Papua Membutuhkan Skill, Bukan Ijazah

Kamis, Februari 14, 2008

Yogyakarta (Selangkah)-- Membaca, berdikusi dan menulis adalah sebuah spirit yang seharusnya dimiliki dan dijiwai oleh mahasiswa pada umumnya dan khusnya mahasiswa Papua yang belajar di Papua maupun yang belajar di luar Papua, seperti di Makasar, Jawa dan Bali dan sebagainnya.

Spirit ini telah mendorong sekelompok anak-anak Papua yang tergaung dalam komunitas Pendidikan Papua (KPP) di Yogyakarta untuk memrogramkan kegiatan diskusi rutin setiap hari selasa sore jam 15:30 WIB, di kampus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Hampir setelah kurang lebih satu setengah bulan lebih sejak pertengahan Desember 2007 hingga bulan awal Februari 2008 mereka berlibur, karena sibuk merayakan natal dan tahun baru. Ada yang pulang kampung berliburan ke Papua, seperti Yemima Youw dan Maria Ijai pulang ke Nabire. Sedangkan yang lainnya sibuk dengan kegiatan natal dan urusannya masing-masing di Yogyakarta.

Lagi pula nampaknya kampus Sanata Dharma yang dikelolah Pastur-pastur Jesuit yang biasanya digunakan sebagai tempat mereka berdiskusi sedang libur dan baru mulai melakukan aktivitas belajar mengajar awal Februari. Sehingga tepatnya tanggal 12 Februaru 2007 mereka mulai berkumpul kembali, untuk mebahas agenda rencana kegiatan berikutnya.

Memang untuk membangun Papua tidak bisa dilakukan oleh satu dua orang saja, tetapi membutuhkan sekelompok orang yang lebih dari tiga. Pinjam kata-katanya Thom Chamara “Jika hanya satu orang saja yang bermimpi maka itu hanya sekedar mimpi, tetapi bila tiga orang lebih bermimpi bersama maka perubahan itu akan terjadi” Kurang lebih seperti itu. Tentu mereka yang bermimpi bersama harus memiliki harapan dan impian bagi perubahan ke masa depan yang lebih baik bagi masyarakat dan bangsanya.

Pertemuan kali ini, sangat disyukuri oleh seluruh angota KPP karena ada dua orang teman asli Papua turut hadir, yaitu Leni Songgonau (Universita Veteran) dan Eka Iyai mahasiswa Teknik sipil Atma Jaya, Yogyakarta. “Kita berharap ke depan komunitas ini lebih berkembang, menjadi fasilitator bagi teman-teman Papua yang ingin belajar bersama kita, siapapun dia, dari gunung ataupun pantai dan tidak harus dari kampus Sanata Dharma saja, tetapi juga mereka bisa saja dari kampus-kampus yang ada di Yogyakata ini,” ujar Longginus yang pada saat itu memimpin pertemuan mereka.

Ada pun beberapa agenda yang disepakati antara lain tetap melakukan kegiatan diskusi mingguan sebagimana sebelumnya. Minggu depan mereka akan berdiskusi soal tema damapak dari Trans Nabire-Paniai-Timika denga berpotret pada jalam Trans Yogya yang ternyata telah menuai pro dan kontra. Ide ini dikemukakan Eka Iyai, dan melalui pertimbangan bersama akhirnya disepakait rekan-rekannya.

Kemudian minggu berikutnya, akan dilakuna diskusi mengenai Rumah Adat Papua dalam tinjauah pendidikan, kesehatan, politik dan trasportasi, dilakukan pada hari dan waktu yang sama. Ide cukup menarik ini dikemukakan Yunus Yeimo salah satu mahasiswa Universitas Kriten Duta Wacana yang membidangi mengenai Arsitektur. Sebelum disepakati lebih dahulu Yunus meberikan gambaran mengapa pentingnya kita mendiskusikan soal ini.

Bersama berjalannya waktu, mereka juga menyepakati sebuah program bulanan yaitu tepat pada bulan April akan dia adakan rekoleksi. Kegiatan ini dirasa penting oleh mereka sebagai upaya untuk menguatkan kembali arah perjuagan mereka agar lebih konsiten sesuai jalur perjuagan mereka yaitu lebih pada upaya mengangkat martabat kaum marginal yang menjadi korban pembangunan, entah di mana saja mereka akan berkarya dan tentunya secara khusus ketika akan kembali ke Papua.

Sewaktu serba-serbi, pada dalam pembicaraan lepas seputar potret realita Papua, banyak hal yang telah mereka dibicarakan. Namun yang mendapat porsi yaitu mengenai situasi rencana penerimaan pegawai negeri di Paniai yang akan diadakan dua gelombong.

Gelombang pertama khusus bagi mereka yang memiliki ijazah sarjana yang menurut informasi telah mencapai ribuan orang. Gelombang kedua, akan dilakukan secara umum. Namun yang menarik diungkapkan Yunus Yeimo, mengulangi perkataan Bupati Paniai bahwa ”Paniai tidak butuh ijazah sarjana, melainkan membutuhkan skill orang yang mau bekerja.”

Kiranya ungkapan ini penting diperhatikan oleh mahasiswa yang belajar, agar pandai-pandai menggunakan waktu dalam mencari ilmu di luar kampus, karena tidak mudah untuk membangun Papua tanpa memiliki wawasan dan skill. Lagi pula kalau kembalike Papua di sana belum tersedia sarana-perasrana belajar untuk menambah skill yang memadai sepeti di Yogyakarta, Jawa, Bali dan Makassar. Jadi lebih tepatnya bisa dikatakan, bahw untuk membangun Papua ijazah saja tidak cukup tetapi keahlian yang kita miliki ini lebih mahal dari pada ijazah. [Long/selangkah]

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut