Menjual Masa Depan Demi Satu Bungkus Nasi

Senin, November 05, 2007

Oleh Emanuel Goubo Goo*)

“Ananias Tebay seorang bocah 11 tahun yang berdomisili di bilangan Karang Mulia Naire Papua, pagi sekitar pukul 06.00 WIT keluar dari rumahnya sembari menenteng sebuah karung dan sebatang besi beton berukuran 2 meter. Dia menelusuri pinggiran jalan. Sesekali mengorek-korek tumpukan sampah. Ketika menemui bekas kaleng, ia memasukan dalam karung kumal yang telah dibawanya. Memasuki gang-gang kecil, kadang menembusi rumah warga mencari tumpukan sampah. Bila dirasa tak ada berpindah lagi ke rumah lain. Dalam pencariannya terkadang Ia diusir warga.

Pada hari lain pada Sabtu 01 Sepetember 2007 lalu, Ananias dengan sempongon memikul sekarung kaleng bekas menuju tempat penampung besi tua dan kaleng. Sang penampung menimbang lalu diserahi uang lima ribuan tiga lembar.

Menerima uang lima belas ribu rupiah dan dilipat karung bekas bisi kaleng itu lalu pergi menghilang di tengah orang-orang di Pasar Karang. Ia membeli nasi kuning sebungkus dan keperluan lainnya hari itu. Lalu melanjutkan lagi mengumpulkan kaleng di tempat-tempat pembuangan sampah”.

***
Itulah aktivitas keseharian salah seorang anak penjual waktu belajar (bertumbuh dan berkembang) dengan mencari dan menjual kaleng bekas. Dia jalan mencari uang untuk makan keseharian dia di atas tanah yang konon disebut-sebut negeri emas (negeri kaya raya). Ini adalah fenomena yang sedang berkembangn di Kabupaten Nabire. Ananias adalah satu dari banyak anak kecil yang sedang memilih profesi tersebut. Satu dari anak-anak yang menjual waktu dengan memilih menjadi pemulung (mengumpul dan [penjual barang bekas). Mereka rata-rata adalah anak-anak miskin yang orang tuannya hidup di pinggiran kota karena terpinggir.

Realitas ini relevan dengan apa yang pernah diungkapkan Dom Helder Camara dalam bukunya yang berjudul ”Spiral Kekerasan”, bahwa kekerasan berkaitan erat dengan kemiskinan. Camara mengatakan, “Terlalu sering terkandung apa yang dapat disebut peninggalan dari kemiskinan. Secara umum diketahui bahwa kemiskinan membunuh secara sama pastinya dengan perang yang paling brutal.

Namun kemiskinan lebih dari sekedar membunuh; ia menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis (terdapat banyak kasus subnormalitas mental akibat kelaparan), dan kerusakan moral (mereka yang dalam situasi perbudakan, sesuatu yang tidak tampak tetapi sungguh nyata, hidup tanpa kepastian akan masa depan dan harapan sehingga jatuh ke dalam fatalisme dan merosot ke dalam mental pengemis, kenakalan remaja pesta seks, miras, dan sebagainya).

Kasus lain, di Jayapura, beberapa waktu lalu petugas Satpol PP menangkap 6 (enam) anak pemulung kaleng bekas. Mereka ditangkat ketika sedang pesta miras dan seks seusai pulang mengumpulkan kaleng bekas di sampah-sampah.

Fakta tersebut tentu membuat miris, dimana hak anak untuk mendapatkan pendidikan seharusnya dipenuhi, serta menurut kesepakatan internasional, anak-anak di bawah umur tidak diperbolehkan bekerja. Kemiskinan seringkali menjadi salah satu sebab mengapa anak turun merambah dunia kerja yang keras dan mempertaruhkan waktu serta keselamatannya untuk sekedar memperoleh uang guna bertahan hidup atau membantu perekonomian keluarga yang terpuruk.

Kasus lain lagi dari Nabire, Andreas (11) bertengkar dengan ibunya karena merasa tidak cocok dengan menu makanan yang diberikannya. Andreas adalah siswa salah satu sekolah dasar di Nabire. Terpaksa Andreas mencari jalan lain untuk mendapatkan makanan yang menurutnya lebih enak (ada dagingnya). Dia keluar rumah dan memungut kaleng bekas. Hasil jualannya untuk beli makanan yang diinginkannya.

Menurut ibunya, “Sepulang sekolah, dia diberi makan. Karena menunya tidak cocok dengan seleranya, piring nasi yang diberikan ibunya langsung dibanting.” Setelah itu, dia lepas tas buku dan pakaian sekolah lalu pergi mengumpulkan kaleng untuk mencari makan di luar rumah lantaran ibunya tidak sanggup memenuhi makanan sesuai permintaan anaknya.

Harga-harga bahan makanan yang melambung tinggi menyebabkan anak-anak keluarga miskin tidak mendapatkan makanan yang cukup bergizi. Dan persoalan tersebut lagi-lagi selalu disangkal oleh pemerintah. Keluarga diposisikan sebagai satu-satunya yang bertangguang jawab atas segala persoalan yang menimpa anggotanya. Pemerintah telah cuci tangan kah?

Yang sungguh menyakitkan adalah anak-anak ini selalu dianggap pengganggu bahkan diberikan sejumlah stigma negatif. Kebanyakan orang menganggap anak-anak itu adalah penggangu lalu-lintas, merusak pemandangan, mengotori daerah, maling dan lainnya. Hanya sebatas itu. Tidak ada yang bertanya kenapa anak-anak itu harus memilih hidup dengan cara itu? Jarang bertanya kenapa mulai ada fenomena itu?

Fenomena yang digambarkan di atas adalah satu dari berbagai persoalan sosial di tanah Papua, terutama di Nabire. Orang-orang Papua melarat di atas tanah air mereka. Hak anak-anak untuk sekolah dan waktu untuk belajar terbuang dengan mencari sesuap nasi. Anak-anak usia sekolah bekerja menjadi pemulung untuk mengisi perut sehari-sehari. Kebebasan dan bakat terkubur dalam kesibukan mencari makan. Masa depan anak-anak itu belum bisa dipastikan. Lalu apa yang salah? Apakah pemerintah tidak melihat? Kemanahkah dana Otonomi Khusus trilyunan itu? Entalah! Tapi yang penting adalah kita buka mata terhadap persoalan sosial seperti ini. Karen anak-anak harus mendapatkan hak mereka untuk belajar (sekolah). Orang-orang tua mereka harus diberdayakan. Anak-anak Papua harus berkembang dengan potensi dan mimpi-mimpi yang lebih besar untuk diri mereka dan tanah Papua ke depan. Anak-anak (orang Papua) benar-benar harus menjadi tuan di atas tanah itu?

*) Wartawan Suara Perempuan Papua di Nabire.
---------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut