Mereposisi Pendidikan Swasta dalam Pembangunan Manusia Pegunungan Bintang

Senin, November 05, 2007

Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK), Yayasan Pendidikan Kristen (YPK), Yayasan Pendidikan Persekolah Gemah Injil (YPPGI)adalah tidak hanya peletak dan pembuka tetapi juga pendamping manusia Papua. Lembaga pendidikan swasta di Papua telah ada lebih dahulu dan telah membangun tanah dan orang Papua bersama orang Papua. Lembaga pendidikan baru, baik milik swasta maupun milik pemerintah yang datang seakan mengalihkan(?) perhatian kita akan diri kita, lingkungan kita, sesama kita, dan masa depan kita.

Oleh: Bomkonwoqk Gerald Bidana*)

Prolog
Pernahkah kita berpikir sejenak untuk melihat kembali, apa yang telah dilakukan lembaga pendidikan swasta di tanah Papua, khususnya Pegunungan Bintang? Bagaimana keadaan lembaga-lembaga pendidikan swasta tersebut saat ini? Bagaimana kepemimpinan dan perhatian para pimpinan yang nota bene adalah kader dari pendidikan swasta itu terhadap lembaga pendidikan swasta? Tidak kita pungkiri bahwa lembaga pendidikan swasta di tanah Papua adalah peletak dasar sekaligus pembuka cakrawala untuk membawa manusia Papua, khususnya Pegunungan Bintang untuk mengenal dirinya, sesamanya dan lingkungannya serta dunia luar.

Saya harus menulis hal ini (tentang lembaga pendidikan swasta) karena ada sebuah keprihatinan mendalam. Tulisan ini tidak dibuat untuk kepentingan tertentu apalagi menyudutkan pihak tertentu. Tulisan ini hanya ingin mereview dan mereposisi kembali lembaga pendidikan swasta. Terutama karena saya melihat ada semacam pengabaian terhadap lembaga pendidikan swasta dalam pembangunan pendidikan di tanah Papua, khususnya Pegunungan Bintang.

Saya ingin membawa kita untuk melihat bersama, saya dan anda bertumbuh dan kembang dari lembaga pendidikan apa? Lalu bagaimana keadaan lembaga pendidikan swasta saat ini di Pegunungan Bintang secara khusus dan Papua secara umum? Kemudian, apa yang harus kita lakukan terhadap sekolah swasta itu untuk saya, anda dan anak cucu kita? Beberapa pertanyaan reflektif ini membawa setiap orang Pegunungan Bintang khususnya dan Papua umumnya untuk merefleksikan apa yang telah dilakukan pendidikan swasta dan bagaimana kita memperlakukannya saat ini?

Tulisan ini juga mencoba mereview realitas kepemimpian kader swasta di kabupaten Pegunungan Bintang. Sekaligus juga akan melihat bagaimana keterlibatan (dilibatkan atau tidaknya) sekolah swasta dalam pembangunan pendidikan di kabupaten Pegunungan Bintang. Tulisan ini muncul dari kesan subjektif atas ketidakterlibatan (tidak dilibatkannya) sekolah swasta ----sebagai peletak dasar Sumber Daya Manusia----oleh pemerintah dalam pembangunan pendidikan era Otonomi Khusus (Otsus).

Kehadiran Misionaris dan Tantangannya ke Depan
Misionaris katolik masuk di Pegunungan Bintang pada tahun 1950-an melalui Paniai, Kokonao, Maroke, Mindiptana. Sedangkan misionaris protestan masuk melalui Maroke tahun 1960-an. Kedatangan misonaris ini meninggalkan setumpuk sejarah yang berdampak positif dan negatif dalam kehidupan manusia Pegunungan Bintang khususnya dan Papua umumnya.

Kedua misionaris pengembangkan misinya di wilayah masing–masing. protestan di bagian Utara dan Barat Papua sedangkan katolik bagian Selatan, Tengah dan Timur Papua. Patut disyukuri bahwa misionaris inilah yang benar-benar membuka jalan utama bagi orang Pegunungan Bintang dan orang Papua umumnya.

Kehadiran misionaris katolik maupun Kristen tidak hanya mewartakan kabar gembira (injil) di dalam gereja tetapi juga ada aksi di kehidupan nyata. Ada aksi-aksi keselamatan melalui pendidikan dengan mendirikan sekolah. Di kabupaten Pegunungan Bintang misalnya, SD Atolbol, SD Abmisibil, SD Yapimakot, SD Mabilabol, dan SD Kukding. Sekolah-sekolah ini adalah peletak dasar pendidikan yang sungguh bersejarah bagi orang Pegunungan Bintang. Hasil didikan dari sekolah-sekolah tersebut adalah sebagian besar pejabat di kabupaten Pegunungan Bintang saat ini.

Pejabat daerah adalah harapan masyarakat dalam pembangunan, tetapi kenyataan berkata lain. Selama sekian tahun kebelakang ini ini terkesan belum benar-benar mengakomodir kebutuhan mendesak masyarakat. Kebutuhan mendesak dan mendasar masyarakat adalah pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Tiga bidang pokok ini belum diperhatikan secara serius, sehingga kini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk masyarakat awam.

Hal ini bisa dilihat dari beberapa sisi seperti kesiapan pengetahuan dan keterampilan seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang benar-benar melihat persoalan mendasar masyarakat masih harus dipertanyakan. Fenomena ini sangat nampak pada kesulitan membangun relasi bersama orang lain yang memiliki pengetahuan lebih dalam mewujudkan pembangunan. Seperti, belum bisa membuka diri bekerja sama dengan lembaga-lembaga swasta di tingkat daerah maupun tingkat nasional yang sudah teruji menajemen kerjanya.

Perlu diakui bahwa, sebelum adanya kabupaten, orang Pegunungan Bintang selalu bernafaskan jalur swasta. Konkretnya adalah pelayanan pesawat AMA dan MAF turut membantu pengangkutan sarana dan prasarana penyelenggaraan pendidikan formal dan bidang lain. Penyelenggaraan pendidikan inilah yang secara perlahan membebaskan manusia satu persatu dari kebodohan dan ketertinggalan.

Namun setelah Pegunungan Bintang menjadi kabupaten sekolah-sekolah swasta seakan-akan terlupakan. Bukan dilupakan. Usaha-usaha konkret membangun kembali sekolah swasta sebagai pelatak dasar pembangunan manusia belum banyak terlihat. Maka, seharuslah yang mendesak adalah penataan kembali sekolah-sekolah swasta yang pernah mendidik orang Pegununga Bintang. Sementara untuk jenis sekolah lain disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Karena sesungguhnya lembaga swasta memiliki menajemen kerja yang cukup baik yang sudah teruji di mana-mana.

Selain itu, para pekerja swasta justru lebih memahami ciri khas manusia dan keadaan alam Papua. Sekarang, apakah ada kader swasta pemimpin daerah yang memunyai hati dan niat untuk mengajak kedua lembaga pendidikan (pendidikan swasta Kristen dan katolik) duduk bersama kaitannya dengan pembangunan pendidikan. Pada saat duduk bersama banyak hal yang bisa dibicarakan untuk dilakukan. Antara lain misalnya, membangun sekolah percontohan berpola asrama, membangun sekolah keterampilan untuk pemuda-pemudi, dan lain-lain.

Pembongkaran Areal Misionaris dan Tata Kota Pegunungan Bintang
Sudah pantaskah pembongkaran lokasi misionaris yang pernah menitipkan sebuah visi bagi anak cucu Pegunungan Bintang? Menurut saya sangat amat keliru menentukan tata kota ibu kota kabupaten, sehingga perlu ditinjau kembali dan harus diundangkan. Sebetulnya tempat ini dijadikan sebagai monumen bersejarah bagi orang Pegunungan Bintang untuk dikenang sepanjang generasi. Lokasi ini adalah tempat perziarahan, tempat persinggahan bahkan menjadikan tempat tinggal utama seperti sebagaimana biasanya Aip.

Aip adalah tempat tinggal utama dalam suku Ngaum Papua. Aip itu tempat utama aktivitas dan menyimpan segala sesuatu yang dimiliki suku Ngaum Papua. Untuk itu, penghargaan dalam bentuk apa pun tentu harus ada. Karena tempat inilah pertama kali orang Pegunungan Bintang dibina, dididik menjadi tahu dan bisa melihat dunia luar. Bila tidak segera berpikir untuk menyelamatkan tempat dan sisa potensi orang yang ada, maka kemudian ada kemungkinan muncul krisis kader.

Krisis kader seperti, tidak adanya kader gereja putra daerah, munculnya gosip isme-isme, muncul orang yang tidak tahu diri (kelompok mabuk-mabukan), muncul kelompok orang yang tidak tahu menjaga moralitas diri, dan lainnya yang bisa memunculkan konflik horizontal. Nenek moyang kita selalu percaya tempat sakral (Aut Bai/Aip Watinbai) yang merupakan tempat yang menghidupkan, begitu pula terhadap tempat-tempat misionaris. Para orang tua kita yakini sungguh Atangki (Allah) bersemayam di tempat ini bersama para misionaris. Tetapi kini tidak dipedulikan lagi. Yakin saja pasti akan mengalami banyak kegagalan dalam membangun manusia Pegunungan Bintang.

Pembongkaran lokasi misi menunjukkan interpretasi dari hal-hal serupa lain, seperti pemberian nama-nama jalan, pemberian nama-nama kantor, penetapan logo daerah, dan lainnya sesuai kearifan lokal yang harus diikat dengan peraturan daerah belum terpikirkan secara sadar. Fenomena ini sangat jelas sehingga pemerintah perlu melakukan evaluasi dalam memperhatikan kearifan lokal dengan makna otonomi khusus. Sejauh yang saya ikuti, sepertinya belum ada koordinasi kerja yang jelas antar pejabat, sehingga berdampak pada keterlambatan implementasi program pembangunan.

Penyebab utama adalah belum adanya keterlibatan semua pihak pada pembicaraan awal tentang sejumlah hal, termasuk tata kota ibu kota yang semestinya. Sehingga berdampak pada semua kebijakan yang sering dikatakan keliru yang menyusahkan masyarakat awam. Kondisi ini juga membuat masyarakat ilmiah yang mempunyai hati pun menjadi buntu dan berdiam diri. Cara-cara seperti ini tentu tidak akan pernah menyelesaikan masalah walaupun masalah itu bagaikan sehelai rambut.

Kita jangan kaget kalau lembaga swasta tidak menunjukkan perubahan di Pegunungan Bintang sesuai harapan umat. Kita selalu berharap banyak terhadap tim pastoral, pengurus swasta yang memahami persoalan umat secara tepat tetapi tidak disertai dengan tindakan konkret oleh kader. Sama saja membohongi diri. Jangan jauh-jauh tetapi fenomena ini sangat jelas dari kehidupan para pengemban misi putra daerah pertama seperti, Bapak Andy Urpon, Yohanes Sasaka, Yusel Uopmabin, Leitus Setamanki dan lain yang tidak saya sebutkan satu per satu tidak pernah diperhatikan. Seharusnya mereka ini dilibatkan dalam proses pembicaraan program pembangunan demi menjaga, memelihara eksistensi manusia Apyim Apom (Pegunungan Bintang). Kalaupun ada masalah ketidaksepahaman atau praktek kerja yang keliru selama ini bisa dibicarakan supaya visi, misi minimal bisa terwujud.

Satu hal yang sangat tidak masuk akal di Oksibil adalah pembukaan jalan dari Bandar udara menuju Okpol (utara) dan Yapimakot (barat) di tengah-tengah perumahan misionaris. Saya boleh katakan, sepertinya sudah mengancam eksistensi lembaga swasta yang kemudian bisa menimbulkan persoalan baru.

Mari kita lihat secara jelih apa saja yang terjadi di kalangan lembaga swasta di Papua saat ini. Terlebih pada apa komitmen pada panggilan hidupnya sebagai orang nasrani yang menegakkan visi dan misi Kristus? Adakah kader penerus gereja putra Papua? Kalau sudah ada, apa yang harus dilakukannya untuk sesama dan bersama siapa? Kalau belum ada, mengapa dan karena siapa? Beberapa pertanyaan reflektif ini saya rasa penting direnungkan oleh kita semua “Sebagai pewaris kerajaan Allah, kata Mas Idjo” dosen tua Sanata Dharma Yogyakarta.

Kemitraan Pemerintah dan Swasta dan Pembangunan Pendidikan
Otonomi Khusus (Otsus) dan pemekaran menawarkan sejuta harapan akan masa depan yang indah bagi rakyat Papua, salah satu tawaran adalah pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi seluruh rakyat Papua. Namun hingga tahun ke enam pelaksanaan Otsus Papua dan pemekaran di beberapa daerah jauh dari harapan. Ada kesan dari rakyat bahwa swasta yang telah lama membangun manusia Papua, khususnya Pegunungan Bintang kini diabaikan oleh pemerintah dalam pembangunan pendidikan.

Maka pembangunan pendidikan di era Otsus dan pemekaran harus dipikirkan kembali. Dalam hal ini pembangunan pendidikan di kabupaten Pegunungan Bintang perlu menata kembali dengan mengikat kerjasama dengan pendidikan swasta yang telah lama ada di sana. Beberapa pekan lalu, saya sempat bertemu dengan salah satu pengelola pendidikan YPPK di Oksibil. Dalam pertemuan itu mengemuka bahwa pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam melihat persoalan pendidikan di kabupaten Pegunungan Bintang. Sekolah-sekolah swasta masih menampakan wajah lama. Belum ada perubahan apa-apa. Sebetulnya pemerintah sudah harus mengakui jasa-jasanya dan menganggarkan dana setiap tahun demi pengembangan pendidikan swasta.

Mengapa? karena sebagian besar masyarakat mengharapkan penataan kembali sekolah-sekolah swasta yang pernah melahirkan orang Pegunungan Bintang. Penataan yang dimaksudkan di sini termasuk sarana dan prasarana, seperti perbaikan gedung-gedung sekolah, letak lokasi sekolah, perpustakaan, laboratorium, tenaga guru ahli, peningkatan kesejaheraan guru, rumah guru, dan perangkat sekolah lainnya yang mendukung proses pembelajaran maupun pengadaan asrama dengan tenaga pembina dan fasilitas yang memadai, tempat tinggal petugas pastoral dan sebagainya.

Kita akui bahwa eksistensi lembaga pemerintah dan swasta berbeda. Namun perbedaan ini sepantasnya dijadikan kekuatan dalam membangun manusia Pegunungan Bintang melalui pendidikan.

Di lihat dari jumlah penduduk, penduduk Pegunungan Bintang sangat sedikit. sehinga perlu adanya perampingan sekolah dasar dan difokuskan pada beberapa sekolah saja sebagai titik pengembangan pendidikan. Tentunya perampingan itu atas kerja sama pemerintah dan swasta. Kerjasama pemerintah dan swasta itu menciptakan sekolah-sekolah unggulan sebagai patokan pengembangan sumber daya manusia dengan benar-benar memperhatikan kearifan lokal.

Epilog
Pendidikan model swasta ketika itu cocok bagi orang Pegunungan Bintang Papua dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Pendidikan adalah alat pembebasan dari berbagai ketertinggalan. Pendidikan ada untuk menemukan ala setiap manusia yang belum tergali secara sadar. Pendidikan menjadikan manusia unggul (magis) dalam segala asepk kehidupan. Maka rekomendasi konkrit tulisan ini adalah.

1. Hubungan (komunikasi) antara lembaga swasta dan pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat Pegunungan Bintang seluruh Indonesia sangat amat penting dibangun kembali. Pembuatan PERDA yang memperhatikan kearifan lokal, termasuk pendidikan formal adalah satu hal yang mendesak. Dana dapat dianggarkan sesuai dengan kebutuhan sekolah melalui lembaga swasta dengan pengawasan dan evaluasi terkontrol harus dilakukan. Pendanaan untuk ini harus ditetapkan dari APBD yang transparan dalam penyaluran adalah hal yang penting dalam kelancarannya.

2. Otonomi khusus menawarkan sejuta harapan membangun segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah pendidikan, maka pemerintah harus membangun pendidikan formal yang menyelematkan semua potensi dan harus menghindari pendirian model pendidikan yang menghasilkan manusia yang bisa menggadaikan potensi kearifan lokal. Pemerintih mesti menata dan membangun sekolah-sekolah perintis sebagai peletak dasar manusia Pegunungan Bintang. Kemudian persentase dana pendidikan per tahun harus diikat dalam peraturan daerah yang dikontrol secara serius dan mengadakan evaluasi secara kontinyu. Selanjutnya, sangat perlu adanya peraturan daerah tentang penyiapan tenaga guru dan dosen yang merupakan tolok ukur kesiapan SDM dalam perwujudan pembangunan aspek lainnya. Pemerintah segera tinjau kembali praktek pendidikan setengah hati yang menghabiskan jutaan rupiah, yang kemudian melahirkan, memperparah kualitas SDM Pegunungan Bintang. Bagi para pegawai negeri, perlu disiapkan dana khusus untuk belajar di Universitas tertentu sesuai dengan ketentuan akademik, supaya menjadi profesioanl dalam bidang keahliannya. Selanjutnya adalah perampingan sekolah-sekolah sebagai basis pengembangan pendidikan berprestasi adalah sangat penting.

3. Ari-ari adalah bagaikan selimut seorang bayi dalam kandungan dan keluar bersama ketika bayi itu dilahirkan ibu-Nya yang harus dikubur atas nama ala manusia suku setempat. Pembongkaran loksi misionaris adalah sebuah kekeliruan yang perlu ditinjau kembali dan harus diundangkan. Tempat-tempat seperti ini perlu dijadikan monumen bersejarah, entah segi positif maupun segi negatif bagi anak cucu. Pembongkaran lokasi ini sebetulnya merupakan interpretasi kekeliruan, ketidakpahaman dalam implementasi pembangunan yang semestinya.

Semoga saja para pengemban pembangunan di negeriku menjadikan pertanyaan Hiro Hito sebagai inspirasi saat ini. Ketika negerinya (Hirosima dan Nagasaki) dibombardir sekutu lalu ia tidak berdaya tetapi kemudian bangkit kembali mengumpulkna sisa penduduknya, lalu ia mengajukan satu bertanyaan: “BERAPA GURU YANG MASIH HIDUP?” Lihat saja betapa keberhasilan negara julukan matahari terbit saat ini.

*) Mahasiswa Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Univiersitas Sanata Dharma Yogyakarta

------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut