Sekolahku di Tepi Laut

Sabtu, Juli 19, 2008

Jika biasanya sekolah dibangun di tengah kompleks perumahan atau kampung, sekolah ini di bangun di sebuah tanjung yang Indah dan sepi. Tak ada perumahan maupun kampung. Lalu untuk siapa sekolah ini ?

Sepeda motor terpaksa harus berhenti, ketika mendapati jalan menurun terjal, berlubang dan berkerikil. Jalan aspal yang bermula dari samping halte bus Skyline memang sudah rusak berat terkikis air hujan. Jaraknya hampir 700 meter hingga mencapai pantai. Untuk sampai ke sana , kita harus melewati jalan aspal yang rusak berat berujung di jalan setapak yang membela hutan akasia bekas bumi perkemahan skyline dan dilanjutkan illalang yang sepi. Jalan ini menuju SD Negeri Inpres Kampung Tobati, tepat di sebuah tanjung , di tengah teluk Yotefa.

Jalan ini memiliki kemiringan lebih dari 45 derajat, saya cukup terkagum kagum ketika seorang guru mendaki jalan itu dengan motor tuanya. “Itu pakTunggul Opposunggu. Ia memang sudah mengajar sejak sekolah ini di buka, jadi sudah pengalaman melewati jalan ini” kata Agustina Yerisitouw, guru kelas II SD Negeri Inpres Kampung Tobati ketika kami berpapasan di bawah pohon jambu. Ia dan teman sejawatnya Yuliana Watimuri beristirahat sejenak, mengumpulkan sisa tenaga mereka setelah lelah mengajar. Mereka kemudian mendaki lagi jalan yang saya turuni hingga Skyline untuk kemudian berganti angkutan umum, pulang ke rumahnya masing – masing.

SD Negeri Inpres Kampung Yotefa dibuka tahun 1984, ditujukan untuk murid SD dari kampung Tobati, (SD kampung Enggros berada di Tanah Hitam Abepura). Namun kenyataannya SD ini digunakan juga oleh murid dari kampung Enggros.

“Jika pagi hari hujan deras, guru-guru tidak bisa mengajar. Karena jalanan ini menjadi sangat licin, belum lagi resiko dipatok ular karena hutan ilalang disini cukup lebat,” ujar Ibu Yerisetouw. Demikian juga dengan murid-muridnya, jika hujan mereka tidak bersekolah. Karena untuk mencapai sekolah mereka menyebarangi laut dengan menggunakan perahu motor (speedboat) yang lamanya sekitar 15 menit dari kampung Enggros dan sekitar 10 menit dari kampung Tobati.

Beberapa murid berpapasan dengan kami, ada yang menggunakan sepatu, ada juga yang menenteng sendal jepit. “Sudah beberapa kali kami ingin menertibkan pemakaian sepatu, namun selalu batal dilaksanakan. Kami kawatir jika harus menggunakan sepatu, ada beberapa murid yang tidak dapat bersekolah lagi. Jadi kami bebaskan saja,” ujar Ibu Watimuri. Dari 10 orang guru, hari ini hanya delapan orang yang mengajar, sedangkan muridnya hadir semua. Mereka sedang menghadapi ujian kenaikan kelas (UKK).

Ketika sampai di sekolah, kami disajikan pemandangan teluk Yotefa nan indah. Berhadapan dengan kampung Tobati dan kampung Enggros tertutup pulau Debi. Bangunan sekolah ini cukup bagus dan terawat, terdiri dari enam kelas, dan satu ruang guru. Saat inipun SD ini tengah melakukan pembangunan dua ruangan, ruang perpustakaan dan ruang guru.

Sekolah ini dilengkapi juga dengan 6 rumah guru yang letaknya di samping sekolah. 4 rumah sudah selesai dibangun, sedangakan dua lainnya sedang dalam proses pembuatan .Jumlah murid disekolah ini hanya 105 anak. Jumlah terbesar di kelas I, yaitu 30 orang. Semakin tinggi kelas, jumlahnya semakin sedikit, contohnya kelas IV hanya diisi oleh 18 siswa. “Kebanyakan murid SD di sini pindah, karena untuk mencapai SD ini sangat sulit, tapi setengahnya menyelesaikan di sekolah ini,” ujar ibu Mansawan yang tinggal di salah satu rumah guru hampir dua bulan ini. Tanpa listrik, dan hanya sedikit signal Hp. Kadang ada kadang tidak. Untuk menemaninya, ia sering mengajak beberapa murid menginap bersamanya.

Sepulang sekolah mereka harus menunggu jemputan. Anak – anak Tobati sering terlambat dijemput, karena jemputan harus menjemput siswa SLTP terlebih dahulu di pantai Hamadi, sebelum menjemput mereka, lalu pulang ke kampung. Sedangkan anak-anak Enggros langsung dijemput. Murid kelas I harus menunggu hingga kelas VI pulang, lalu pulang bersama sama.
Sambil mengisi waktu, mereka bermain. Siang ini, murid –murid asik melempar jambu merah sambil menunggu jemputan. Satu per satu jambu jatuh ke tanah.

Elisabet Meraudje (9) juga asik melempar. Jambu ditumpuk, iakemudian melempar lagi. Dahulu untuk sampai ke sekolah mereka harus mendayung berkilo klo meter, namun sudah dua tahun terakhir ini kedua kampung ini mendapatkan bantuan speedboat dari Wahana Visi Indonesia (WVI), lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pendidikan anak. “Dulu, kalo mau ke sekolah tunggu teman atau saudara, kalau su empat orang ka, baru kita berangkat sama-sama. Karena harus dayung,” ujar Elisabet. Setiap paginya, setelah sarapan kue dan minum teh, demikian jawaban sebagian besar murid disini, mereka lalu berkumpul di dermaga. Lalu speedboat mengantarkan mereka.

Dra. Grace Ursia, Act Manager ADP Port Numbay Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) mengatakan speedboat itu bantuan untuk kelompok swadaya masyarakat di kampung (KSM) di kedua kampung. Speedboat ini juga merupakan usulan masyarakat karena adanya kebutuhan dari masyarakat ini. Harapannya selain untuk mengantarkan anak sekolah, speedboat juga dapat menjadi penghasilan tetap masyarakat, “Selama ini speedboatjuga dipergunakan untuk alat transportasi umum masyarakat di kedua kampung. Uangnya kemudian dipergunakan untuk membeli bensin juga diputar untuk pengembangan usaha-usaha lainnya,” ujar Grace. Laporan terakhir, tabungan masyarakat kampung Enggros sudah mencapai Rp. 28 juta. Rencananya Speedboat lama akan dijual dan dengan tambahan uang tabungan KSM, akan dibelikan speedboat yang lebih besar.

Kebutuhan akan speedboat yang lebih besar khususnya untuk kampung Enggros, sudah cukup mendesak. Hal ini dapat dilihat ketika para murid ini dijemput. Speedboat milik kampung Enggros nyaris tenggelam. 65 murid SD harus berdesak desakan, air laut hampir saja masuk speedboat ketika murid ke-65 naik. “Duduk baik-baik, ayo sorong,” kata Alfius Meraudje, operator speedboat kampung Enggros. Ia berusaha mengatur anak-anak agar seluruhnya dapat termuat dalam perahunya. Ia menyalakan mesin dan speedboat melaju perlahan-lahan. Dibandingkan dengan Speedboat kampung Tobati yang berisi 17 murid SD dan 7 siswa SLTP, speedboat kampung Enggros penuh sesak.

“Dari hasil kajian perkembangan siswa selama dua tahun ini, nilai kelulusan siswa lebih baik demikian juga jumlah murid yang bersekolah di SD ini bertambah,” ujar Grace Ursia. Sebelumnya, banyak murid SD Negeri Inpres Kampung Tobati yang kemudian tinggal dengan sanak keluarga di kota agar dapat bersekolah dengan mudah. Akhirnya banyak murid murid ini terpisah dari orang tuanya. Dengan adanya speedboat murid murid dapat tetap tinggal bersama dengan orangtua mereka dan itu sangat berarti buat perkembangan psikologi anak. (Angel Flassy)
-------------------------------------
Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com/2008/06/14/sekolahku-di-tepi-laut/

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut