Pendidikan Gratis untuk Rakyat Kecil

Minggu, November 11, 2007

Oleh Happy Susanto

Seorang siswa sekolah dasar menggantung diri karena tak mampu membayar kegiatan esktrakurikuler yang jumlahnya hanya Rp 2.500. Ia merasa malu karena ibunya tidak memiliki uang untuk memenuhi apa yang dibutuhkannya (Kompas, 25/8/2003). Berita ini sangat mengejutkan! Kemiskinan benar-benar sangat tampak dalam problem pendidikan kita. Dan kita tidak bisa hanya tinggal diam dengan melihat keadaan seperti ini. Mungkin masih banyak siswa sekolah lain yang keadaannya seperti bocah malang ini.Pada dasarnya, pendidikan adalah sebagai wahana kultural untuk mentransformasikan pengetahuan atau wawasan kepada masyarakat umum.
Pendidikan merupakan instrumen pokok dalam proses pengembangan intelektual manusia, bukan sebagai tujuan material yang kemudian diperalat hanya untuk memenuhi kepentingan finansial. Sungguh sangat disayangkan, pendidikan di negara kita masih sangat terasa mahal. Bahkan, praktik pendidikan sering dijadikan ajang komersial untuk memenuhi kepentingan akumulasi kapital bagi sekelompok orang/pihak.Jika ditelisik, sebenarnya pendidikan harus menjadi perhatian terpenting dalam program pembangunan bangsa. Pendidikan sangat terkait dengan karakter pembangunan bangsa.
Jika pendidikan bobrok maka pembangunan yang akan dihasilkannya pun akan bobrok pula. Bukankah kita telah mengetahui bahwa salah satu tujuan negara adalah bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa? Dan lagipula UUD hasil amandemen menyebutkan bahwa seperlima bagian dari seluruh APBN diperuntukkan bagi pendidikan.
Tapi, apakah itu sudah diterapkan? Jika kita tanyakan pada masyarakat maka –sangat dimungkinkan-- banyak dari mereka akan berargumentasi bahwa lembaga-lembaga pendidikan saat ini lebih berorientasi mencari keuntungan ketimbang menciptakan misi mencerdaskan masyarakat.Ivan Illich menyatakan bahwa ”Pendidikan yang ada sekarang tidak membawa perubahan di masyarakat, melainkan hanya memperkuat struktur atas saja”.
Artinya, pendidikan hanya dinikmati oleh kalangan atas saja, kalangan bawah tidak bisa mendapat akses ke arah penerimaan pendidikan yang bermutu dan benar-benar menjamin. Sekolah kita ibaratkan bagai membeli barang di supermarket, ternyata harganya serba mahal dan tak terjangkau. Hanya orang yang berdompet tebal yang mampu membayar (barang) pendidikan itu.Otokritik PendidikanDalam literatur mengenai pendidikan kita menemukan dua tokoh yang sangat gencar mengkritik konsep pendidikan, yaitu Ivan Illich dan Paulo Freire. Pertama kita tengok pemikiran Ivan Illich.
Dalam Deschooling Society (1974), ia mengkritik dua hal mengenai dunia pendidikan.Pertama, kecenderungan pendidikan formal yang mengasumsikan bahwa nilai-nilai dapat dipraktikkan dan melalui pemaketan nilai itulah individu akan dicetak menjadi sesuatu. Sehingga, peserta didik hanya diminta untuk mengejar formalitas nilai tanpa mengharapkan lebih pada kualitas proses pembelajaran.
Yang penting dapat nilai bagus, yang penting lulus, dan yang penting bisa dapat ijazah --itulah yang menjadi ukuran dan kepentingan pendidikan, bukan proses bagaimana mencetak siswa yang berwawasan luas dan berkepribadian baik.Kedua, Illich mengkritik pendidikan hanya sebagai ”barang dagangan”. Tidak ada sekolah yang terbuka untuk menampung semua anak usia sekolah di masyarakat. Biasanya, kelas tertindas tidak mendapat akses pendidikan karena problem administratif atau birokasi sekolah. Dan yang jelas, ini dikarenakan tiada biaya untuk sekolah.
Oleh karena itu, dalam pemikiran Illich, misi lembaga pendidikan modern sebenarnya mengabdi pada kepentingan modal, bukan sarana pembebasan bagi kaum tertindas. Maka, dia sering disebut sebagai pengusung ide ”emoh sekolah!”.Di samping Illich, ada juga Paulo Freire yang sepuluh judul bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Yang sangat terkenal adalah Pendidikan Kaum Tertindas (LP3ES:1985). Seperti halnya Illich, arah politik pendidikan Freire berporos pada keberpihakan pada kaum tertindas (the oppressed).
Ada dua konsep orang tertindas dalam pandangan Freire, yaitu tertindas karena ketergantungan dengan lingkungan sosial dan tertindas karena self-depreciation (karena perasaan diri sendiri bahwa dirinya bodoh). Untuk menghadapi permasalahan demikian, Freire dengan pandangan yang sangat humanistik menyoal mengenai konsepsi manusia. Manusia adalah incomplete dan unfinished beings.
Untuk itulah, menurut Freire, manusia menjadi subyek harus mampu mengubah eksistensi dirinya untuk mengubah keadaan atau obyek yang ada di depannya.Konsep ”pembelajaran secara berproses” (sebutlah ”learning by process”) tidak mengenal kata akhir dalam pendidikan. Artinya, yang lebih kita perlukan adalah bagaimana proses untuk menciptakan manusia yang berkualitas dengan menjadikan pendidikan sebagai basis sosial pemenuhan kebutuhan bagi wawasan dan pengetahuan masyarakat. Kita sering berpikir bahwa manusia dalam hidupnya sering dikendalikan oleh dua faktor, yaitu genetik dan lingkungan.
Tapi, kita sering lupa bahwa faktor manusia juga sangat menentukan. Untuk itulah, pendidikan yang membebaskan adalah bagaimana melepaskan manusia dari ”terali besi” (iron cage) kebodohan yang ada dalam dirinya. Kualitas pendidikan lebih melihat kondisi (internal) manusia, daripada hanya terbelenggu oleh ukuran-ukuran kuantitatif dan formalistik.
Pendidikan Berbasis KerakyatanDengan melihat realitas pendidikan saat ini maka sudah saatnya kita memikirkan kembali gagasan untuk menciptakan model pendidikan gratis bagi rakyat kecil. Yaitu model pendidikan yang berbasis kerakyatan, terutama rakyat kecil yang tidak mampu. Upaya ini perlu digelar agar bisa menampung beberapa anak usia sekolah yang memang tidak mampu untuk bisa mengenyam dunia pendidikan dengan baik.
Hanya dengan kepedulian sosial yang tinggi langkah demikian akan menjadi kenyataan yang tentu akan terealisasi.Di tengah sulitnya mendapatkan pendidikan bagi rakyat kecil gagasan mengenai pendidikan gratis menjadi agenda penting yang perlu digulirkan. Hal ini kiranya bisa dikerjakan oleh beberapa oraganisasi masyarakat (ormas), yayasan, atau LSM yang bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan untuk membuka kelas atau sekolah yang memberikan pendidikan gratis bagi masyarakat yang tak mampu.
Tidak perlu dibuat dalam bentuk struktur birokratik atau menjadi terkesan formal. Kalau memang terbentur soal dana operasionalisasi pendidikan, seperti pengadaan buku pelajaran, maka strategi yang tepat adalah berani untuk memfotokopi buku atau modul sebagai acuan dalam proses pembelajaran.Lantas bagaimana dengan nilai dan ijazah?
Mengenai nilai dan ijazah, dalam proses pendidikan ala kaum tertindas ini, keduanya tidak menjadi acuan utama. Seperti dikatakan Illich, nilai atau formalitas pendidikan hanya akan menghasilkan anak didik yang tak bermutu karena dipenuhi otak proyek pengumpulan nilai bagus dan demi ijazah saja, tanpa memperhatikan proses pengembangan diri secara dinamis.Dengan begitu, maka setidaknya kaum tertindas tidak lagi terjebak pada permainan komersial yang gencar dilakukan beberapa oknum kapitalis pendidikan (termasuk negara). Kita merasa sedih melihat banyak kaum miskin yang tidak sanggup membayar biaya sekolah. Siapa yang akan perduli dengan mereka?
Piere Bourdieu, seorang sosiolog pendidikan, menyebut bahwa manusia saat ini tidak hanya melakukan kegiatan saham dalam bentuk material, tapi juga dalam bentuk symbolic capital, yaitu kapital yang bersifat simbolik tapi sarat makna dengan ragam kepentingannya. Kehidupan yang sangat aristokratis dalam relasi sosial akan sangat mudah membawa sistem pendidikan ke dalam model symbolic capital.
Dengan gagasan pendidikan gratis untuk rakyat kecil, maka umumnya kaum tertindas akan bisa keluar dari kubangan dan jebakan aristokrasi pendidikan ini.Usulan untuk membebasan biaya pendidikan dasar dan menengah terkesan masih utopis bila melihat keadaan saat ini. Apalagi itu masih masuk dalam struktur negara atau pemerintah karena aturan prosedural tidak(?) menghendaki demikian.
Langkah yang lebih memungkinkan adalah bagaimana meningkatkan subsidi pemerintah yang lebih menjanjikan bagi pendanaan pendidikan. Pendidikan gratis untuk rakyat kecil ini adalah sebuah langkah nonformal yang penting untuk digelar oleh beberapa komunitas sosial yang sangat konsern dengan dunia pendidikan saat ini. Sehingga, kejadian seperti yang menimpa bocah SD di Garut itu tidak akan terulang dan bertambah lagi. Wallahu A'lam.
-------------------------------------------------------------
http://www.sinarharapan.co.id/Jum’at, 19 September 2003.

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut