Pendidikan Alat Perlawanan (Resensi Buku)

Sabtu, Agustus 04, 2007


Karya dan pemikiran Paulo Freire merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi dunia pendidikan. Dengan latar belakang kemiskinan yang terdapat pada masyarakat Brazilia bagian Timur Laut di mana ia hidup, Paulo Freire berhasil membongkar praktik-praktik pendidikan yangmenurutnya tidak menempatkan manusia sebagai manusia. Usaha Freire pada dasarnya ingin membangkitkan kesadaran masyarakat untuk berjuang melawan status quo kekuasaan dengan berperan aktif mengubah realitas yang ada ke arah yang lebih manusiawi, seperti semangat yang tercermin dalam judul buku ini: Pendidikan Alat Perlawanan.

Pendidikan sebenarnya dapat dipahami sebagai rangkaian usaha pembaharuan. Pendidikan pada hakikatnya tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat. Persoalan pendidikan bukanlah terutama pada target pengetahuan yang ditetapkan, melainkan pada bagaimana orang dapat berinteraksi/berdialog dengan situasi dan kondisi jamannya.

Paulo Freire mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan dari pandangan mendasarnya yang banyak dikritik orang, yaitu bahwa dunia hanya terbagi atas 2 kelompok: kelompok penindas (oppressor) dan kelompok tertindas (oppressed). Setiap orang pastilah menjadi bagian dari salah satu kelompok, entah dia si penindas ataukah si tertindas. Dalam kerangka pemahaman ini, praktik belajar-mengajar yang banyak terjadi sebelumnya dapat dipandang sebagai pendidikan yang menindas karena hanya melakukan proses “satu arah” dari guru kepada murid. Paradigma yang mengandalkan hafalan ini berwatak pasif, tidak menyulut keberanian, penalaran dan kreativitas, padahal nalar dan kreativitas inilah yang dibutuhkan oleh rakyat tertindas untuk melawan.

Freire berpendapat bahwa dalam pendidikan, peserta didik tidak boleh dipahami sebagai obyek tersendiri yang harus digarap dan diisi oleh pendidik. Dalam istilah Freire, sistem pendidikan seperti itu disebut sebagai Sistem Bank (Banking Education), di mana peserta didik adalah tabungan dan pendidik sebagai penabung. Pandangan tentang pendidikan semacam ini pada praktiknya cenderung bersifat otoriter dan menghalangi kesadaran peserta didik untuk berkembang. Aktivitas pendidikan kemudian berbelok menjadi tindakan-tindakan menundukkan peserta didik terhadap nilai-nilai dan norma budaya yang ada di masyarakat, dimana pendidik berperan sebagai agennya. Sebagai ganti sistem di atas, Freire menawarkan sistem hadap-masalah (Problem-posing Education).


Di dalam sistem ini, Freire menekankan metode pendidikan yang disebut “pendidikan dialogis” di mana terdapat suatu dinamika dialektik antara pendidik dengan peserta didik. Penekanannya adalah pada kesadaran pendidik dan peserta didik mengenai kemampuan dan keberanian menghadapi realitas secara kritis dan bertindak mengubah dunia secara kreatif. Dengan demikian, pendidikan harus berorientasi mengarahkan manusia pada pengenalan akan realitas diri dan dunianya dengan melibatkan dua unsur, yakni pengajar dan pelajar di satu pihak sebagai subyek yang sadar (cognitif) dan realitas dunia di pihak lain sebagai obyek yang tersadari (cognizable). Di sini, pendidik tidak hanya berfungsi sebagai fasilitator bagi tumbuhnya perkembangan kesadaran peserta didik, namun sekaligus menjadi seorang rekan yang melibatkan dirinya sambil merangsang daya pemikiran kritis peserta didik.

Butir-butir pemahaman yang membangun filsafat pendidikan Freire oleh Murtiningsih dijelaskan sebagai berikut: Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Di dalam situasi keberadaannya tersebut, manusia harus memiliki kesadaran kritis yang diarahkan pada realitas sehingga terjadi suatu interaksi ketika manusia menanyai, menguji dan menjelajahi realitas tersebut. Hal yang paling bernilai bagi manusia adalah menjadi manusia seutuhnya yang dicapai melalui proses pembebasan, atau dalam istilah Freire disebut “konsientisasi”.

Secara sederhana, konsientisasi dapat dipahami sebagai proses menjadi manusia yang lebih penuh atau suatu proses perkembangan kesadaran menuju terbentuknya manusia-manusia baru yang akan menciptakan dunia baru. Tugas manusia di dunia bukanlah untuk beradaptasi, tetapi untuk mengubahnya secara kreatif.

Walaupun kesan perlawanan yang revolusioner sangat kental dalam tulisan-tulisannya, Freire tidak pernah setuju dengan pemberlakuan kekerasan. Ia mendambakan sebuah revolusi yang damai. Untuk memahami sepenuhnya pemikiran Paulo Freire, seseorang memang tidak cukup hanya membaca saja. Tetapi lebih dari itu, orang harus masuk ke dalam pengalaman di mana ia berinteraksi dengan dunia dimana ia berada. Dalam penerapannya terhadap kurikulum, Freire mengusulkan kurikulum yang bertolak dari realitas konkret peserta didik dan yang muatannya mampu menumbuhkan kesadaran kritis. Artinya kurikulum dapat mendorong perkembangan pola pikir dan kemampuan refleksi peserta didik. Kurikulum ini mengutamakan pengalaman dan menekankan pada aspek-aspek personal tertentu (oleh karena itu disebut juga dengan experience-centered curriculum).

Pada bagian akhir buku ini, Murtiningsih memberikan beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Antara lain, ia mencoba menggarisbawahi penyelewengan yang dapat muncul dalam penerapan konsep konsientisasi. Contoh penyelewengan yang terjadi misalnya kegiatan propaganda penyuluhan dalam kerangka bisnis yang mengatasnamakan konsientisasi (h. 116). Oleh karena itu, proses konsientisasi yang dimaksud baru dapat terjadi ketika dialog yang dilakukan diiringi rasa cinta, kerendahan hati, kepercayaan pada orang lain, pikiran kritis dan harapan.

Berikut ini, patut pula dicatat beberapa kelemahan tulisan Murtiningsih yaitu:
Pertama, tidak terlalu jelas mengenai penerapan konsep konsientisasi dalam konteks Indonesia. Pada bab terakhir, sub judul “Relevansi Konsientisasi bagi Pendidikan di Indonesia” lebih tepat jika diganti dengan “Situasi-Kondisi Pendidikan dalam konteks Indonesia” karena pada bab tersebut Murtini hanya memaparkan mengenai apa yang terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia tanpa memberikan sedikit pun saran penerapan teori Freire dalam konteks Indonesia.

Kedua, sebenarnya sangat jelas kesan bahwa Murtiningsih ingin menyejajarkan konteks Indonesia dengan konteks yang melatarbelakangi teori Freire, sehingga dengan demikian teori Freire dapat dikatakan relevan. Namun kesejajaran tersebut tidak pernah dikemukakan atau dibahas oleh Murtiningsih, sehingga pembaca tidak pernah mengetahui sejauh mana teori Freire relevan terhadap konteks Indonesia.

Ketiga, Murtiningsih tidak masuk lebih jauh kepada analisis terhadap konteks Indonesia, sehingga ia pun tidak mampu mengusulkan tindakan/aksi yang sebaiknya diambil sebagai langkah awal untuk mengubah ‘realitas’. Tentu saja ini berbeda dengan semangat yang ada dalam teori Freire, yang pada dasarnya tidak mau ber-‘teori’, tetapi ingin ber-‘aksi’.

Buku-buku yang memiliki semangat membenahi pendidikan nasional, pada umumnya memiliki saran konkrit yang dapat dilakukan. Sebagai contoh, buku Membenahi Pendidikan Nasional karangan Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. (diterbitkan pada tahun 2002) mengusulkan “…restrukturisasi pendidikan nasional dengan paradigma-paradigma menuntut alokasi dan realokasi dana nasional dan lokal yang sepadan dengan menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas utama.”

Di samping itu, tulisan Prof. Tilaar juga memberikan tempat untuk hal-hal positif pada konteks Indonesia yang dapat mendukung terciptanya pendidikan nasional yang lebih baik. Hal ini tidak terdapat pada tulisan Murtiningsih, sehingga kita tidak memperoleh informasi apakah juga terdapat hal-hal positif pada konteks Indonesia yang mendukung penerapan teori Freire.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tulisan Murtiningsih ini merupakan kontribusi yang sangat berarti bagi pembaca Indonesia di tengah langkanya buku-buku yang dihasilkan oleh penulis Indonesia yang membahas pemikiran-pemikiran dari tokoh besar pendidikan seperti Paulo Freire.

Dengan bahasa yang cukup sederhana, buku ini mampu menjelaskan pokok-pokok pemikiran dari Paulo Freire, bahkan mampu pula menarik benang merah dari situasi-konteks serta pemahaman yang melatarbelakangi pemikiran Freire. Dengan demikian, buku ini pun diharapkan mampu membangkitkan di dalam diri pembacanya suatu semangat untuk menghadapi realitas dan mengubahnya ke arah yang lebih baik, seperti semangat yang juga dimiliki oleh Paulo Freire.

Resist Book-Komunitas Pendidikan Papua

1 komentar:

Papua dalam Kota mengatakan...

Trimakasi atas share ilmunya. Saya buku ini menarik tuk di diskusikan dalam kerangka mencari format kerangka aksi yang tepat dalam rangka pembebasan manusia Papua dari belenguh kebodohan.

Saya sepakat, bahawa bahwa, pendidikan harus mampu membuat manusia memiliki daya penalaran yang baik.

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut