Dari Gelaran Budaya Nusantara USD, “Tradisi Lemah Mudah Dijajah”

Rabu, November 14, 2007

Yogyakarta (KPP)--Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta mengadakan pekan Budaya bertema “Tradisi Lemah Mudah Dijajah—Menjadi Manusia sadar Budaya” pada 14-15 September 2007 di gedung Wanita Tama Jalan Adisucipto Yogyakarta.
Dalam pekan budaya ini Papua (Nabire) turut diundang melalui Ikatan Pelajar Mahasiswa Nabire (IPMANAB) Yogyakarta.
“Kami merasa senang karena IPMANAB diundang dalam pekan budaya ini untuk mempertunjukkan budaya kami. Keikutsertaan IPMANAB yang mewakili Papua ini akan memperkuat semangat kaum muda Papua untuk terus melestarikan budaya Papua. Karena bagaimanapun juga semua budaya itu sama. Tidak ada budaya yang lebih hebat. Juga tidak boleh ada budaya lain yang harus mendominasi dalam kehidupan bangsa”, demikin kata Joni Kristian Iyai Ketua IPMANAB Yogyakarta di sela-sela pekan budaya.
Senada juga sempat dikatakan Maria Iyai, Trikurniawan, dan Mateus Auwe yang ikut menjaga stand Papua (Nabire). “Kami merasa bangga dan senang menunjukkan budaya kami kepada orang lain. Ketika kami bisa menjelaskan kepada pengunjung dan orang lain melihat, kami merasa menjadi orang yang beridentitas. Kami merasa orang-orang yang memiliki harga diri,” kata mereka serentak.
Memprihatinkan dan Topeng
“Tradisi Lemah Mudah Dijajah”. Menurut Ketua Komunitas Pendidikan Papua Yogyakarta, Longginus Pekey, tema pekan budaya ““Tradisi Lemah Mudah Dijajah” itu memprihatinkan dan sekaligus topeng. Mengapa memprihatinkan? Karena tema itu menjadi topeng atas realitas.

“Yang menjadi pertanyaan adalah budaya yang mana. Karena selama ini, Indonesia yang memiliki keragaman budaya itu tidak mendapatkan tempat yang tepat. Yang ada selama ini adalah dominasi oleh bangsa dan budaya tertentu yang merasa budayanya lebih baik. Atau bangsa tertentu yang merasa mereka lebih beradab. Realitas ini sejak lama telah menjadi ancaman bangsa-bangsa seperti Papua, Kalimantan, Flores dan lain-lain,” kata Pekey.
Menurut dia, budaya yang dimaksud budaya sekedar hasil karya cipta manusia yang terlihat dan dapat ditunjukkan itu tetapi lebih kepada cara berpikir. Kenapa? Katanya, dominasi oleh cara berpikir ini terlihat melalui sistem pendidikan khususnya melalui buku teks yang seolah-olah budaya tertentu yang lebih maju.

“Dominasi budaya ini biasanya terlihat dalam pandangan kolonialis sentris yang berusaha menghegemoni untuk menjajah budaya-budaya pribumi. Hal ini pernah terjadi pada kasus Aborigin dan Indian oleh pemerintah Inggris. Dalam sistem kolonialis itu, yang akan dilakukan adalah unifikasi dan asimilasi. Inilah yang persis terjadi di Indonesia yang menganut berbeda-beda tetapi tetap satu yang ujung-ujungnya adalah mengindonesikan dan menjawakan daerah lain,” papar Pekey mahasiswa Pendidikan Sejarah USD itu.

Menurut Pekey, yang harus dilakukan saat ini adalah suku-suku pribumi harus membangun konsolidasi untuk menentukan kebebasan ekspresi budaya. Karena, sekalipun ini sudah era otonomi tetapi hal ini belum terjadi hampir di seluruh daerah.

Dia mencontoh kasus Papua. Ketika simbol budaya orang Papua “Bintang Kejora” dipajang dalam bentuk tas handphone di stand Papua (Nabire) pada pekan budaya ini Polisi memaksa untuk menurunkan. Kasus lain adalah tari Sampari saat Konfresnsi Adat Papua di Jayapura beberapa waktu lalu.

“Menyadari budaya adalah identitas maka budaya harus ditempatkan pada posisinya dan harus mendapatkan posisi setinggi-tingginya. Budaya Papua adalah sebuah pembebasan untuk mencapai kemerdekaan sejati. Kemerdekaan dalam berpikir dan berpendapat yang harus dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena it, seharusnya tidak ada seorangpun yang menempatkan budaya Papua sebagai budaya yang terbelakang. Juga tidak ada seorangpun yang dapat menilai budaya lain karena budaya itu tak ternilai,” paparnya.
Dia menyarankan, orang Papua mulai saat ini harus menghargai dan mengembangkan budaya masing-masing sukunya. Orang Papua harus membangun penyatuan budaya suku-suku itu. Pluralisme budaya Papua harus kita (orang Papua) hargai dan ditempatkan setinggi-tingginya agar tidak terjadi seperti yang terjadi saat ini di Indonesia.
“Soalnya adalah saat ini terjadi dominasi budaya tertentu dalam pendidikan, ekonomi, dan bahkan sistem politik,” tukas Pekey. [yer]

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Budaya itu memang identitas dan harga diri. Saya sepakat dengan pendapat ketua KPP.

Anonim mengatakan...

Saya bangga dan senang ketika membaca dan memandang foto-foto dengan ulasan kegiatan yang merupakan kreativitas adik-adik dalam mempertahankan identitas kita melalui budaya.Harapan saya di tahun-tahun mendatang saya bisa memandang foto dan membaca berita kegiatan yang sama pada level yang lebih besar....

selamat berjuang...

salam

joni alomang mengatakan...

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.

selamat berjuang...
semoga tuhan selalu memberkati...

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut