dan kekalahan. Kegetiran yang datang silih berganti akan membuat dahaga kita akan kemanusiaan yang merdeka semakin besar. Arus sejarah akan semakin menderas dan mungkin tak lagi terbendung. Tidak ada orang yang tidak ingin menjadi juara. Tidak ada orang yang tidak ingin merdeka bagi dirinya sendiri!

Rasa kalah itu tidak perlu mengemuka sebagai dendam. Tidak ada gunanya dendam kecuali akan membuat kita semakin terpuruk dan sejarah menjadi lebih mengerikan. Dendam akan membuat tanah ini menjadi kerajaan kekerasan. Dalam arena kekerasan tak seorang pun tampil sebagai pemenang. Kekerasan, sebagaimana perang, adalah kekalahan bagi kemanusiaan!

Pertautan antara sejarah dan identitas tidak lagi dapat kita elakkan. Kematian Opinus Tabuni adalah salah satu elemen dari identitas kita: manusia Papua yang belum sepenuhnya memanusia. Pengalaman kematian itu menjadi pengalaman kita bersama. Bukankah kematian seperti itu bisa merenggut kita juga? Hakikat manusia sebagai makhluk yang merdeka masih jauh dari kenyataan kita sehari-hari.

Kemerdekaan sebagai manusia mengejawantah dalam kemampuan kita untuk menghayati kemanusiaan kita secara utuh. Kita bisa hidup secara damai. Kita bisa bersuara tanpa takut dibungkam. Kita bisa menghargai orang lain tanpa banyak curiga. Juga kita bisa menentukan masa depan. Mengikuti Nietzsche, kita bisa mengatakan ‘ya’ pada kehidupan!

Sejarah akan bergerak pada penciptaan tata kehidupan yang berkeadilan, yang mengakui nilai-nilai dasar kehidupan, yang memungkinkan anak-anak tumbuh dan berkembang. Inilah panggilan sejarah kita: mendorong terciptanya jagat di mana manusia dapat menghayati kemanusiaannya tanpa terancam atau mengancam manusia lain.

MARTIN Luther King, Jr. memimpikan empat orang anaknya untuk hidup damai di dunia yang tidak menilai mereka dari warna kulitnya, tetapi dari hidupnya. Ia membagikan mimpinya itu dalam orasinya yang diawali secara amat menawan. I have a dream… Ia berjuang dengan menggandeng begitu banyak pihak untuk mewujudkan impian itu. Impian itu ia bayar dengan kematiannya pada 1968. Ia dibunuh. Tetapi, sejarah mencatat arus sejarah diskriminasi warna kulit pelan-pelan lenyap.

Masih ada Mahatma Gandhi di India yang memimpin gerakan aktif tanpa kekerasan untuk melepaskan India dari penjajahan Inggris. Dunia mengaguminya.

Hari ini kita memiliki perempuan hebat dari Myanmar, Aung San Suu Kyi, pemimpin liga demokrasi di negerinya. Ia berjuang dengan tenang dan mendapatkan dukungan besar dari seluruh dunia. Seakan-akan seluruh dunia bergandengan tangan menyokong peraih nobel perdamaian ini.

Kita di sini, saatnya membagikan mimpi kita kepada sobat-sobat; mengajak mereka untuk bergandeng tangan dan memimpikan tata dunia yang adil agar kita bisa hidup semartabat dengan mereka. Lalu, sejarah baru akan pelan-pelan lahir di tanah kita. Sejarah tidak pernah dibangun dalam sehari. Mungkin saja kita bernasib seperti Martin Luther King, Jr. Ia tidak pernah melihat mimpinya mekar tetapi ia mewariskan pada dunia.
*) Peminat masalah sosial, tinggal di tanah Papua

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut