PERILAKU SEKSUAL REMAJA

Selasa, November 13, 2007

Saatnya Orang Tua, Guru dan Masyarakat Tahu

OLeh Longginus Pekey*)

Tong semua tahu, seks merupakan salah satu kebutuhan manusia. Ini tidak dapat ditolak. Kenyataannya sekarang di Papua dan dunia pada umumnya, seks bukan lagi sesuatu yang tabu. Berkaitan ini Sigmund Freud seorang psikolog klasik yang sangat kontrovesial pernah mengemukakan, dorongan seksual manusia merupakan motivasi paling kuat untuk melakukan tindakan dalam kehidupan manusia.

Generasi muda dewasa ini perlu mengetahui masalah seks sejak dini. Semua pihak, seperti orang tua, guru, tokoh agama dan masyarakat perlu memahami masalah seks. Harapannya, yang pertama memberikan keterangan tentang seks adalah orang tua. Orang tua bisa menjelaskan kepada anak-anaknya. Ini penting untuk menghindari terjadi prilaku seks di luar kewajaran, seperti kehamilan di luar nikah dan seks bebas. Tentu tindakan seperti itu tidak sesuai dengan norma-norma adat dan norma-norma agama.

Manusia itu binatang bernalar, punya pikiran. Inilah yang membedakan kita dengan binatang seperti anjing, sapi dan lainnya. Dunia remaja adalah dunia coba-coba, keinginan besar untuk mengetahui apa saja, juga terutama masalah seks. Di sekolah pengenalan reproduksi masih dirasa tabu dan tidak penting.

Karakteristik Perilaku Seksual Remaja
Ahli psikolog, Elizabeth B Hurlock mengatakan, bagi remaja dorongan untuk melakukan hubungan seks datang dari tekanan-tekanan sosial, terutama dari minat remaja pada seks dan keingintahuannya tentang seks. Karena meningkatnya minat pada seks remaja selalu mencari pelbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh tentang seks.

Remaja memperoleh pendidikan seks melalui saluran yang tidak pas. Sehingga wajar bila terjadi perilaku seks yang menyimpang. Dalam sebuah diskusi tentang sekolah perlu ajarkan pendidikan seks di Yogyakarta, seorang anak remaja mengakui pendidikan seks didapatnya dari buku bacaan dan dari informasi yang diberikan temannya. Katanya, karena di sekolah tidak ada mata pelajaran khusus membahas pendidikan tentang organ seksual. Bahkan katanya, karena tidak mengetahui pendidikan seks dengan benar bebarapa temannya harus menanggung malu karena hamil. Mereka itu tahun enaknya saja, namun belum mengerti apa akibat yang ditimbulkan (Baca: Radar Jogya, 13 Januari 2005).

Sangat penting! Akan sangat membantu remaja bila pendidikan seks (kesehatan reproduksi) dijadikan materi tambahan di sekolah. Materi kesehatan reproduksi diberikan alokasi tersendiri, bisa dijadikan kegiatan ekstrakurikuler yang wajib diikuti para siswa. Ini penting untuk memberi pemahaman pada remaja dampak negatif perilaku seks bebas. Harapannya kita pada akhir masa remaja sebagian besar remaja laki-laki dan perempuan sudah mempunyai cukup informasi tentang seks.

Telaah-telaah tentang apa yang terutama ingin diketahui tentang seks menunjukan bahwa perempuan sangat ingin tahu tentang: keluarga berencana (“Pil Antihamil”), pengguguran, dan kehamilan. Sementara, laki-laki ingin mengetahui tentang: penyakit kelamin, kenikmatan seks, hubungan seks, dan keluarga berencana. Minat utama mereka tertuju pada masalah seks, konteksnya, dan akibat.

Perkembangan Pranan Seks pada Remaja
Bagi remaja perbincangan mengenai hubungan seks bukan hal yang tabu, sudah menjadi hal yang biasa. Sekarang dianggap benar dan normal atau paling sedikit di perbolehkan. Bahkan hubungan seks di luar nikah dianggap benar apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai dan saling terkait. Senggama yang disertai kasih sayang lebih diterima dari pada bercumbu sekedar melepas nafsu.

Hurlock berpendapat, penggolongan peran seks atau belajar melakukan peran seks yang diakui lebih mudah bagi laki-laki dari pada perempuan. Pertama, sejak awal masa kanak-kanak laki-laki telah disadarkan akan perilaku yang patut dan didorong, didesak atau bahkan dipermalukan untuk upaya penyesuaian diri dengan standar-standar yang di akui. Kedua, dari tahun ke tahun laki-laki mengetahui bahwa peran pria memberi martabat yang lebih terhormat dari pada peran wanita.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Remaja
Menurut Elizabeth B Hurlock, beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seks pada remaja. Pertama, faktor perkembangan yang terjadi dalam diri mereka berasal dari keluarga di mana anak mulai tumbuh dan berkembang. Hubungan cinta kasih orang tua merupakan faktor utama bagi seksualitas anak selanjutnya. Pendidikan yang diberikan oleh orang tua dalam suatu keluarga merupakan dasar bagi pendidikan selanjutnya.

Dalam hal ini sikap orang tua dapat digolongkan menjadi tiga, (1) orang tua yang melarang anak-anaknya membicarakan soal-soal seks, karena itu dianggap tabu; (2) orang tua yang acuh tak acuh. Mereka sama sekali tidak memperhatikan pendidikan anak-anaknya, termasuk dalam hal seksualitas; (3) orang tua yang benar-benar memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Mereka mau memberi penjelasan tentang pergaulan putra-putrinya.

Kedua, faktor luar yang mencakup sekolah cukup berperan terhadap perkembangan remaja dalam mencapai kedewasaannya. Di sekolah mereka dihadapkan dengan pemikiran dan pandangan serta penilaian yang lebih obyektif, termasuk dalam soal seksualitas. Namun sayang, realitasnya kebanyakan sekolah kurang berani dan belum menangani secara serius.

Ketiga, masyarakat yaitu adat kebiasaan, pergaulan dan perkembangan di segala bidang khususnya teknologi yang dicapai manusia pada dewasa ini. Bagi remaja desa, di mana masyarakat masih menjaga dan melindungi adat secara ketat, sedikit sekali anak berprilaku berandalan. Lingkungan masyarakat yang baik akan mempengaruhi orang yang baik dan kuat. Pada masyarakat kota, di samping orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, lingkungan masyarakat juga besar pengaruhnya terhadap perkembangan anak.

Masalah Perilaku Seksual Remaja
Lebih lanjut Hurlock, mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja: Pertama, Perasaan Superioritas Maskulin. Perasaan lebih unggul yang dirasakan oleh anak laki-laki terhadap perempuan ketika masa akhir kanak-kanak. Dalam masa remaja anak laki-laki menaruh perhatian pada anak perempuan dan berkencan, namun perasaan superioritas tetap masih ada.

Superioritas anak laki-laki biasanya diungkapkan dengan anak laki-laki berperan lebih dalam berbagai bidang; sekolah, sosial dan masyarakat. Meskipun anak perempuan juga tidak menutup kemungkinan berperan lebih penting dalam bidang tertentu, namun anak laki-laki merasa ia yang lebih pantas dan menganggap hal ini gengsi. Di samping itu anak laki-laki berusaha menunjukkan keunggulannya dengan mencapai prestasi yang lebih tinggi dari pada prestasi anak perempuan.

Kedua, Prasangka Seks (seks bias). Prasangka seks atau keunggulan cenderung merendahkan prestasi wanita meskipun berprestasi melampaui prestasi pria, erat hubungannya dengan perasaan keunggulan laki-laki remaja yang berkembang dengan penggolongan peran seks. Anak permpuan mungkin mengetahui bahwa kemampuan prestasinya dari pada anak laki-laki namun ia tidak berani mengungkapkan hal itu. Ketidakberanian mengungkapkan ini akan membahayakan dirinya untuk memperoleh dukungan sosial. Konsekuensinya, wanita menganggap bahwa prestasinya lebih rendah dari pada prestasi laki-laki bahkan sampai-sampai kaumnya benar-benar mempercayai anggapan ini.

Ketiga, Prestasi Rendah. Kesadaran tentang nilai yang dimiliki anak laki-laki bagi pasangan kencan dan pasangan hidup mendorong anak perempuan untuk berprestasi rendah dalam setiap kegiatan yang melibatkan kedua kelompok seks. Hal ini dilakukan karena untuk menyesuaikan diri dalam stereotipe tradisional tentang keunggulan maskulin. Dalam kegiatan-kegiatan yang hanya melibatkan anak perempuan, seperti di sekolah-sekolah yang khusus untuk anak perempuan., tidak ada alasan untuk berprestasi rendah, dengan demikian anak perempuan berprestasi sesuai dengan kemampuannya kecuali kalau ada alasan-alasan lain yang mengakibatkan prestasi rendah.

Keempat, Takut Berhasil. Di balik prestasi yang rendah pada beberapa anak perempuan terdapat rasa takut berhasil---ketakutan yang didasarkan pada anggapan bahwa keberhasilan akan menghalangi diberikannya dukungan sosial oleh anak laki-laki dan meletakkan halangan yang sangat besar dalam proses pemilihan pasangan hidup. Meskipun ketakutan ini bersifat sementara sampai anak perempuan menemukan sang idaman untuk menikah, ketakutan ini dapat memperkuat kecenderungan untuk berprestasi rendah, suatu kecenderungan yang dapat sering kali menjadi kebiasaan untuk berprestasi rendah sepanjang hidup. Hal ini jarang terjadi pada anak perempuan yang mengikuti sekolah khusus untuk anak perempuan dibandingkan dengan perempuan yang bersekolah di sekolah campuran.

Untuk itu besar harapan kami, semua oknum: orang tua, guru, masyarakat, tokoh agama dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang seks yang benar kepada remaja. Karena saat ini berbicara masalah seks bukan lagi hal yang tabu. Remaja harus mengetahuinya. Para pendidik diharapkan memahami karakteristik perilaku seksual remaja, perkembangan peranan seks pada remaja, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja.

*Ketua Komunitas Pendidikan Papua
-----------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut