JIKA MENGIDAP BUDAYA BISU, Berbicaralah Dengan Menulis

Selasa, November 13, 2007

Oleh Odiyai Pai*)

Sebuah realitas cultural-historis Papua, berbicara adalah sebuah “alat” pokok dalam kehidupan sehari-hari dalam sejarah, sehingga terbentuk budaya berbicara. Hal itu dapat dibuktikan dengan tingkalaku dan tutur kata orang Papua yang cepat menanggapi sesuatu melalui berbicara, entah marah, sungut-sungut, sayang dan cinta, mengemukakan gagasan, menolak gagasan, dan lainnya. Karena itu seringkali orang Papua terlihat “cerewet” entah di kampung, kampus, bus kota, saat makan, rapat, dan di mana saja tanpa perduli dengan keadaan sekitarnya.

Sebagai contoh, jika seorang mahasiswa Papua berpapasan dengan teman lamanya di dalam bus kota, karena saking rindunya, maka bukan tidak mungkin mereka saling berteriak: aduh... sayang, ko dari mana saja angjing neh, dan ungkapan perasaan dan kata sejenis lainnya. Begitu pula jika seseorang marah atas sebuah perkataan atau tindakan seseorang, dengan nada keras sudah pasti akan dicaci-makinya. Contoh, jika seorang mahasiswa Papua sudah memberi tahu kondektur dalam bus kota untuk turun, tetapi jika sopir masih belum bisa memberhentikan bus kota, maka bukan tidak mungkin lagi kalau sopir diteriaki begini: wei… sopir ko dengar tidak, bah… ini terlalu jauh neh taruh telinga di mana, dan ungkapan perasaan dan kata sejenis lainnya.

Walaupun terlihat cerewet dengan budaya berbicaranya, bukan hal yang tidak mungkin jika terjadi pergeseran budaya berbicara tersebut. Bisa saja sebuah faktor, katakanlah faktor “X” merubah budaya berbicara tersebut menjadi budaya diam atau bisu. Dalam konteks realita historis, budaya berbicara (spontan) telah berubah menjadi budaya bisik-bisik atau bisu sama sekali. Salah satu faktor penyebabnya, atau sebagai faktor ”X” adalah ”Memmoria Passionis” (sejarah atau ingatan penderitaan). Jika benar kata orang bahwa sejarah harus diukir, maka sejarah Papua telah diukir dengan sepatu lars, pisau sangkur, dentuman bedil, teror, intimidasi, pemenjarahan, cap separatis dan pemberontak, bodoh, ketinggalam zaman, tidak tahu mandi, dan lainnya. Hal-hal ini telah dengan ”rajin dan rapi” mengukir sejarah, sehingga tergambar sebuah masyarakat Papua yang indah namun harus disayangkan itu namanya budaya bisik-bisik atau budaya bisu.

Budaya bisu telah mengidap hampir semua kalangan orang Papua. Kebisuaan tersebut mendorong seseorang untuk tidak bisa mangakutualisasikan sebuah realita sosial yang dihadapinya. Misalnya, jika seseorang dibunuh dengan tuduhan separatis oleh militer Indonesia, maka tidak ada saksi mata yang akan berteriak atau mempersolkan – tentunya dengan berbicara – tentang pembunuhan tersebut. Hal ini didorong oleh sebuah rasa takut, karena saksi mata tersebut sudah tentu berada dalam ancaman jika berani ”berbicara” membongkar kedok kejahatan tersebut. Kasus-kasus semacam ini tersusun sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, yaitu ”takut berbicara” untuk semua orang Papua. Ini sebuah realita sekarang di Papua dan hampir semua orang Papua di mana saja, sehingga barangkali harus ada ”undo” (istilah yang sering digunakan dalam komputer, arti kasarnya ”kembali ke belakang”) atau back to basic (kembali ke dasar atau pokok).

Undo atau back to basic, yaitu budaya berbicara, terutama keberanian untuk menyuarakan sebuah realita sosial, termasuk Memmoria Pasionis bagi orang Papua adalah sebuah kebutuhan yang diharuskan untuk dilakukan. Mengapa? Tentunya karena kita hidup dalam sebuah bayang-bayang kehidupan yang seolah-olah sudah ”mapan, tepat, dan seharusnya”, padahal kita sedang terbelenggu dalam kebisuan sebagai sebuah bangsa, sehingga menjadi bangsa yang sunyi dalam mengungkapkan realita, tetapi ramai dalam segala kepalsuan dan kebohongan. Inikah arti sebuah bangsa? Entahlah!

Salah satu alat untuk berbicara dalam kebisuan bangsa adalah ”menulis”. Menyadari pentingnya menulis, budayawan Melanesia, Dr. Benny Giyai pernah kerkata “Jadi dengan menulis ini membuka kebisaaan kita untuk menghilangkan kebisaaan budaya bisu dan kebisaaan kita diam.” Rupanya Benny Giyai benar-benar sadar kalau budaya berbicara telah pudar akibat Memmoria Pasionis yang telah diciptakan oleh berbagai kebijakan menjajah yang dipraktekkan oleh Indonesia di Papua selama lebih dari empat dasawarsa.

Pentingnya berbicara dengan menulis ini untuk mencapai beberapa tujuan. Pertama, belajar bangkit untuk berbicara lagi. Menulis mendorong orang untuk bisa menggungkapkan sebuah realita secara sistematis dan realistis. Dalam kontesk Papua, dengan menulis, orang Papua diharapkan supaya bisa belajar dan berpikir secara sistematis. Selajutnya tulisan yang sistematis diharapkan untuk dibicarakan – dengan data-data dan ungkapan-ungkapan – secara spontan seperti sedia kala. Dalam hal ini untuk menciptakan orang Papua yang bisa bersaksi tentang pembunuhan, pemerkosaan, pemenjarahan, teror, intimidasi dan kejahatan lainnya secara sistematis berdasarkan data dan kesaksian yang benar.

Kedua, menyeimbangi ”serangan media” yang selalu subyektif (bagi Indonesia) dan berbagai manipulasinya atas kepentingan atas wilayah Papua. Media massa di Papua tidak menjalankan fungsi kontrol sosial, tetapi menjalankan fungsi ”rekayasa sosial”. Rangkaian kata-kata di media massa yang membentuk sebuah berita sangat jarang mengungkpan sebuah realita, tetapi terlihat rekayasa yang dipenuhi dengan kepalsuan dan kebohongan. Hal ini membentuk opini publik yang palsu dan bohong. Karena itu orang Papua harus berani untuk menulis. Harus ada tulisan-tulisan penyeimbang (perlawanan) atas manipulasi media massa tersebut. Hal ini bertujuan menghindari kepalsuan dan kebohongan pembentukan opini bagi masyarakat atas semua realita yang terjadi di Papua.

Ketiga, warisan untuk gererasi masa depan Papua. Tidak cukup bagi orang Papua meninggalkan ucapan-ucapan spontan untuk generasi masa depan Papua. Memmoria Pasionis, nasehat dan wejangan, realita sekarang, dan berbagai hal harus ditinggalkan untuk anak cucu kita di masa depan. Warisan yang paling efektif adalah dengan cara menulis. Contoh, kata-kata Tuhan Yesus yang dikemas dalam tulisan di Injil bisa dibaca hingga sekarang, walaupun kata-kata itu diungkapkan dua ribu tahun silam. Memmoria Pasionis, nasehat dan wejangan, realita sekarang, dan lainnya yang ada hubungan dengan Papua harus menjadi cermin masa lalu bagi anak cucu kita di massa mendatang. Karena itu sekarang harus dituliskan.

Keempat, sumbangan ilmu pengetahuan bagi dunia. Menulis semua Memmoria Pasionis, nasehat dan wejangan, realita sekarang, dan lainnya yang terjadi di Papua harus menjadi sumbangan ilmu pengetahuan untuk dunia. Menyadari itulah, maka website www.westpapua.net mempunyai motto ”kami mendidik dunia”. Dengan mengungkapkan semua realita, termasuk realita tuntutan kemerdekaan Papua Barat sekalipun, harus menjadi sumbangan bagi dunia sebagai bagian dari manusia semesta. Sumbangan itu diharapkan menjadi ”pegangan” bagi perdamaian dunia atas nilai-nilai kebenaran, kedilan dan kejujuran, sambil menghindari segala manipulasi dan diskriminasi di seluruh belahan dunia.

Keempat – barangkali masih ada tujuan lain – tujuan yang dikemukakan di atas ini harus menjadi motivasi bagi orang Papua untuk bisa menulis. Jika tidak bisa berbicara, menulis pun jadi. Jika tidak ada rotan, akar pun jadi. Hal itu tidak serta-merta berangkat dari teridapnya bisik-bisik atau budaya bisu, tetapi juga karena tuntutan dunia sekarang. Mark Drake, seorang wartawan dari Inggris, seusai mewawancarai saya di Jakarta tahun 2005 pernah berkata begini: ”Jika Anda ingin menguasai dunia maka kuasailah media massa, dan jika Anda mau bebas dari belenggu penjajahan maka banyaklah menulis”.

Saya sependapat dengan Mark Drake dalam hal ini. Contoh, siapapun orang Papua yang pernah sekolah pasti ingat tulisan dalam buku pelajaran Sekolah Dasar yang bertuliskan ”Budi makan nasi, ini ayah Wati, dan Dewi membeli rujak”. Di tingkat yang lebih tinggi ada rekayasa sejarah Papua, pendidikan berbasis budaya Jawa, dan lainnya lewat tulisan dalam bentuk ”buku paket” di sekolah dan kampus. Sementara di tempat lain ada makalah di tempat seminar, teks pidato pejabat negara di Upacar Kenegaraan, dan lainnya yang menina-bobokan orang Papua. Dengan tulisan semacam ini orang Indonesia menguasai orang Papua. Sementara itu orang Papua tidak bisa bereskpresi atas kemampuan dirinya dan realita sosialnya. Lebih parah lagi Memmoria Pasionis diciptakan lewat sepatu lars, pisau sangkur, dentuman bedil, teror, intimidasi, pemenjarahan, cap separatis dan pemberontak, bodoh, ketinggalam zaman, tidak tahu mandi, dan lainnya.

Pertanyaan pokoknya adalah apakah orang Papua harus terpuruk dalam budaya bisik-bisik dan kebisuan ini? Jawaban kuncinya adalah ”Jika lidah tidak mampu untuk berkata dan tangan tidak berdaya untuk melawan, maka biarkanlah pena mengukir kata-kata tentang arti sebuah kehidupan.” Atas dasar inilah kita bisa bangkit, agar kita tidak bisa ”baku tipu” lagi, tetapi .... Begitu saja dulu! ***

*) Seorang mahasiswa Papua yang sedang bergelut dengan dunia tulis menulis.
-----------------------------------------------
Sumber; Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut