Menggugat Sekolah

Selasa, Mei 13, 2008

oleh: Ferdinandus Setu

Akhir-akhir ini kita dikagetkan, dikejutkan sekaligus disadarkan untuk kembali menggugat konsep sekolah yang telah ada. Bagaimana tidak. Ujian Nasional (UN) yang belakangan ini menjadi program top-down ternyata menciptakan korban tidak sedikit. Banyak sekolah, baik SMP maupun SMU, yang sengaja membentuk tim khusus untuk meningkatkan ”mutu” sekolah mereka dengan cara-cara curang. Beberapa guru dipaksa atau terpaksa mengerjakan terlebih dahulu soal-soal UN sebelum ujian dimulai, lantas kunci jawaban atas soal-soal tersebut disampaikan kepada siswa. Guru dipaksa kepala sekolah. Kepala sekolah dipaksa kepala dinas pendidikan. Kepala dinas pendidikan dipaksa bupati, walikot ataupun gubernur di wilayahnya masing-masing untuk meningkatkan ”mutu” pendidikan. Alhasil segala cara pun dilakukan, termasuk dengan cara curang sekalipun. Sekolah akan mendapatkan citra buruk jika angka kelulusan di sekolahnya kecil. Hal ini tentu berujung pada ditutupnya sekolah tersebut.

Kompas, Minggu (11/5/08) menurunkan laporan ”perang Gerilya si Umar Bakri”. Kompas menulis : Kekisruhan dalam UN belakangan mungkin mencerminkan sikap bangsa yang hipokrit. Di satu sisi, pemerintah ngotot mematok standar kelulusan sebagai cermin peningkatan mutu. Saat bersamaan, standar itu dicapai dengan berbagai tipu muslihat, trik, atau lewat perang gerilya yang melibatkan para guru. Laporan pada section”kehidupan” itu benar-benar membuka mata kita untuk melakukan redefinisi atas konsep sekolah yang ada.

Redefinisi Sekolah

Banyak kebodohan tidak selalu dibawa sejak lahir tetapi seringkali diciptakan orang setelah dilahirkan ke dunia. Kebodohan yang sama kerap dilestarikan setelah orang menjadi dewasa dan hidup di tengah masyarakatnya. Untuk itu, mengupayakan kecerdasan merupakan kondisi mutlak demi humanisasi. Seorang pakar pendidikan, M. J. Lengeveld menilai bahwa pada prinsipnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik (animal educabile), makhluk yang harus dididik (animal educandum), makhluk yang dapat dan harus dididik dan sekaligus mendidik (homo educandus).

Hampir selama 30 tahun siswa SD sampai SMU tidak mengalami pendidikan yang sungguh membebaskan, tetapi justru pemaksaan dan pemasungan kebebasan berpikir para siswa. Hal ini terutama karena pendidikan di Indonesia telah lama digunakan sebagai alat politik penguasa untuk tetap melanggengkan kekuasannya dengan dalih kesatuan dan nasionalisme (Suparno, 2001:150).

Kecemasan akan masa depan pendidikan sudah berkali-kali dinyatakan oleh para pemikir pendidikan. Sinisme, satire, dan kredo yang berjuang menyingkap selubung praktik-praktik kotor pendidikan muncul tanpa henti: deschooling society (masyarakat bebas dari sekolah) dari Ivan Illich, the end of school menurut Everett Reimer, pedagogy of the oppressed dalam pandangan Paulo Freire dan the end of education menurut Neil Postman.

Neil Postman sebagai seorang pedagog dalam bukunya The End of Education (Kematian Pendidikan) menyatakan bahwa pendidikan di sekolah bisa jadi sangat konservatif, terutama ketika sekolah lebih banyak berperan sebagai tembok pembatas daripada ruang yang lapang untuk pergerakan pikiran. Proses pendidikan di sekolah tampak sebagai sosok yang tidak mengenal belas kasihan. Pendidikan, demikian Postman, juga lebih banyak mengajarkan ketidakberdayaan (Postman, 2001: viii). Sekolah, menurutnya, telah kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan bagi seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang bersinggungan dengan keberadaannya.

"Apa bedanya sekolah dengan penjara jika ruang-ruang kelas bagi siswa lebih mirip kerangkeng-kerangkeng; pintu yang tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga siswa kehilangan cakrwala optik alternatif; bangku-bangku memaku tubuh para siswa supaya tidak sedikitpun bergerak; dan tentu saja guru-guru yang berperan mirip sipir penjara, marah jika dikritik, menolak jika ada usulan, membentak jika ada kesalahan dan memukul ketika ada yang dirasakannya pantas dipukul,” demikian Postman.

Secara lebih spesifik, ada tiga sasaran emansipatorik dalam pendidikan, yaitu mengantar peserta didik menjadi:

Pertama, manusia eksplorator yang suka mencari, bertanya, berpetualang, dengan bertolak dari keyakinan bahwa manusia yang bertanya jauh lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan yang hanya pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah ada.

Kedua, manusia kreatif, pembaru, berjiwa terbuka dan merdeka, kritis, kaya imajinasi dan fantasi, tidak mudah menyerah pada nasib.

Ketiga, manusia integral yang paham dan sadar akan multidimensional kehidupan, paham akan kemungkinan jalan-cara alternatif, pandai membuat pilihan yang benar atas dasar pertimbangan yang benar, yakin akan pluralitas kehidupan sekaligus mampu mengintegrasikannya ke dalam suatu keranga pengertian dan perilaku yang sederhana (Supratiknya, 1999: 273).

Apa yang harus dilakukan?

Sekolah-sekolah kita dewasa ini membutuhkan redefinisi atas peran dan fungsinya. Menggagas redefinisi sekolah berarti:

Pertama, para murid harus diajak melihat dan memahami kebenaran sebagai alat bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan. Pendidikan harus berubah sesuai dengan perubahan masalah yang dialami masyarakat. Dewey menolak keras metode pengajaran otoriter dan yang menekankan hafalan karena ini berarti para murid tidak diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan kebenaran.

Kedua, metode pembelajaran perlu dibenahi lagi supaya lebih dialogis. Guru dan siswa saling belajar membangun pengetahuan dan mengusahakan sistem pembelajaran yang lebih demokratis.

Ketiga, perlu diusahakan kejujuran dalam pencarian pengetahuan. Persoalan menyontek, menyuap guru untuk menaikkan nilai dan memanipulasi nilai siswa, jual beli ijazah, pemakaian gelar akademik palsu, harus diberantas dengan tegas.

Keempat, policy pendidikan harus lebih otonom dan bukan sentralisasi ketat. Penyeragaman kurikulum hanyalah kamuflase dari penipuan dan kelicikan sepihak, malah membebani pelaku pendidikan di daerah-daerah. Policy UN adalah salah satu contoh nyata betapa policy pendidikan di negeri ini cenderung sentralistik. Pemerintah Pusat terlalu mendaulat dirinya sebagai ”sang maha tahu” yang berhak mendikte seluruh komponen bangsa.

Kelima, fungsi guru tetap penting. Karena itu perlu guru yang kritis, yang terbuka terhadap kritikan dan yang kritis terhadap setiap aturan dari atas.

Keenam, perlu ditingkatkan pendidikan nilai (humaniora), pendidikan budi pekerti demi penanaman nilai-nilai luhur kehidupan.

Ketujuh, menurut John Dewey, sekolah sebaiknya tidak diasingkan dari masyarakat, sehingga para siswa dapat belajar dari masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar dapat diikutsertakan dalam menghidupi dan membangun sekolah. Masyarakat adalah sekolah yang sejati. Melalui interaksi dengannya peserta didik dapat diarahkan untuk menjadi anggota masyarakat yang baik dan bertanggung jawab.

Kedelapan: orang tua adalah pendidik yang pertama dan utama. Keluarga adalah sekolah yang pertama. Karena itu fenomena home scholling yang belakangan ini tumbuh menjamur patut diapreasiasi sebagai tanggung jawab keluarga atas proses pendidikan buah hatinya.

Menutup tulisan ini, saya teringat proverbia Latin: Non scholae sed vitae discmus. Kita belajar bukan untuk sekolah tapi untuk hidup. Artinya bahwa nilai yang kita raih, angka yang kita dapat, prestasi yang kita capai di bangku sekolah bukanlah yang utama, sebab yang paling penting adalah bagaimana kita menimba sebanyak-banyak sari kehidupan dari sekolah untuk bekal perjalanan hidup kita.

Membahas sekolah, saya juga teringat satu ungkapan klasik yang cukup membekas di hati : setiap orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah, dan setiap aktivitas kita adalah belajar. Selamat ”bersekolah”.

Salam,

----------------------------------------------

Sumber: http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=8194

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut