Manfred Wakey, 42 Tahun Mendidik dan Membangun di Pelosok Papua

Rabu, September 19, 2007

Oleh: Yermias Degei*)

Gigi sudah tidak ada. Pemikiran dan kerja keras untuk membangun dan mendidik tiga generasi di sebuah Sekolah Dasar (SD) yang hanya berkelas IV (empat) di Desa Putapa telah mengikis rambut keriting pekat. Jengkotnya yang putih kekunig-kuningan dan tulang pipinya menggambarkan perjuangan. Sepatu laras yang berumur puluhan tahun telah berubah warna menjadi cokelat kemerah-merahan dengan tanah liat di desa orang berkoteka itu. Jalannya menunduk pertanda sudah usia senja.

Bapak! Begitulah panggilan bersejarah anak-anak muridnya selama puluhan tahun. Ialah bapak guru Manfred Wakey. Dia adalah Kepala SD Yayasan Pandidikan Persekolahan Katolik (YPPK) St. Yosep Putapa. Putapa adalah sebuah desa di pegunungan tengah Papua, tepatnya kabupaten Nabire. Dari ibu kota kabupaten Nabire menempuh 200 KM jalan darat dan naik pesawat cesna (pesawat milik misi katolik dan hanya memuat 5 penumpang bersama pilot) dapat ditempuh hanya dalam 45 menit, tetapi ongkos pesawat bukan main mahalnya.

Putapa adalah salah satu desa dari 23 desa di kecamatan Mapia. Kecamatan Mapia sebelah Utara berbatasan dengan dengan kecamatan Sukikai, bagian Selatan berbatasan dengan kecamatan Kamuu (Moanemani) dan bagian Barat berbatasan dengan kecamatan Siriwo. Kecamatan Mapia, Kamuu dan Siriwo adalah tiga kecamatan yang jauh dari ibu kota kabupaten Nabire. Ketiga kecamatan tersebut terletak di pedalaman, jauh dari ibu kota kabupaten Nabire.

Keempat kecamatan ini didomisili oleh suku Mee secara turun temurun. Orang Mee lebih banyak berdomisili di kabupaten Paniai (Waghete dan Enarotali). Orang Mee keseluruhan di pegunungan tengah menurut data 1994 jumlahnya mencapai 130.000 orang dan dari sisi penggunaan bahasa daerahnya menduduki urutan kedua di Papua setelah suku Dani. Suku Mee mendiamai wilayah bagian barat dari pegunungan tengah dan mendiami daratan sangat tinggi dengan suhu udara yang sangat dingin. Daerah suku Mee sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Puncak Jaya dan bagian Selatan berbatasan dengan kabupaten Fak-Fak. Suku Mee menurut Koentjaranigrat, (1993) terletak pada ketinggian 1.765 di atas permukaan laut dengan luas wilayah mencapai 855,64 kilometer persegi.

Desa Putapa yang terpencil inilah bapak guru Manfred Wakey yang juga sering disebut Wakeybo membangun dan mendidik sejak tahun 1965. Masyarat setempat sering menyebutnya Wakeybo yang berarti pak guru Wakey yang tua dalam membangun sekolah dan mendidik tiga generasi.

Berbicara tentang sosok ‘pendidik hati' kelahiran Timepa 12 Desember 1946 ini adalah juga berbicara tentang kontak awal suku Mee dengan pengaruh luar. Dia adalah guru SD pertama sekecamatan Mapia bersama beberapa rekannya. Sehingga berbicara bagaimana proses pembangunan pendidikan di pedalaman Mapia, maka berbicara tentang proses pendidikan awal Wakeybo tentang: bagaimana, dari siapa, belajar ke mana, siapa yang memberi jalan, di mana dia pergi belajar apa yang dia lakukan setelah kembali menjalani pendidikan. Maka kontak pertama orang Mee (Mapia) menjadi jembatan untuk untuk Wakeybo pergi belajardan kembali membangun dan mendidik di tanah yang mengutus dia pergi belajar.

Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar terjadi awal abad 19, pada hal orang Papua dari ujung Barat laut dan pantai Utara sudah berabad-abad lama telah dipengaruhi. Zending (Kristem Protestan) lebih dahulu melaksanakan tugas misinya sejak tahun 1855 dan pos penerintah dibuka tahun 1898 di Fak-Fak dan Manokwari, setelah usaha pembukaan pos di teluk Etna antara tahun 1828-1836 mengalami kegagalan. Penerbangan F.T. Wessel yang secara kebetulan menemukan danau Tigi,Tage, dan Paniai di pegunungan tengah Papua (tepatnya tanggal 31 Desember 1933) merupakan kontak pertama orang Mee dengan dunia luar. Kemudian direalisasikan melalui darat oleh para Misionaris Katolik dan Protestan. Namun setahun sebelumnya (tahun 1932), pastor Tillemans seorang misionaris Katolik sudah mengadakan kontak dengan Auky Tekege asal desa Modio melaui pantai selatan, Mimika. Dua tahun kemudian Pastor Tillemans ikut bersama tim ekspedisi yang dipimpin J. Bijlmer seorang ahli Antropologi fisik berkebangsaan Belanda menuju ke tanah orang Mee kecamatan Mapia.

Keadaan pendidikan, kesehatan dan ekonomi tahun 1950-an di daerah pedalaman Papua belum berarti apa-apa. Belum tersentuh oleh pengaruh luar. Masyarakat hidup secara alami. Para misionaris Katolik yang masuk melalui pantai Selatan Papua, Mimika merupakan pengenalan pertama masyarakat pedalaman akan agama dan pendidikan. Dengan masuknya misionaris Katolik 1950-an sekolah-sekolah dasar (kadang ada yang hanya berkelas satu dan juga sampai kelas tiga) mulai dibuka di beberapa tenpat di pedalaman (Timepa dan Modio) kecamatan Mapia sambil mewartakan injil.

Proses pendidikan dan penginjilan berjalan bersama-sama. Pada umur tujuh tahun, tepatnya tahun 1953, Wakeybo masuk sekolah dasar di tempat kelahirannya, Timepa kecamatan Mapia. Waktu itu tidak ada guru orang Mee asli, sehingga diperbantukan oleh guru-guru asal Kokenau. "Saya ingat waktu itu guru saya, namanya Willem Tapo dari Kokenau (Fak-Fak). Pada saat itu ada beberapa Pastor yang datang dan pergi. Pada tanggal 10 Oktober 1955 saya diajak oleh Pater Smeth, OFM., untuk belajar di Kokenau. Di sana saya disekolahkan di Pupalo School, setingkat sekolah dasar punya Belanda" Jelas Wakeybo.Wakeybo menamatkan dari Pupalo School pada tahun 1960.

"Setelah saya tamat, saya disekolahkan ke Fak-Fak di Sekolah Guru Bawahan (SGB). Di SGB saya belajar selama tiga tahun (1961, 1962 dan 1963). Saya disuruh tambah satu tahun lagi, akhirnya saya belajar satu tahun lagi dan selesai tahun 1964". Wakeybo, bersama beberapa rekannya dipersiapkan untuk Studi ke Belanda, namun tidak jadi. "Setelah selesai, kami beberapa orang mau dikirim ke Negeri Belanda untuk pertukaran pelajar tetapi tidak jadi. Karena waktu itu Indonesia masuk ke Papua maka kami dilarang untuk studi ke Belanda" kata bapak enam anak ini.Setelah tidak jadi studi ke Belanda dia kembali ke kampung halaman untuk mengajarkan ilmu yang dia peroleh .

"Pertengahan Juli tahun 1964 saya sampai di Timepa. Sementara menuggu SK saya mengajar selama dua minggu di SD Timepa. Kemudian setelah SK keluar saya ditugaskan di sebuah desa yang jauh dari Timepa yaitu Modio. Jadi, saya mengawali karya mendidik saya di Modio sejak dikeluarnya SK untuk mengajar pada tanggal 1 Agustus 1964," katanya membuka lembaran sejarah pribadi masa lalu. Perjalanan dari Timepa ke Modio memakan hampir satu hari berjalan kaki. Di Modio dia mengajar selama dua tahun. "Waktu itu di Modio hanya guru dari pantai selatan Kokenau," tambahnya.
Setelah mengajar, tepatnya tanggal 21 Juni 1966 pindah ke Putaapa untuk membuka kelas persiapan untuk membuka SD baru di Putapa. Perjalanan dari Modio ke Putaapa tidak terlalu jauh seperti ke Timepa, tetapi hanya berjarak 8 KM dari Modio. Di antara Modio dan Putaapa dibentangi oleh sebuah tanjung yang lebih dikenal oleh warga dengan Kemonago Keboo. Dengan semangat membangun yang berkobar-kobar Wakeybo mempersiapkan tempat untuk mendirikan sekolah sekaligus menampung anak-anak yang akan dimasukan setelah sekolah dibuka. "Setelah dua tahun persiapan, pada tanggal 1 Januari 1968 SK untuk pendirian sekolah sekaligus SK kepala sekolah keluarkan oleh Yayasan Katolik melalui Pastor Petress, lalu saya bersama masyarakat mendirikan sekolah darurat, "ungkap Wakeybo.

Kegelisahan untuk membangun gedung sekolah yang bagus pada tahun pertama setelah SK keluar hanya menjadi impian belaka. Jiwa progresif, ingin perubahna sekolah secara cepat tak tertahankan. Jiwa muda sungguh mendorong untuk bekerja, namun setiap kali bertemu dengan Pastor Petress ysng bertugas di Modio untuk membicarakan keinginannya untuk membangun sekolah tempat yang baru tidak disetujui.

Akhirnya pada tahun 1970 terpaksa harus membangun sekolah secara diam-diam bersama masyarakat. "Suatu ketika, tanpa memberi tahu Pater saya mengajak semua masyarakat untuk meratakan tanah untuk bangun sekolah. Dalam waktu yang singkat masyarakat menyiapakan tempat untuk bangun sekolah,". kata Wakeybo.

"Ketika Pastor datang turnei dari Modio ke Putaapa, dia kaget melihat tempat yang disiapkan masyarakat. Dia bersi keras untuk membatalkan karena tidak ada dana untuk pembangunan sekolah. Namun saya bersam masyarakat berkerja keras untuk membangun sebuah sekolah yang sebelumnya hanya dengan alang-alang diganti dengan rumah papan dengan daun seng, tetapi ada bagian-bagian yang yang masih alang-alang. Sekolah itu kami bangun dengan modal kerja keras dan kemauan dari masyarakat, akhirnya setelah gedung itu dibangun Pastor yang semula tidak setuju itu senang juga," kata pak guru yang mendapatkan istri anak pertama dari tua adat Putapa ini.

Perjuangan pembangunan sekolah tidak sia-sia. Tiga generasi (ayah, anak, dan cucu) dia didik selama 42 tahun di sebuah sekolah berkelas empat hasil perjuangannya bersama masyarakat setempat. Seorang yang hanya tamat SGB tetapi metode dan berbagai teknik pembelajaran sudah dikuasainya. Siswa tidak pernah bosan mengikuti pelajarannya. Dia suka bermain-main dengan anak-anak supaya anak-anak tidak ingin pulang membolos sekolah. Tangan anak-anak dia dipegang dan goyang kiri-goyang kanan, saling lempar melempar kerikil dan banyak cara selalu digunakannya untuk mendidik. Bahkan untuk menumbuhkan minat anak-anak lain dia selalu memberikan hadiah buat tiap siswa yang juara I di depan teman-temannya yang lain.

Dari sebuah SD yang berkelas IV ini sudah banyak yang berhasil, katanya menebar senyum. Berbagai metode dan pendekatan untuk mendidik anak-anak ternyata tidak sia-sia. Keberhasilan perjuangnnnya terlihat dengan banyak anak murid yang sudah berhasil dan bagi di keberhasilan ank-anak didiknya itu merupakan kebahagiaan tersendiri. "Saya tidak mau hitung anak didik saya yang berprofesi bukan guru. Hasil didikan saya dari tempat saya mengabdi yang sudah menjadi guru berjumlah 20 orang. Guru SD ada 17 orang, guru SMP 2 orang, dan guru SMA 1 orang. Profesi lain, sarjana sudah banyak, bahkan meduduki jabatan MPR dan DPR di pusat sana," kata pak gru Wakey.

"Saya sangat bangga dengan mereka, anak didik saya yang berhasil. Namun, saya kadang-kadang berpikir mengapa SD ini banyak orang yang berhasil tetapi masih berkelas empat? Mengapa kok tidak ada fasilitas? Mengapa kok tidak ada buku-buku pelajaran? Belum ada bantuan berupa dana maupun fasilitas sekolah serta tenaga pengajar. Jangankan dari pemerintah dari anak-anak yang sukses dari sekolah ini saja belum ada bantuan. Wakeybo beberapa tahun mengajar empat kelas seorang diri ini, mengharapkan guru-guru putra desa Putaapa untuk bertugas di sana. "Saya ini sudah tua, sekarang di SD Putaapa hanya dua orang guru, karena ada satu guru lagi tetapi dia rencananya akan pindah," kata pahlawan tanpa tanda jasa ini sambil menarik nafas panjang-panjang. Wakeybo berpikir, sebenarnya guru-guru SD ini harus diisi oleh guru-guru pribumi. Dia mecontoh, di sekolah-sekolah lain macam SD Bomomani, SD Abaimaida (Mapia) semuanya guru-guru pribumi dia menghasrapkan yang ada itu harus diisi, karena zaman sekarang kita tidak bisa mengharapkan guru dari daerah lain.

Pahlawan tanpa jasa ini ternyata tidak puas dengan segala perjuangannya, diusia senja dia berjuang gigih untuk mengajukan proposal kepada Menteri Pendidikan Nasional pemerintahan Megawati. Usaha ini bukan tujuan lain tetapi hanya satu tujuan, yaitu membangun sekolah baru untuk menggantikan sekolah lama yang berumur 30-an lebih tahun. Akhirnya pada tahun 2001 dibantu dan sebesar 50 juta untuk bangun sekolah. Dengan uang itu ia mendirikan sekolah baru dengan pondasi tembok, jendela kaca dan daun seng aluminium. Di pedalaman Papua, desa Putaapa misalnya, untuk membangun sebuah sekolah yang beratap alang-alang menjadi pondasi tembok membutuhkan puluhan tahun.

Berkat perjuangannya, SD YPPK St. Yosep Putaapa adalah satu-satunya sekolah yang berpondasi tembok, jendela kaca dan beratap daun seng aluminium. "Saya pernah berjanji pada diri saya sendiri dan kepada Tuhan bahwa sebelum saya pensiun saya harus bangun gedung sekolah yang baru dan bagus. Hal itu sudah terjadi, namun ada dua hal belum dan sedang saya usaha. Dua hal itu adalah mempersiapkan buku-buku pelajaran yang baru dan membuka dua kelas, yaitu kelas lima dan kelas 6. Sayang sekali, setiap pagi anak-anak yang telah selesai kelas empat di desa Putapa harus berjalankaki 8 kilo meter untuk belajar di desa lain (Modio) yang sudah berkelas enam."

Dia juga berkeinginan menyekolahkan tiga atau empat anak untuk belajar di Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Timika atau Jawa, tetapi tidak ada biaya. Harapannya, anak-anak yang disekolahkan itu nanti kembali dan mengabdi di sekolah itu sebagai penggantinya. Harap bantuan dari siapa lagi, pemerintah kadang susah juga. Bantuan-bantuan dari Belanda melalui yayasan Katolik telah distop.

Suatu kewajaran dan berkat dari Tuhan bila bapak guru Wakey menjadi salah satu dari 2 guru yang mendapat penghargaan guru daerah terpencil bersama 58 guru se Indinesia oleh Menteri Penididikan Nasional tahun 2001.

Pak guru Manfred Wakey, kini hanya berharap kepada belas kasihan donatur untuk menuntaskannya perjuangannya membangun manusia di daerah terpencil. "Saya membutuhkan bantuan berupa pakaian, buku tulis, bolpen, buku cetak, kapur tulis bahkan berupa dana untuk membangun dan mempertahankan sekolah ini demi keselamatan umat manusia, khususnya generasi mendatang desa Putapa. Kalau ada yang ingin partisipasi datang langsung ke desa Putapa, kecamatan Mapia, Kabupaten Nabire Papua. Boleh juga lewat alamat perantara dengan menyebutkan nama saya, Yayasan Bina Mandiri Utama (YABIMU) Jalan Pipit Kaliharapan Tromol Pos 27 Nabire Papua telepon (0984) 23221, " katanya mengharapkan bantuan.

*)Pimpinan Redaksi Majalah Selangkah

--------------------------------------
Sumber:www. kabarindonesia.com

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut