Gagasan Bangsa Indonesia Dalam Politik Arsitektur dan Ruang Kota di Papua

Kamis, Februari 28, 2008

Oleh Yunus Emigita Yeimo*)

Pemekaran Provinsi dan Kabupaten di tanah Papua yang sedang giat dilakukan saat ini adalah bukan merupakan jawaban atas kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Papua melainkan sebuah lahan “subur” untuk “menanam, meninggalkan, membangun” politik penguasa di bidang arsitektur dan ruang-ruang kota di Papua. Baik di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Dan pemekaran adalah “bukan politik jabatan semata”. Tetapi persoalan mendasar adalah politik arsitektur dan penataan ruang kota. Undang-undang otonomi khusus tidak mengatur tentang bangaimana kota-kota di Papua itu dirancang. Tetapi disana hanya mengatur bagaimna dana otonomi khusus “triliun rupiah” itu digunakan.
Hal ini menandakan bahwa tanah dan manusia Papua, kehilangan dan krisis identitas (arsitektur dan ruang kota). Di manapun dan kapanpun hal ini akan terjadi. Pemekaran kota dan wilayah adalah menata ruang kota dan citra bangsa (penguasa). Namun yang menjadi pertanyaan adalah menata bangsa apa? Apa konsep perancagan dalam perencanaan kota dan bangunan? Mengapa harus berawal dari gagasan bangsa? Bukankah setiap daerah memiliki kultur yang berbeda? Karena ia merupakan suatu jawaban atas persoalan politik. Produk yang akan dihasilkan dari konsep perancangan dan perencanaan (arsitektur maupun kota) akan terbentuk seperti orang (desainer) yang akan merencakan itu. Entah siapa, arsitek, politikus, antropolg, atau pun dengan konsep kearifan lokal. Produk itu adalah ruang kota dan wilayah yang didalamnya hadir berbagai ”ciri” dan ”bentuk arsitektur”. Kota itu akan berbicara dan sebagai identitas suatu bangsa untuk membedakan "kami" dari "kamu".

Bangsa Indonesia sebagai penggagas dan penanggungjwab atas perkembangan (perencanaan kota dan bangunan) di Papua. Siapapun pemimpin bangsa ini (Presiden, Gubernur, Bupati, Camat) semua itu adalah penggagas, penyalur, dan pewujud atas terjadinya politik arstektur dan kota. Baik putra daerah walau sering mengatakan “tuan diatas tanah sendiri” maupun pendatang akan terbentuk “karaternya” karena semua itu telah memilki landasan hukum yang harus dipatahui oleh semua warga negara. Salah satu darinya adalah undang-undang Republik Indonesia No. 18/1999 tentang jasa konstruksi, undang-undang Republik Indonesia No. 28/2002 tentang bangunan gedung, dan Peraturan pemerintah No. 15 / 2004 tentang perusahan Umum (perum) pembangunan nasional (perumnas). Dalam kehidupan (kenyataan bahwa) undang-undang ini tanpa perduli dengan keragaman bangsa (kesukuan), letak geografis, karakter dan perilaku manusia dengan lingkungan sekitar. Kehidupan manusia (Papua) yang ruang geraknya yang telah dibingkai oleh negara (penguasa).

Dengan demikian, slogan "demi bangsa" adalah gabungan politis, yang mendorong sejenis pembayangan yang mudah diperdaya oleh penyusun strategis untuk mencapai tujuannya (tinggalkan pesan politik arsitektur). Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah tanpa gagasan bangsa Indonesia, arsitektur dan ruang kota di Papua tidak akan bermakna? Apa itu arsitektur? Apa itu ruang kota? Mengapa arsitektur dan ruang kota sebagai gagasan bangsa dalam politik penguasa? Apakah manusia Papua tidak memiliki konsep penataan kota dan kampung? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu kita jawab bersama.

Apa Itu Arsitektur?
Kebanyakan orang, terutama mahasiswa arsitektur bila ditanya, barangkali akan berkata bahwa arsitektur itu ilmu seni, arsitektur itu ilmu bangunan, arsitektur itu ilmu merancang, arsitektur itu ilmu yang belajar tentang kota, jalan, jembatan dan rumah, bahkan sampai ada yang berpendapat arsitektur itu gabungan dari semua ilmu yang ada. Dan masih banyak pendapat lain tentang definisi arsitektur. Memang kenyataan bahwa, pada masa lalu manusia mendirikan rumah untuk bernaung.

Dengan pertimbangan lingkungan sekitar (alam) dan binatang buas (dengan maksud berlindung). Tetapi, saat sekarang (jaman digital) ini tidak segampang yang kita bayangkan. Sebelum, suatu bangunan dibangun perlu memikirkan berbagai macam hal. Beberapa faktor yang perlu dipikirkan oleh seorang arsitek adalah persoalan budaya-sosial-politik dan kondisi geografis (setempat). Dalam catatan sejarah arsitektur berfungsi sebagai suatu tempat untuk melakukan segala aktifitas manusia. Arsitektur adalah “indeks budaya” yang mempunyai “wujud berbeda” pada “masyarakat” yang “berbeda” (A.C. Antoniades),.

Arsitektur berkaitan dengan proses dan kreasi dari lingkungan buatan manusia yang mengacu pada aspek fungsi, ekonomi dan emosi pemakai atau pengamat. Arsitektur adalah disiplin ilmu yang “mengorganisir” dan “menciptakan keteraturan” dari aspek-aspek lingkungan yang “belum terkait”. Arsitektur yang baik merupakan sintesa dari serangkaian persyaratan/ elemen - elemen yang “diperlukan” untuk menciptakan sesuatu yang baru,. Sementara itu, J.C. Snyder. Berpendapat arsitektur merupakan tempat “bernaung” dari yang paling “sederhana” hingga yang paling “rumit”.

Pernyataaan Snyder secara jelas memberi gambaran dimana arsitektur sebagai bagian dari rumah (sederhana) sampai melihat dan memecahkan persoalan-persoalan di kota (rumit). Arsitektur adalah lingkungan binaan (built environment) yang berfungsi untuk perlindungan dari bahaya dan untuk menampung kegiatan manusia serta sebagai “identitas status sosial”. Arsitektur berkaitan dengan perancangan, yakni suatu konstruksi yang dibuat dengan “sengaja” untuk menggubah lingkungan fisik melalui suatu cara/ sistem penataan tertentu. Arsitektur berkaitan dengan “budaya”, memiliki sistem “lambang”, makna serta skema kognitif.
Sedangkan, Edward T White. Berpendapat arsitektur merupakan kegiatan merancang, yakni kegiatan mengenali dan merakit unsur bangunan dengan cara-cara tertentu. F.D.K. ChingI menyatakan, arsitektur pada umumnya “dipikirkan” (dirancang) dan “diwujudkan” (dibangun) sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis.
Pendapat F.D.K. Ching, sangat relevan dengan kenyataan yang terjadi di Papua. Dimana arsitektur itu dibentuk (dibangun) seperti “karakter” penguasa/ perancang. Dirancang dan diwudkan, dengan pertimbangan tujuan-tujuan tertentu (simbolis). Pendapat Ching bukan merupakan sebuah teori semata. Melainkan telah nyata, dengan dibangunnya, Momumen Pembesan Irian Barat di Makasar. Deretan rumah Honai di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), selain itu, hampir 90% nama-nama jalan kota-kota dan kampung kota di Papua adalah sebutan (nama) pahlawan NKRI (Yos sudarso, Budi Utomo, Kusbini, dan seterusnya).
Pertanyaan penting untuk orang Papua adalah apakah orang atau tanah Papua tidak memiliki catatan sejarah penting, yang dapat dijadikan sebagai nama jalan atau gedung?. Tetapi semua itu bukan salah kita (manusia Papua) Mengapa? Karena arsitektur itu dirancang oleh manusia (penguasa), lalu dibangun dengan segala sumber daya (arsitek, uang dan tenaga kerja) dengan satu paket peraturan dan undang-undang. Identitas suatu suku atau bangsa bukan terlihat dari pakaian adat atau lagu daerah. Tetapi arsitektur sangat berperan dalam proses perubahan sosial dan jaman yang pada akhirnya melahirkan anak yang namanya ”krisis identitas”.

Arsitektur adalah simbol batas teritori (wilayah) pada daerah kekuasaan oleh suatu suku bangsa/ negara. Misalnya dengan mendirikan patung di daerah perbatasan antarnegara karena ia bersifat monumental. Arsitektur akan tumbuh dan berkembag, seiring perkembangan jaman. Dan akan berdiri kokoh sepanjang kemampuan dan ketahanan struktur itu masih kuat (dijamin). Arsitektur sebagai tanda status sosial atapun psikoliginya yang jelas dan permanen. Dengan demikian jelaslah bahwa arsitektur menggambarkan status sosial dan psikologi orang dalam permukiman atau kampung kota atau bahkan kota sekalipun.

Maka kita dapat mengatakan bahwa arsitektur itu sebagai “sebuah lanan politik yang subur dan permanen”. Karena, orang tidak pernah membangun rumah untuk sementara waktu. Sekalipun itu bangunan darurat, misalnya, pada saat gempa, longsor, sunami. Rumah sementara itupun akan hadir seperti karakter orang yang dibangun. Sebenarnya ilmu arsitekru (mahasiswa arsitektur) diajarkan untuk penggunaan semua bahan dan bentuk perlu menyesuaikan dengan lokasi setempat. Namun, yang terjadi di Papua adalah “semau gue” tanpa mengadopsi unsur budaya atau bahan lokal yang bisa dimanfaatkan untuk dibangun sebagai identitas budaya bangsa Papua.

Arsitek adalah orang yang telah selesai pendidikan tinggi pada bidang ilmu arsitektur (ahli bangunan), dan hasil kerja (rancangannya) telah dibangun dan diakui oleh masyarakat luas. Menurut ketentuan IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) minimal 3 tahun lulus menjadi sarjana arsitektur. Sedangkan, definisi arsitektur adalah pengetahuan (ilmu) yang dipelajari oleh manusia seperti mahasiswa arsitektur. Setiap mahasiswa memiliki pengalaman yang berbeda. Misalnya, tempat kuliah dimana ia belajar? Lingkungan (sosial budaya) dimana ia tinggal? Dan dengan siapa ia menimba ilmu arsitektur dan berinteraksi sosial?. Seorang arsitek yang baik adalah alam, lingkungan, dan kebudayaannya (Habibie, 1986). Pernyataan Habibie sangat cocok untuk dipakai sebagai konsep untuk diimplementasikan dalam pembangunan di segala bidang.

Mengapa? Karena tanah Papua adalah tanah yang penuh dengan keragaman misteri, budaya, bahasa, suku. Dan semua itu adalah inspirasi (ide awal) dalam perancagan pembangunan). Sehingga, semua gagasan bangsa yang sedang dipakai saat ini sebaiknya kembali ke kampung, alam dan budaya (back to kampong nature and cuture). Pendekatan ini, sangat sesuai dengan arsitektur dan perilaku manusia Papua. Dimana masyarakat Papua (setiap suku) di Papua memiliki beragam rumah adat (arsitektur tradisional) yang sesuai dengan alam, lingkungan dan budaya mereka. Rumah honai yang sering disebut sebagai rumah adat Papua bukan satu-satunya arsitektur tradisional yang ada di Papua. Tetapi honai adalah salah satu darinya.
Sehingga, para penggagas kebijakan perlu melakukan (perubahan) dalam kebijakan. Sebelum hasil karya leluhur itu dikatakan sebagai sesuatu yang “kuno, tradisional, kampungan, dan ketinggalan”. Tetapi, semua yang baru dan moderen itu belum tentu baik dan mengguntungkan bagi kehidupan manusia. Issu terhangat yang membuat penguasa dunia, harus berpikir dan membuat duduk bersama berbicara adalah pemanasan global (Global worning). Pemicu pemanasan global salah satu pelaku yang kita dapat ”memvonis” adalah penguasa dengan bekingan arsitek (sebagai pewujud ide) dengan mendirikan berbagai bentuk gedung pencakar langit. Dengan tujuan agar semua manusia di dunia ini datang kesana dan menunjukan icon negara tersebut. Dengan kata lain agar disebut sebagai, tertinggi, terbesar, terluas, terindah dan seterusnya dan sebagainya. Tanpa memperduli dengan dampak-dampak negatif yang akan terjadi setelah ”ter-ter” itu terwujud.

Apa Itu Ruang Kota?
Apa arti istilah “kota”? Kapan sebuah pemukiman boleh dikatakan kota? Apa kriterianya? Darimana dapat diterima standar-standar dasar yang memungkinkan suatu pendekatan terhadap kota, baik pada saat lampau sampai saat ini? Jawaban atas deretan pertanyaan diatas akan tergantung pada sudut pandang seseorang dan bidang ilmunya. Misalnya, seseorang yang berprofesi geografi akan menekankan pada permukaan kota dan lingkungannya. Seorang geolog, akan menekankan pada kota dan tanah dibawah dan bagaimana hubungannya dengan pembangunan. Adapun seorang antropolog, memangdang kota dari budaya dan sejarahnya. Lain halnya dengan seorang politikus yang menekankan pada cara mengurus kota dan bagaimana hubungan antara pihak pemerintah dan swasta. Sementara seorang sosiolog, berfokus pada klasifikasi permukiman kota dari semua aspek sosial.

Sedangkan seorang kesehatan akan memperhatikan lingkungan kesehatan permukiman kota. Dan semua disiplin ilmu memiliki pandangan yang berbeda terhadap definisi kota. Dan pada akhirnya seorang arsitek memiliki beberapa sudut pandang dengan memertimbangkan berbagai persoalan yang terkait didalamnya. Dengan memperhatikan hubungan antara ruang dan massa perkotaan serta bentuk dan polanya dan bagaimanakah semua hal itu dapat tercapai. Kemudian muncul pertanyaan; apakah mungkin merumuskan kompleksitas kota dengan memasukkan semua aspek yang terlibat di dalam kota itu?

Urutan pertanyaan seperti di atas tidak mudah untuk dijawab (mendapat definisi kota yang jelas). Mengapa? Karena istilah “kota” secara arsitektural masih banyak aspek yang perlu diperhatikan dan masing-masing aspek berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Namun, kita mencoba menjawab dari beberapa pendekatan pendapat, mengenai definisi kota itu? Definisi klasik mengatakan bahwa kota adalah suatu permukiman yang relatif besar, padat, dan permanen, terdiri dari kelompok individu-individu yang heterogen dari segi sosial (Amos Rapoport). Kemudian, seiring perkembangan jaman yang disebut moderen (pascamoderen), Amos mengemukakan definisi kota dengan istilah moderen. Ia merumuskan suatu definisi baru yang dapat diterapkan pada daerah permukiman kota dimana saja. “sebuah permukiman dapat dirumuskan sebuah kota bukan dari segi ciri-ciri morfologis tertentu, atau bahkan kumpulan ciri-cirinya, melainkan, dari segi suatu fungsi khusus – yaitu menyusun sebuah wilayah dan menciptakan ruang-ruang yang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah pedalaman yang lebih besar bedasarkan hirarki-hirarki tertentu”.

Kemudian Amos Rapoport mengutip pendapat Joerge E. Hardoy, untuk memperjelas atas definisi kota yang ia kemukakan diatas. Hardoy, menggunakan 10 kriteria secara lebih spesifik untuk merumuskan kota kriteria kota sebagai berikut: 1). Ukuran dan jumlah penduduknya besar terhadap massa dan tempat, 2). Bersifat permanent, 3). Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat, 4). Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukan oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata 5). Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja, 6). Fungsi perkotaan minimum yang diperinci. Meliputi sebuah pasar, sebuah pusat administratif (pemerintahan), pusat militer, pusat keagamaan, pusat aktivitas intelektual, 7). Heterogenitas dan pembedaan yang berdifat hirarkis pada masyarakat, 8). Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan, sebuah daerah pertanian di tepi kota dan memproses bahan menta untuk pemasaran yang lebih luas, 9). Pusat pelayanan (service) bagi daerah-daearah lingkungan setempat, 10). Pusat penyebaran informasi, memiliki suatu falsafa hidup perkotaan pada massa dan tempat itu. Sementara itu, Max Weber dalam (Pahl,1971:5). Mengemukakan ciri-ciri khas yang ada pada kota, adalah adanya “batas-batas” yang tegas. Mempunyai “pasar”. Ada pengadilan dan mempunyai “peraturan” sendiri (PERDA) disamping undang-undang secara umum. Terdapat perkumpulan dalam masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan kota itu sendiri.

Kenyataan bahwa, kota-kota di Papua hidup dan berkembang bagaikan sebuah peluru rudal “tanpa kendali”. Pejabat dan penguasa (pihak berwenang) hanya berpikir dan mengendalikan kunci rudal “dompet rakyat”, yang berisikan hasil jualan pasar tradisional (bukan pasar moderen yang dimaksudkan dalam teori kota diatas). Tanpa memperduli rudal itu akan meledak entah kapan dan dimana. Penataan dan perencanaan kota dan kampung kota ini tidak pernah mendapat perhatian serius. Apa lagi proyek itu dilaksanakan oleh pemimpin (gubernur-bupati-camat) yang sebelumnya berbeda orang (pemimpin). Sehingga diperlukan suatu acuan pembangunan perencanaan kota (master plann city). Konsep yang dipakai dalam menangani kota di Papua saat ini adalah penataan dan perencanaan “bukan perancangan” sehingga banyak kota di Papua arah pengembangan kotanya ”tidak jelas”, ”keliru”, ”mengandung unsur politis”.

Mengapa dikatakan harus menggunakan “peracangan” (bukan perencanaan) karena perancangan melibatkan semua pihak dalam proses perencanaan kota sebelum hasil akhir menjadi rencana umum kota (master plan city). Master plan city adalah perencanan dan perancangan kota dengan jangka waktu yang panjang (akan datang). Dampak yang dirakasan akibat perencanaan kota tanpa master pelnn city, seperti sebagian besar masyarakat pigir kota Jakarta terjadi “penggusuran”. Salah siapa? Apakah pemerintah, sebagai pengambil kebijakan “penguasa”? Para perancang seperti arsitek, perencana kota dan wilayah, sebagai pewujud ide dan gagasan penguasa? Ataukah masyarakat itu sendiri? Jawaban kembali pada diri kita masing-masing. Tetapi semua itu berawal dari penguasa. Karena yang meletakan “batu pertama” sebagai tanda untuk membangun atau memulai suatu proyek (pembangunan kota, jalan, jembatan, dan gedung) adalah pemerintah (penguasa).

Salah satu budaya pejabat (penguasa/ pemimpin) Papua, siapapun dia (putra daerah/ pendatang) yang menurut hemat saya perlu ditinggalkan adalah memiliki visi dan misi yang berbeda (pada setiap periode kepemimpinan). Tetapi tujuan semua itu adalah hanya satu masyarakat dan satu tanah air (Papua). Mulai dari tingkat provinsi sampai dengan Desa. Dan leibh jauh dari itu, adalah pada saat pemelihan kepala daerah (PILKADA) itu dilaksanakan. Semua partai politik memiliki paradikma (strategi) yang berbeda. Untuk memenangkan suara pada akar rumput (yang tidak tahu dengan yang namanya pembangunan) dalam PILKADA itu dilaksanakan. Hal itu diperparah dengan, pertarungan elit politik lokal. Yang memiliki beda visi tapi satu tujuan. Hal yang menyangkan adalah jika seseorang kandidat tidak terpilih sebagai Gubernur atau Bupati, maka terjadi konflik horisontal (tidak berjiwa besar) atas proses demokrasi itu. Semua itu boleh terjadi, dan siapa pun boleh memimpin Papua. Tetapi yang terpenting adalah semua unsur (pemerintah, masyarakat adat, akademisi, gereja) yang ada di Papua duduk bersama dan merancang sebuah konsep pembangunan yang berkelanjutan (pada waktu yang akan dantang). Dengan moto, ”Jaman dan pemimpin boleh berganti dan berubah tetapi tujuan pembangunan tetap satu (jelas, terarah, transparan, mempunyai jati diri, berlandaskan pada hukum adat dan agama).

Kampung Kota
Apa itu kampung kota? Mengapa dikatakan demikian? Dari mana sebuah kampung dikatakan kota? Kampung kota adalah komplesiatas permukiman di sekitar atau didalam kota yang mempunyai heterogenitas persoalan yang tinggi dan padat. Persoalan dalam kehidupan Kampung kota, perlu mendapat perhatian khusus. Kenyataan bahwa kehidupan di dalamnya mencerminkan masalah utama rakyat banyak dan juga merupakan kenyataan arsitektur dan ruang kota. Walaupun kampung kota dibangun oleh orang-orang “biasa” yang merupakan sumber pembelajaran bagi permerhati lingkungan binaan. Kampung kota adalah central and starter point pembentukan dan perubahan “gejala” wajah kota. Dengan demikian, persoalan yang sering kali terjadi adalah persoalan tanah. UUD 1945 telah menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalmnya dikuasai oleh negara”. Sementara, masyarakat Papua berpandangan bahwa tanah adalah manifestasi masa depan anak cucu. Tanah adalah harta waris yang tidak boleh dijual belikan oleh siapapun dan kapanpun dengan alasan apapun. Untuk itu, persoalan kampung kota adalah persoalan sensitif, sarat makna dan persoalan. Pemerintah (penguasa) boleh menentukan batas atau wilayah (teritori) administrasi (Provinsi, Kabupaten, Kecamatan, Kelurahan, Desa, RW dan RT). Tapi tidaklah cukup sampai disitu. Sama halnya dengan kita mendirikan rumah tetapi hanya kerangka bangunan, alias belum menyelesaikan isi bangunan.

Kota-kota besar telah memiliki suatu acuan perencanaan kota yang disebut dengan rencana detail tata ruang kota (RDTRK). RDTRK adalah jawaban atas penyelesaian konflik horizontal yang terjadi dalam masyarakat kampung kota. Mengapa? Karena dalam RDTRK dengan jelas dan tegas menyebutkan dimana akan lalui jalan umum, dimana akan dibangun ruang publik, kapan akan di bangun. Selain itu, dengan adanya RDTRK, kinerja pemerintah menjadi semakin jelas, terarah dan transparan. RDTRK sangat diperlukan dalam perencanaan kota dan wilayah di Papua khususnya kampung kota yang baru berkembang. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kota-kota (wilayah) kampung kota di Papua telah berkembang tanpa RDTRK. Sehingga kita bisa mengatakan bahwa 20 atau 30 tahun yang akan datang Papua akan menjadi suatu tontonan yang menarik di layar televisi. Karena terjadi pengusuran dengan dalil tanah dikusai oleh negara untuk kebutuhan publik atau lahan hijau kota (green space city). Belakangan ini suatu tontonan menarik ini terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan. Sehingga ini menjadi ancaman sekaligus juga, pelajaran bagi pengambil kebijakan (penguasa) di Papua saat ini. Untuk menentukan masa depan, ”masyarakat bebas gusur”

Kota Kuala Kencana Timika Papua adalah sebuah ”kota percontohan” green city di Papua bahkan di dunia. Pemekaran dan pengagas ide pemekaran kota dan Kabupaten di Papua perlu mengadopsi kota ini dalam perencanaan dan perancagan kota dan daerah. Tidaklah salah bila melakukan studi banding ke kota ini (bukan; Makasar, Bali, Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta). Yang membutuhkan dana yang cukup besar. Cukup dengan mengelurkan satu atau dua jutaan kita bisa mendapat data dan informasi yang cukup jelas dan lengkap. Dari pada ke kota-kota yang disebutkan diatas tanpa tujuan dan hasil (studi banding) yang tidak jelas. Kota Kuala Kencana memberi gambaran jelas tentang bagaimana sebuah kampung kota itu direncanakan, dengan menghargai habitat disekelilingnya. Merencanakan kampung kota secara partisipasi dari berbagai pihak berarti melindungi masyarakat adat. Persoalan tanah perkotaan dan perlindungan rakyat jelata, adalah perbincangan dan lahan penelitian menarik bagi pemerhati lingkungan kawasan kota (kampung-kota) pada negara-negara berkembang.

Permukiman dan Perumahan
Permukiman dan perumahan, selain berfungsi sebagai wadah pengembagan sumber daya manusia juga kawasan yang ditata secara fungsional sebagai kesatuan sosial, ekonomi dan fisik. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasana dan sarana lingkungan (PP No.15/2004). Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegitan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (PP No.15/2004). GBHN 1993 dalam penjabarannya tertuang pola dasar pembangunan daerah tingkat I dan tingkat II khususnya pembangunan perumahan dan permukiman di arahkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga, masyarakat, serta terciptanya suasana kerukunan hidup keluarga, kesetiakawanan sosial masyarakat. Tata ruang perumahan dan permukiman dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh, dengan membudidayakan sumber-sumber dana dan daya yang ada, serta pengelolaan lingkungan yang ada digunakan untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Memberi rasa aman, terancam, nikmat, nyaman dan sejahtera. Dalam keselarasan, keserasian, keseimbangan. Agar berfungsi sebagai modal yang dapat melayani kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat, bangsa dan negara. Perumahan dan pemukiman, sebagai kebutuhan pokok. (C. Djemabut Blaang).

Bertolak dari tujuan dan definisi diatas, maka pembangunan permukiman dan perumahan perlu ditingkatkan melalui jalinan kerja sama secara terpadu antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat dengan mempertimbangkan persyaratan bagi permukiman dan perubahan yang layak, sehat, aman, serasi dengan lingkungan, serta terjangkau oleh daya beli masyararakat luas, dengan memberikan perhatian khusus kepada masyarakat baik yang mempunyai penghasilan menengah maupun rendah. Proses bermukim merupakan proses yang dimulai dari tahap awal atau tahap pemilihan lokasi, tahap produktif dan tahap mantap. Ketiga tahap proses bermukim ini dikemas Johan Silas sebagai proses pengembangan rumah oleh masyarakat. Menurutnya tiap tahap pengembangan rumah tidak dapat dilepaskan dari dimensi lainnya, antara status, nilai dan kendala merupakan satu kesatuan, yaitu a). Status yang terdiri dari tahap awal, tumbuh dan mantap, b). Nilai yang meliputi aspek biologis, produktif dan simbolis, c). Kendala terdiri dari jaminan, peluang dan jaringan.

Pada saat rumah sedang dibangun atau pada tahap awal, maka pertimbangan biologis menjadi prioritas kebutuhan keluarga. Diawal perkembangan rumah ini, yang diperlukan justru adanya jaminan proses mengembangkan rumah. Sebagaimana yang dikatakan Turner, aspek pemilikan dan penguasaan tanah sangat menentukan proses produksi dan konsumsi perumahan (Turner, 1972). Pada tahap awal, pemilikan dan penguasan tanah akan menentukan upaya-upaya lebih lanjut di dalam proses peningkatan kualitas lingkungan yang dapat memicu pertumbuhan ekonomi (‘incremental’). Secara teoritis dapat dikatakan, bahwa semakin aman (‘secure’) status penguasaan seseorang terhadap tanah, semakin tinggi motivasinya untuk memobilisasikan sumber dana di tanah tersebut. Ketika status rumah berlanjut menjadi tahap tumbuh, maka rumah dipikirkan untuk menjadi rumah produktif, pertimbangannya adalah bagaimana menciptakan peluang usaha. Nilai produktif sangat terkait dengan kemampuan anggota keluarga untuk mengembangkan nilai produktifnya sesuai dengan statusnya. Sedangkan pada status mantap, nilai rumah menjadi pemenuhan kebutuhan simbolis dan kebutuhan jaringan dalam segala aspek yang menjadi prioritas perhatiannya.

Penyediaan tanah ada beberapa mekanisme pengaturannya, seperti yang tercantum dalam UUD Republik Indonesia. Bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Hadi Purnomo, 1993). Hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk:, a). Menguasai dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, b). Menentukan dan mengantar hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c). Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kenyataan bahwa permukiman dan perumahan di Papua, dibangun dibalik semua dasar hukum yang telah dibuat oleh negara (penguasa). Butir-butir penting yang menarik adalah pembangunan permukiman dan peruman perlu menyediakan fasilitas umum dan sarana prasarana sosial. Namun demikian, kenyatan dilapangan berbicara lain. Dan menjadi pertanyaan adalah landasan hukum yang dibuat oleh negara dengan maksud mengatur semua itu untuk siapa? Masyarakat Kamoro Timika, meninggalkan rumah bantuan dari dana 1% PT.Freeport Indonesia. Masyarakat di sepanjang jalan trans Nabire-Paniai, meninggalakan permukiman yang dibangun oleh PEMDA Kabupaten Nabire. Kedua contoh ini mewakili hampir semua pembangunan permukiman dan perumbahan di Papua yang disebut sebagai “rumah rakyat” kecamatan/ desa, “rumah dinas” (kabupaten) dan ditingkat provinsi disebut “perumnas”.

Pengamatan penulis atas gejala perubahan sosial maupun perubahan bentuk arsaitektur yang terjadi pada permukiman, perumahan, rumah dinas dan perumnas sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Hal ini dikarenakan untuk mengetahui faktor-faktor yang terjadi dalam permukiman, perumahan, rumah dinas dan perumnas yang semakin lama semakin berubah bentuk sosial dan arsitektural. Sehingga disini diperlukan studi kelayakan bagi calon penghuni atau masyarakat mengenai arsitektur dan perilaku manusia Papua sebagai obyek penelitian (calon penghuni).

Arsitektur sebagai Pesan Politik yang Permanen
Arsitektur tidak hanya mampu memenuhi hasrat dasar berkegiatan manusia dalam batas ruang yang dihasilkannya, tetapi juga mampu menyampaikan makna apabila para pemakai mampu menafsirkannya. Karya arsitektur dan ruang perkotaan mudah menjadi media penyampaian pesan politis seorang penguasa (penjajah). Sejarah mencatat bahwa kaisar, diktator, dan penguasa mendirikan bangunan dan ruang kota monumental untuk membangkitkan suasana khusus dalam menjaga wibawa, membina semangat, atau bahkan mengancam rakyatnya.

Kebiasaan ingin meninggalkan suatu proyek sebagai prestasi selama menjabat hingga kini masih menghantui para penguasa di Indonesia. Arsitektur dan ruang perkotaan itu hasil tata olah sosial budaya suatu masyarakat dengan arsitek berada di dalamnya. Arsitek, pada gilirannya “terbingkai” di dalam keadaan politik masyarakat saat dia berkarya. Arsitek Indonesia boleh saja menempatkan diri sebagai profesional yang tak berpolitik, namun mereka tak ”berdaya” melepaskan diri dari iklim politik penguasa meski berupaya kuat untuk menghindar dari pengaruh kepentingan pemerintah.

Melalui karya arsitektur, gagasan kebangsaan dan kenegaraan menjelma mendekati kenyataan sehingga mudah dirasakan oleh masyarakat Papua dalam kehidupan sehari-hari. Dalam mengangkat gagasan kebangsaan, Ben Anderson menganggap bangsa merupakan suatu pembayangan tentang sebentuk masyarakat yang wujudnya tak pernah nyata. Melalui kacamata khusus, Abidin Kusno meneropong gagasan yang terkandung dalam diri para penguasa melalui proyek-proyek khusus selama menjabat. Dengan jeli dia membedah budaya berarsitektur para arsitek sebagai penyalur gagasan politik yang dihadirkan oleh penguasa. Pemerintah sebagai pihak penjajah yang merasa berkewajiban mengangkat harkat hidup obyek jajahan, sambil tetap memegang teguh statusnya sebagai pihak pemberi dana, dan gagasan pembangunan.

Bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi etika politik di negeri Belanda saat itu menghendaki perlakuan yang lebih manusiawi terhadap obyek terjajah. Di sisi lain, perkembangan perdagangan oleh kapitalisme yang menuntut lebih banyak produksi, mendorong Belanda meningkatkan keterampilan dan pengetahuan obyek terjajah agar menjadi peranti lunaknya. Dalam kaitan tersebut kehidupan terjajah perlu ditingkatkan, dan perubahan sosial dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan dan seni. Perubahan sosial dapat berlangsung melalui tata ruang kota dan perubahan pemerintahan dari yang berdasarkan kelompok ras dan suku bangsa ke pengelompokan berdasarkan status sosial. Orientasi baru ini memberi kesempatan kepada arsitek Indonesia yang lebih berorientasi sosial berpaling ke sumber-sumber lokal. Dengan meneliti segi teknis yang terukur dan lebih ilmiah, arsitek kelompok ini menghasilkan wujud bangunan tertentu yang mengacu pada sumber kebudayaan lokal tanpa menghadirkan sisi spiritual tak terukur. Wujud bangunan tersebut merupakan suatu hasil campuran (joglonisasi) yang menunjukkan perhatian dan pengakuan terhadap keberadaan perbedaan, namun sekaligus mengabaikannya. Dalam membangun bumi jajahan, kelompok yang peduli unsur lokal adalah putra-putra daerah yang memiliki pengetahuan sebagai penanding, bagi penguasa dengan menghadirkan arsitektur berwawasan lokalitas Papua. Mereka (mahasiswa jurusan arsitektur sebagai calon arsitek masa depan asal Papua) perlu menganut paham modern yang menghargai identitas lokal. Pengutamaan ke"modern"an sebagai ukuran keilmiahan cenderung merendahkan mereka yang "tertinggal" atau dianggap berada di masa lalu. Sementara itu, penghargaan atas warna lokal belum tentu mengangkat harga diri terjajah karena yang merintis juga dari luar, bukan dari dalam.

Gedung Bandar Udara Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, Kantor PDAM Kabupaten Nabire, Mesdjid Agung Timika, Gedung DPRD Papua di Jayapura adalah contoh-contoh pesan politik bangasa dalam arsitektur di Papua. Dengan jelas pada beberapa bangunan ini memperlihatkan bangunan dengan bentuk rumah adat Jawa (Joglo). Dalam UUD 1945 mengatakan “yang menjadi presiden adalah orang Indonesia asli”. ”Indosesia asli” adalah orang Jawa, karena sejak Indonesia merdeka sampai saat ini yang menjadi presiden adalah orang Jawa (bukan; Sumatra, Sulawaesi, Kalimantan, Papua). Ini berarti bahwa pejajahan atas rakyat telah terjadi di Indonesia. Lebih jauh dari itu, daerah yang ingin memisahkan diri (Aceh, Poso, Maluku, dan Papua) dari NKRI penguasa betul-betul akan pembangunan dengan maksud meninggalkan pesan politik dalam arsitektur dan ruang kota. Sehingga semua bangunan ataupun perencanaan ruang perkotaan tidak memperdulikan kondisi dan lingkungan setempat. Satu program, satu konsep, satu arsitek untuk semua daerah di Indonesia adalah moto pembanguan dalam pesan politik arsitektur dan ruang kota.

Penutup
Hal ini perlu dikemukakan (didiskusikan), karena sejarah mencatat bahwa arsitektur dan ruang kota menjadi icon dan pesan politk bagi penjajah (penguasa) yang permanen dan monumental. Siapapun pemimpin (penguasa) (Presiden, Gubernur dan Bupati) ketika menjadi pemimpin adalah merupakan penyumbang atau penyalur gagasan bangsa yang amat berperan dalam perkembangan arsitektur di kota dan daerah. Politk dalam arsitektur dan ruang kota berjalan secara dinamis dan transparan, tetapi sulit untuk mengetahui maksud dibalik semua itu. Penjajah (penguasa) selalu mementingkan kepentingan jati diri bangsanya dari pada mengangkat identitas bagi yang dijajah. Mereka menggangap apa yang ada di daerah jajahan (kekuasaan) adalah tidak berharga, tidak bernilai, kuno, tradisional, dan ketinggalan. Sehingga, dengan muda membuat Undang-undang dan peraturan, agar semua daerah kekuasaan dapat mematuhui aturan dan undang-undang itu. Karena gagasan politik arsitektur merupakan suatu proyeksi yang perlu bagi penguasa untuk mencapai suatu cita-cita untuk menghilankan identitas lokal (arsitektur Papua).

Papua dengan heterogenitas arsitektur kesukuan (arsitektur tradisional), tidak lagi mengindahkan sejalan perkembangan jaman. Karena setiap manusia Papua di jaman digital ini, telah mengidap virus ”ikut-ikutan” ”yang baru itu yang terbaik”. Dan sebaliknya, sudah mengidap virus dengan anggapan yang lama itu ”kuno, tradisional, ketinggalan, kampungan, dan lain-lain. Tetapi perlu ketahui bahwa yang baru itu belum tentu baik dan bermakana filosofis. Sehingga dengan demikian diharapkan, semua teman-teman peserta diskusi KPP menjadi pemerhati dalam melihat persoalan di daerah (Papua) sesuai dengan disiplin ilmu kita masing-masing. Agar penjajahan diatas bangsa Papua dihapuskan. Dou-Gaii-Ekowai.
*) Mahasiswa Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Kristen Duta Wacana, Yagyakarta. Makalah disampikan diskusi rutin Komunitas Pendidikan Papua [KPP] pada Selasa, 26 Februari 2008 di Kampus Ministry-Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
---------------------------------------------------------------------------------------------

Catatan Penulis: . Mohon dukungan doa semoga rencananya pendirian lembaga dengan nama “Yamewa Institute of Papuan Architecture and Urban Studies” dengn bidang kegiatan (Researh and Development, Consultant Architecture and Urban Planning, Training and Education. dengan tujuan (Socity building-Buit environmental enggenering and Enterpreneurship built).

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut