Rp 88 Miliar untuk Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Kupang

Minggu, November 25, 2007

Pemerintah Kabupaten Kupang mengalokasikan dana sebesar Rp 88 miliar untuk mendukung program pendidikan dan kesehatan gratis di wilayah itu.Dari total dana yang disiapkan dalam APBD tahun 2007, sebanyak Rp 58 miliar dialokasikan untuk program pendidikan gratis bagi pelajar SD, SLTP dan SLTA atau melampaui amanat undang-undang yang hanya mengisyaratkan 20 persen dari APBD untuk pendidikan.

Sementara sisanya Rp 30 miliar untuk program kesehatan gratis.Bupati Kupang, Ibrahim Agustinus Medah, mengatakan alokasi dana Rp 88 miliar tidak termasuk gaji atau tunjangan guru dan perawat di dua instansi itu. “Jadi dana itu murni untuk subsidi pendidikan dan kesehatan,” katanya.

Menurut Medah, pendidikan dan kesehatan gratis merupakan program kerja yang sudah direncanakan beberapa tahun lalu, namun baru direalisasikan pada tahun anggaran 2007 ini.
“Tahun 2006, alokasi APBD untuk sektor pendidikan hanya Rp 38 miliar, sedangkan kesehatan hanya Rp 12 miliar. Tahun ini kami naikkan lebih besar dan akan terus ditingkatkan pada tahun-tahun mendatang,” ujarnya.

Dia berharap tingkat pendidikan masyarakat Kabupaten Kupang akan semakin baik begitu pun kesehatan masyarakat menjadi lebih terjamin pada beberapa tahun ke depan, setelah pemerintah tidak lagi memungut biaya dari dua sektor itu.

“Tujuan utama kami adalah kesejahteraan rakyat. Apabila tingkat pendidikan dan kesehatan membaik, maka kesejahteraan rakyat dengan sendirinya menjadi lebih baik dari saat ini,” katanya. [Jems de Fortuna]
----------------------------------------------
Sumber: http://www.tempointeraktif.com, Selasa, 18 September 2007
BACA TRUZZ...- Rp 88 Miliar untuk Pendidikan dan Kesehatan Gratis di Kupang

Karanganyar Dirikan 2.000 Pos Pendidikan Anak Usia Dini

Pemerintah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, akan mendirikan 2.000 Pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk memberikan pendidikan pada anak-anak usia 0-6 tahun di daerah tersebut. Pos PAUD akan bekerja sama dengan Posyandu dan Bina Keluarga Balita (BKB)."Masing-masing Pos PAUD akan diberi bantuan dana untuk pelaksanaan PAUD sebesar Rp 5 juta," kata Sutarno, Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas P dan K Karangayar, Kamis (15/11).

Menurut Sutarno, setiap pos PAUD ditargetkan paling tidak menangani pendidikan sekitar 20 anak-anak usia dini, sehingga tahun depan cakupan pendidikan usia dini bisa mencapai 98 persen.Dia mengatakan saat ini dari sekitar 63.847 anak usia dini di Karanganyar, baru 22.262 anak atau 34,86 persen yang terlayani, baik melalui pendidikan formal sebanyak 20.052 anak dan PAUD nonformal 2.209 anak.

Di Karanganyar saat ini terdapat 685 unit Bina Keluarga Balita dan 564 kelompok bermain. Sutarno mengatakan nantinya setiap Pos PAUD diupayakan memperoleh peralatan mainan edukatif yang bisa mengembangkan kecerdasan anak.Tahun depan Karanganyar ditargetkan akan menjadi kabupaten PAUD, yakni kabupaten yang tidak lagi ada anak usia dini tak terlayani pendidikan.
--------------------------------------------
Sumber:http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2007/11/15/brk,20071115-111640,id.html
BACA TRUZZ...- Karanganyar Dirikan 2.000 Pos Pendidikan Anak Usia Dini

Jogja : Gathering atau Diskusi?

Anggota KPP Terus Kembangkan Diri

Gathering Jogja akhirnya terlaksana pada hari Sabtu, 28 Juli lalu. Pilihan tempat di café Addicted ternyata agak meleset dari dugaan semula. Awalnya memilih tempat ini, karena ada fasilitas hot spot dan PC untuk berselancar, ternyata pada saatnya mati. Tapi tanpa internetpun gatheringnya rame abis.

Pukul 15.30 WIB, aku sudah nongkrong di café itu. Sedikit kesal karena fasilitas internetnya mati total. Mau pindah tempat, sudah tidak mungkin karena infonya sudah menyebar untuk bertemu di café ini.

Lalu muncullah Eva, seorang guru SMA. Dia baru saja selesai mengajar, langsung kebut motornya ke café ini. Maklum SMA tempat dia mengajar berada di Muntilan. Berikutnya yang hadir adalah Salim, sahabat lamaku. Dia ini adalah tokoh Jogja , kalau tidak mau dibilang tokoh nasional. Sehari-hari adalah pemimpin redaksi majalah budaya Gong dan salah satu pimpinan di penerbit LKIS.

"Kalau tidak ada motormu di depan café, aku tidak akan masuk café ini," kata Salim sambil tersenyum-senyum. Mungkin maksudnya dalam hati adalah "Motormu kok ndak ganti-ganti sih. Lihat donk motorku yang mengikuti perkembangan zaman.":)
Lalu berturut-turut yang hadir adalah Agus - mahasiswa Akuntasi dari Nabire-Papua, Putri - mahasiswi Komunikasi Atmajaya , Yugyas - jurnalis untuk majalah Security di Jakarta yang kebetulan lagi mudik, Longginus, mahasiswa sejarah Sanata Dharma, Nasir - aktivis jaringan radio komunitas di Bantul dan terakhir yang datang belakangan adalah Pipien - pekerja NGO internasional.

Dalam perkenalan, antar kami , ternyata masing-masing terhubung oleh komunitas lain atau pertemanan yang lain. Misalnya Nasir yang sering membaca tulisannya Salim, "Lho ini Mas Salim yang di milis angkringan itu?" Atau Putri yang mempunyai dosen di kampus yang ternyata pembimbing pemuda di kampung tempat Longginus indekost. Eva, yang pernah bertemu Salim saat menjadi pemantau Pemilu, dan seterusnya.
Yah, begitulah Jogja. Semua terhubung, saking kecilnya kota ini tapi sungguh padat aktivitasnya.

Banyak pertanyaan dan harapan pada wikimu yang dilontarkan rekan-rekan di Jogja. Banyak kendala juga yang menghadang, seperti minat menulis masyarakat yang masih rendah, lalu belum banyak yang tahu soal wikimu, dll. Putri yang sedang bingung mencari topik skripsi, sedang melirik wikimu untuk dijadikan bahan penelitian. Boleh aja Mbak, nanti pasti banyak yang mau jadi responden. :)

Rencana semula gathering ini hanya 2 jam, dari pukul 16.00 - 18.00 WIB. Beberapa rekan memang ijin pamit pulang, tapi sebagian masih meneruskan berbincang. Banyak topik yang dibicangkan mulai dari soal kuliah, perkembangan kota Jogja, radio komunitas, Bantul yang tetep ndeso, dll. Ada satu topik utama, yang tak tanggung-tanggung yaitu tentang nasionalisme - abot tenan (berat nian)!

Tapi begitulah Jogja. Kota ini meskipun tidak sedinamis Jakarta (dalam hal perputaran uang), tetapi wong Jogja selalu serius membahas sesuatu. Cerita dari Salim yang asli Banjarmasin-Kalsel dan Longginus dari Panai-Papua, sedikit banyak membuka mataku yang dibesarkan di Tanah Jawi.

Menurut Salim di Kalimantan Selatan, setiap 17-an tidak semeriah di Jawa. Kalau di Banjarmasin, karena ada arahan dari pemerintah, maka setiap tanggal 17 ada upacara di instansi maupun sekolah. Tapi hanya itu, tidak lebih. "Kalau di Jawa ini kan luar biasa kegiatannya. Malam hari 16 Agustusnya ada tirakat, lalu sebelumnya ada lomba-lomba, karnaval."
Di Kalimantan Selatan tidak begitu meriah, karena mungkin perjuangan bersenjata melawan Belanda hampir tidak terasa. Tidak ada pertempuran Bandung Lautan Api, Surabaya 10 Nopember, Pertempuran 5 Hari Semarang, Serangan Umum 1 Maret, Pertempuran 5 Hari di Solo. Maka wajar bila tidak meriah. Hal yang sama juga berlaku di Papua.

Banyak hal menarik dari diskusi ini, mulai dari soal anakronisme, historigrafi lokal, sumpah pemuda, kepahlawanan, dll. Tapi aku mau menarik satu pendapat dari Longginus, yaitu nasionalisme akan lebih bermakna ketika negeri ini bisa menyejahterakan masyarakat, para guru mendapat fasilitas yang baik, rakyat bisa sekolah dan mendapat jaminan kesehatan. Sepakat deh!

Pukul 19.30 WIB kami bubar dari café tersebut sambil membawa cita masing-masing.










dari kiri : Yugyas, Agus, Nasir, Putri, Eva, Bajoe, Salim, Longginus










Dari kiri : Yugyas, Longginus, Hairus Salim, Putri, Pipien, Bajoe
-------------------------------------------------
Sumber: Wikimu.com
BACA TRUZZ...- Jogja : Gathering atau Diskusi?

Yang Penting S1, Mutu Nanti Dulu

Oleh: Chairoel Anwar

Kepulauan Riau, Program kualifikasi guru sudah digariskan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Dengan demikian, kualitas guru diharapkan meningkat.

Alhasil, dengan guru bermutu, kualitas pendidikan juga terdongkrak. Program yang dananya bersumber dari tiga anggaran (APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota), belakangan terus digiatkan. Demikian di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Maklum, dari sekitar 19-an ribu guru, sebagian besar guru di Kepri masih di bawah strata 1. Terbanyak di jenjang pendidikan dasar. Data Dinas Pendidikan (Disdik) Kepri tahun 2006 memaparkan, 95,26% guru SD belum S-1. Sementara, di jenjang SLTP ‘tinggal' 69,61%. Sedangkan, di jenjang SMA/SMK, hanya 37,24% guru yang belum S-1.

Dua tahun terakhir, setiap tahun Pemprov Kepri mensubsidi 600 orang guru untuk mulai meningkatkan kualifikasi akademiknya. Masing-masing Kabupaten/Kota mendapat kuota 100 orang. Setiap guru yang terpilih, dijatah beasiswa sebesar Rp 3 juta per tahun. Paling tidak, diharapkan pada tahun 2015 semua guru di Kepri sudah mengantongi ijazah S-1 yang relevan. Misalnya, guru yang ijazah D3-nya bahasa Inggris, juga harus melanjutkan S-1 bahasa Inggris."Untuk saat ini, kita tak usah dulu bicara mutu guru.

Yang penting, semua bisa S-1 dulu," demikian Ibnu Maja, Kepala Dinas Pendidikan Kepri. Selain itu, bagi guru yang sedang meningkatkan kualifikasi akademiknya, jangankan untuk meningkatkan mutu, selama kuliah pun mereka sudah kerepotan.

"Kalau guru kuliah sambil mengajar, sulit bagi mereka untuk memikirkan konsep peningkatan mutu di kelas. Tugas sebagai guru sudah banyak, ditambah lagi tugas sebagai mahasiswa. Mereka juga dikejar terget lulus," ucap Maja. Saat ini, imbuhnya, yang terpenting adalah guru-guru di Kepri harus sudah punya ‘SIM' untuk mengajar. UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, mensyaratkan kualifikasi tersebut. "Paling tidak, mutu guru baru bisa terlihat setelah tahun 2010-lah," ujar Maja.
-------------------------------------------
Sumber image: worldpress.com via wikimu.com
BACA TRUZZ...- Yang Penting S1, Mutu Nanti Dulu

Buku sebagai Gudang Ilmu

Oleh : Amrizal Muchtar

Istilah “buku adalah gudang ilmu” sampai saat ini masih sering terdengar. Istilah ini serupa dengan istilah “buku adalah jendela dunia”. Keduanya, entah dikarang oleh siapa, dimaksudkan untuk menekankan bahwa buku memang merupakan sesuatu yang amat sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, melirik dari dunia perbukuan di Indonesia saat ini, tampak jelas bahwa istilah pertama di atas mengalami perubahan makna yang amat memprihatinkan. Layaknya gudang yang merupakan sebuah ruangan di rumah yang jarang dikunjungi oleh anggota keluarga, demikian pulalah keadaan buku-buku di Indonesia. Walau tidak ada yang mengingkari banyaknya ilmu pengetahuan yang dikandung oleh buku, tapi karena minat baca yang kurang, maka buku hanya menjadi tempat penimbunan atau gudang ilmu pengetahuan.

Sudah jadi rahasia umum kalau kondisi perbukuan di Indonesia sangat carut-marut. Begitu banyak masalah yang melatarbelakangi hal ini. Bisa disebutkan, mulai dari budaya membaca yang kurang, produksi buku yang langka, sampai ke masalah perpustakaan yang bisa membuat kita mengelus dada tanda prihatin.

Dari dahulu sampai sekarang, buku memegang peranan sangat vital bagi manusia. Tanpa buku, mungkin manusia akan tetap hidup seperti manusia prasejarah yang kebanyakan mengandalkan hidupnya dari alam. Tanpa buku, tidak mungkin manusia mencapai kehidupan modern seperti sekarang ini. Di bukulah orang-orang pintar dunia menuliskan pengalaman, pemikiran dan teori-teori mereka. Itulah yang dimanfaatkan oleh orang-orang sesudahnya, makin lama makin dikembangkan, dan jadilah pengetahuan dan teknologi seperti sekarang yang manfaatnya telah dirasakan oleh hampir seluruh umat manusia.

Peranan buku semakin besar dengan semakin meluasnya sistem globalisasi di masa sekarang. Karena menyadari hal itulah maka masyarakat di negara modern semakin menghargai buku. Mereka sadar bahwa pengetahuan setiap saat selalu berkembang. Tanpa sering membaca, mereka dengan cepat akan ketinggalan jauh. Itulah sebabnya mereka sejak dahulu telah membudayakan kegiatan membaca pada diri dan keluarga mereka.

Akan tetapi, kondisi serupa ternyata tidak terjadi di negeri tercinta ini. Masyarakat kita masih saja teguh dengan tradisi lisan yang kental. Budaya ngobrol masih menjamur dimana-mana. Sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan para anak muda bercengkerama tidak karuan hanya untuk menghabiskan waktu kosong yang tercipta karena tidak adanya pekerjaan. Ini tentu saja sangat berbeda dengan prinsip masyarakat modern yang sangat menghargai waktu. Waktu adalah uang, begitulah prinsip mereka. Sebegitu pentingnya sehingga sedapat mungkin waktu kosong harus dimanfaatkan. Salah satunya dengan membaca.

Memang kalau mengamati dunia perbukuan di Indonesia, akan kita jumpai fakta-fakta yang mencengangkan. Kesenjangan kualitas perbukuan Indonesia dengan negara lain termasuk negara Asia Tenggara sangat jauh. Taufik Ismail, sastrawan ternama, setelah meneliti perbandingan jumlah bacaan siswa SMU di beberapa negara menemukan bahwa jika dibandingkan, jumlah bacaan siswa SMU di Amerika mencapai 30-an buku, di Malaysia 6 buku dan di Indonesia 0 buku.

Dalam hal produksi buku pun, Indonesia masih ketinggalan jauh. Malaysia yang nota bene jumlah penduduknya hanya 10 persen dari Indonesia menghasilkan 7000 judul buku setiap tahun. Thailand menghasilkan 10000 judul buku pertahun. Adapun Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia hanya memproduksi paling tinggi 5800 buku pertahun.

Ada satu lagi fakta yang patut dicermati. Menurut data yang disajikan Kepala Sub-Bidang Kerjasama Perpustakaan Nasional RI, Sauliah, pengguna buku koleksi sumbangan dari PBB dan Bank Dunia sangat minim. Dalam rentang waktu antara 1995 hingga 1999, buku sumbangan badan internasional tersebut hanya dibaca oleh 536 orang. Kalangan pembaca terbesar adalah pelajar dan mahasiswa. Dari jumlah itu pun ada kecenderungan jumlah pembaca buku-buku koleksi sumbangan dari PBB/Bank Dunia itu dari tahun ke tahun semakin menurun. Jika tahun 1995 tercatat 161 pembaca, tahun 1996 tinggal 134 pembaca. Tahun berikutnya, 1997, turun lagi menjadi hanya 76 pembaca. Meski tahun 1998 sempat naik jadi 84 pembaca, tetapi tahun 1999 kembali turun menjadi 81 pembaca (Kompas, 1 Februari 2000).

Fakta-fakta kepayahan dunia perbukuan kita di atas memang memprihatinkan dan memalukan mengingat semboyan yang selalu digemborkan bahwa kita adalah bangsa besar dan kaya. Tapi itulah kenyataannya. Banyak faktor yang mendasari hal ini dan sifatnya nasional. Faktor-faktor itu terjadi di seluruh nusantara. Itulah sebabnya sehingga ini menjadi masalah yang tidak mudah untuk diatasi.

Salah satu faktornya yaitu kurangnya minat baca di kalangan masyarakat Indonesia. Seperti disebutkan di atas, budaya lisan masih sangat mendominasi, sehingga budaya tulisan sukar mengambil alih. Kesadaran untuk meraih ilmu pengetahuan dari buku-buku masih sangat kurang.

Minat baca tentulah bukan barang yang mudah dibentuk hanya dengan suruhan atau perintah sekali saja. Minat baca berkaitan dengan kebiasaan. Jadi tentulah minat baca harus dipupuk sedini mungkin. Akan tetapi kenyataan yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Jarang sekali anak-anak Indonesia yang dibimbing untuk suka membaca. Hanya sekitar 15 persen orang tua yang menaruh perhatian pada kemampuan dan kesukaan membaca anak. Sisanya 85 persen diberikan oleh guru. Ini berbeda jauh dibandingkan dengan Amerika. Di negara maju itu sebagian besar waktu belajar siswa dihabiskan bersama bimbingan orang tua.

Faktor lain yang memperparah kelesuan perbukuan di negeri ini adalah berkembangnya teknologi pertelevisian. Tak dapat dipungkiri bahwa media televisi sudah sangat mempengaruhi kegiatan manusia. Media ini bersifat progresif dan sangat menggoda manusia untuk betah duduk berlama-lama di depannya. Dampaknya tentu saja pada habisnya waktu efektif yang mungkin saja bisa digunakan untuk kegiatan lain seperti membaca.

Pengaruh televisi ini tidak nampak di Indonesia saja. Anak-anak sekolah di negara maju pun yang nota bene punya tradisi membaca yang tak kepalang, menurut sejumlah penelitian, menghabiskan waktunya 60-90 jam perpekan di depan televisi. Bisalah dipikirkan, kalau di negara maju saja seperti itu, bagaimana pula dengan Indonesia yang masih erat dengan tradisi lisan yang sejalan dan sebangun dengan wadah komunikasi televisi.

Selain masalah budaya dan teknologi, faktor perpustakaan juga tidak boleh diacuhkan. Faktor ini ternyata memegang peranan besar juga dalam kepayahan dunia perbukuan Indonesia. Perpustakaan merupakan sarana termudah dan termurah bagi masyarakat untuk dapat membaca buku. Akan tetapi ternyata kondisi perpustakaan di Indonesia sama hancurnya dengan kondisi perbukuan itu sendiri. Kondisi perpustakaan di Indonesia sangat memprihatinkan dan tertinggal, baik dari sisi kumpulan bahan bacaan maupun sumber daya pengelolaan. Diidentifikasi dari 110 ribu sekolah di Indonesia, yang sudah mempunyai perpustakaan hanya sekitar 18% saja. Demikian pula dari 64.000 desa, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%. Sedangkan jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan, baru sekitar 31% dari jumlah yang diperlukan. Kondisi itu diperparah dengan banyaknya perpustakaan yang belum punya standardisasi dan masih sangat kurangnya tenaga profesional perpustakaan (Media Indonesia, 8 September 2000).

Menurut Kepala Bidang Pembinaan Sumber Daya Perpustakaan Nasional, Rachmat, dari sekitar 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP. Dari sekitar 70 ribu unit SLTP, cuma 36 persen yang memenuhi standar. Adapun untuk SMU, cuma 54 persen yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari sekitar 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 persen yang memenuhi standar. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80 sampai 90 persen yang memiliki perpustakaan dengan kualitas standar (Republika, 20 Mei 2000).

Kondisi ini tentu sangat erat kaitannya dengan minimnya anggaran perpustakaan dari pemerintah. Saat ini anggaran perpustakaan hanya Rp 1,5 milyar untuk setiap provinsi. Adapun idealnya, harusnya Rp 2,5 milyar (Kompas, 31 Oktober 2000).

Dari semua kenyataan di atas, semakin jelaslah kesuraman dunia perbukuan di Indonesia. Akan tetapi hal itu janganlah membuat kita menyerah. Semuanya itu masih bisa diatasi asal ditangani secara serius. Semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat harus ikut andil di dalamnya. Kualitas perpustakaan harus ditingkatkan, dan kebijakan undang-undang perbukuan harus dipantau lagi dan diperbaiki sehingga harga buku pun bisa terjangkau oleh masyarakat. Dua hal terakhir ini merupakan urusan pemerintah. Adapun yang bisa kita lakukan sebagai anggota masyarakat setidak-tidaknya adalah dengan membudayakan minat baca di diri, dan keluarga kita. Seringlah-seringlah mengunjungi “gudang ilmu” itu agar tidak lagi menjadi gudang yang sebenarnya.
-----------------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071121071115
BACA TRUZZ...- Buku sebagai Gudang Ilmu

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut