Pendidikan (Papua): Mencerdaskan Kehidupan Bangsa?

Jumat, April 11, 2008

“Pendidikan”. Ya, pendidikan. Itulah sebuah kata yang terus dipekikan seakan sepanjang masa di tanah Papua. Itu wajar. Wajar karena pendidikan tidak akan pernah basi sepanjang manusia masih ada. Juga, lebih-lebih untuk pembangun manusia dan tanah Papua yang konon katanya tertinggal.

Persoalan, apakah memang ‘meninggalkan’ ataukah telah dirusak di masa lalu sehingga hasilnya itu merusak pendidikan masa kini adalah persoalan cara pandang. Setiap orang Papua dan bukan orang Papua yang manusia memunyai pendapatnya sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah. Yang jelas, pendidikan itu penting.
Pendidikan itu penting karena dapat membebaskan manusia sekaligus juga dapat membelenggu.
Walaupun kata ‘mem-bebas-kan’ bermakna positif, bagi saya tidak demikian. Pendidikan dapat membebaskan manusia dari segala kekayaan--entah kekayaan apa saja--yang dimilikinya maupun dapat membebaskan untuk menemukan dan memiliki kekayaan yang dimilikinya.

Pendidikan dapat membunuh karakter sehingga masa depan terbunuh dan sekaligus juga dapat membangun karakter sehingga masa depan terbangun. Pendidikan dapat membuat seseorang tidak mengenal tentang dirinya dan dapat membuat seseorang mengenal tentang dirinya. Pendidikan dapat membawa malapetaka besar dan dapat membawa keberuntungan besar. Dalam konteks inipun pendidikan selalu bertujuan baik, katanya.

Tetapi, apakah sebenarnya pendidikan itu? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan? Pertanyaan yang berat untuk dijawab. Pertanyaan yang berat untuk ditemukan. Apalagi dalam kondisi kita yang sedang dikejar-kejar untuk memiliki nilai dan ijazah. Apalagi dalam kondisi institusi pendidikan di tanah ini yang tidak ubahnya seperti pencetak mesin ijazah. Dalam kondisi institusi pendidikan kita yang penuh iming-iming--lulus cepat, status setarakan, dapat ijazah, absen longgar, dan sebagainya.

Menjawab dan menemukan kedua pertanyaan di atas, rasanya semakin sulit di saat ini. Setiap orang dan kebanyakan institusi pendidikan kita di tanah ini kering idealisme. Pendidikan berjalan di gelap gulita. Jarang ada, apa yang mau dibangun. Apakah budak atau manusia-manusia yang bebas dan dapat membebaskan dirinya saat ini serta masa depannya --masa depan generasinya dan anak cucunya.

Dalam konteks ‘pendidikan itu penting’ dan lebih-lebih untuk menjawab dan menemukan hakikat pendidikan, kita perlu berkenalan dengan Paulo Freire, Ivan Illik, Ki hajar Dewantoro, Diryarkara, Drost, Mangun Wijaya, dan bahkan Che, Marthen Luther King, Nelson Mandela dan Arnold Ap serta juga Theys Eluay dalam konteks pembebasan yang universal.

Mengenal para tokoh itu dan mengundang mereka di tengah realitas ini, benar-benar menjadi penting. Membiarkan mereka berkata-kata tentang pendidikan. Membiarkan mereka berkata-kata tentang berbagai persoalan sosial ini. Membiarkan mereka protes dan sekaligus membangun. Tatapi, itu mimpi. Itu hanya mimpi di tengah realitas ini. Realitas yang genas dan membunuh. Mereka telah membangun dan kehidupan mereka untuk pembangunan demi keselamatan manusia.

***
Pendidikan yang lebih menyiapkan "buruh" harus direfleksikan bersama para tokoh di atas itu ke arah menyiapkan pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi ini. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi NILAI dan setelah itu IJAZAH! Ya nilai dan ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk kerja di kantor pemerintah. Menjadi pengusaha adalah status memalukan dari pendidikan ijazah di tanah ini. Itulah potret.
Anak-anak di tanah ini kehilangan kebebasan untuk beridealisme untuk mengubah kondisi tanah Papua yang morat-marit ini. Tidak ada pengajaran tentang hidup dan kehidupan. Masalah sosial dan identitas siswa berada di daerah abu-abu. Siswa harus terpaku pada naskah-naskah absolud dari orang-orang berperadaban tinggi. Entalah.
Negara Indonesia (bukan bangsa Indonesia) memunyai mimpi besar. Mimpi yang harus terus diperjuangkan, yakni mencerdaskan kehidupan negara (maaf saya memakai istilah negara). Pernyataan itu mimpi karena demi idealisme tersebut justru membunuh bangsa lain sehingga idealisme itu masih terus menjadi mimpi hingga saat ini. Mimpi karena mutlak setiap bangsa harus masuk dalam cara dan alam pikiran bangsa yang lebih beradab.
Walaupun demikian, saya tetap setuju dengan pernyataan itu. Setuju dengan menerjemahkannya lagi dalam tataran taktis. Kata mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai tiga makna dasar.
Tentang cerdas. Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bukan berarti hafal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya untuk dirinya dan lingkungan yang dia hadapi.
Tentang hidup. Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya.
Ada catatan penting bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup—begitu kata para pater, pendeta, haji dan lainnya. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan santainya dia menganiaya orang lain, saat dia menguras orang (kekayaan) lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia merasa bahwa dia adalah yang paling berbudaya dan termodern. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.
Tentang bangsa. Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan.
Setiap individu memuyai kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat.
Siapakah masyarakat yang dimaksud di sini? Masyarakat adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Pernyataan ‘bangsa Indonesia’ itu telah mengaburkan bangsa-bangsa yang ada di Indonesia. Lebih-lebih makna orang Papua sebagai bangsa melanesia untuk membangun masa depannya. Nah, kini tantangan untuk membangun manusia Papua yang cerdas untuk hidup dan membuat orang lain (masyarakatnya) hidup dari realitas yang terus membunuh ini adalah tugas kemanusiaan yang berat. Mari membangun pendidikan untuk membebaskan manusia Papua dari realitas yang mematikan ini. [Yermias Degei, Pimpinan Redaksi Majalah Selangkah]

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya setuju. Bravo...
Salam Perubahan Pendidikan Papua

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut