Hidup Hendaknya Berbasis Makna

Rabu, Juni 18, 2008

Oleh : Juswan Setyawan

Meaning-based life. Apakah kehidupan kita bermakna bagi diri kita sendiri dan orang lain? Bila tidak, lebih baik kita mati sajalah.

Sewaktu saya masih menjabat manajer HRD di suatu group perusahaan, Direktur Korporat HRD kami mengatakan sesuatu prinsip yang tidak akan saya lupakan seumur hidup saya.

Ia bertanya, apakah kehadiran seorang Manajer akan mampu membawa perubahan pada divisi atau departemen yang dipimpinnya. Bila tidak, maka eksistensinya sebagai Manager sama sekali tidak bermakna.

Artinya, ada atau tidaknya Manager tersebut maka sama sekali tidak ada bedanya. Kecuali hanya menjadi penambah biaya saja bagi perusahaan. Ia bukanlah menjadi asset melainkan liability bagi perusahaan tempat di mana ia berkarya.

Sejak itu saya selalu menginventarisasi dan menilai perubahan apa saja yang telah berhasil saya buat setiap tahunnya. Saat saya merasa tidak lagi mampu (atau oleh situasi manajemen tidak dimungkinkan lagi) untuk membawa perubahan, maka saya memilih untuk berhenti saja dari jabatan saya. Saya tidak sudi untuk minum dari, sekaligus ‘pipis’ pada, perigi yang sama.

“Man searching for meaning” secara orisinal berasal dari pemikiran seorang murid psikoanalis kondang Sigmund Freud. Tetapi ia lebih condong mengaku sebagai murid aliran Psikologi Personal dari Alfred Adler. Ia yang berdarah Yahudi dan kelahiran Wina bernama Viktor E. Frankl (1905 -1997), yaitu pelopor dari apa yang lebih dikenal dengan logotherapy.

Pada usia remaja 17 tahun Frankl telah mampu memberi kuliah umum pada suatu Seminar Filsafat lewat suatu makalah berjudul “Makna Kehidupan” (The Meaning of Life). Bahkan pada usia 14 tahun ia telah mampu menulis Kertas Kerja “Kita dan Proses Dunia” (We and the World Process).

Dalam logotherapi ia berpegang pada 6 asumsi dasar. 1. Manusia adalah entitas-trimatra dengan matra tubuh (soma), jiwa (psuche) dan roh (noos). 2. Hidup memiliki makna dalam segala situasi, termasuk daalm situasi yang paling malang sekalipun. 3. Manusia memiliki kemauan untuk menjadi bermakna. 4. Manusia memiliki kebebasan di bawah semua keadaan untuk mengaktifkan kemauannya untuk menemukan makna. 5. Hidup mempunyai suatu tuntutan kualitas dan terhadap mana orang harus menanggapinya bila keputusan-keputusannya ingin memiliki kualitas. 6. Setiap individu adalah unik.

Frankl tidak hanya mampu berteori kosong. Ia telah membuktikan kebenaran teorinya lewat kehidupannya sendiri dengan mampu terus “bertahan hidup” di kamp tahanan Nazi Jerman, termasuk di kamp Auschwitz di Polandia (1942-1945) sewaktu Perang Dunia II.

Hanya tekadnya yang sekeras baja telah mampu membuatnya mampu mencari makna kehidupan sekalipun di dalam dalam suasana kamp konsentrasi Nazi yang demikian mengerikan.

Bila dalam keadaan separah itu manusia mampu mencari makna kehidupannya, tentunya dalam keadaan lain yang jauh lebih memadai orangpun pasti mampu mencari dan memberi makna bagi kehidupannya masing-masing, termasuk anda dan saya.

Hidup tanpa makna sesungguhnya adalah hidup yang tidak layak dihidupi. Vita sine sensu inane est. JS.
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Wikipedia; Logotherapyinstitute.org melalui www.kabarindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut