Hubungan antara Membaca dan Menulis

Selasa, November 13, 2007

Lebih dari dua kali saya membaca buku Hedges bertajuk Read and Grow Rich. Saya merasa bosan. Barang kali itu karena saya menikmati karya penulis andal yang diterbitkan intipiblishing itu. Sebelumnya, Hedges menulis buku yang dari sisi judul sangat marketable berjudul Who Stole the American Dream? judul yang sangat berhasil. Selain provokatif, juga menggugah rasa ingin tahu (dari sini seorang penulis sudah dapat memetik manfaat dari membaca, bagaimana membuat sebuah judul buku yang berhasil).

Dibeberkan dalam Read and Grow Reach bagaiman peran buku di dalam mempengaruhi hidup seseorang. Dengan membaca, seseorang terbuka wawasannya. Dari membaca ia mendapat ide yang baru yang dilaksanakan, akan mendatangkan keuntungan. Melalui membaca dan mata pikiran terbuka lebar. Itulah sebabnya, sering kita mendengar ungkapan “buku adalah jendela dunia”. Mengapa? Dengan dan melalui membaca, kita melihat ke luar. Di luar sana, ternyata dunia ini sangat luas. Dengan membaca, kita meninggalkan dunia diri sendiri yang sempit (mikrokosmos). Dengan membaca, kita menggugurkan daun kelor dunia kita yang sempit itu. Kemudian masuk dan berintegrasi dengan dunia yang luas.

Sejauh mana buku mempengaruhi kehidupan, tentu setiap orang punya pengalaman sendiri-sendiri. Ada orang yang sekali baca, langsung buku mempengaruhinya. (saya jadi ingat seorang teman, hobiis adenium. Suatu saat saya pinjam buku how to membudidayakan adeniu, sampai bagaimana memasarkannya. Buku itu mempengaruhi hidupnya. Kini, berpapasan di mana pun dengannya, selalu pokok pembicaraannya tantang adenium!). Namun, adapula telah melahap sekali banyak buku, perilakunya tetap sama dengan kemarin.

Apakah setiap penulis adalah pembaca. Secara acak, sebutlah siapa penulis yang anda kenal. Apakah dia seorang pembaca ulung? Pasti. Paling tidak, membaca topik yang berkaitan dengan minat dan dunianya. Jika misalnya dia novelis, yang berkaitan pasti sedang membaca karya riwayat para novelis dunia (dan juga Indonesia).

Membaca-Menulis
Tali temali antara membaca dan menulis sangat erat. Sebagimana kata-kata bijak di atas, tidak seorang pun dapat memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Penulis pun demikian. Seorang penulis tidak dapat memberikan sesuatu kepada pembaca kalau dia sendiri hampa.

Dengan membaca, seorang penulis mengisi dirinya. Ia tidak hanya memetik manfat yang ada dalam apa yang dibacanya. Melalui dan dengan membaca, seorang penulis menemukan ide baru. Tidak menjadi masalah, apakah ide itu mendukung atau bertentangan dengan apa yang dibacanya. Yang penting,dari membaca, seorang mendapatkan ilham.

Masih banyak manfaat dari membaca. Lewat membaca, seorang penulis mempelajari trik-trik menulis dari penulis lain. Bagaimana misalnya, Putu Wijaya untuk membuat judul untuk cerpennya (judul cerpen-cerpen Putu Wijaya biasanya Cuma satu kata). Bagaiman cara Ayu Utami mendeskripsikan (Ayu Utami dikenal paling kuat dalam mendiskripsikan). Atau seperti apa proses kreatif Dyotami Febriani membuat komik (Dyotami dikenal sangat kreatif, ia menentang arus berani melawan dominasi komik Indonesia yang dibanjiri komikus Jepang).

Manusia makluk yang berkembang karena meniru. Seorang bocah bisa mengucapkan kata “mama” dan “papa” dari meniru bunyi yang ia dengar. Karena itu, pelajaran pertama bagaimana menulis dan mengarang ialah meniru. Bukanlah ada pepatah, “tidak ada sesuatu yang baru di muka bumi ini”? Maka, meniru apa yang pernah ada sebelumnya adalah langkah yang paling mudah dalam menulis.

Perlu dicamkan, bukan berarti meniru begitu saja. Tanpa diolah kembali. Menjiplak adalah perbuatan tercela. Tak hanya itu, buntutnya bisa panjang, bisa-bisa penjiplak dituntut pidana atau pun perdata kerena menjiplak karya orang lain. Karena itu, meskipun ide awal dari pembaca, seorang penulis perlu tahu tata krama dunia penulisan. Jika tidak mengutip karya orang lain ada mekanismenya. Ada aturannya jangan sampai kutipan melebihi sekian persen dari gagasan orisinal.

Jadi, kaitan membaca dan menulis sangat erat. Kepala seorang penulis ibarat yang memiliki dua saluran yang satu berfungsi untuk mengisi air, sedangkan yang yang lain untuk menyalurkannya ke luar. Keduanya harus selalu keluar-masuk dan seimbang. Sebab jika banyak yang keluar (menulis), tanpa ada yang masuk (membaca), kendi (ember) itu menjadi kering. Kalau sudah kering apa lagi yang bisa disalurkan ke luar?

Kaitan membaca dan menulis paling kongkret ialah Dari Buku ke Buku karya P. Swantoro (KPG, 2002). Dalam buku setebal 435 halaman itu, penulis mengisahkan kembali isi buku-buku kuno yang pernah dibacanya. Saya sendiri sangat menikmati buku ini, kerena mendapatkan sesuatu yang yang berharga. Apalagi, Swantoro yang mahir bahasa Belanda dan berlatar sejarah, dengan amat cerdik mengisahkan kembali buku-buku tua, sumber primer, yang pernah dibacanya. (Saya sering merasa “cemburu” dengan orang yang dapat menguasai bahasa Belanda. Mereka dapat membaca sumber primer tentang sejarah dan peradaban Nusantara, sedangkan saya merupakan sumber dari bahasa Inggris).

Dari apa yang dibacanya, Swantoro menghadirkan angle, sesuatu yang terasa baru untuk kemudian. Betapa kita merasa tertarik melihat lambang-lambang kotapraja Hindia Belanda tahun 1939-an, semacam lambang kabupaten sekarang. Betapa kita juga tertarik mengetahui apa judul buku yang mengupas tuntas PKI.

Contoh lain, Indra Gunawan, yang berlatar pendidikan wartawan, menulis buku Menelusuri Buku Kehidupan. Gamblang dikatakan, buku ini lahir dari membaca. Topik yang diangkat biasa-biasa saja. Namun, disajikan secara menarik. Penulis yang juga melebarkan minat dari manajemen sampai penyebaran ini tahu betul, betapa antara bungkusan dan isi buku saling terkait. Bahwa orang akan bosan membaca harga yang berguna kalau tidak disajikan dengan menarik. Bahwa juga orang akan meninggalkan bacaan yang hanya menghibur saja kalau ia tidak memperoleh manfaat apapun dari bacaan itu.

Swantoro dan Indra Gunawan sekadar contoh penulis yang langsung memetik dari manfaat dari membaca. Dengan membaca, seorang penulis mengisi diri. Ibarat baterai atau aki, dengan membaca, otak seorang penulis dicas. Setelah penuh, baterai siap digunakan.

Nasihat supaya bertekun ihwal apa pun, jika tidak ditekuni, tidak akan membuahkan hasil. Demikian pula menulis. Tidak ada orang yang sekali terjun, langsung menjadi penulis andal. Didalam proses menjadi, seorang penulis jatuh bangun. Ada yang kuat dalam ujian, tetapi tidak sedikit yang gagal.

Pada awal, banyak penulis patah arang. Tulisannya ditolak di mana-mana. Sudah susah-susah, akhirnya kerjaan sia-sia. Banyak pikiran dan waktu terkuras, tapi tak menghasilkan apa-apa. Bagaimana menghadapi kenyataan seperti itu?

Nasihat empu para penulis, Mark Twain barang kali membesarkan hati. Katanya, “Write without pay until somebody offers pay!” Karena itu, menulis. Menulis, sekali lagi, menulis. Menulislah terus, tanpa bayaran, hingga suatu saat menawarkan bayaran bagi Anda karena menulis.

Kata-kata Mark Twain sungguh meneguhkan. Menulis pertama-tama adalah ekspresi dan hobi. Baru kemudian, hobi yang ditekuni mendatangkan hasil (imbalan) baik berupa gaji atau honor. Jika tidak disederhanakan kalimat di atas menjadi: latih dan pertajam terus keterampilan menulis, hingga suatu saat upaya anda mendatangkan hasil.

Banyak penulis patah arang karena tidak tekun dan malas berlatih. Padahal, ada pepatah yang mengatakan “alah bisa karena biasa” (sesuatu yang pada awalnya dirasakan sulit bila sudah biasa dikerjakan akan menjadi mudah). “tajam pisau karena diasah” (orang bodoh yang menjadi pintar bila belajar keras dan tekun).

Pepatah yang sungguh dalam maknanya, mengingatkan kepada kita bahwa apapun dapat dikerjakan dan pasti membuahkan hasil, asalkan ditekuni dengan sungguh-sungguh. Demikian pula halnya dengan menulis. Menulis pertama-tama bukanlah talenta, tetapi suatu keterampilan yang harus digali dan ditingkatkan.

Seorang penulis dalam proses “menjadi”, tentu mengalami banyak hambatan. Mula-mula ia merasa kosong, tidak ada bahan yang dapat dijadikan bahan tulisan. Jika hambatan pertama ini berhasil diatasi datang halangan lain:bagaimana menuangkan bahan itu ke dalam suatu tulisan? Jika ia sudah menuangkan gagasan ke dalam tulisan, sering tulisan itu ditolak karena berbagai alasan.

Jangan mengalami hambatan kedua atau ketiga, ada orang yang baru sampai pada halangan pertama saja, sudah menyerah. Ia lalu sampai pada kesimpulan, tidak mempunyai bakat menulis jika begini, orang tersebut—dalam istilah Stoltz—termasuk quitter atau orang yang mudah menyerah, tidak memiliki cukup AQ di dalam mengatasi hambatan. Padahal, semua penulis dan pengarang hebat mengalami jatuh bangun. Mereka menjadi seperti itu karena ketekunan, didasari semangat tidak mudah menyerah.

Mendapatkan Ilham
Ilham dan ide. Sering dua istilah itu digunakan secara bergantian. Sama dan sebangunkah kedua istilah itu? Mari kita lihat makna leksikalnya.

Ide ialah rancangan yang tersusun di dalam pikiran, gagasan, cita-cita. Sementara ilham adalah pikiran yang timbul dari hati, atau sesuatu yang menggerakkan hati untuk mencipta misalnya mengarang syair , prosa lagu, dan lain-lain.

Karya dengan ilham menjadi sia-sia kalau tidak berhasil diungkapkan dalam bentuk lisan dan tulisan. Ide saja tanpa adanya wujud, ibarat jiwa tanpa raga. Di sini ajaran filsafat Aristoteles mengenai materia dan forma, menjadi relevan untuk dibicarakan. Mengapa? Aristoteles mengajarkan bahwa segala sesuatu terdiri atas materia dan forma. Teori ini tetap gamblang menjelaskan kaitan antara ilham dan tulisan. Ide akan menemukan wujudnya dalam tulisan. Jika keduanya menyatu—setelah melalui proses tentunya—jadilah karya sastra, karya tulis.

Lain orang lain pula cara datangnya ilham. Ada orang tertentu yang merasa “kumat” atau mood pada waktu-waktu tertentu.

Ilham atau ide, untuk menulis suatu topik, berbeda satu sama lain. Berikut ini beberapa contoh bagaimana penulis mendapatkan ilham. Linus Suryadi misalnya, “kumbuh kumat”-nya pada bulan-bulan yang berunjung dengan “r”. Di saat-saat itu, ia dengan mudah menuangkan ide kedalam tulisan. Linus sendiri merasakan perlu adanya keseimbangan badan dan jiwa untuk menghasilkan sebuah tulisan yang baik. Kebetulan bulan yang berujung “r” adalah saat mood yang baik karena musim hujan dan musim kembang yang secara alamiah mempengaruhi proses kreatifnya. Lagi pula, akhir tahun bagi Linus merupakan siklus kegiatan hidup dalam arti keseluruhan sampai pada titip pengendapan.

Agatha Christie, penulis cerita kriminal yang andal itu, suka berendam di bak mandi ketika mencari ide. Berjam-jam lamanya, sambil makan apel. A.A. Navis, pengarang Robohnya Surau Kami, bahkan mengurung diri di kakus kalau sedang mencari ide. Sutardji Calzoum Bachri, “presiden penyair” itu, minum bir dulu sebelum bersyair. Djoko Pinurbo, penulis Celana, tak pernah berhenti mengepulkan asap rokok ketika menulis puisi. Dwianto Setyawan, pengarang cerita anak-anak terkemuka, menemukan ilham ketika sedang bengong waktu mengantar anaknya ke sekolah. Ia melihat seekor kuda tua, bertatih-tatih menarik sebuah kereta yang sarat dengan beban. Karena jalan menanjak, sang kuda tentu menghela napas berkali-kali. Ketika itu pantatnya dipacu, sang kuda meneruskan langkah. Dwianto merasa iba menyaksikannya. Meski tenaganya diperas, kuda tua itu sekaligus disayang oleh kusirnya karena mendatangkan rezeki. Penglihatan itu mendatangkan Ide. Ilham itu kemudian mendapatkan bungkusnnya menjadi Si Rejeki.

Y.B. Mangunwijaya, tentang ilham dan proses kreatif bahkan lebih lugas lagi mengingatkan bahwa menulis bisa dilakukan siapa saja, asalkan dialakukan dengan sungguh-sungguh. “…si penulis harus berniat sungguh untuk menulis sesuatu yang penuh kedalaman. Jangan jemu mengisi diri sendiri dengan mata dan telinga terbuka agar menangkap peristiwa serta hikmah dari siapa pun: tukang becak atau pengemis sekalipun. Karangan yang baik hanya dapat datang selaku luapan jiwa yang sudah penuh sebelumnya.”

Pengalaman para penulis di dalam proses mendapatkan ilham, ternyata beragam—dan kita tidak perlu meniru salah satu. Masing-masing punya cara sendiri-sendiri di dalam proses penciptaan. Namun, yang sama ialah kondisikan diri anda. Seorang penulis perlu mengisi baterai diri sendiri sampai penuh, sebelum mengeluarkan energi yang sudah ada.

Materia dan Forma
Jika setiap benda terdiri atas materia dan forma, ide dan tulisan juga demikian. Ide yang didapat dari pengodisian diri dan pengisian, perlu mendapatkan wujudnya dalam tulisan. Ide apa pun bisa diwujudkan dalam bentuk tulisan, tergantung topiknya.

Jika ditanyakan, manakah yang paling sulit memberi daging kerangka fiksi atau nonfiksi, maka yang pertamalah yang lebih sulit. Mengapa? Karena pertama itu memerlukan kreasi, fantasi, abstraksi yang luar biasa untuk bisa mewujud. Membentuk sesuatu yang tidak ada (tak kelihatan) yang disebut ide ke dalam bentuk tulisan—katakan cerpen—tidaklah mudah. Di sanalah penciptaan bermain. Di sana pula kata “mengarang” mendapatkan makna yang sesungguhnya: membuat suatu dari tidak ada menjadi ada.

Agak berbeda dengan menulis. Menulis karya nonfiksi bisa distrategikan. Bisa pula dibuat outline yang jelas-tegas karena sebuah tulisan nonfiksi memerlukan kerangka yang benar-benar nyata. Jadi, untuk menulis nonfiksi tidak mesti ketika “kumat”, sewaktu ilham datang, dan menunggu mood. Kapan saja menulis nonfiksi bisa dilakukan. Kerangka tulisan tinggal diberi daging di sana sini, baik dari ide orisinal maupun mengutip pendapat orang lain.

Tuang, Ya Tuangkan saja!

Menuangkan ide ke dalam tulisan, ibarat menuangkan teh dari teko ke dalam gelas. Tuang, ya tuangkan saja! Jangan berhenti, sampai gelasnya dianggap sudah penuh. Penuh, tapi tidak tumpah ruah dan meluber. Jika masih ada yang tersisa, tuangkan kedalam gelas yang lain.

Menuangkan ide ke dalam tulisan juga demikian. Kadangkala ide ide kita banyak sekali, kepala sampai mau pecah menampungnya. Rasanya, semua yang ada di kepala hendak dikeluarkan semua. Di sini sering seseorang menjadi tidak sabar, maunya menuangkan semua apa yang ada di kepalanya. Apa yang kemudian terjadi? Tulisannya tidak fokus. Topik yang dibicarakan tidak sistematis. Tidak proporsional. Ini karena yang bersangkutan mau menuangkan semuanya.

Tahap Sistematisasi
Pada tahap awal, hal demikian tidak apa-apa. Tampung saja ide yang ada dalam tulisan. Apa adanya, sampai habis. Ketika sudah selesai, kesempatan anda untuk menelitinya lagi. Apakah misalnya, susunan (sistem) tulisan anda urut ide demi ide? Adakah ide yang satu menyangkal yang lain? Kalau ya, bagaimana hal itu mesti disiasati? Apakah tetap mempertahankan ide yang satu, lalu membuang yang lain,dan menggantinya dengan ide baru yang mendukung?

Lihat pula kembali, apakah tulisan anda sudah proporsional. Pengantar, bahasan, dan simpulan—apakah unsur-unsur itu sudah ada semua? Kalau sudah ada dan terasa belum menarik alias kering, bagaimana caranya agar menjadikan menarik?

Pertimbangkanlah itu dari sisi pembaca. Seolah-olah, setelah tulisan selesai, anda menjadi sebagai orang lain. Sebagai orang lain, apakah anda tertarik membaca tulisan yang baru saja anda hasilkan? Apakah tulisan itu sudah cukup “berbicara”?

Tahap Mengedit
Sering timbul godaan, penulis pada saat bersamaan, sekaligus sebagai editor. Ini salah satu yang perlu dihindari. Ketika tengah menuangkan ide ke dalam tulisan, dan tatkala kumat mulai kambuh dan mood sedang “in”, tampung saja. Tuangkan semua yang ada. Jangan dulu dengan logika. Buanglah jauh-jauh ketakutan melanggar kaidah berbahasa yang baik dan benar. Jangan hiraukan tanda baca. Lemparkan kekhawatiran anda akan kode penulisan ke tabir jurang yang paling dalam. Maka ide yang tuangkan ke dalam tulisan akan mengalir bagai sungai. Terus dan terus, tiada henti. Habis satu ide, beralih ke ide yang lain. Jika sudah terbiasa menulis, seseorang tidak pernah kehabisan ide. Selalu saja ada ide baru. Semua, mengalir bagai aliran sungai, panta rhei kai uden menei—demikian kata filsuf Herakleitos.

Tatkala semuanya dianggap “selesai” dan anda sudah menulis dengan kesungguhan, kepenuhan, kegembiraan, dan mengerahkan semua energi, itu berarti anda tinggal menyelesaikan teknisnya saja. Saat mengoperasikan kalimat yang tidak jalan. Membetulkan bahasa, termasuk pilihan kata, yang keliru. Meluruskan ejaan yang salah dan menerapkan tanda baca secara cermat.

Untuk dapat menulis dengan benar dan menarik sesuai kaidah bahasa, seseorang tidak harus kuliah bahasa dan sastra. Belajar mandiri akan jauh lebih banyak menyerap. Bukankah setiap orang adalah pengguna bahasa? Kebiasaan baik yang dilakukan terus-menerus akan menjadi bagian yang melekat pada diri anda.

Karena itu, jadikanlah ensiklopedi, kamus, leksikon, dan buku penuntun sebagai bagian dari alat yang mendukung keberhasilan anda menulis. Dengan bantuan alat itu, anda jadi mafhum kapan kata “pun” dalam “sekali pun” ditulis serangkai dan kapan “sekali pun” ditulis terpisah. Dengan alat bantu itu pula anda tahu manakah penulisan yang benar, sekadar atau sekedar?

Tulisan anda akan menjadi akurat kalau didukung itu semua. Redaktur atau penerbit yang senang menerima kiriman naskah yang sudah matang, tidak hanya isinya, tapi juga bahasa dan cara penyajian yang baik, benar sekaligus menarik. Ibarat petani itulah pacul, parang, alat bajak, dan pupuk anda. Alat yang digunakan petani dalam proses bertani. Maka pergunakankan dengan maksimal?

Mengirimkan
Seorang penulis yang biasa menulis, tahu tema dan bentuk tulisan harus dikirim ke mana. Naluri dan intuisi akan menuntun anda menjadi biasa untuk menganalisis jenis tulisan ini cocok untuk media tulisan itu.

Bagaimana caranya mengirimkan tulisan? Sekarang zaman serba digital. Tidak mesti ke kantor pos. Cukup mengirimkan tulisan melalui pos atau internet. Asalkan disertai dengan keterangan yang jelas.

Sapalah redaktur atau pengasuh rubrik atau penanggung jawab media yang bersangkutan secara personal. Secara simpatik. Buatlah kata pengantar yang menyentuh, disertai alasan yang masuk akal, jelaskan pula mengenai kelebihan tulisan Anda. Usahakan meyakinkan redaktur bahwa tulisan anda memiliki daya pikat dan daya jual, karena itu sekaligus juga memuaskan audiens (pembaca, pasar)-nya. Yang lebih pokok katakan bahwa tulisan anda sesuai dengan kebutuhan mereka (redaktur/penerbit).

Di sana mekanisme pasar, yakni penawaran dan permintaan bertemu. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Penulis perlu tulisannya dipublikasi—dan mendapat honor. Penerbit butuh bahan untuk disajikan dan dimuat. Klop!
-----------------------------------------------------
Catatan: Tulisan ini disadur bebas dari bagian pertama tulisan R. Masri Sareb Putra di Majalah Matabaca Volume 3 Nomor 7 Maret 2005 oleh redkasi majalah SELANGKAH karena menarik dan ada kesesuaian topik majalah Selangkah. Ditulis kembali oleh Matheus Christofel Amoye Auwe.
----------------------------------------------------------
Sumber: Majalah SELANGKAH

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut