Quo Vadis, Pendidikan dan Pembebasan Papua

Rabu, November 07, 2007

Oleh Longginus Pekey*)

Sejarah telah menunjukkan bahwa pendidikan merupakan hal yang paling esensial dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Dengan adanya pendidikan akan melahirkan kaum intelektual yang kritis. Kehadiran kaum intelektual sangat berperan dalam perkembangan suatu negara bangsa dan terutama adalah ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka hadir sebagai tokoh-tokoh revolusioner yang sangat aktif, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah kehidupan manusia.

Pendidikan sebagai suatu praktek pembebasan (Paulo Freire). Artinya bahwa pendidikan dapat menyelamatkan orang dari ketertindasannya, juga dapat menyelamatkan orang dari suatu keterasingan. Dengan adanya pendidikan akan melahirkan jiwa-jiwa pembebas yang benar-benar memperjuangkan kemanusiaan. Mereka mengerti akan realitas yang sedang terjadi, dan juga tindakan yang harus dilakukan dalam mengahadapi situasi jamannya. Mereka hadir sebagai pembebas kaum tertindas.

Seorang intelek berjiwa pembebas inilah yang sangat diharapkan kehadiranya di tanah Papua. Seorang intelek yang dapat membebaskan jiwa-jiwa yang terasing di negerinya. Seorang intelek yang peduli akan hakekat sebagai sesama manusia sehingga dapat berbaur dengan masyarakat, bukan jiwa intelek yang memperhatikan dirinya sendiri. Orang Papua tidak menginginkan seorang intelek yang pandai menipu, bukan seorang intelek yang pandai memeras. Dan tidak samasekali mengharapkan kehadiran intelek yang mengajarkan tentang individualisme, kolektifisme, egoisme yang telah menjadi budaya kapitalis, karena hal ini bukanlah ciri khas orang Papua yang berjiwa sosial. Yang lebih diharapkan lagi oleh orang Papua adalah sistem pendidikan yang membebaskan, artinya lokalitas, pemebelajaran yang sesuai dengan konteks Papua. Bukan sistem pendidikan yang membodohi, dengan menjadikannya pendidikan sebagai lahan bisnis serta memiliki kepetinga politik lain yang merugikan rakyat Papua.

Sejak zaman kolonial Belanda, Papua telah dikenalkan dengan sistem pendidikan formal tetapi sifatnya mengarah pada suatu praktek seperti berkebun, menjahit, beternak yang konteksnya pada saat itu cukup sesuai denga keberadaan orang Papua. Adapun sekolah formal yang mengajarkan tentang ilmu pendidikan dan teknologi hal ini terlihat dengan adanya bangunan-bangunan sekolah bekas peninggalan Belanda ataupun sekolah-sekolah yang dibangun oleh misi sosial (Zendin). Begitupun setelah Papua berintegrasi dengan Indonesia, banyak sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah. Namun mengapa pendidikan di Papua bukan mencerdaskan tetapi membodohi masyarakat dengan sistem yang sentralistik ? Hingga sampai sekarang ini dapat dikatakan sumber daya manusia Papua kurang terkembangkan.

Orang melakukan suatu kegiatan (pekerjaan) tentunya memiliki suatu keinginan yang mau dicapai dengan hasil (tuaian) yang baik, namun yang terjadi justru sebaliknya. Dalam sistem pendidikan Indonesia yang di terapkan di Papua dengan sistem sentralistiknya berusaha mengindonesiasi rayat Papua dengan berbagai tujuan. Inilah yang menjadi tujuan dari pusat sehingga pembangunan di Papua baik pada masa orde lama maupun selama orde baru tidak berjalan baik. Kadang pemerintah dengan kekuatan militernya melakukan penindasan mental agar orang Papua tidak dapat melakukan suatu hal yang sifatnya membangun ataupun mengembangkan kebudayaan Papua sehingga nasionalisme etnis Papua yang telah tumbuh dan berkembang dengan sendiri berusaha dimatikan. Sejarah yang selalu berkata benar berusaha unutk di bohongi. Inilah identitas dari bangsa Indonesia yang mulai bobrok, yang berani bermain-main dengan sejarah. Ketika sejarah hadir dengan kebenarannya maka selamat tinggal (hancur) Indonesiaku.

Secara kultur dan ras orang Papua sangatlah berbeda dengan manusia Indonesia lainya. Pemerintah Indonesia selama ini tidak pernah memikirkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi Papua, karena termakan oleh keinginan mengambil kekayaan dan kebebasan. Pemerintah pusat pada zaman orde lama maupun orde baru jarang berpikir untuk membiarkan Papua ataupun daerah lain untuk mengatur dirinya sendiri. Negara federal yang ditawarkan oleh Belanda dihiraukan begitu saja oleh Indonesia.

Menjadi tantangan para pemimpin dan intelek Papua dalam mecari sistem pendidikan yang sesuai dengan kondisi alam setempat. Di sekolah anak didik dipaksakan untuk belajar atau memahami hal yang baginya sangat asing dan abstarak. Hal itu dilakukan sesuaai dengan keinginan pusat sehingga yang terjadi adalah pengkondisian, dengan alasan politis yaitu intetegrasi bangsa.

Akibat dari pengkondisian itu pendidikan maupun pembangunan tidaklah merata. Orang Papua merasakan pendidikan hanya setengah-setengah sehingga hasilnya pun setengah-setengah. Dari pada setengah-setengah lebih baik tidak sama sekali, karena hasil dari setengah-setenah dampak baiknya sangat kecil yaitu menghasilkan sedikit saja intelek Papua yang mampu berpikir kritis tentang daerahnya. Tetapi merekapun termakan oleh sistem yang berpusat. Mereka dikontrol sehingga tidak dapat melakukan suatu terobosan baru bagi daerahnya, malah menjadi manusia penindas sesamanya (homo homuni lupus). Sebagaimana yang nyata sekarang bahwa Papua merupakan salah satu provinsi dengan koruptor terbesar di Indonesia inilah hasil dari pendidikan yang setengah-setengah itu. Dampak dari semua itu dapat kita rasakan bahwa sumber daya manusia Papua masi dipertanyakan.

Dengan adanya otonomi daerah besarlah harapan bagi orang Papua untuk membangun daerahnya untuk mencapai suatu kemerdekaan pribadi. Pemerintah Indonesia telah memberikan hak sepenunya kepada Pemerintah Daerah untuk membangun negerinya. Denga demikian kita tidak perlu lagi bergantung pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan baru yang dikiranya cukup baik bagi perkembangan pembangunan dan sumber daya manusia Papua yang masih kurang terkembangkan. Kiranya yang perlu difokuskan adalah bidang pendidikan yang dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga!!

*) Ketua Komunitas Pendidikan Papua
------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut