Penyadaran Demi Pembebasan

Senin, November 05, 2007

Dalam gerakan pendidikan pembebasan berpemahaman bahwa pendidikan bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan di kalangan ini adalah proses pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas dan kebebasan.

Di sekolah-sekolah rakyat dan alternatif individu adalah subyek dan titik pusat pendidikan. Seluruh paradigma pendidikan otoriter di sekolah tradisional dijungkir-balikkan, karena seperti dikatakan Ivan Illich, di dalamnya individu hanya dijadikan kuda beban atau domba korban yang melayani kepentingan penguasa dan praktek diskriminasi yang menyingkirkan kalangan tak mampupun tak dapat dihindarkan. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah.

Untuk mengembangkan dan memperkuat gagasannya Illich aktif dalam Center of Intercultural Documentation (CIDOC) yang didirikan di Mexico tahun 1961. Di sini ia membuat studi dan diskusi-diskusi tentang pendidikan alternatif, di samping memikirkan masalah jumlah anak putus sekolah yang semakin membengkak di seluruh Amerika Latin. Karena tidak ada dana mendirikan sekolah sementara pendidikan sangat diperlukan, Illich mulai berpikir tentang pendidikan rakyat tanpa sekolah yang sesungguhnya hanya membelenggu kemerdekaan berpikir dan berkarya.

Gagasan radikal itu mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil, di mana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Pada tahun 1960-an ketika ia mulai bergerak, hampir separuh dari 34,5 juta penduduknya buta huruf. Di tengah lautan ketidaktahuan para politisi bermain (dan mempermainkan) rakyat dan akhirnya mampu mempertahankan penindasan yang hebat.
Baginya, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientizaĆ§Ć£o), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya pengenalan abjad terkait dengan pembebasan, karena itu program pemberantasan buta hurufnya sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran politik rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang pedantik dan berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Metode itu tentu saja mengganggu kenyamanan penguasa. Kecerdasan rakyat adalah musuh setiap penguasa lalim. Ketika terjadi kudeta, rezim militer yang kemudian berkuasa menuduh metode Freire adalah subversi yang mengancam status quo. Tahun 1964, setelah dipenjara selama 70 hari, ia dibuang ke luar negeri. Selama lima tahun ia terpaksa hidup di pengasingan, dan melanjutkan perjuangan pendidikannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Dalam keadaan carut-marut seperti sekarang, sudah saatnya kita berpikir tentang membangun kembali pendidikan sebagai bagian dari gerakan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah berbesar hati mengakui keterbatasannya, dan mundur dari pengelola yang otoriter menjadi lembaga pemberi fasilitas dan pengakuan kepada usaha-usaha rakyat membangun pendidikannya sendiri. Pengalaman sejarah Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa ‘kaum terpelajar’ yang membangun negeri ini bukan hanya mereka yang dididik di sekolah kolonial. Kekuasaan dan kewenangan tidak ada urusan dengan kecerdasan. Karena itu tidak ada salahnya ‘meninggalkan sekolah’ untuk membangun gerakan pendidikan rakyat.

----------------------------------
Sumber:Dokumentasi KPP

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut