Paulo Freire: Pendidik Hadap Masalah dari Brasil

Sabtu, Agustus 04, 2007

Perjuangan Paulo Freire akan keadilan dan kebebasan bagi orang-orang kelas marginal di Brasil dikungkung oleh kemiskinan, penjara, dan pembuangan. Freire adalah pendidik hadap masalah yang eksis memperjuangkan keadilan, dan kebebasan bagi orang-orang yang menyusun “kebudayaan diam” di banyak wilayah. Fenomena ini dapat dilihat dari separuh penghuni planet bumi ini menderita kelaparan tiap hari karena ketidakmampuan negara menghidupi mereka, atau sebagian perekonomian mereka dieksploitasi oleh negara-negara lain yang lebih kaya. Dengan demikian mereka tidak punya masa kini maupun masa depan untuk menjalani kehidupan yang layak sebagaimana terjadi pada negara-negara modern. Untuk itulah Freire berusaha membangkitkan kesadaran di hati setiap orang agar bertindak mengubah kenyataan yang selama ini telah membelenggu sebagian besar dari mereka yang miskin. Jejak ketokohanya, cinta dan harapan yang besar tehadapa dunia pendidikan, khususnya di Amerika Latin, dapat ditemukan dalam pedagogi kritisnya yang menggabungkan ratusan organisasi akar rumput, ruang-ruang kuliah, dan usaha-usaha reformasi lembaga sekolah di banyak kota. Kenali dia. Bercermin padanya. Perjuangkan keadilan dan kebebasan bagi orang-orang yang menyusun “kebudayaan diam” seperti bangsa Papua.

****
Oleh Yermias (Ignatius) Degei*)

PAULO FREIRE lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur Laut Brasil. Sejak kecil Dia diajarkan untuk menghargai dialog dan menghargai pilihan orang lain. Proses dialog yang sejak kecil ditanamkan tesebut kelak penting bagi program pendidikanya. Kehidupan orang tua Freire tergolong kelas menengah, namun sering kekurangan finansial sehingga Freire benar-benar tahu arti kata lapar. Ketika kanak-kanak, Freire bersumpah untuk membaktikan hidupnya untuk melawan kelaparan, membela kaum miskin. “Anak-anak lain tidak boleh (generasi mendatang) merasakan penderitaan (lapar) seperti yang pernah saya alami,” (Shaull, 1972: 10 melalui Yunus, 2004).

Setelah ekonomi keluarganya sedikit membaik Freire dapat menyelesaikan sekolah tingkat menengah. Dia masuk kuliah di Fakultas Hukum University of Recife. Di sana Freire belajar filsafat dan Psikologi, sementara separuh waktunya dia gunakan untuk bekerja sebagai instruktur bahasa Portugis di sebuah sekolah lanjutan. Selama kuliah Freire banyak membaca karya-karya pendahulunya seperti Sartre, Althusser, Mounier, Ortega Y. Gasset, Unamuno, Martin Luther King Jr, Che Guevara, Fromn, Mao Tse Tung, Marcuse dan sebagainya (Freire, 2002:xx dalam Yunus, 2004), yang semuanya itu berpengaruh kuat pada filsafat pendidikan Freire yang kini mendunia.
Tahun 1944, Freire melangsungkan pernikahan dengan Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala sekolah). Dari pernikahan dengan Freire, Elza Maia Costa Olivera melahirkan tida orang putri dan dua orang putra. Ketertarikan Freire dalam teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dan menuntunya untuk lebih banyak menelaah bacaan tentang pendidikan, filsafat, dan sosiologi daripada hukum sebagai sarana penghasilanya. Setelah meninggalkan hukum, Freire mulai berkarya dalam pendidikan. Dia diangkat sebagai direktur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada pelayanan Sosial di “The State of Pernambuco”, (baca: Yunus, 2004). Pengalaman di sana telah membawanya untuk bisa kontak langsung dengan masyarakat miskin. Tugas kependidikan dan organisasinya dia manfaatkan dengan merumuskan metode dialognya bagi pendidikan orang dewasa (adult education). Freire mengajar mata kuliah sejarah dan filsafat pendidikan di University of Recife, di mana dia memperoleh gelar doktornya di tahun 1959. Dia juga memberikan pendidikan kepada orang dewasa melalui seminar, pengarahan, dan kursus-kursus.

Awal 1960-an, Brasil mengalami masa-masa sulit. Gerakan-gerakan reformasi baik dari kalangan sosialis, komunis, pelajar, buruh, maupun militan kristen semuanya mendesakan tujuan sosial politik mereka masing-masing. Dalam suasana seperti itu, Freire menjabat sebagai direktur utama pusat pengembangan sosial University of Recife. Pada masa itulah Freire membawa program pemberantasan buta huruf kepada ribuan petani miskin di Timur Laut tempat ia bekerja. Gebrakan yang dilakukan Freire ternyata mendapat sambutan dari golongan minoritas karena hak untuk memberikan suara seseorang tergantung pada kemampuan baca tulis, kedatangan program Freire tersebut menjadi salah satu harapan bagi mereka.
Setelah pemerintahan berganti dari Joao Goulart kepada Janio Quardros pada tahun 1961, gerakan kultural lain yang terkenal membangkitkan kesadaran dan kampanye melek huruf di seluruh Brasil. BEM (Basic Education Movement) mendapat dukungan dari para Uskup. Kemudian melalui SUDENE (Superintendency for the Developmen of the Nort East) sebuah organisasi Federal pemerintah di bawah arahan Celso Furtado telah banyak membantu perkembangan perekonomian di sembilan negara bagian dengan memasukan kursus-kursus dan beasiswa untuk pelatihan para ilmuan dan spesialis. Bantuan pendidikan kemudian direcanakan untuk memperluas program-program melek huruf dasar dewasa sebagai hasil resrukturisasi radikal yang diimpikan oleh SUDENE. Di tengah harapanya yang sedang memuncak inilah Freire diangkat sebagai kepala pada Cultural Extention Service yang pertama di University of Recife (Collin, 2002: 10 dalam Yunus, 2004).
Juni 1963 sampai dengan Maret 1964, tim pemberantasan buta huruf Freire telah bekerja keseluruh pelosok negeri. Mereka berhasil menarik minat warga yang buta huruf untuk belajar baca tulis. Rahasia kesuksesan itu ada pada Freire telah bekerja keseluruh pelosok negeri. Rahasia kesuksesan itu ada pada Freire dan timnya yang mempresentasikan partisipasi dan emansipasi dalam proses politik ke arah pengetahuan membaca dan menulis sebagai tujuan yang diinginkan dan dapat dicapai untuk seluruh warga negara Brasil. Usaha yang dilakukan Freire bersama timnya tidak sekedar mengartikan bunyi dari huruf-huruf mati, tetapi kerja tersebut tidak lain adalah sebagai proses penyadaran dari situasi ketertindasanya. Dengan demikian pembelajaran baca tulis alfabetisasi merupakan langkah awal yang penting dalam konsientisasi terutama bagi orang dewasa ini melibatkan mereka sebagai siswa dalam problematisasi (problem posing) terus-menerus akan situasi eksistensial mereka. Maka dalam rangka pemberantasan buta huruf, problematisasi ini dimasukan dalam kursus-kursus alfabetisasi (Sudiarja, 2001: 9).

Freire, dalam hal ini telah memenangkan perhatian kaum miskin untuk membangkitkan harapan mereka. Mereka mulai berani mengungkapkan keputusan-keputusan sendiri dari hari ke hari yang mempengaruhi kehidupan mereka. Fatalisme dan pasivitas kaum miskin terhadap program pemberantasan buta huruf tersebut menjadi bernilai dan bersemangat. Metode Freire adalah berpolitik tanpa menjadi konsisten. Kerja Freire bersama timnya di mata militer dan tuan tanah sungguh suatu yang radikal.

Suatu peristiwa terjadi pada bulan April tahun 1964 ketika militer meruntuhkan rezim Goulart. Seluruh gerakan progresif diintimidasi. Freire ditangkap kemudian dimasukan ke penjara selama 70 hari karena aktivitas “subversif”-nya. Di penjara dia mulai menulis buku Education as the Practice Freedom. Buku yang merupakan analisis kegagalan Freire dalam melakukan emansipasi di Brasil. Buku ini kemudian diselesaikan di Cile dalam masa pembuanganya. Di sini Freire bekerja selama lima tahun pada program pendidikan untuk orang dewasa dari pemerintahan Eduardo Frei yang diketuai oleh Waldemar Cortes yang menarik perhatian dunia internasional dan UNESCO untuk mengenal Cile sebagai satu dari lima negara di dunia yang berhasil dalam mengatasi buta huruf.

Pekerjaanya di sana tidak terbatas pada kampanye melek huruf. Pemerintah demokrasi Kristen Frei juga tertarik pada tema reformasi agraria (agraria reform). Freire dapat terus mengembangkan ide-ide pendidikanya, menuliskan persoalan-persoalan pendidikan untuk orang dewasa. Dalam pengalamannya di Cile terjadi peristiwa penting berkenaan dari fase pertama dari “metode Freire”, yaitu suatu investigasi menyeluruh tentang budaya dan kebiasaan yang membentuk kehidupan orang-orang yang buta huruf di Cile. Freire tidak hanya berhadapan dengan bahasa yang berbeda, namun juga dengan jenis penduduk kota dan desa yang berbeda-beda karakternya.
Ketika berada di Cile, Freire menjadi seorang kritikus pendidikan tradisional. Menurutnya, melakukan modernisasi tanpa melakukan emansipasi adalah sebuah kekalahan besar. Salah satu tema generatif yang muncul adalah “Semua perkembangan adalah modernisasi, tetapi tidak semua modernisasi adalah perkembangan” (Colins, 2002: 26).

“Semua perkembangan adalah modernisasi, tetapi tidak semua modernisasi adalah perkembangan”
Menjelang akhir dasawarsa 60-an, Freire menerima undangan dari Harvard University. Freire meninggalkan Amerika Latin menuju Amerika Serikat, di sana Freire mengajar sebagai profesor tamu pada Harvard’s Center for Studies In Education and Development dan juga menjadi anggota kehormatan pada Center for Study of Development and Social Change.
Tahun tersebut adalah periode yang paling parah terjadi di Amerika, karena terjadinya pertentangan kaum oposisi terhadap perang yang dilakukan oleh Amerika terhadapap Vietnam yang kemudian berimbas ke kampus-kampus. Pada tahun itu rasial (ras) juga menjadi permasalahan di Amerika. Juru bicara kaum pemrotes perang memasuki kampus-kampus, dan Freire terpengaruh oleh aksi tesebut. Dalam situasi demikian, Freire mulai menemukan suatu realitas yang konkret bahwa tekanan dan penindasan terhadap kehidupan ekonomi politik dunia ketiga berlangsung secara tak terbatas. Berdasarkan kenyataan tersebut, dia mulai memperluas definisinya tentang persoalan dunia ketika dari masalah geografis ke konsep politis, serta tema kekerasan menjadi tema utama dalam tulisanya sejak saat itu.

Selama periode itu Freire menulis karya terkenalnya, Pedagogy of the Oppressed. Baginya pendidikan menjadi jalur permanen pemebebasan, dan berada dalam dua tahap. Tahap pertama adalah di mana orang menjadi sadar dari penindasan mereka dan melalui praxis mereka mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun di atas tahap pertama dan merupakan proses permanen aksi budaya pembebasan.

Setelah meninggalkan Harvart di tahun 1970-an, Freire menjadi konsultan dan akhirnya sebagai sekretaris asisten pendidikan untuk dewan gereja dunia di Swiss. Freire dikenal sebagai orang yang taat menjalani agama. Freire berkeliling dunia mengajar usahanya untuk membantu program-program pendidikan negara-negara baru di Asia dan Afrika seperti Tanzania dan Guinea Bissau (Baca: Mario Gabral). Dia juga menjadi ketua komite eksekutif institute for Cultural Action (IDAC) yang bermarkas di Jenewa. IDAC adalah sebuah organisasi nirlaba yang didirikan oleh orang-orang yang ingin mengajar, melakukan penelitian, dan melakukan eksperimen, selain menjalankan peneletian dan mensponsori workshop-workshop serta program-program lain yang melibatkan penyadaran. Sejak tahun 1973 IDAC terus melakukan publikasi sejumlah dokumen yang mendukung ide-ide Freire dan menerapkan pada isu-isu pembebasan di seluruh dunia (Yunus, 2004).

Pada tahun 1979, Freire diundang oleh pemerintah Brasil untuk kembali dari pembuangan dan mengajar di University of Sao Paolo. Pada tahun 1988 dia diangkat menjadi menteri pendidikan untuk kota Sao Paolo. Tahun 1992, Freire merayakan ulang tahunya yang ke 70 bersama lebih dari 200 rekan pendidik, para pembaru pendidikan, para sarjana, dan aktivis-aktivis “Grass-Roots”. Selama tiga hari diakan workshop dan pesta yang disponsori oleh New School for Social Research, yang mendanai prestasi dan keberhasilan hidup dan karya Freire. Di Rio De Jeneiro, Freire meninggal pada usia 75 tahun pada hari Jum’at, 2 Mei 1997 karena serangan jantung. Jejak ketokohanya, cinta dan harapan yang besar tehadapa dunia pendidikan, khususnya di Amerika Latin, dapat ditemukan dalam pedagogi kritisnya yang menggabungkan ratusan organisasi akar rumput, ruang-ruang kuliah, dan usaha-usaha reformasi lembaga sekolah di banyak kota. ***

*) Sekretaris Komunitas Pendidikan Papua, dari berbagai sumber. Sumber ada pada penulis.

0 komentar:

Posting Komentar

Mendukung Gerakan "One People, One Book, One Heart for Papua" yang di Lakukan oleh LPP. Kami kumpulkan buku baru dan bekas untuk bangun perpustakaan di Papua. Di Jakarta dan sekitarnya hubungi Johanes Supriyono, email:
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda
 
 
 

Visitors

Pengikut