Menulis itu Membebaskan

Selasa, November 13, 2007

“Banyak hal yang dapat diperoleh dan disumbangkan dengan menulis. Di samping dapat menyuarakan keterbelakangan komunitas tertentu, juga dapat melakukan kritik sosial. Melalui tulisan, kita dapat menyampaikan aspirasi kita tentang sesuatu. Kita juga dapat membagikan informasi tertentu kepada orang lain. Dapat juga memberitahukan peluang, ancaman dan kesempatan kepada orang lain melalui tulisan.”
Demikian kata YB Margantoro wartawan dan Kepada Lembaga Pelatihan Jurnalistik Surat Kabar Harian Bernas Jogya pada Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Papua seJawa-Bali yang diadakan oleh Majalah Selangkah (Komunitas Pendidikan Papua) beberapa pekan lalu.
Menurut Margantoro yang juga dosen di Universitas Sanata Dharma dan Atma Jaya itu, menulis itu menyuarakan keterbelakangan. Untuk mendapatkan sumber tulisan misalnya, kita tertarik untuk mengunjungi perumahan kumuh, daerah terpencil untuk mencari bahan tulisan sekaligus berkarya sosial. Apalagi dalam konteks ini, orang Papua kurang (belum banyak) mendapatkan perhatian dan kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan yang memadai, akses ekonomi yang baik, dan pelayanan kesehatan yang prima.

Lebih lanjut Margontoro mengatakan, menulis itu melepas kesakitan dan orang menjadi sehat. “Belajar menulis berarti juga belajar menghapus trauma. Menulis bukan saja memperkaya batin. Aktivitas menulis mampu mengurai kesakitan traumatis dan menyehatkan. Menulis adalah juga cermin intelektual. Intelektualitas seseorang dapat juga dipandang dari bagaimana ia dapat mengungkapkan gagasannya melalui tulisan. Banyak orang belajar dengan membaca tetapi jarang orang belajar dengan menulis.”

“Pelatihan Jurnalistik bertajuk “Menulis itu Membebaskan” yang diadakan oleh majalah “Selangkah” (Komunitas Pendidikan Papua) adalah tepat. Memang menulis itu membebaskan. Dapat membebaskan diri kita sendiri dan orang lain,” kata dia.

Irdianto mewakili Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kata sambutannya mengiakan, menulis itu membebaskan. Tema pelatihan ini tepat. Dengan menulis banyak hal yang bisa kita dapatkan dan sumbangkan kepada orang lain. Kita bisa dapatkan banyak hal bukan sekedar karena menulis itu kegiatan melatih cara berpikir dan berbicara secara tepat tetapi juga untuk mencari referensi untuk menulis kita harus berhadapan dengan banyak bacaan.

Menurut Irdianto, menulis itu hal yang gampang-gampang sulit, tergantung pada ketekunan. Menulis itu seperti orang Indonesia yang besar dari kecil di Inggris lalu bisa berbahasa Inggris dengan baik. Juga seperti menulis harus sabar dan tekun dalam menulis. Proses pembebasan diri sendiri dan orang lain akan terjadi apabila kita tekun dengan dalam proses.

Direktur Yayasan Binterbusih, Drs. Paul Sudiyo yang hadir memberikan kata sambutan mengatakan, Papua bukan hitam karena kulit yang hitam tapi hitam karena tertinggal dari pendidikan juga tidak tersentuh oleh kemajuan. Kehitaman lainnya adalah otsus yang tidak menyentuh masyarakat serta hitam karena Papua yang kaya akan sumber daya alam itu tidak pernah dirasakan oleh masyarakat.

“Mengapa ini terjadi? Jawabannya temukan dalam pelatihan ini lalu buatlah suatu karya nyata setelah kegiatan ini. Beberapa pengalaman bahwa setelah pelatihan jurnalistik oleh suatu majalah dan buletin Papua di Jawa, majalah dan buletin tersebut macet. Semoga ini tidak terjadi pada Selangkah... semoga Selangkah akan maju dua langkah. Dengan menulis banyak hal yang dapat dilakukan untuk masyarakatmu di Papua sana. Kalian (mahasiswa Papua) harus menjadi aktor-aktor perubahan. Maka salah satu sarana perubahan adalah media (koran atau majalah) yang tidak memihak pada kepentingan apapun,’ kata Paul.

Budaya Menulis Mahasiswa
Ketua Komunitas Pendidikan Papua, Longginus Pekey mengatakan, budaya menulis di kalangan kita pelajar dan mahasiswa Papua belum terkembangkan. Sebenarnya minat menulis itu ada tetapi belum tergali dengan baik. Kadang merasa bahwa menulis itu tidak ada untungnya. Padahal menulis adalah salah satu cara untuk belajar.

“Perlu diakui bahwa banyaknya tulisan dari mahasiswa Papua yang masuk ke redaksi Selangkah memperlihatkan minat mereka. Namun kontruksi ide, tanda baca serta orisinalitas ide yang disampaikan melalui tulisan memang memprihatinkan. Sehingga ketika tulisan mereka tidak dimuat karena tidak layak muat, mereka patah semangat. Tidak mau terus mencoba dan berproses. Padahal menulis itu bukan langsung jadi. Ada orang yang tulisannya baru bisa dimuat setelah 999 kali gagal dimuat, kata Pekey mengajak.

Pekey mengakui, memang menulis itu sungguh merupakan pekerjaan yang susah untuk berkompromi dengan imaji atau otak. Banyak dari kita (mahasiswa Papua) menyerah, tidak mau terus berproses dengan kegiatan menulis itu. Padahal harapannya adalah mahasiswa dapat menjadi wakil rakyat dalam konteks tertentu.
Margantoro yang lebih dari 25 tahun berkiprah dalam dunia tulis menulis itu mengakui menulis itu memang tidak mudah. “Kegiatan menulis adalah bukan sekedar mengotori sebuah kertas. Seorang penulis tidak saja mesti memiliki keterampilan menuangkan materi tulisannya dengan menarik–memikat tetapi ia belajar untuk berpengetahuan luas, khususnya pengetahuan umum baik mengenai manusia (masyarakat) maupun alam seisinya. Artinya seorang penulis tidak boleh berhenti belajar. Mengisi diri baik dengan membaca, menyimak dan diskusi terus menerus.

Menurut Dr. Pranowo, MPd yang menjadi salah pembicara dalam pelatihan jurnalistik mengatakan, salah satu faktor terpuruknya budaya menulis di kalangan mahasiswa adalah pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang terkesan teoritis. Padahal hakikat pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah belajar berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Proses belajar selama ini hanya mendengarkan ceramah dari guru di depan kelas, siswa datang mencatat, pulang, ulangan, nilai dan ijazah. Pembelajaran model itu sudah tidak relefan. Orientasi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus dirubah. [yer]
-------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut