Widarmi:”… Paling Menderita Adalah Penduduk Papua Asli”

Senin, November 05, 2007

“Mungkin ini panggilan Tuhan. Saya sudah melakukan perjalanan dari Sabang sampai Merauke, termasuk ke daerah-daerah pedalaman dan saya melihat yang paling menderita adalah penduduk Papua asli,” kata Dra Widarmi Dipawirya Wijana, MM seperti dikutip Sinar Harapan (27/5).

Ibu Widarmi. Begitulah orang menyapanya. Perempuan yang lahir di Yogyakarta 5 Januari 1953 ini memang benar bila dia mengatakan yang paling menderita adalah penduduk asli Papua. Masalahnya hal itu dia ungkapkan berdasarkan pengalaman enam tahun perjalanan menjelajahi wilayah Papua. Tentunya dengan berbagai fenomena yang dialami, dan ilihat, dan dorasakannya di tanah Papua.

Fenomena tersebut dia tumpahkan dalam sebuah buku berjudul “Mutiara Hitam, Potensi Papua Yang Tersembunyi”. Ibu yang sejak kecil menjadikan buku sebagai sahabat itu, lebih suka menyebutkan anak-anak asli Papua dengan sebutan “mutiara hitam”.

Ibu dari Srikandi Britania dan Made Pasifik Alfa seperti yang dikutip Sinar Harapan 4 Juni 2007 itu, lebih suka menyebut anak Papua asli dengan “Mutiara Hitam”. Menurutnya,
anak-anak Papua memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat, kulit hitam legam, dengan bola mata yang berbinar-binar, bulu mata yang letik, rambut keriting, serta gigi yang putih bersih.

Selama melakukan perjalanan ke tanah Papua, Widarmi masih melihat banyak “Mutiara Hitam” yang belum sejahtera. Bahkan oleh sebagian masyarakat, mereka masih dianggap sebagai masyarakat yang primitif. “Telah banyak perubahan di tanah Papua, tetapi perjalanan tersebut belum bisa mengangkat derajat “mutiara hitam” menjadi bagian yang sama sebagai warga negara Indonesia yang dapat menikmati hasil kemerdekaan,” ujarnya seperti yang dikutip Sinar Harapan, 27 Mei 2007.

Kepala Bagian Kelompok Bermain, Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Depertemen Pendidikan Nasional itu mengatakan, “Mutiara Hitam” masih jalan di tempat. Mereka belum merasakan nikmatnya makan dari hasil bumi tanah Papua. Mereka juga belum merasakan bahagia mampu membaca buku untuk menggali berbagai pengetahuan. “Ironisnya lagi, ada beberapa ‘Mutiara Hitam’ yang tidak tahu bila mereka tinggal di negara Indonesia yang mempunyai bendera Merah Putih,” lanjutnya. Mereka tidak bisa mengakses layanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Dalam keadaan tidak memperoleh pendidikan dan keterampilan yang layak, mereka harus bangkit dan mengelola sumber daya alam yang mereka dapatkan dari Tuhan.

Pada acara Launching Buku Mutiara Hitam "Potensi Papua Yang Tersembunyi dan Album Perdana tiga Bintang Papua karyanya di Jakarta (Kamis, 24 Mei 2007) lalu, Widarmi mengatakan, keinginannya membuat buku tentang Papua itu dilatarbelakangi oleh adanya buku yang dibuat oleh orang Amerika yang menyebutkan bahwa masyarakat Papua merupakan masyarakat primitif. “Buku ini saya buat dengan maksud memberitahukan kepada masyarakat, khususnya orang-orang asing, bahwa masyarakat Papua bukanlah masyarakat primitif. Mereka punya potensi yang tersembunyi yang perlu diangkat,” kata pendamping Komunitas Pendidikan Papua (KPP) itu.

Lebih lanjut dia mengatakan, meski tanah Papua dilimpahi Tuhan bahan pangan yang berlimpah, tetap saja “Mutiara Hitam” tidak mampu membeli baju, alat rumah tangga, dan keperluan rumah tangga yang layak. Bahkan Papua yang dikaruniai Tuhan dengan wilayah yang luas hanya memiliki dua juta penduduk.

Hal ini disebabkan angka kematian bayi dan balita yang tinggi di sana. Hanya sebagian kecil saja “Mutiara Hitam” yang mencapai sukses berkat perjuangan mereka yang sangat luar biasa untuk meraih pendidikan. Mengangkat derajat “Mutiara Hitam” agar menjadi sehat dan cerdas serta sejajar dengan warga negara Indonesia lainnya harus dibangun bersama dari awal, bertahap, dan terus-menerus.

Menurut istri Made Wijana itu, tanpa komitmen yang kuat, tidak mungkin dapat digali potensi “Mutiara Hitam” yang tersembunyi, baik potensi alamnya maupun potensi sumber daya manusianya. “’Mutiara Hitam’ hanya dipakai sebagai simbol dan dalam kenyataannya mereka selalu dijadikan kambing hitam. Kita tidak pernah memahami bahwa ‘Mutiara Hitam’ sampai saat ini masih tertinggal.”
---------------------------
Sumber: Majalah Selangkah

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut