Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru

Jumat, Juni 06, 2008

(The Young, The Education and The Challenges of New Era)

Oleh David Misiro*)

“Men and nations can only be reformed in their youth, they become incorrigible as they grow old. Manusia dan bangsa-bangsa hanya dapat dibentuk selagi muda, mereka tidak dapat diperbaiki lagi sesudah menjadi tua,” demikian kata seorang tokoh Perancis terkenal Jean Jacquis Rousseau.

Menarik sekali bahwa Rousseau melihat adanya kesejajaran antara perkembangan hidup manusia dan suatu bangsa. Ada dua pokok pikiran yang kiranya relevan bagi kehidupan generasi muda kita (Papua) sebagaimana disoroti oleh Rousseau bahwa pada masa itulah “The Golden Age” (masa muda, masa emas) proses pembentukan dan perbaikan itu berlangsung.

Adalah harapan saya semoga pemikiran-pemikiran berikut yang terbentuk dalam suatu konfigurasi thema ”Pemuda, Pendidikan dan Tantangan Zaman Baru” ini akan ada nilainya bagi Anda, baik sebagai pemuda, pelajar dan mahasiswa yang sedang bercita-cita membangun suatu hari esok yang cemerlang dan suatu hari lusa yang lebih gemilang --- suatu masa depan yang lebih baik bersama keluarga, handai-taulan, bersama rakyat, dan bangsa dan negeri-mu Papua --- bahkan bersama si dia yang sangat Anda cintai.


The Young!

Siapa sebetulnya pemuda itu? Pasti ada banyak pendapat entah dari sudut pandang manapun: biologic, paedagogic, antropolgic, sosiologic maupun politic. Pemuda adalah golongan usia muda, entah pelajar, mahasiswa, kelompok usia muda lainnya dan yang sudah bekerja (jadi pengawai negeri sipil atau swasta tidak memandang masih bujang atau sudah menikah). Pemuda tergolong generasi muda, generasi baru. Merekalah yang diharapkan menjembatani perubahan zaman. Mereka dikategorikan sebagai kelompok usia muda antara 17 tahun hingga 52 tahun. Kalau remaja berusia antara 13;0 tahun hingga 16;0 tahun. Masa remaja berlangsung singkat, tidak lama. Masa transisi antara 53;0–59;0 dan di atas usia 60;0 adalah generasi tua. Masa transisi pun berlangsung singkat.

Jadi seseorang (entah laki atau perempuan) jikalau tidak pernah melalui dan menikmati masa remaja-nya atau masa muda-nya, perlu dipertanyakan, ketika itu kau ada di mana ? Sebab jika seseorang tidak pernah menapaki masa muda-nya atau masa remaja-nya dengan baik, lalu dikemudian hari dia mengalami guncangan hidup dalam kehidupan rumah tangga, pasti ada yang menyindir bahwa dia lagi memasuki “masa puber ke-2” dan seterusnya (malukah?).

Topik ini sengaja dipilih karena adanya rasa tanggungjawab moral terhadap generasi muda kita Indonesia dan Papua khususnnya, terhadap negeri dan bangsa-ku sendiri. Saya ingin bertanya seperti Max Weber (sarjana Jerman terkenal) kepada generasi muda kita “Di manakah tempatnya bagi generasi muda kita dalam sejarah? Apakah mereka hanya mau menjadi pengekor atau tidak haruskah mereka menjadi sesuatu yang lain yang lebih besar pada zaman baru ini ?

Wah..., rupa-rupanya Max Weber melihat bahwa ada generasi muda yang hanya mau bermain-main dalam sejarah, mereka tidak bersungguh-sungguh membangun negerinya, bangsanya. Dia (Max Weber) murka sehingga berkata seperti itu. Max Weber melanjutkan “Apakah kalian tidak bisa tampil sebagai “homo-sapiens (manusia pemikir), atau “homo-faber (manusia kerja) ataukah kalian hanya mau menjadi “homo-ludens (manusia bermain, pengekor)”? Walau demikian murkanya, toh pada akhirnya Max Weber mengajak seluruh generasi muda di negerinya agar segera bangkit dari kesuraman, dari kedurjananan, dan dari kekelamanan. Bangkitlah! Jadilah Pelopor, Bukan Pengekor! Sebagai pelopor, pemuda hendaknya tampil sebagai “agent of reasoning” tapi juga harus lebih dari itu, sebagai “agent of change”. Simaklah kata-kata Max Weber tadi sebagai dorongan dalam menjalani zaman baru ini. Syaloom!

***

Mari kita maju SELANGKAH lebih jauh lagi! Tidak terasa kita sudah berjalan begitu cepat meninggalkan zaman lama dan kini kita sudah dan sedang berada di dalam ”zaman baru”. Zaman yang penuh tantangan dan perubahan. Sepertinya kita telah bermimpi dan mimpi itu sudah menjadi kenyataan. Namun mimpi yang sudah menjadi ”kenyataan” itu belum sepenuhnya kita olah dan nikmati di ”zaman baru” ini. Kita baru berjalan 9 tahun di dalam ”zaman baru” ini dan sebentar lagi kita memasuki dekade pertama di abad baru ini. Kita baru saja dan sedang membersihkan jalan-jalan yang sudah hancur yang dibuat oleh anazir-anazir tak bertanggungjawab di ”zaman lama” seolah-olah ada generasi masa lalu yang tidak mau menyiapkan dan menopang generasi penerus bangsa dan negeri ini berjaya di masa datang. Lebih banyak urus isi perut lalu membunuh dan menghancurkan bangsa dan rakyat ini daripada menyiapkan generasi baru bangsa ini untuk membangun diri menghadapi tantangan masa depan. Luar biasa kondisi masa lalu yang unik tapi juga penuh kehebatan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan.

Education ust be taking the first place

Pendidikan tetap diberi tempat nomor satu dalam membangun bangsa dan negara. Disinilah tempatnya pemuda mempersiapkan diri. Oleh karena itu, setiap sistem pendidikan yang sehat selalu berusaha memahami zamannya dan berusaha pula memenuhi tuntutan-tuntutannya. Setiap sistem pendidikan selalu berusaha mempersiapkan masyarakat yang dilayaninya, mengembangkan wawasan-wawasan baru untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan yang nampak akan datang. Interaksi antara sekolah dan masyarakat seperti ini lalu melahirkan watak yang dinamis pada sistem pendidikan. Dan dinamika ini tercermin pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dan dilakukan oleh sekolah-sekolah yang terdapat dalam sistem pendidikan tadi. Perubahan-perubahan ini tidak terasa selama kita sedang menjalaninya. Kita baru sadar akan terjadinya perubahan ini kalau kita menengok ke belakang, ke masa lalu. Kita lalu berkata: “Alangkah bedanya pendidikan dahulu dengan pendidikan sekarang”.

Pada tahun 1997 yang lampau, kita berada di ambang perubahan. Kita sudah meninggalkan “zaman lama”, dan kini berjalan di dalam“zaman baru”. Kata para ahli, “zaman baru” yang kita jalani ini sangat berbeda dari “zaman lama” yang kita sudah tinggalkan. Tapi apalah dikata bila dibuktikan dengan kondisi real dan obyektif yang kini kita jalani sekarang? Rasanya masih begitu banyak manusia Indonesia pada umumnya dan khususnya bagi rakyat Papua masih cenderung ingin mempertahankan kondisi “zaman lama”. Zaman lama yang penuh kehebatannya, zaman yang penuh perjuangan pula, tetapi yang harus ditinggalkan pula. Kita butuh perubahan dan perubahan itu terdapat pada “zaman baru”. Adakah Anda merasa bahwa Anda sedang berada di dalam ”zaman baru” itu? Ataukah Anda masih terbuai dan terlena dengan sisa-sisa kenikmatan bujukan ”zaman lama” yang sudah berlalu seolah-olah pula Anda sudah berubah padahal Anda sementara ini sedang berjalan-jalan di dalam suatu alam khayalan yang masih mengasyikkan alias Anda sedang ketinggalan kereta? Bangkit dan bergandeng tangan berjalan menuju puncak impian kita di ”zaman baru” ini. Ayoh, quick wake-up!

Berikut, saya akan terus bernyanyi dan bernyanyi terus tentang lagu ”Pendidikan” yang menjadi fokus perhatian saya dan tentunya Anda juga. Saya terus berlari menuju impian saya ”Venture for the Victory, Striving for Superiority” bagi Rakyat-ku, bagi Negeri-ku Papua.

Apabila pandangan-pandangan ini diterima sebagai kebenaran, maka kita lalu bertanya: “Tidakkah pendidikan kita, harus mempersiapkan diri untuk menanggapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan datang?” Apakah pendidikan kita tidak wajib mempersiapkan anak-anak kita untuk belajar menguasai berbagai pengetahuan praktis dan keterampilan yang akan diperlukan di “zaman baru”? Bagaimanakah bentuknya tanggungjawab keluarga-keluarga, masyarakat luas dan pemerintah terhadap pendidikan nasional kita yang mau tak mau mengalami perubahan akibat pergeseran nilai dari “zaman lama” ke “zaman baru”? Zaman baru sudah kita masuki dengan runtuhnya zaman lama termasuk yang dijuluki dengan “Orde Baru” atau yang sering dijuluki sebagai “Orde Baru-nya Soeharto (Orbato)” pada tahun 1998.

Sembilan tahun sudah kita jalani “zaman baru” (1998-2007) dan segera kita masuki tahun ke-10. Tapi rasanya kita masih berjoget di tempat saja? Banyak pertanyaan bermunculan: Benarkah kita telah memasuki “zaman baru” yang menjanjikan itu? Jika benar bahwa kita telah memasuki “zaman baru”, manakah tanda-tandanya? Memangnya “zaman baru” itu yang ditandai dengan lahirnya “Undang-Undang Pendidikan” yang baru (UU-RI Nomor 20 Tahun 2003) ? Ataukah UU Otsus No.21/2001 (yang telah bermasalah itu) bagi Rakyat Papua? Dengan kata lain, kita bertanya “Apakah memang sudah tiba waktunya bagi kita untuk melakukan langkah-langkah dasar yang akan mendorong sistem pendidikan kita menata dirinya kembali, mentransformasikan dirinya menjadi sistem pendidikan baru yang mampu menjawab tantangan dalam masyarakat kita? Akan lahirkah Perdasus-Perdasus, Perdasi-Perdasi untuk mendukung UU Otsus No.21/2001 demi mensejahterakan Rakyat Papua? Apakah ada Perdasus yang qualify pengganti LOSO dan MOSO di masa silam? Ataukah akan muncul manuver-manuver politik yang lebih licik lagi untuk menghabiskan Rakyat dan manusia Papua di tanah leluhurnya? (Saat ini UU Otsus No.21/2001 tengah direvisi/diamandemenkan oleh oknum tertentu – Cs. Jika amandemen UU Otsus No.21/2001 itu memiliki takaran yang lebih tinggi berpihak kepada Jakarta, harus ditolak oleh rakyat Papua).

Tanggungjawab Pemerintah

Tanggungjawab pemerintah merupakan lanjutan dari apa yang dirintis oleh keluarga dan masyarakat. Realisasinya dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan sub-sistem lainnya. Hampir lebih banyak tanggungjawab pendidikan dibebankan kepada pemerintah. Pemerintah menganggarkan dana untuk pembangunan pendidikan nasional kita mulai dari TK hingga PT (Perguruan Tinggi), termasuk pendidikan keterampilan. Namun demikian dewasa ini masih banyak guru yang tidak sejahtera karena tidak hidup di dalam rumah yang baik dan sehat sehingga dapat menjalankan fungsi mengajarnya secara baik dan tenang pula.

Selanjutnya untuk mengatur suatu sistem pendidikan nasional yang serasi terpadu dan berkesinambungan, maka Pemerintah Negara kita mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting yang mengatur sistem pendidikan nasional kita. Kebijakan-kebijakan penting yang lahir dewasa ini untuk mengatur dan menata kehidupan pendidikan nasional kita adalah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang dicantumkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003, berikut Peraturan-Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang (i) Pendidikan Pra Sekolah, (ii) Pendidikan Dasar, (iii) Pendidikan Menengah, (iv) Pendidikan Tinggi, (v) Pendidikan Luar Sekolah, (vi) Tenaga Kependidikan, dan (vii) Peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan Nasional, serta (viii) Keputusan-Keputusan Mendiknas RI tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi.

Kalau dilihat soal biaya yang diperuntukkan membangun Papua sebetulnya jauh lebih besar apabila dirasionalisasikan dengan populasi penduduk Papua. Penduduk di Tanah Papua diperkirakan 2, 6 Juta jiwa. Orang Papua sendiri 1,4 Juta orang dan non-Papua 1,2 Juta orang. Mengapa anak-anak Papua tidak diistimewakan soal biaya pendidikan? Misalnya pembebasan SPP, pemberian uang kos, uang buku, dan lain-lainnya?! Uang lebih banyak bertengger di kantong-kantong para pejabat daripada turun sampai di bawah di tangan rakyat, apalagi untuk menghidupkan dunia pendidikan saja harus memberatkan orangtua siswa lewat Komite Sekolah. Ini tidak benarrrr!

Peranan Pendidikan dan Sumbangannya Dalam Pembangunan Bangsa

Bangsa Indonesia telah menjalani kemerdekaannya 62 Tahun. Dengan usianya yang semakin tinggi itu tidak berarti bahwa bangsa ini sudah hebat dan sudah sejahtera dalam segala segi kehidupan. Di sisi lain bangsa ini masih dijajah oleh pemimpin-pemimpinnya sendiri dengan cara-cara menciptakan ketidak-stabilan, pembunuhan di mana-mana, permusuhan antar sesama, pembiaran penderitaan yang berkepanjangan, dan sebagainya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembangunan ini, di antaranya alam yang kaya, indah dan beriklim tropis, penduduk yang banyak dan potensial disertai kebudayaan bangsa yang berbhinneka tunggal ika. Namun demikian terdapat empat faktor dominan yang membawa keberhasilan itu.

Pertama, semangat juang, patriotisme, dan tekad rakyat, para pejuang, dan penerus kemerdekaan yang tiada kenal menyerah dan berhenti dengan dilandasi nilai-nilai luhur pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ketangguhan semangat juang dan patriotisme itu, tampak tatkala adanya penyimpangan-penyimpangan.

Kedua, dalam perkembangannya, bangsa Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR/MPR memberikan kesepakatan bahwa pembangunan nasional pada hakekatnya bertujuan untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Manusia menjadi inti pembangunan, baik sebagai pelaku maupun sebagai tujuan. Betapa tidak manusialah yang merasakan pahit manisnya pembangunan itu dan yang akan meneruskan pembangunan itu. Kualitas manusia Indonesialah yang akan membawa keberhasilan bukan terletak pada kekayaan alam yang melimpah ruah.

Ketiga, perekonomian yang semakin meningkat dengan laju pertumbuhannya mencapai di atas 5 %. Tingkat perekonomian ini tampak pada pembangunan fisik, sarana dan prasarana yang semakin baik, yang memberikan taraf kesejahteraan rakyat yang semakin meningkat.

Keempat, pendidikan bangsa yang semakin maju dan meningkat. Kenyataan ini dapat dilihat bahwa sebagian besar tenaga pembangunan di Indonesia, berangsur-angsur dilakukan oleh tenaga hasil pendidikan dalam negeri, dan sebagian kecil yang beruntung memperoleh kesempatan studi di negara maju, pada umumnya berhasil, bahkan ada yang mendapat predikat cumlaude. Itupun menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia cukup baik. Keadaan ini memunyai dampak positif terhadap pendapatan sebagian dari kesejahteraan rakyat. Perekonomian Indonesia semakin meningkat membaik dari tahun ke tahun. Pendapatan perkapita pun meningkat, contohnya dewasa ini pendapatan per kapita sekitarUS$ 700.

Permasalahan dan Tantangan Masa Depan Bangsa

Kemajuan dan sumbangan pendidikan yang demikian besar terhadap pembangunan bangsa, tiada berarti luput dari permasalahan. Justru masalah utama yang sangat mendasar adalah kualitas produktivitas manusia Indonesia dan masyarakat Indonesia yang relatif rendah. Salah satu penyebabnya sekitar 70 % tenaga kerja kita masih berpendidikan maksimal SD. Keadaan ini wajar bila bangsa Indonesia belum mampu menghasilkan barang dan jasa sebagai karya yang bermutu, menarik dan mudah dapat bersaing, bermitra dan mandiri dengan hasil barang dan jasa bangsa-bangsa maju lainnya yang rakyatnya berpendidikan lebih tinggi.

Permasalahan ini akan semakin tampak apabila dilihat secara kuantitatif, yaitu bahwa setiap tahun 1,2 juta (38 %) lulusan SD tidak dapat melanjutkan studi ke SLTP dan sekitar 1,2 juta anak putus sekolah dasar. Sedangkan anak SLTP, 455 ribu tidak dapat melanjutkan studi ke SLTA dan sekitar 454 ribu anak SLTP putus SLTP. Ini mempunyai arti bahwa sekitar 2,3 juta anak SD dan SLTP keluar sekolah, sehinggga selama Repelita VI diperkirakan akan berjumlah sekitar 16,5 juta dari seluruh populasi SD dan SLTP sebanyak 36,44 juta anak (Sumber Depdikbud, 1994).

Secara lebih luas, sejak awal tahun 1969/1970, secara garis besar Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan Master Design pembaharuan pendidikan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) menggariskan bahwa permasalahan pokok pendidikan berkisar pada pemerataan, mutu, relevansi (link and match) dan efisiensi pendidikan. Keadaan itu relatif konstan, dan dijadikan strategi dasar pembangunan pendidikan hingga sekarang pada zaman baru ini.

Selain dari masalah tersebut di atas, dampak globalisasi yang tidak dapat dihindari, terutama pasca Deklarasi Bogor, dalam rangka menyongsong masyarakat industri, investasi dan perdagangan bebas tahun 2020 di kawasan Asia Pasific, maka tantangannya akan semakin besar bagi bangsa Indonesia, yaitu dituntut memiliki kemampuan bersaing, bermitra dan mandiri atas dasar jati diri kita sendiri.


Pendidikan Salah Satu Kunci Keberhasilan Pembangunan Bangsa

Menghadapi permasalahan dan tantangan masa depan bangsa, memerlukan pendekatan secara simultan dalam arti melibatkan kepedulian penanganan pelbagai pihak. Namun demikian wahana utama atau salah satu kunci penentu keberhasilan pada masa lalu dan masa depan bangsa ialah pendidikan. Melalui pendidikan bangsa yang baik, diharapkan bangsa Indonesia akan mampu bersaing, bermitra dan mandiri di atas jati diri bangsa. Ini merupakan salah satu strategi bahwa pendidikan adalah salah satu penentu keberhasilan Pembangunan.

Memperhatikan permasalahan dan tantangan masa depan tersebut, pendidikan Indonesia dewasa ini telah memiliki UU RI Nomor 20 Tahun 2003 yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional kita dan Peraturan-Peraturan Pemerintah yang cukup lengkap. Namun apakah sudah siap atau belum sekalipun sangat memerlukan pengelolaan yang sangat konsepsional mendasar tetapi dapat dilaksanakan dan ditangani secara profesional dan proporsional?

Disinyalir sampai saat ini pendidikan Indonesia masih menekankan pendekatan tradisional, pengetahuan menjadi kekuatan utama (knowledge as a power) yang masih bersifat fragmentaris, belum atau kurang menggunakan pendekatan perspektif terpadu yang mengutamakan pendidikan sebagai suatu kekuatan utama (education as a power), dimana manusia menjadi kekuatan utama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan dalam kurun waktu yang cukup jauh. Oleh karena itu dalam rangka memacu laju pembangunan, kebijakan nasional yang memberikan prioritas pembangunan ekonomi seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia akan sangat tepat bila disertai dengan prioritas pendidikan.

Hal ini sangat penting, karena wahana utama untuk meningkatkan kualitas manusia adalah pendidikan Namun apakah semua impian ini telah diwujudkan? Semuanya tinggal impian. Indonesia kembali disibukkan dengan memberantas dosa-dosa masa lalu mantan Penguasa Orde Baru, Soeharto. Waktu berjalan terus dan tak terasa kita memasuki Era Baru, Abad Baru atau Zaman Baru. Kita terus berbenah diri walau belum ditemukan seorang pemimpin yang cocok untuk mengantar bangsa Indonesia keluar dari lembah nista ini. Barangkali SBY!? Kita lihat nanti!


The Challenges and the Changes!

Kecenderungan-kecenderungan baru pada zaman lama dan abad XXI yang dengan sendirinya memengaruhi pendidikan nasional kita. Secara global, apakah ciri-ciri pokok dari kehidupan dalam abad XXI yang baru saja kita jalani 9 tahun terakhir kini? Ada pelbagai pandangan mengenai corak kehidupan dalam abad baru ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan dalam masa datang nanti akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (kecenderungan fragmentasi) dalam kehidupan politik. Kedua kecenderungan ini sekarang ini sudah menjadi kenyataan di pelbagai kawasan di dunia ini.


Kecenderungan Integrasi Ekonomi Dunia

Kecenderungan integrasi ekonomi dunia terjadi di mana-mana tempat di pelbagai kawasan. Yang kita sempat merekam dan ketahui antara lain:

a. Integrasi ekonomi yang telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (E.U).

b. Di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North America Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas Amerika Utara).

c. Di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asian Pacific Economic Cooperation atau Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik).

d. Di Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area atau Kawasan Perdagangan Bebas Negara-Negara ASEAN).

Disamping kecenderungan ekonomi di atas, kecenderungan politik pun mulai dan sedang bergolak di mana-mana tempat di seluruh dunia ini, termasuk kita di Indonesia.

Fragmentasi Politik

Fragmentasi politik terjadi di mana-mana tempat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Kita dapat mencatat beberapa fragmentasi politik di beberapa kawasan di dunia dan di dalam negeri seperti:

a. Di bekas negara Yugoslavia (Bosnia, Serbia, dan sebagainya).

b. Di bekas wilayah Uni Soviet (Chesnia, Latvia, Georgia, dan sebagainya).

c. Di berbagai negara di Benua Afrika (Rwanda, Burundi, Angola, Liberia dan sebagainya).

d. Di Asia (Sri Langka, Bangladesh, India, Pakistan, Thailand, Myanmae, Indonesia, dan sebagainya).

e. Di Eropa (Belgia, Irlandia, Spanyol/separatis Basque, dan sebagainya).

f. Di Italia pun terjadi frgamentasi serupa. Liga Utara di bawah pimpinan Umberto Bossi minta status khusus kepada pemerintah pusat di Roma. Kalau tidak dikabulkan, mereka akan berdiri sendiri dan mendirikan negara baru dengan nama Padania. Kelompok ini benar-benar mampu mengurus diri sendiri, karena wilayah Italia Utara ini adalah suatu wilayah yang cukup kaya, yang memiliki tenaga kerja yang cukup terdidik.

g. Di Indonesia, terjadinya tuntutan melepaskan diri dari NKRI karena kawasan-kawasan tertentu merasa dianaktirikan dalam pelaksanaan pemerintahan, pemerintah pusat dianggap tidak jujur dalam roda pembangunan yang mengakibatkan pemberontakan terjadi di mana-mana menuntut keadilana Akibatnya rakyat berjatuhan di mana-mana, karena menganggap wibawa pemerintah dirongrong. Konflik horizontal pun diciptakan sebagai cara untuk mengganggu stabilitas bangsa seolah-olah bahwa benar-benar rakyat memberontak padahal cara yang digunakan untuk dijadikan sebagai proyek pembantaian rakyat. Kondisi ini terjadi seperti di Aceh, Maluku, Poso dan Papua. Demikian pula di dalam negeri ada perasaan bahwa sesungguhnya di dalam negara ini hidup dua bangsa yang berbeda etnis yakni bangsa Indonesia etnis Melayu dan bangsa Papua yang etnis Melanesia.

Fragmentasi di pelbagai kawasan ini terjadi karena pelbagai alasan. Menurut Senator Daniel Moynihan, kekuatan yang paling potent untuk menimbulkan fragmentasi politik sekarang ini ialah etnisitas. Kekuatan besar lain di samping etnisitas yang juga bisa menimbulkan fragmentasi politik ialah agama. Misalnya, Sudan, sampai sekarang tidak bisa mengatasi konflik Utara-Selatan yang ditimbulkan oleh masalah perbedaan agama ini. Hal yang sama ini sudah terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun yang lalu, di mana-mana di seluruh Indonesia terjadi pembakaran gedung-gedung gereja, perlawanan etnis seperti terjadi di Kalimantan, dan beberapa kawasan di Indonesia.

Faktor-faktor lain lagi yang juga dapat menimbulkan fragmentasi politik ialah bahasa dan pengalaman sejarah (in memoria passionis). Bahasa bisa menimbulkan perpecahan dalam arti bahwa perbedaan bahasa bisa dieksploitir untuk menghidup-hidupkan rasa saling tidak senang. Pengalaman sejarah dapat merupakan pemicu fragmentasi politik apabila permusuhan serta rasa saling benci yang terjadi di masa lalu setiap kali dihidupkan kembali dan diteruskan kepada generasi muda. Hal ini biasanya dilakukan dengan tujuan, agar ingatan tentang masa lalu tetap hidup dan akan memperkuat tekad generasi muda untuk mengembalikan kehormatan generasi tua. Kenangan tentang kepahitan yang diderita oleh nenek moyang di masa lalu tetap dihidup-hidupkan agar generasi muda tetap bertekad untuk “membalaskan dendam kesumat” generasi tua. Dengan cara ini lalu kita jumpai kecenderungan fragmentasi yang bersumber pada sejarah.

Dalam hubungan ini dapat disebutkan, bahwa generasi muda Indonesia menghadapi suatu persoalan pelik di masa mendatang, yaitu bagaimana mengemudikan kehidupan bangsa dan negara melalui manuver-manuver politik dengan memanfaatkan “celah-celah penyelamat (safety routes)yang terdapat antara kedua kekuatan yang saling bertentangan ini. Hanyalah apabila kita benar-benar memahami kedua kekuatan ini, akan mungkin bagi kita untuk menghindari jebakan-jebakan yang datang baik dari kekuatan ekonomi kosmopolitan, maupun yang datang dari kekuatan politik nasional.

Hanyalah dengan kelincahan ekonomis dan politis akan mungkin bagi kita untuk menghindarkan diri dari jebakan “kolonisasi ekonomi global” dan dari jebakan “chauvanisme politik nasional”.

Dalam kaitannya dengan pembangunan dunia pendidikan di tanah air, maka para arif-bijak perlu memperhatikan dan memperhitungkan dua kekuatan global ini terhadap perkembangan pendidikan nasional kita. Sebab bagaimanapun juga ada pengaruhnya kecenderungan integrasi ekonomi dunia maupun fragmentasi politik yang terjadi baik di dalam maupun luar negeri.

Ciri lain dari kehidupan dalam Abad XXI yang sedang kita jalani ini ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah Hak Asasi Manusia (HAM) --- untuk menyebutkan beberapa contoh – dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global, persoalan-persoalan yang menyangkut nasib seluruh umat manusia. Masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), di manapun terjadi, akan disoroti oleh seluruh dunia internasional. Dalam zaman globalisasi ini tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.


Dengan melihat bagaimana reaksi dua kecenderungan tersebut di atas, maka tugas kita adalah mempersiapkan anak-anak kita untuk menjalani Abad Baru ini, yang penuh dengan kenyataan-kenyataan baru dan persoalan-persoalan baru dan untuk menghadapi semuanya itu diperlukan pendidikan baru pula. Kita tidak boleh sama sekali membuat anak-anak kita menjalani kehidupan dalam zaman baru ini dengan sistem pendidikan lama, dengan cara-cara berpikir lama, cara-cara ortodox yang masih membingungkan kebanyakan guru sebagai pelaksana garis terdepan di sekolah-sekolah kita. Orientasi kita harus ke depan, ke Abad Baru ini kalaupun kita harus menoleh ke belakang ke abad lalu sebagai cermin untuk membersihkan noda-noda pendidikan yang masih menjerat kita.

Ini semua merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Keluarga harus lebih berperan lebih besar lagi bagi pembentukan kepribadian anak, menanamkan disiplin moral yang baik bagi anak, menempa jiwa anak melalui pendidikan keluarga, menanamkan nilai-nilai keagamaan sehingga kelak anak tidak tersesat di jalan hidupnya. Bagaiman pun juga, pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak dikembalikan kepada orangtua (keluarga), dalam abad dan zaman apa pun masalah ini tetap dikembalikan kepada orangtua.


Tantangan Pendidikan

Apa yang harus kita lakukan sekarang untuk mempersiapkan anak-anak kita untuk menghadapi segenap tantangan di atas? Dapatkah kita dengan sistem pendidikan kita sekarang ini membekali anak-anak kita dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat mereka pergunakan untuk menjadi tenaga kerja yang cukup produktif dalam kehidupan ekonomi Indonesia yang modern? Dapatkah kita membekali mereka dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang membuat mereka menjadi warga negara yang mau dan mampu mendewasakan demokrasi dalam masyarakat kita? Dapatkah kita mendorong mereka dengan berani menegakkan keadilan, kejujuran dan kebenaran? Mampukah untuk turut menegakkan citra yang lebih baik tentang diri kita dalam pergaulan kita dengan bangsa-bangsa lain di dunia?

Saya kira inilah secara garis besar tantangan yang kita hadapi bersama di bidang pendidikan sekarang ini. Saya tidak tahu mana jawabannya yang pasti terhadap pertanyaan ini. Pertanyaan ini perlu dijawab secara bersama. Kesan saya ialah bahwa selama kita belum dapat meningkatkan kemampuan pemuda kita dalam hal-hal yang mendasar, dalam the basics, selama itu pula pemuda kita akan kewalahan menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam zaman modern ini.

Modernitas adalah sesuatu yang telah ada di tengah-tengah kita. Untuk menegakkan kehidupan yang menjunjung tinggi manusia dalam zaman modern ini, kita harus memahami inti modernitas itu. Kalau kita tidak berhasil membantu anak-anak kita memahami inti modernitas dan tuntutan dinamika modernitas, mereka akan kandas pada lapisan lahiriah dari modernitas ini. Dan ini akan menimbulkan pelbagai persoalan. Ketidakmampuan menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan modern akan membuat mereka lari ke dunia khayalan.


Apakah yang Dapat Dipandang Sebagai The Basics Dalam Pendidikan?

Secara umum, basics ialah segenap kegiatan pendidikan yang mempersiapkan anak-anak untuk mampu menjalani kehidupan (preparing children for life), bukan sekedar mempersiapkan anak-anak untuk pekerjaan. Ini biasanya terdiri dari pelajaran-pelajaran tentang lingkungan fisik, tentang lingkungan sosial dan lingkungan budaya, dan pelajaran-pelajaran yang membawa anak ke pemahaman diri sendiri. Logika yang mendasari strategi pendidikan ini ialah, bahwa hanyalah mereka yang memahami lingkungan fisiknya, memahami lingkungan sosial dan lingkungan budayanya, serta memahami dirinya sendiri – hanyalah manusia-manusia seperti ini yang akan dapat mengarungi kehidupan ini dengan baik, dalam arti mampu hidup dan mampu menyumbangkan sesuatu kepada kehidupan.

Yang dilakukan oleh sekolah-sekolah yang mengikuti pandangan ini ialah memberikan pendidikan yang ditandai oleh tiga jenis keseimbangan, yaitu (i) keseimbangan antara pendidikan rohani dengan pendidikan jasmani, (ii) keseimbangan antara pengetahuan alam dengan pengetahuan sosial dan budaya, dan (iii) keseimbangan antara pengetahuan tentang masa kini dengan pengetahuan tentang masa lampau.

Mata pelajaran yang lazim dipergunakan sebagai wahana atau media untuk melaksanakan program pendidikan seperti ini ialah bahasa nasional, bahasa asing, matematika, pengetahuan alam (dan teknologi), pendidikan moral (agama, kewarganegaraan, pengabdian masyarakat), dan komputer, ini yang biasa disebut sebagai mata pelajaran inti (core subject matters). Di sekitar mata pelajaran inti ini disusun pelajaran-pelajaran yang dipetik dari bidang kesenian dan bidang olahraga. Dengan program pendidikan seperti ini maka ketiga jenis keseimbangan tersebut dapat dilaksanakan.

Program ini dapat diberikan dalam dua versi, yaitu versi untuk anak biasa, dan versi untuk anak-anak yang dengan kemampuan di atas rata-rata. Untuk kelompok anak yang terakhir ini diberikan perkayaan-perkayaan (enrichment courses). Ini dapat diberikan untuk mata pelajaran apa saja: bahasa, sejarah, matematika, pengetahuan alam, musik, olahraga, dan apa saja yang diminati anak. Di Sekolah Dalton (The Dalton School) di kota New York, misalnya, perkayaan dalam pelajaran sejarah ini diberikan dalam bentuk-bentuk simulasi penggalian arkeologis (simulations of archeological excavations) yang dilakukan dengan komputer. Perkayaan dalam mata pelajaran bahasa di beberapa sekolah dilakukan dengan memberikan pelajaran dalam bahasa-bahasa klasik (misalnya Sansekerta, Latin dan Yunani), atau pelajaran dalam berbagai bahasa modern (Jerman, Perancis, Spanyol, Rusia, Italia, Cina dan Jepan). Di Malaysia salah satu mata pelajaran dalam bahasa modern ini ialah bahasa Thai dan bahasa Tagalog. Perkayaan di bidang sains di beberapa sekolah diberikan dalam bentuk mata pelajaran Oceanography, pengamatan astronomis, dan fisika nuklir. Perkayaan dalam pendidikan moral diberikan dalam bentuk mata pelajaran etika, filsafat, humaniora, anthropologi, dan perbandingan agama. Dan ini semua dilakukan pada taraf pendidikan SMA.

Apakah yang sekarang dapat kita lakukan dalam situasi kependidikan kita yang penuh dengan berbagai kekurangan ini? Saya tidak tahu betul, tetapi saya rasa selalu ada sesuatu yang dapat dilakukan. Tetapi sebelum kita melakukan sesuatu, terlebih dahulu kita harus menjawab untuk diri kita sendiri pertanyaan berikut: Apakah yang kita berikan sekarang ini kepada anak-anak kita sebagai bekal untuk menempuh kehidupan lebih lanjut setelah mereka tammat SMA? Setiap orang dari kita harus menjawab pertanyaan ini. Baru setelah kita mempunyai jawaban yang jelas terhadap pertanyaan ini, akan mungkin bagi kita untuk melakukan sesuatu dalam rangka mempersiapkan anak-anak kita menghadapi kehidupan di Abad Baru ini (Abad XXI).

Dalam pandangan saya, kita tidak dapat tetap bertahan pada program pendidikan kita sekarang ini. Idealnya ialah bahwa sekolah-sekolah yang mampu diberikan kebebasan untuk mengembangkan program pendidikan (kurikulum) sendiri, yang merupakan variant dari kurikulum yang disusun pemerintah. Kurikulum pemerintah ini sebaiknya kita pandang dan kita perlakukan sebagai master model dari kurikulum nasional. Jadi kurikulum nasional itu bukan hanya satu, melainkan ada beberapa jenis. Tetapi semuanya mengikuti rancangan dasar (basic design), yang terdapat dalam kurikulum-master-model tadi.

Dalam keadaan kita sekarang ini gagasan ini jelas tidak akan dapat dilaksanakan. Dalam keadaan kita sekarang ini apa yang dapat kita lakukan masing-masing ialah berusaha melaksanakan program yang ada dengan memperhatikan kebutuhan anak dalam hubungan dengan perubahan-perubahan yang akan datang. Ini tidak mudah, tetapi dapat kita lakukan kalau kita mau.


Akhir Kalam

Barangkali penulis dinilai telah keluar jauh dari konteks judul ini, namun apa saja yang baru diutarakan bukanlah tiada artinya jikalau semua pihak (keluarga, masyarakat dan pemerintah), ingin memberi dukungan yang penuh kepada sistem pendidikan nasional kita demi menjalani “Era Baru”, suatu “Zaman Baru” yaitu Abad Baru, Abad XXI yang sedang kita jalani ini. Zaman Baru ini yang sangat sarat dengan tantangan, yang harus dijawab dengan kesungguhan dan dengan kehati-hatian. Kita diperhadapkan dengan pertanyaan yang tidak hentinya muncul dalam benak kita masing-masing adalah: Sudah siapkah kita, sudah siapkah aku, menjalani zaman baru ini? Apakah kita atau saya akan lebih banyak berperan sebagai plan-maker atau sebagai agent of change ataukah mungkin saya menjadi salah satu penghambat kemajuan dalam perubahan pada Zaman Baru ini?


Untuk Direnungkan dan Ditindaklanjuti!

Dari seluruh rangkaian uraian di atas, maka dirasa perlu untuk membuat beberapa perenungan agar kita dapat memetik maknanya demi tanggungjawab bersama terhadap pembangunan pendidikan nasional umumnya dan pendidikan di Tanah Papua.

a. Pendidikan tetap merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masing-masing komponen tersebut memunyai tugas pokok dan fungsi, antara lain:

1) Keluarga merupakan lembaga pertama dan yang utama bagi penyediaan bibit-bibit unggul sumber daya manusia (SDM) bagi masa depan bangsa. Anak harus ditempa dengan baik lewat proses awal ini dalam keluarga sebelum dilepas ke sekolah (pemerintah) dan masyarakat.

2) Masyarakat harus memberikan kontribusi dukungan yang baik bagi proses perkembangan anak, agar ia dapat menata dirinya lebih baik, bukan saja kelak sebagai “men of reasoning” melainkan sebagai “agent of change”.

3) Pemerintah merupakan penanggungjawab utama terhadap penyelamatan bangsa, penyelamatan generasi lewat institusi-institusi pendidikan formal maupun non-formal. Pemerintah dituntut menyiapkan pusat-pusat keunggulan demi proses selanjutnya untuk mencetak tenaga-tenaga unggul yang memiliki daya saing kompetitif yang tinggi, calon pemimpin bangsa pada masa depan.

b. Pendidikan tetap merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan bangsa ke depan, pada zaman baru ini.

c. Salah satu problem pembangunan adalah masalah tenaga kerja yang kurang berkualitas (SDM) dan masalah pengangguran yang kini kian membengkak. Dimanakah tempat mempersiapkan tenaga kerja yang berkualitas? Pendidikan dan pelatihan adalah tempatnya. Ingat hasil survey PERC tahun 2002 bahwa SDM Indonesia berada pada urutan 12 setelah Vietnam.

d. Kecenderungan-kecenderungan baru dunia masa kini dan pada zaman baru ini tidak lain ialah kecenderungan integrasi ekonomi dan kecenderungan fragmentasi politik baik di dalam maupun di luar negeri. Kedua macam kecenderungan ini telah ikut memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, sehingga menuntut adanya perubahan pula dalam sistem pendidikan kita demi menjawab tantangan zaman.

e. Tugas dan tanggungjawab kita adalah mempersiapkan generasi muda ini agar mampu menjalani kehidupan di Zaman baru ini, Era Baru atau Abad Baru ini. Jika tidak, mereka akan menjadi pemicu permasalah di Abad modern ini.


Rekomendasi

Dalam mempersiapkan generasi muda untuk menjalani zaman baru ini, penulis merasa berkepentingan untuk merekomendasikan beberapa hal untuk dilaksanakan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, yaitu:

1. Utamakan sekolah kejuruan baru sekolah umum. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi membengkaknya angka pengangguran.

2. Perlu diadakan ceramah-ceramah tentang pendidikan usia dini, pendidikan keluarga dan atau family-diagnostic sehingga tiap keluarga memahami betapa pentingnya fungsi keluarga bagi perkembangan anak.

3. Pentingnya pemerintah menyiapkan pusat-pusat keunggulan pendidikan demi mengantisipasi zman baru ini. Institusi terkait harus ditata dengan baik. Dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang kualifait, berani mengambil keputusan membangun dunia pendidikan dan sanggup menggerakkan dunia pendidikan.

4. Pemimpin pendidikan hendaknya lebih berperan aktif sebagai “Playing Coach” dan bukan sebagai “Planner” semata-mata. (Flexible in tactics, strong in principle).


*) Penulis adalah pemerhati masalah-masalah social-budaya-politik.

------------------------------------------

Sumber: Majalah Selangkah Edisi Januari-Maret 2008

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut