SISWI BICARA

Senin, April 21, 2008

“Kalau Kartini Masih Hidup, Dia Pasti Sedih"

Nabire (selangkah)—Hari Ulang Tahun (HUT) tahun ini (HUT ke-129), para siswi Kolese Le Cocq d’Armandville SMA Adhi Luhur ikut berkomentar. Kepada Selangkah, Senin, (21/4), beberapa siswi Adhi Luhur berkomentar, seandainya R.A. Kartini masih hidup dan melihat keadaan perempuan Papua, dia pasti sedih.

“Seandainya, Kartini masih hidup dan melihat keadaan perempuan yang masih belum bebas dari perjuangannya, dia pasti sedih. Perempuan, di berbagai sisi masih dililit berbagai persoalan. Lebih banyak persoalan diakibatkan oleh sistem adat,” kata Fitri Apriliyani Tiran, siswi kelas XI.

Katanya, selain sistem adat, juga dipengaruhi oleh aturan-aturan lain yang mengharuskan perempun harus ini dan itu. Sebenarnya, perempuan juga memuyai kemampuan lebih seperti laki-laki. Buktinya, perempuan bisa menjadi presiden, gubernur, bupati, dan lain-lain. Laki-laki masih memandang perempuan sebagai kaum kelas dua.

Di tempat yang sama, Uma Mariani Pekey dan Inna Veronika Uropmabin, mengomentari keprihatinan yang sama. “Dari sisi sistem adat, laki-laki Papua masih menganggap perempuan sebagai kaum yang lemah dan urusannya masih sebatas domestik (rumah tangga). Padahal, perempuan juga bisa melakukan banyak hal di luar dari sekedar dapur.

“Penghargaan dan pengakuan martabat perempuan Papua hingga saat ini masih harus diperjuangkan. Jadi, intinya, perjuangan Kartini belum selesai. Saat ini di Papua masih membutuhkan Kartini-Kartini muda,” katanya.

Kata Uma, Kartini adalah perempuan pejuang. Berkat perjuangannya di masa lalu, kini dapat kita rasakan. Kita (perempuan) bisa sekolah karena perjuangannya. Namun, di sisi lain perjuangan itu terus harus dilanjutkan, karena perempuan Papua, khususnya perempuan Mee dan suku-suku tertentu masih dikungkung oleh sistem adapt cara berpikir laki-laki yang sempit.

“Kebanyakan laki-laki Papua memandang perempuan hanya sebagai penghasil uang, sehingga harga maskawinnya terus meningkat. Bahkan, ada bapak-bapak yang melarang anak perempuan untuk sekolah, walaupun ada keinginan untuk sekolah. Saat ini, laki-laki dan perempuan memunyai hak yang sama untuk berpendidikan tinggi. Sejauh perempuan mampu dan orang tua mampu membiayai, untuk apa larang-larang,” kata Uma.

Kekerasan
Veronika dan Uma mengatakan, perempuan Papua hingga saat ini masih dihantui kekerasan oleh laki-laki (suami).“Laki-laki menganggap, dengan membayar harta maskawin, perempuan itu telah menjadi milik mereka sehingga mereka melakukan apa saja yang diinginkan,” kata Uma.

“Kadang-kadang laki-laki memukul perempuan dengan seenaknya. Mereka menganggap perempuan itu telah dibayar lunas dengan harta maskawin. Padahal, perempuan (istri) adalah pendamping laki-laki memunyai martabat yang sama seperti laki-laki. Selain itu, kalau kita lihat, banyak laki-laki yang ganti-ganti pasangan. Mereka memandang perempuan sebagai kaum lemah yang kapan saja dapat mereka permainkan,” kata Vero.

Fitri mengatakan, ujung tombak kemajuan suatu bangsa tidak hanya terletak pada laki-laki, tetapi juga perempuan. Mendidik dan memperlakukan perempuan sebagai manusia yang memiliki hak-haknya adalah satu langkah untuk kemajuan suatu bangsa. “Peran-peran penting dalam keluarga itukan dilakukan oleh perempuan. Dalam mendidik anak misalnya, perempuan memunyai peranan yang penting dalam mendidik anak. Jika, suami selalu memukul perempuan setiap saat, bagaimana dengan perkembangan anak-anaknya,” kata Fitri.

Terlapas dari kekerasan rumah tangga, Uma dan Vero mengatakan, perempuan Papua di masa lalu juga mengalami kekerasan oleh militer. “Perempuan Papua, khususnya perempuan pedalaman banyak yang mengalami kekerasan oleh militer. Ada yang diperkosa, ada yang dipukuli saat hamil. Jadi, mereka banyak yang mengalami tekanan psikis dan fisik. Namun, hal-hal itu tidak pernah terungkat. Tetapi, hal itu kini sudah mulai berkurang. Muda-mudahan tidak terjadi laki, soalnya tentara dan polisi itukan tugasnya melindungi masyarakat,” kata mereka prihatin.

Mereka berharap, kini zaman telah berubah dan tidak ada alasan lagi untuk perempuan tidak maju. Tidak perlu larangan-larangan yang berlebihan. Tidak perlu juga kekerasan-kekerasan terhadap perempuan. Bila perlu kekerasan terhadap perempuan harus dihapuskan. Karena kekerasan hanya melahirkan trauma bagi perempuan. Kekerasan hanya akan menghambat perempuan untuk berkembang. Laki-laki dan perempuan harus maju bersama-sama dua insan yang memiliki martabat yang sama.

Alvince Mengajar Teman-teman Kelasnya
Peringatan HUT Kartini (21/4) di seluruh Indonesia ditandai dengan berbagai kegaitan, baik kegiatan yang berupa hiburan maupun kegiatan yang berbauh ilmiah.

Siswa SMA Adhi Luhur, kelas XI misalnya, merayakannya dengan agak unik. Unik karena, sebagai penghargaan kepada Kartini, Alvince Wenda siswi kelas XI IPA mengajar teman-teman kelasnya. Tidak hanya di kelasnya, tetapi dia juga mengajar di kelas XI IPS.

Dia menggunakan dua jam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia masing-masing di kelas XI IPA dan IPS. Bahkan, waktu dua jam tidak cukup sehingga Alvincen menyarankan teman-temannya untuk fotokopi materinya. Presentasi berjalan lancar selayaknya seorang ibu guru yang mengajar di depan kelas. Sementara, teman-temannya memerhatikan dengan serius.

Meteri yang diajarkan adalah tentang cara menulis karya ilmiah. Materi tersebut dia dapatkan dari seminar pada beberapa minggu lalu. Beberapa minggu lalu, dia (Alvince) mengikuti seminar sebagai utusan dari sekolah. [Yermias Degei]

1 komentar:

Uma M. Pekei - AL mengatakan...

Wah, semoga Perempuan Papua maju....
Amin
Salam....
`Ad Maiorem Dei Gloriam`

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut