Buku sebagai Gudang Ilmu

Minggu, November 25, 2007

Oleh : Amrizal Muchtar

Istilah “buku adalah gudang ilmu” sampai saat ini masih sering terdengar. Istilah ini serupa dengan istilah “buku adalah jendela dunia”. Keduanya, entah dikarang oleh siapa, dimaksudkan untuk menekankan bahwa buku memang merupakan sesuatu yang amat sangat penting bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, melirik dari dunia perbukuan di Indonesia saat ini, tampak jelas bahwa istilah pertama di atas mengalami perubahan makna yang amat memprihatinkan. Layaknya gudang yang merupakan sebuah ruangan di rumah yang jarang dikunjungi oleh anggota keluarga, demikian pulalah keadaan buku-buku di Indonesia. Walau tidak ada yang mengingkari banyaknya ilmu pengetahuan yang dikandung oleh buku, tapi karena minat baca yang kurang, maka buku hanya menjadi tempat penimbunan atau gudang ilmu pengetahuan.

Sudah jadi rahasia umum kalau kondisi perbukuan di Indonesia sangat carut-marut. Begitu banyak masalah yang melatarbelakangi hal ini. Bisa disebutkan, mulai dari budaya membaca yang kurang, produksi buku yang langka, sampai ke masalah perpustakaan yang bisa membuat kita mengelus dada tanda prihatin.

Dari dahulu sampai sekarang, buku memegang peranan sangat vital bagi manusia. Tanpa buku, mungkin manusia akan tetap hidup seperti manusia prasejarah yang kebanyakan mengandalkan hidupnya dari alam. Tanpa buku, tidak mungkin manusia mencapai kehidupan modern seperti sekarang ini. Di bukulah orang-orang pintar dunia menuliskan pengalaman, pemikiran dan teori-teori mereka. Itulah yang dimanfaatkan oleh orang-orang sesudahnya, makin lama makin dikembangkan, dan jadilah pengetahuan dan teknologi seperti sekarang yang manfaatnya telah dirasakan oleh hampir seluruh umat manusia.

Peranan buku semakin besar dengan semakin meluasnya sistem globalisasi di masa sekarang. Karena menyadari hal itulah maka masyarakat di negara modern semakin menghargai buku. Mereka sadar bahwa pengetahuan setiap saat selalu berkembang. Tanpa sering membaca, mereka dengan cepat akan ketinggalan jauh. Itulah sebabnya mereka sejak dahulu telah membudayakan kegiatan membaca pada diri dan keluarga mereka.

Akan tetapi, kondisi serupa ternyata tidak terjadi di negeri tercinta ini. Masyarakat kita masih saja teguh dengan tradisi lisan yang kental. Budaya ngobrol masih menjamur dimana-mana. Sering kita jumpai di pinggir-pinggir jalan para anak muda bercengkerama tidak karuan hanya untuk menghabiskan waktu kosong yang tercipta karena tidak adanya pekerjaan. Ini tentu saja sangat berbeda dengan prinsip masyarakat modern yang sangat menghargai waktu. Waktu adalah uang, begitulah prinsip mereka. Sebegitu pentingnya sehingga sedapat mungkin waktu kosong harus dimanfaatkan. Salah satunya dengan membaca.

Memang kalau mengamati dunia perbukuan di Indonesia, akan kita jumpai fakta-fakta yang mencengangkan. Kesenjangan kualitas perbukuan Indonesia dengan negara lain termasuk negara Asia Tenggara sangat jauh. Taufik Ismail, sastrawan ternama, setelah meneliti perbandingan jumlah bacaan siswa SMU di beberapa negara menemukan bahwa jika dibandingkan, jumlah bacaan siswa SMU di Amerika mencapai 30-an buku, di Malaysia 6 buku dan di Indonesia 0 buku.

Dalam hal produksi buku pun, Indonesia masih ketinggalan jauh. Malaysia yang nota bene jumlah penduduknya hanya 10 persen dari Indonesia menghasilkan 7000 judul buku setiap tahun. Thailand menghasilkan 10000 judul buku pertahun. Adapun Indonesia yang merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dan memiliki jumlah penduduk terbesar ke empat di dunia hanya memproduksi paling tinggi 5800 buku pertahun.

Ada satu lagi fakta yang patut dicermati. Menurut data yang disajikan Kepala Sub-Bidang Kerjasama Perpustakaan Nasional RI, Sauliah, pengguna buku koleksi sumbangan dari PBB dan Bank Dunia sangat minim. Dalam rentang waktu antara 1995 hingga 1999, buku sumbangan badan internasional tersebut hanya dibaca oleh 536 orang. Kalangan pembaca terbesar adalah pelajar dan mahasiswa. Dari jumlah itu pun ada kecenderungan jumlah pembaca buku-buku koleksi sumbangan dari PBB/Bank Dunia itu dari tahun ke tahun semakin menurun. Jika tahun 1995 tercatat 161 pembaca, tahun 1996 tinggal 134 pembaca. Tahun berikutnya, 1997, turun lagi menjadi hanya 76 pembaca. Meski tahun 1998 sempat naik jadi 84 pembaca, tetapi tahun 1999 kembali turun menjadi 81 pembaca (Kompas, 1 Februari 2000).

Fakta-fakta kepayahan dunia perbukuan kita di atas memang memprihatinkan dan memalukan mengingat semboyan yang selalu digemborkan bahwa kita adalah bangsa besar dan kaya. Tapi itulah kenyataannya. Banyak faktor yang mendasari hal ini dan sifatnya nasional. Faktor-faktor itu terjadi di seluruh nusantara. Itulah sebabnya sehingga ini menjadi masalah yang tidak mudah untuk diatasi.

Salah satu faktornya yaitu kurangnya minat baca di kalangan masyarakat Indonesia. Seperti disebutkan di atas, budaya lisan masih sangat mendominasi, sehingga budaya tulisan sukar mengambil alih. Kesadaran untuk meraih ilmu pengetahuan dari buku-buku masih sangat kurang.

Minat baca tentulah bukan barang yang mudah dibentuk hanya dengan suruhan atau perintah sekali saja. Minat baca berkaitan dengan kebiasaan. Jadi tentulah minat baca harus dipupuk sedini mungkin. Akan tetapi kenyataan yang ada menunjukkan hal sebaliknya. Jarang sekali anak-anak Indonesia yang dibimbing untuk suka membaca. Hanya sekitar 15 persen orang tua yang menaruh perhatian pada kemampuan dan kesukaan membaca anak. Sisanya 85 persen diberikan oleh guru. Ini berbeda jauh dibandingkan dengan Amerika. Di negara maju itu sebagian besar waktu belajar siswa dihabiskan bersama bimbingan orang tua.

Faktor lain yang memperparah kelesuan perbukuan di negeri ini adalah berkembangnya teknologi pertelevisian. Tak dapat dipungkiri bahwa media televisi sudah sangat mempengaruhi kegiatan manusia. Media ini bersifat progresif dan sangat menggoda manusia untuk betah duduk berlama-lama di depannya. Dampaknya tentu saja pada habisnya waktu efektif yang mungkin saja bisa digunakan untuk kegiatan lain seperti membaca.

Pengaruh televisi ini tidak nampak di Indonesia saja. Anak-anak sekolah di negara maju pun yang nota bene punya tradisi membaca yang tak kepalang, menurut sejumlah penelitian, menghabiskan waktunya 60-90 jam perpekan di depan televisi. Bisalah dipikirkan, kalau di negara maju saja seperti itu, bagaimana pula dengan Indonesia yang masih erat dengan tradisi lisan yang sejalan dan sebangun dengan wadah komunikasi televisi.

Selain masalah budaya dan teknologi, faktor perpustakaan juga tidak boleh diacuhkan. Faktor ini ternyata memegang peranan besar juga dalam kepayahan dunia perbukuan Indonesia. Perpustakaan merupakan sarana termudah dan termurah bagi masyarakat untuk dapat membaca buku. Akan tetapi ternyata kondisi perpustakaan di Indonesia sama hancurnya dengan kondisi perbukuan itu sendiri. Kondisi perpustakaan di Indonesia sangat memprihatinkan dan tertinggal, baik dari sisi kumpulan bahan bacaan maupun sumber daya pengelolaan. Diidentifikasi dari 110 ribu sekolah di Indonesia, yang sudah mempunyai perpustakaan hanya sekitar 18% saja. Demikian pula dari 64.000 desa, ternyata yang mempunyai perpustakaan hanya 22%. Sedangkan jumlah unit perpustakaan di berbagai departemen dan perusahaan, baru sekitar 31% dari jumlah yang diperlukan. Kondisi itu diperparah dengan banyaknya perpustakaan yang belum punya standardisasi dan masih sangat kurangnya tenaga profesional perpustakaan (Media Indonesia, 8 September 2000).

Menurut Kepala Bidang Pembinaan Sumber Daya Perpustakaan Nasional, Rachmat, dari sekitar 200 ribu unit sekolah dasar di Indonesia cuma 20 ribu yang memiliki perpustakaan standar. Demikian pula dengan SLTP. Dari sekitar 70 ribu unit SLTP, cuma 36 persen yang memenuhi standar. Adapun untuk SMU, cuma 54 persen yang punya perpustakaan berkualitas standar. Kemudian untuk perguruan tinggi, dari sekitar 4 ribu perguruan tinggi di Indonesia, cuma 60 persen yang memenuhi standar. Sedangkan dari sekitar 1.000 instansi, diperkirakan baru 80 sampai 90 persen yang memiliki perpustakaan dengan kualitas standar (Republika, 20 Mei 2000).

Kondisi ini tentu sangat erat kaitannya dengan minimnya anggaran perpustakaan dari pemerintah. Saat ini anggaran perpustakaan hanya Rp 1,5 milyar untuk setiap provinsi. Adapun idealnya, harusnya Rp 2,5 milyar (Kompas, 31 Oktober 2000).

Dari semua kenyataan di atas, semakin jelaslah kesuraman dunia perbukuan di Indonesia. Akan tetapi hal itu janganlah membuat kita menyerah. Semuanya itu masih bisa diatasi asal ditangani secara serius. Semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat harus ikut andil di dalamnya. Kualitas perpustakaan harus ditingkatkan, dan kebijakan undang-undang perbukuan harus dipantau lagi dan diperbaiki sehingga harga buku pun bisa terjangkau oleh masyarakat. Dua hal terakhir ini merupakan urusan pemerintah. Adapun yang bisa kita lakukan sebagai anggota masyarakat setidak-tidaknya adalah dengan membudayakan minat baca di diri, dan keluarga kita. Seringlah-seringlah mengunjungi “gudang ilmu” itu agar tidak lagi menjadi gudang yang sebenarnya.
-----------------------------------------------
Sumber: http://kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20071121071115

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut