Quo Vadis Rumpun Bahasa Melanesia?

Minggu, Agustus 05, 2007

Oleh Rogerio Ma’averro Savio Lorrato*)

Bahasa adalah yang paling baik dalam menunjukkan identitas kultural suatu bangsa. Dengan kata lain bahasa menunjukkan bangsa. Itu sebabnya penting bagi bangsa Melanesia melestarikan sekitar 250 bahasa etnisnya dari arus besar dominasi ‘bahasa Indonesia’. Sejauh mana dominasi itu? Apa dampaknya? Bagaimana proses historisnya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting sebagai upaya melestarikan identitas bangsa Melanesia, yang selama ini ‘lebur’ dalam “NKRI” dan dalam banyak hal justru mengalami Jawanisasi. Ini kontradiktif dengan gagasan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dewasa ini, bangsa Melanesia menggunakan bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa ini adalah “bahasa pemersatu”, yang mendapat tempat utama dalam media komunikasi formal, baik sebagai bahasa teks maupun lisan, di sekolah, perkantoran dan tentu saja pada media cetak dan elektronik.

Memang ada sisi baiknya, bahwa ‘bahasa Indonesia’ memainkan peran penting sebagai “jembatan” komunikasi menerobos diversitas linguistik yang berbeda satu sama lain (termasuk di Papua), dan memungkinkan para penuturnya menjangkau dunia pendidikan modern. Namun mesti disadari pula akan sisi buruknya, terutama bahwa ‘bahasa Indonesia’ menjadi dominan sehingga bahasa-bahasa lain keumgkinan akan tersisihkan. Entah bahasa Batak, Jawa, Bali dan termasuk 250 bahasa etnis Melanesia di tanah Papua.

Padahal Bahasa Indonesia baru digunakan secara serius sejak 1950 di Papua oleh para pendakwah dan pejabat kolonial dalam rangka ‘menyatukan’ wilayah Papua dengan wilayah Hindia Belanda lainnya. Hal ini seiring dengan kebijakan diskriminasi kolonial Belanda yang hanya memperbolehkan bahasa Belanda diajarkan pada garis keturunan tertentu saja.

Apabila menenggok lebih jauh ke masa sebelumnya, maka bangsa Melanesia sebenarnya belum cukup dikenal para nasionalis Indonesia, selain sebagai koloni Belanda yang dalam banyak hal tidak terlibat langsung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Di luar itu, wilayah ini cukup terisolir dari koloni Belanda di sebelah barat, kecuali wilayah pesisir utara yang menjalin hubungan dagang tradisional dengan Maluku. Selebihnya hanya bayang-bayang penjara besar - Boven Digul, di tengah sebagian besar masyarakat yang masih hidup di zaman batu (Benedict Andersson: 2002)

Ini berarti bangsa Melanesia, tidak terlibat dalam beberapa proses sejarah penting, terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Pertama, saat bahasa Indonesia dipermaklumkan sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda 1928, tidak ada yang mewakili bangsa Papua dalam peristiwa tersebut, kedua, saat bahasa Indonesia dianjurkan semasa pendudukan Jepang untuk menggusur bahasa Belanda, hal itu tidak terjadi di Papua, apalagi karena pertimbangan militer dan kondisi sosial politik waktu itu, Jepang membagi Hindia Belanda menjadi tiga wilayah koloni terpisah, dan Papua berada dibawah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar, ketiga, saat bahasa Indonesia dipergunakan sebagai wahana perlawanan menyerang kolonialisme yang dipuncaki proklamasi kemerdekaan RI 1945, justru bangsa Papua belum ‘mengenal’ NKRI. Dari tiga fakta ini, bisa dibilang bahasa Indonesia adalah produk historis yang dalam prosesnya tidak sepenuhnya melibatkan bangsa Melanesia. Barulah pada tahun 1963 ketika Orde Lama mencanangkan operasi Trikora, dan disusul pelaksanaan Pepera semasa Orde Baru tahun 1969 bahasa Indonesia mulai dijadikan ‘bahasa resmi’ di Papua.

Apabila menelusuri asal muasal bahasa Indonesia, bahasa ini berasal dari Riau (Sumatera) dan disebut bahasa Melayu yang sejak berabad-abad menjadi lingua franca dari kawasan yang sejak 1940-an mulai dinamai Asia Tenggara. Pada akhirnya bahasa Melayu diadopsi menjadi bahasa Indonesia, adalah untuk tujuan politis mempersatukan Hindia Belanda. Namun sebenarnya, ‘Indonesia’ pada awalnya adalah peristilahan antropologis, bersama Melanesia, Polinesia dan Mikronesia. Dalam hal ini, Indonesia dipakai untuk menunjukkan budaya berciri melayu.

Namun saat ini, di Papua bahasa Indonesia telah menjadi lingua franca, dimana orang-orang lebih banyak banyak bertutur dalam bahasa ini. Bukan mustahil, pada suatu ketika ia menyebabkan kepunahan bahasa-bahasa asli. Seperti terjadi pada bahasa-bahasa Indian di Amerika Serikat karena dominasi bahasa Inggris, atau seperti Aborigin di Australia, yang sejak bangsa Inggris masuk tahun 1788 mempunyai 250 bahasa namun saat ini tinggal 100 bahasa. Itu pun tinggal menunggu waktu untuk punah (Geoffrey Hull: 2001)

Dari pengalaman Indian dan Aborigin, bangsa Melanesia harus lebih serius dalam melestarikan dan melindungi bahasa-bahasa asli mereka. Salah satunya dengan mendorong lembaga pendidikan agar melestarikan bahasa asli, terutama dengan mengajarkannya pada pendidikan dasar sesuai dengan Resolusi Unesco 1953. Terlebih lagi penemuan-penemuan penelitian pendidikan memperlihatkan bahwa siswa akan lebih siap belajar bahasa-bahasa lain, apabila mereka pertama-tama belajar membaca dan menulis dalam bahasa ibu mereka (Helen Mary Hill: 2000).

Pada prinsipnya, bahasa manapun layak dikaji dan dihormati, namun si “empunya bahasa” alias orang yang menuturkan, harus pertama melestarikan bahasanya. Bila tidak, kebanggaan berbahasa asli akan hilang. Bahasa asli pun dipandang tak lebih dari relikui masa lalu yang tak berguna dan mewakili simbol keterbelakangan. Bangsa yang demikian akan dihinggapi krisis identitas yang sukar disembuhkan.

*) Mahasiswa Ilmu Sejarah, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut