Suka Duka Nona Guru Sukarela yang Sudah Empat Bulan Belum Terima Honor

Senin, Juni 09, 2008

Hari itu Sabtu tanggal 11 Februari 2008 adalah hari yang bersejarah bagi dua perempuan muda Helriaty Sababalat, 22 tahun dan Angel Meylani 25 tahun menginjakkan kaki di bumi Keerom tepatnya di Kampung Krikuh, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keroom, Provinsi Papua untuk menjadi guru sukarela.

Kedua dara manis ini dan ratusan guru sukarela lainnya merupakan alumni Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastama (STTIA) Jakarta Timur. Kedatangan mereka ini karena atas permintaan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu untuk jadi guru kontrak atau guru sukarela. Sayangnya sudah empat bulan nona guru ini belum menerima honor atas hasil kerja mereka selama beberapa bulan.

Panggilan untuk melayani ke tanah Papua khususnya di wilayah perbatasan RI dengan PNG tak membuat kecut hati kedua perempuan untuk membagi ilmu bagi anak anak di Kampung Krikuh. Hanya semangat dan rasa mengasihi yang mendorong mereka berdua untuk terus bertahan sejak Februari hingga Mei sekarang ini.

Letak Kampung Krikuh cukup jauh sekitar ribuan kilometer arah Timur Kota Jayapura atau kurang lebih tiga jam saja dari ibukota Provinsi Papua. Cilakanya lagi kalau musim hujan tiba, sepeda motor tidak bisa melewati jalan menuju Kampung Krikuh karena akan disambut kubangan lumpur dan becek. Memang jalan ke kampung itu belum diaspal, sehingga perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati Kampung Yety yang itu berarti juga melalui melalui hutan rimba yang kayunya semakin menipis akibat ulah para penebang kayu dan kemudian menyeberangi sungai besar Yety dan sungai Bewang.

Pendidikan di Kampung Krikuh sangatlah tertinggal dan menyedihkan jika dibandingkan dengan pendidikan di kota besar seperti Kota Jayapura. Walaupun SD Inpres Krikuh sudah didirikan sejak tahun 1994 secara swadaya oleh masyarakat, namun hingga tahun 1998 hanya ada satu guru yang mengajar di sekolah ini.

Menurut pengakuan Angel berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT), awalnya mereka diminta untuk mengabdi di Tanah Papua karena melihat pendidikan Papua mempunyai banyak kelemahan antara lain, pendidikan kurang berkualitas, kurang guru dan guru tidak betah melayani di daerah terpencil. Untuk itu Angel, Herliaty dan seratus dua puluh orang guru diminta secara sukarela. “Karena siapa yang mempunyai hati mengasihi pastilah akan melayani dan mencintai pekerjaannya biar di mana pun orang itu ditempatkan,” ungkap Angel

Kehidupan keseharian dua nona guru ini sangat diterima oleh masyarakat kampunng, bahkan anak-anak SD Inpres krikuh sangat bangga karena memiliki guru yang penyayang. Walau Kepala Sekolah sering kali tidak ada di tempat, tapi kedua guru tersebut tetap menjalankan proses belajar mengajar.

Proses belajar mengajar tetap berjalan mulai Senin sampai Sabtu. Jam tujuh tepat lonceng sekolah berbunyi, anak-anak bergegas berangkat menuju ke sekolah. Dari 30 murid SD yang memakai sepatu hanya tiga orang anak. Sedangkan yang lainnya kaki telanjang atau tidak memakai sepatu. Tetapi mereka semua memiliki baju seragam merah putih.” Sebelum memasuki kedalam ruang kelas, anak-anak diberi latihan baris-berbaris dan mengerek bendera setiap hari. Selanjutnya, kuku-kuku murid-murid akan diperiksa satu persatu, kalau ada yang panjang dan kotor, maka kuku anak tersebut akan dipotong,” ujar Angel yang kesehariannya mengajar kelas satu dan dua.

Beda halnya dengan Angel, Meyliaty Sababalat asal Toba-Samosir mengatakan waktu pertama kali mereka datang dan melihat sangat prihatin melihat kondisi SD yang hanya memiliki tiga ruang kelas, tidak memiliki ruang guru, tidak memiliki meja, bangku, papan tulis bahkan hanya berlantai tanah liat. Meja dan kursi dibuat memanjang lima bersap. Sewaktu hujan turun, ruang kelas akan berbecek karena rembesan air. “ Itu jelas sangat menganggu proses belajar di sekolah,” tutur Meyliaty dengan logat Batak.

Lanjut Meyliaty, tiap Jumat murid-murid diajarkan senam dan kebanyakkan murid-murid salah melakukan gerakan. Apa lagi pada saat menyilang kaki kebelakang, banyak jatuh tersungkur ke tanah. Tapi syukurlah banyak dari mereka yang berusaha dengan sedikit demi sedikit akhirnya.

Meyliaty melihat pendidikan di SD Impres Krikuh secara kasat mata masih tertinggal jauh dibandingkan dengan saudara-saudara yang ada di belahan kota lain. Pertama kali mengajar banyak sekali kendala yang dihadapi, mulai dari tidak bisa membaca, tidak bisa menulis bahkan suka melawan guru. Tapi dengan visi misi yaang diembani yakni : Melayani yang tak dilayani, Menjangkau yang tak terjangkau dan mengasihi yang tak dikasihi. Karena itu merupakan panggilan, maka kedua guriu tersebut akan bertahan. Walau sudah empat bulan lebih tidak menerima honor tapi Tuhan tetap peliharan dalam segala hal.

Untuk masalah makan selama berada di kampung Krikuh, kedua nona guru tidak kuatir sama sekali. Karena masyarakat yang memberikan mereka berdua bahan makanan seperti beras, supermi, garam, vetsin, sabun mandi dan cuci. Sedangkan untuk kapur dan buku tulis, biasanya mereka berdua pesan kalau ada masyarakat yang turun ke Kampung Yety untuk perlenhgkapan sekolah. Mengenai buku paket atau cetak, masih mengunakan buku lama dan buku yang di berikan oleh Dinas P dan P sewaktu mereka di tempatkan.

Selain mengajar di sekolah, kedua nona guru ini masih menyibukkan diri dengan melakukan pekerjaan rumah. Mereka mempunyai kebun sayur sendiri di belakang rumah Kepsek dan taman bunga di sam-ping kiri matahari jatuh. Mereka juga menyempatkan diri masuk hutan untuk memetik sayur genemo bersama anak dan orang tua murid.

Terlihat dari raut wajau kedua nona guru tersebut memancrakan aura kebahagia. Karena mereka diterima sebagia bukan sebagai guru, tapi sebagai anak. Sehingga Meyliaty dan Angel merasa berada di Kampung sendiri.

Urbanus Bawangkir, lima tahun, senang sekolah karena bisa baca tulis dan mendengar cerita agama. “Kak, stiap mau mulai belajar dan selesai belajar, kami diajarkan untuk benryanyi lagu sekolah minggu dan berdoa. Apa lagi kalau pelajaran agama, itu yang paling saya senang, karena dengar cerita dalam Alkitab,” ungkap Urbanus.

Urbanus dan Kaknya Eci, tujuh tahun, sangat tidak menginginkan kalau sampai ibu guru pulang. Karena selama ini tidak ada guru yang mengajar sebaik mereka berdua.
Sementara itu Kepala Kampung Krikuh Tinus Bewangkir (36) tahun mengatakan selama ini sekolah tidak berjalan dengan baik, bahkan pernah sekolah fokum dari tahun 2005 sampai septerber 2007. Karena kepala sekolah mempunyai banyak kepentingan di kota Arso seperti mengurus gaji dan keluarganya. Sehingga sampai kapan pun warga Kampung Krikuh akan mempertahan kedua nona guru ini agar tetap mengajar di SD Inpres Krikuh.

Soal dana BOS selama sekolah ini didirikan sampai saat ini, Kepala Kampung dan masyarakat Krikuh tidak tahu menahu besar kecilnya dana BOS. Karena tidak ada transpanran dari Kepsek untuk orang tua murid. Sedangkan untuk dana OTSUS beasiswa pendidikan, oarang tua tidak pernah mendapat surat pemberituhan secra resmi dan tertulis. Masyarakat juga bingung dana-dana tersebut digunakan untuk apa, sedangkan bangunan SD serta meja kursi masih seperti dulu. (Carol Ayomi)
--------------------------------------------
Sumber:http://tabloidjubi.wordpress.com

2 komentar:

selaluriang mengatakan...

salam kenal dari NONA GURU dari Tuban, kota kecil di pulau Jawa.
BAru saja saya posting tentang perjuangan guru di Papua.
silahkan di buka di blog saya.

semoga kita selalu bisa berbagi

vista situmeang mengatakan...

hi there.. saya cuma mau mengucapkan terimakasih buat semua yg udah memberanikan diri untuk memegang tugas suci menjadi guruya di pedalaman manapun itu. Saya pernah memiliki hasrat utk itu tp padam karena ketidakberanian mengambil keputusan.. Keep on moving coz God bless u all

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut