Memahami + Menyikapi + Menyiasati Kehidupan = Pendidikan Mencerdaskan

Kamis, November 13, 2008

Oleh Longginus Pekey*)

Pendapat para ahli pendidikan, seperti Paulo Freire dari Amerika Latin dan lainnya menyepakati pendidikan sebagai basis pembebasan dari kebodohan dan keterasingan. Melalui pendidikan orang menjadi kritis memahami, menyikapi dan mensiasati persoalan hidup.

Jika kita sepakat dengan pandangan di atas, kita melihat bagaimana hakekat pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, membebaskan masyarakat dari kemiskinan. Kita juga bisa mengukur apakah pelaksanaan pendidikan di Indonesia dan terutama di Papua selama ini setelah Indonesia merdeka 63 tahun dan menguasia Papua selama 45 tahun melihat potre kehidupan Pendudukan asli Papua, sudahkah pendidikan membebaskan rakyat asli Papua seperti dikemukakan para alih pendidikan di atas? lalu bagaiman dengan Paradigma pendidikan? Dan pandangan masyarakat tentang pendidikan, sekolah dan ijazah?

Potret Kehidupan Penduduk Asli Papua

Banyak sekolah telah dibangun, pemerintah tepuk dada atas hal itu, meskipin kenyataan berbicara lain, kecerdasan jauh dari semudah pejabat pemerintah dan birokarisi pendidikan mengucapkannya, bahwa mereka telah membangun pendidikan. Buktinya masih nol besar. Kebanyakan masyaratakat asli Papua belum cerdas mengelolah alam, ekonomi mereka semakin memprihatikan. Mereka menjadi penonton di negerinya. Penduduk asli di alam kaya itu belum tampak tanda-tanda mereka akan sejaterah. Mereka masih tetap miskin dan berbagai penyakit akibat gizi buruk telah mengakhiri nafas ribuan penduduk di Papua.

Mereka nyaris terasing, di pasar tradisional Wamena, Nabire, Timika, Merauke dan lainnya mama-mama asli Papua berjualan di los Pasar. Tetapi, sekarang los pasar sudah dipadati pendatang, pedagang asli umumnya berjualan di telaras pasar atau di emperan toko (Baca: ekspedisi Kompas, 123), mereka tidak ada tempat layak untuk berdagang.

Restoran siap saji, dan warung makan bertebarang tetapi ironisnya sulit mencari orang asli Papua bekerja sentra perekonomian. Mereka (mama-mama) hanya berjualan kebutuhan sehari-hari, seperti sayuran, ubi (ipere:Wamena) dan tidak rutin dilakukan. Jari tangan cukup menghitung orang asli Papua yang bekerja di toko, kios, warung makan, atau toko swalayan. Lebih sulit lagi menemukan orang asli Papua yang memiliki usaha sekelas itu.

Pendatang mejadi aktor ekonomi yang dominan. Menurut ekpedisi Kompas 2007 lalu, dituliskan bahwa warga Bugis, Buton, dan Makasar lebih banyak bergiat di sektor perdagangan sedangkan warga Menado, Toraja, dan Jawa di birokrasi pemerintahan. Orang Papua sendiri hanya di pegawai negeri sipil. Disektor perekonomian orang asli Papua tenggelam.


Alam Menjanjikan

Orang tertarik datang ke Papua, setaip ada kapal dari luar datang ke Papua ribuan orang luar pulau Papua datang untuk mengais hidup disana. Papua sangat menggairahkan. Masa depan menjanjikan. Memiliki lahan luas, kosong, berlimpah kekayaan alam. Menjadi bua bibir, orang ingin datang memperbaiki hidup di sana.

Pendatang cepat sejatera dan menjadi kaya-raya, dari sana mengirim anak-anak mereka bersekolah keluar Papua. Papua hanya menjadi tempat kumpul kekayaan. Setelah mendapat kekayaan ada yang menaruh rumah, mobil dan sebagainya di luar Papua. Sementara mayoritas penduduk asli masi melarat, mengelolah alam Papua dengan sederhana. Menikmati hasil alam sesuai kebutuhan karena bergantung pada alam.

Ada pendapat, bahwa penduduk asli Papua mesti bercermin pada pendatang. Bisa betul, tetapi mesti kita sadar, pendatang bukanlah satu-satunya ukuran kemajuan. Di antara mereka masih ada yang dililiti dan membawa pikiran kolot, apalagi yang hanya berpikir mencari hidup di Papua. Mereka ini tidak akan memberi input kepada penduduk Papua.

Sebagai pendatang kita mestinya berpikir apa yang dapat kita berikan kepada penduduk asli Papua? Tidak mesti kasih materi. Mungkin membagi pengetahuan dan skill. Kehadiran kita jangan memanbah penderitaan penduduk asli dengan menjadikan mereka layaknya seperti budak pememikul beban. Juga dengan meninggikan harga barang dagang berapa kali lipat untuk cari uang semata.

Paradigama yang Belum Membumi

Pedidikan sekolah sentralistik rupanya sebagai alat dogma penguasa, agama, negara sehingga tidak mencerdaskan, masyarakat tetap miskin. Antonio Grasci menilai sekolah seperti ini merupakan lahan subur untuk menanamkan ideologi kekuasaan yang secara berlebihan. Anak-anak dirampas dirampas kemerdekaan cara berpikirnya atau oleh Erich Fromm menyebutnya outomaton, yaitu individu yang bergerak berupa mesin, serba otomatis. Chomsky yang prihatin dengan sistem sekolah yang menjadikan anak sebagai intelektual pengapdisi ideologi penguasa.

Penduduk asli mesti sadar akan ketertinggalan, bukan karena tidak memunyai jiwa maju, bukan juga karena belum disiapkan, tetapi memang tidak disiapkan. Maka orang Papua harus siap, meskipun kendala yang mereka hadapi ada di pendidikan wawasan, karena kirangnya saran informasi dan media-media tempat belajar.

Sekolah selama ini ketat mempraktekan muatan kurikulum pusat kurang mencerdaskan. Masih jauh daripada pengajaran kurikulum kontek lokal di Papua. Sampai sekarang sekolah melakukan penyemaian benih kebergantungan dengan berpegang teguh kepada paradigma industri pemerintah dan kapital. Anak menjadi sebagai bahan mentah yang diisi dogama supaya kelestarian penguasa dan negara terjaga.

Hasil dari pendidikan sekolah seperti itu, orang Papua mulai menyangkal diri, tidak percaya pada tanah mereka (mama/ibu orang Papua) yang subur. Seolah-olah ibu pertiwinya tidak menyediakan kekayaan alam. Mereka relah jual tanah, tidak memiliki usaha, mulai tidak berkebun dan memiliki kebergantungan menjadi kulih pemerintah dan kapitalis di atas tanahnya sendiri.

Kita tidak bermaksut mesalahkan siapa-siapa, sekarang saatnyaorang Papua menyadari dan membangun diri. Karena tidak benar dan tidak boleh menyalakan orang lain. Kemajuan orang Papua ada ditangan mereka, bukan ditangan pendatang ataupun disiapa-siapa, yang lain itu hanya membantu. Tidak seratus persen mengikuti cara orang dari luar Papua ataupun cara pemerintah membangun dengan cara-cara pusat yang selama ini kurang manusiawi. Sehingga yang terjadi adah mengarah kepada suatu kepunahan kultural dan intelektual yang ada di Papua dan harus dikembangkan.

Pendidikan, Sekolah dan Ijazah

Pendidikan sekolah alangkah baiknya dimagnai luas. Tidak cukup hanya kurikulum lokal, lebih dari ini sekolah tidak hanya diruang kelas dengan gedung mewah dan baju seragam mahal, melainkan semua tempat dapat menjadi sekolah, entah di laut, darat, gunung, lembah dll menjadi tempat belajar memahami, mensiasati dan menyikapi hidup sesuai kebutuhan dan persoalan hidup.

Tetapi tidak dapat dipungkiri, masyarakat umunya telah tercandu sekolah sebagai bangunan, buku tulis, baju seragam dll. Bukannya kita menolak semua itu, persoalannya rata-rata penduduk Papua asli kurang memperhatikan kualitas ataupun mutu pendidikan. Apa lagi bagian di pedalamnan sana, merekan beranggap yang penting bisa sekolah, soal nanti jadi apa urusan belakangan. Bukan berarti sekolah tidak penting, sejak dulu orang tahu sekolah telah menjadi wahana yang dipergunakan untuk melangsungkan proses pendidikan (Dr. Mochtar Buchori 1993).

Sekolah belum mencerdaskan siswa dengan memberi pengetahuan dan skill sesuai kebutuhan persoalan hidup yang dihadapi. Ada fenomena, selesai sarjana memilih menjadi ”kuli pemerintah” Tidak dapat berbuat apa-apa. Syukur bila masi mengingat teori, pada hal hidup tidak cukup hanya berteori mencetak penganguran dan satu-satunya jadi kuli pemerintah. Tidak bermasut menolak kuli pemerinah, hanya saja kita akan kerdil kalau tidak mengaplikasikan profesi kita dan yang menjadi idealisme semasa kuliah. Itulah iman tanpa perbuatan sama dengan mati.

Wawasan dan Skill sangatlah penting, tetapi padangan umum sekolah orang berkerucut pada tujuan dapat ijazah. Ijazah bukannya tidak penting. Toh, ijazah asli ataupun palsu tetap merupakan patokan pengakuan menyelesaikan suatu program pendidikan tertentu. Ukuran prestasi dan syarat cari kerja, karena itu ada anggapan sekolah ditempu melalui cara apa saja yang penting mendapatkan ijazah (Dr. Mochtar Buchori 1993).

Pihak guru dan dosen, dan bahkan orang tua mematovasi agar anak sekolah yang rajin agar cepat selesai, mendapatkan ijazah dan bisa bekerja”. Ijazah dimewahkan. Mereka ingin melihat anak cepat selesai dan menjadi pejabat atapun bekerja dikantor sebagai kuli pemerintahah, mesipun belum tentu cerdas dan hanya jadi pesuruh orang lain.

Motivasi seperi itu penting, tetapi alangkah lebih baik uangkapan berupa motivasi seperti itu dirubah ”sekolah yang rajin biar pintar dan cerdas agar dapat menjadi pribadi yang merubah” atau setelah sekolah anak selesai sangat pantas bertanya ”setelah selesai sekola SMK, STM, SMU, dan setelah jadi sarjana apa yang bisa anak lakukan”? Denga begitu kita menguggat hakekat mereka sekolah, bekal skill dan profesionalistas yang diperoleh dari sekolah.

Pendidikan, sekolah dan ijazah menjadi kesatuan tidak terpisah (Mochtar Buchori1993). Pendidikan dan sekolah sebagai wahana mendapat, menghimpun pengetahuan dan dapat ijazah. Oleh karena itu, semestinya ijazah menjadi ukuran ilmu pengetahuan atas suatu jenjang pendidikan tertentu.

Dalam arti lain, ijazah menjadi tolak ukur dari skill atau kemampuan seseorang. Denga begitu, sangat pantas bertanya setelah selesai sekolah saya dapat buat apa dari bidang ilmu yang telah ditekuni dalam mempertanggun jawabkan gelar yang dimiliki? Pertanyaan itu menantang skill, kerja keras, ketekunan, pengalaman dan fakus doa kita bagi perubahan kearah yang lebih baik, karena kita belajar bukan hanya demi sekolah tetapi demi hidup (Non scolae sed vitae discimus).

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua)

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut