Sudahkah Sekolah Sebagai Lembaga Pembebasan

Minggu, November 11, 2007

Oleh Rahayu Suciati

Apakah lembaga pendidikan di Indonesia sudah melaksanakan fungsinya selayaknya? Tidak perlu buru-buru menjawabnya. Mari kita diskusikan makna hakiki pendidikan itu sendiri. Sejatinya, pendidikan adalah proses untuk memanusiakan manusia. Hal inilah yang mendasari pemikiran Paulo Freire, pendidikan adalah praktek pembebasan, bukanlah transfer atau transmisi pengetahuan dari berbagai kebudayaan.

Pendidikan bukan pula perluasan pengetahuan teknis. Pendidikan adalah, sekali lagi, praktek pembebasan. Pembebasan dari belenggu kebodohan, kemiskinan, penindasan, ketakutan, ketidak-berdayaan, dan segala perasaan yang mengukung jiwa manusia. Pokoknya pendidikan dikatakan berhasil apabila melaksanakan tugasnya untuk memanusiakan manusia. Titik!
Mari prihatin bersama-sama atas sempitnya pandangan bangsa kita terhadap pendidikan. Pendidikan dikerdilkan artinya sebatas proses belajar di lembaga pendidikan. Padahal, sekolah-sekolah kita masih jauh dari memadai.

Jika memang benar sekolah di Indonesia sudah melaksanakan fungsi pendidikan secara benar, mengapa masih banyak rakyat yang akrab dengan kemiskinan setelah lulus? Mengapa masih banyak siswa yang ketakutan dan terbelenggu ‘premanisme’ dan adikuasa yang dilanggengkan di sekolah-sekolah?

Mengapa masih banyak siswa yang pandai menghapal pelajaran tetapi bodoh mempraktekannya, dan ‘idiot’ bersikap? Kalau begitu, dapatkah dikatakan, sekolah-sekolah kita bukanlah institusi pendidikan, sekadar institusi penyelenggara pengajaran? Entahlah.
Sekolah yang dielu-elukan sebagai institusi pendidikan malahan terkesan sebagai lembaga pelatihan kerja, atau bisa jadi, lembaga pelatihan buruh para pemilik modal. Bertahun-tahun waktu untuk bersekolah hanyalah bermuara pada satu titik, menjadi karyawan di perusahaan.Syukur-syukur kalau perusahaan itu milik bangsa. Ironisnya, lebih banyak perusahaan asing. Jadilah kita yang punya negara cuma jadi bawahan terus-terusan sedangkan orang asing menjadi Tuan.

Parahnya lagi, asumsi yang semakin mengakar, gengsi akan semakin besar jika berhasil bekerja di perusahaan asing. Tak lain karena kualifikasi yang ketat, gaji yang besar, dan alasan lainnya. Padahal orang asing itu punya modal dan duit yang melimpah toh tak lain dari hasil mengukuti harta alam kita. Apa bukan konyol namanya.

Dan hal inilah yang menyebabkan banyak lulusan sekolah yang tidak sanggup bergantung pada dirinya sendiri. Tak jarang siswa yang pontang-panting belajar di sekolah atau di perguruan tinggi tapi tidak mendapat pekerjaan, malahan digilas kemiskinan. Lalu bagaimana fungsi pendidikan sebagai pembebasan dari kemiskinan?

Bukan tidak mungkin sistem sekolah membawa bangsa pada ‘kesesatan’. Pelajar disuapi dengan berbagai pelajaran dan pengajaran yang bukannya menjadikan mandiri menghidupi diri sendiri, namun justru menjadi tergantung dan bermental bawahan.

Tak lain dari pengaruh “asal bos senang” yang digembleng oleh para guru kepada murid-murid kita. Kebanyakan pendidik kita yang gila hormat menggiring muridnya dalam jarak yang begitu terbentang antara guru dan murid. Boro-boro untuk bertukar pikiran, bertemu guru di luar sekolah malah direspons seperti hantu yang mereka hindari sosoknya.

Tujuan yang ingin dicapai guru kita sebenarnya amat baik, yaitu melatih sopan-santun pada orang yang lebih tua. Tetapi, tentu tidak harus dengan melatih siswa menjadi orang yang manut-manut saja sehingga kebebasan untuk memberi saran dan pendapat sudah dikebiri. Sebagai orang yang ‘berilmu’ dan makan asam garam haruslah lebih dihormati dan dituruti perkataannya.

Padahal jika mau sadar diri, para siswa tidak mustahil menguasai ilmu yang lebih baru daripada mereka. Dengan membuat para siswa terpaksa hormat malah membuat mereka menjadi tidak hormat dan mengejek di belakang. Tak heran kalau budaya siswa sekolah kita bahkan budaya pekerjanya adalah begitu hormat dan mengelu-elukan para guru atau bosnya di depan tapi menginjak-injaknya di belakang.

Kalau sudah begini pendidikan di sekolah bukannya membebaskan manusia dari rasa takut tetapi malah semakin menjebak bangsa ke dalam rasa takut. Coba saja jika para pengajar lebih low profile, jurang antara guru dan murid akan menipis. Sehingga, selain menjadi guru, menjadi labuhan berbagi masalah.

Dengan begitu perasaan sayang dan hormat pada guru akan timbul sendiri tanpa dipaksa. Seperti di sekolah-sekolah Amerika, dimana para pengajarnya bisa begitu dihormati di kelas namun ketika di luar kelas suasana akrab terbangun. Bila demikian, fungsi pendidikan untuk membebaskan manusia dari rasa takut pastilah bisa terlaksana.

Ada hal lain lagi yang tak kalah memprihatinkan. Di banyak sekolah di negara kita, yang namanya penindasan cukup mendarah daging. Wujud dan bentuknya memang terselubung, tapi contoh nyatanya bisa kita temui dengan mudah.

Salah satunya adalah pembelian buku materi yang diwajibkan dan diharuskan bagi para siswa. Mungkin bisa dikatakan sistem pendidikan di negara kita ini sudah berkomplot dengan bisnis percetakan buku. Hal ini bisa dilihat dari wajah buku-buku pelajaran yang terus berganti tiap tahunnya padahal isi dalamnya tetap begitu-begitu saja. Lalu para murid pun dipaksa untuk membeli buku-buku itu.

Yang namanya paksaan berarti ada ancaman yang menyertai jika tidak dipenuhi. Dan ancaman yang dibebankan pada siswa berupa pemotongan nilai sudah bukan rahasia lagi. Siswa mana sih yang mau nilainya di ‘sunat’ jika tidak membeli buku. Wah, disinilah bisa terlihat bagaimana ‘premanisme’ masuk sekolah, dan bisa jadi tidak kalah maut dari pukulan dan tendangan ‘para senior’. Sekali lagi, dimana fungsi pendidikan membebaskan dari penindasan?Sayangnya, di negara kita, yang namanya pintar hanyalah sebatas nilai di atas kertas. Jika seseorang bisa menjawab ujian dengan benar dan mendapat nilai bagus maka dikatakan anak pintar.

Padahal nilai itu tak selalu bisa mencerminkan isi kepala seseorang. Segala hal bisa dilakukan untuk mengakali guna mendapatkan nilai. Mulai dari mencontek, membayar bocoran soal, dan banyak cara lainnya. Kepintaran siswa lebih dihargai berdasarkan kepintarannya di atas kertas ketimbang minat dan bakat alamiahnya.

Bandingkan dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat, etos belajar dan tanggungjawab dibangun sejak dini. Siswanya punya tanggungjawab besar untuk belajar tanpa paksaan, tidak bergantung pada teman atau orang lain. Karena itu, budaya mencontek jauh dari mereka.
Mereka punya kesadaran, jika ingin maju harus dimulai dari diri sendiri. Nilai yang didapat adalah nilai murni dari usaha sendiri. Kontras sekali dengan siswa kita, dimana mencontek sudah hal lumrah.Padahal jika direnungkan, percuma saja angka tinggi di buku rapor atau di ijazah jika bukan merupakan cerminan kemampuan sebenarnya.
Jika demikian adanya, institusi sekolah kita secara tidak langsung menanamkan pendidikan kebodohan. Pada tingkat lebih memalukan, ada yang ‘menjual’ gelar Doktor, bahkan predikat profesor pun bisa dibeli.

Jangan-jangan pendidikan memanusiakan manusia sudah keropos prakteknya. Atau memang tidak pernah ada? Tidak tahu lah. Yang jelas jika pendidikan itu sudah berhasil memanusiakan manusia, pastinya manusia Indonesia itu sudah lama bebas dari kukungan rasa takut, kebodohan, penindasan dan segala hal yang menghambat pembentukan manusia seutuhnya, bebas berpikir dan menggunakan pikirannya memperbaiki mutu hidupnya sendiri.

Jika pendidikan sudah berhasil melaksanakan fungsinya, pastilah manusia Indonesia akan menjadi manusia yang bebas menentukan hidup dan bebas bersikap sebagaimana ia diperlakukan, bukan hanya sekedar manusia yang terus-terusan meyandang moto hidup ABS.
Apakah pendidikan hanya mengajarkan manusia Indonesia menjadi manusia bawahan? Apakah pendidikan kita harus mendidik manusianya terus-menerus terjerumus dalam lingkaran kebodohan akibat sistem nilai yang diterapkan tanpa adanya penyadaran untuk menghargai hasil kerja dan usaha diri sendiri terlebih dahulu?

Semoga semua pihak prihatin atas kondisi pendidikan di Indonesia. Semoga suatu saat kelak, terutama calon guru dan para orangtua bisa mewujudkan fungsi pendidikan yang sebenarnya bagi generasi kita berikutnya.

Bujur kalo? Semoga saja …
------------------------------------------------
http://rahayusuciati.wordpress.com/2007/08/05/

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut